Dalam pernikahan, memiliki anak adalah dambaan semua pasangan. Namun, jika sudah sekian tahun lamanya tak juga memiliki keturunan, wanitalah yang selalu disalahkan akan hal itu. Lalu, bagaimana jika ternyata yang memiliki gangguan kesehatan itu adalah dari pihak lelaki? Faris dan Friska sudah menginjak usia pernikahan ke delapan tahun. Keluarga mereka tentu saja selalu menuntut tentang penerus keturunan. Bahkan, tak jarang saling menyalahkan satu sama lain. Hingga kedua keluarga itu membuat sebuah kesepakatan besar yang tak diketahui oleh Faris dan Friska, terlebih saat mengetahui fakta bahwa penyebab mereka tak kunjung memiliki keturunan adalah bukan kesalahan dari pihak wanita. Apakah Faris dan Friska akan terus bertahan setelah keluarga Friska menuntut suatu hal yang sangat besar dari kesepakatan dua keluarga itu?
View More“Gagal lagi,” keluh lirih suara wanita yang memegang tes pack.
Seketika kakinya merasa lemas akibat getaran di tubuh yang membuat langkahnya terhuyung duduk diatas kloset duduk.
Air mata lolos begitu saja diiringi sesak yang menusuk dada hingga suaranya tercekat. Friska mencoba mengatur napas yang mendadak sulit dikendalikan. Udara di dalam kamar mandi itu seperti kekurangan oksigen baginya.
“Sudah kesekian kali seharusnya aku terbiasa, tapi kenapa rasanya masih sesakit ini?” Kembali ia menatap benda berbentuk stik berwarna biru dengan garis satu berwarna merah di ujungnya.
Hari di mana ia selalu melakukan uji tes urine itu dan mendapati hasil serupa, hanya satu yang selalu terucap: Gagal.
Suara isakan kecil lolos dari bibirnya. Wajah menunduk tajam tak sanggup menatap bayangan sendiri di dalam cermin. Hati dan benaknya berkecamuk beradu ketenangan. Namun, hingga air mata terus mengalir, tak juga ia menemukan titik ketabahan. Mungkin ini bukan kali pertama wanita itu melakukan pemeriksaan. Akan tetapi, hasil yang dilihat tak kunjung sama dengan yang diharapkan.
Suara pintu yang diketuk tak juga membuatnya beranjak dari kesedihan. Ia terus terisak sampai suaranya memenuhi sebagian ruangan besar itu. Sementara di luar sana, seorang pria tampan dan gagah terus mengetuk pintu dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan.
“Friska, kamu di dalam, kan?” panggil pria yang mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih didalamnya.
Tak ada sahutan. Pria itu tampak kebingungan. Ia pun lupa membawa cardlock yang tertinggal didalam mobil. Berpikir untuk bergegas menuju parkiran, tetapi di lain sisi ia sangat mencemaskan keadaan seseorang di dalam kamar itu. Hatinya sudah menduga pasti ada yang tidak baik malam ini.
“Ris,” panggil seorang wanita paruh baya dari arah lain.
Pria itu menoleh dan hanya terdiam.
“Friska ke mana?” tanya wanita paruh baya yang model rambutnya di sanggul kuno. Tatapannya sedikit kesal pada pria yang masih mengetuk-ngetuk pintu kamar itu. “Kalian tuh kenapa, sih? main tinggalin acara aja!”
“Fris, kamu di dalam, kah?” Sekali lagi. Pria itu mengetuk dan bersuara.
Hampir lima belas menit pria berjas hitam itu berdiri di depan pintu dan tak mendapatkan apa-apa. Sementara wanita paruh baya di sebelahnya hanya bisa mengomel dan menggerutu tidak jelas.
Akhirnya, wanita yang dicari mulai membuka pintu. Pria itu langsung terkesiap dan melebarkan mata saat melihat wanita bernama Friska mengulum senyum dengan mata sembab yang tak bisa disembunyikan.
“Fris, are you okay?” Faris cemas, sembari memegang kedua sisi lengan Friska.
Wanita yang masih tampak bersedih itu mengangguk pelan dan menatap dengan senyuman pria dihadapannya.
“I’m fine. Sorry, tadi aku ....”
“Kamu tuh kebanyakan drama, Friska!” Belum selesai ia menyelesaikan kalimatnya, tetapi wanita paruh baya itu langsung melangkah dan menginterupsinya. Suara yang pelan, tetapi terdengar tegas itu berhasil membuat Friska sontak terdiam seraya menundukkan wajah.
“Ma, mending Mama balik lagi aja ke taman. Temuin tamu-tamu yang lain. Nanti Faris sama Friska nyusul, kok.” Suara lemah dari Faris pun tampaknya tak diindahkan oleh wanita paruh baya itu.
“Acara ini kan kalian yang mau. Jadi, jangan seenaknya ninggalin acara apalagi sampe bikin tamu pada nungguin!” balas Farida. Lalu, tatapan matanya kembali menatap bengis ke arah menantunya. “Friska, kamu tuh jangan lebay, deh! Mama tau, kok, kamu tuh ceritanya mau bikin surprise untuk ngasih tau kehamilan kamu kan?” Farida menyeringai sinis, “tapi ... kenyataannya nihil lagi!”
Tak sanggup menjawab apalagi menatap, Friska langsung mendengkus dan berbalik badan memasuki kamar. Sementara wanita paruh baya itu hanya bisa melengos dan menatap putranya.
“Tuh, lihat sendiri kan? gimana mau punya anak, kalau kelakuan aja masih kayak anak kecil! Inget umur, Ris! Kalian itu udah hampir menginjak kepala tiga! Ka—”
“Udahlah, Ma. Mending Mama balik lagi aja ke bawah. Friska tuh cuma lagi gak enak badan aja. Kasih kami waktu 15 menit, nanti kami turun, kok.” Faris langsung bergegas menyusul Friska ke dalam kamar seraya meninggalkan ibunya yang malah menggerutu sendiri.
Mata bulat yang indah itu kini dikecupnya. Rasanya sakit jika melihat bidadari hatinya terluka bahkan sampai menitikkan air mata. Kata maaf terus di lontarkan, walaupun ia tahu itu tak akan menjadi obat atas sakit yang selalu ditaburkan oleh mertuanya.
“Maafin mamaku ya, Fris. Aku tau kamu sedang terluka karena hal yang sama.” Faris merengkuh istrinya. Sementara wanita itu langsung menenggelamkan wajah di dada sang suami. Menumpahkan seluruh tangis dan rasa kecewa akan banyak hal yang bahkan ia sendiri pun tak tahu harus menyalahkan siapa.
“Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu percaya diri sampai mengira hari ini aku benar-benar hamil dan kenyataannya ….” Friska menunduk dalam. Suaranya bergetar. “I’m so sorry, Ris. Aku bakal malu-maluin banget di depan semuanya, di depan acara yang kita buat sendiri.”
Faris mengecup puncak kepala sang istri. Seolah mentransfer kekuatan dan kesabaran untuk bidadari tercintanya.
“Nggak ada yang salah, sayang. Tujuan acara ini kan bukan untuk itu. Ini adalah acara perayaan pernikahan kita yang ke 8 tahun. Hari yang mengingatkan kita pada sebuah perjalanan menuju babak kehidupan yang baru kala itu. Hari yang mengingatkan kita untuk berjanji akan selalu bersama menghadapi pahit manisnya perjalanan kita sampai detik ini.” Faris melepaskan dekapannya dan membungkukkan badan di hadapan sang istri. Menatap lekat manik mata yang masih basah itu.
“Aku mencintaimu, happy anniversary, my love. I hope i love you all my life.” Satu kecupan manis didaratkan oleh Faris di bibir ranum itu, menyesap ketulusan yang dapat menenangkan. Seolah menghapus jejak luka yang terus menganga di hati sang istri.
“I love you too. I hope to be with you forever. Maaf, kalau sampai detik ini aku belum bisa memenuhi impian terbesar dalam pernikahan kita, Ris.” Friska kembali terisak. Sementara Faris hanya tersenyum manis dan menyeka air mata istrinya.
“Impian terbesar dalam pernikahan ini adalah kita akan terus bersama-sama! Apa pun keadaannya. Aku gak pernah menyalahkanmu soal anak, Fris. Percaya aja, mungkin ini belum waktunya buat kita. Mungkin Tuhan memang ingin kita menikmati honeymoon lebih lama lagi,” ujar Faris sembari menyapit lembut hidung mancung istrinya.
Friska pun mengukir senyuman. Hangatnya dekapan suami, lembut tutur katanya seolah memadamkan kobaran kecewa dalam hati. Kini ia mengerti, seburuk apa pun keadaan, jika Faris selalu ada bersamanya, maka semua akan baik-baik saja.
“Turun, yuk. Kasian temen-temen dan tamu yang lain pasti udah nungguin kita,” ajak Faris, kemudian Friska pun mengangguk dan merapikan kembali riasan wajah serta penampilannya.
“Okay!”
***
Senyum dan tawa hangat menghiasi setiap tamu yang hadir. Mereka memadati ruangan dengan kegembiraan dan rasa syukur, berkumpul untuk hari jadi pernikahan Faris dan Friska yang ke 8 tahun. Melodi indah dari alunan musik mengiringi langkah penuh harapan dan kebahagiaan. Suara tepuk tangan pun terdengar meriah saat melihat sepasang suami istri itu kembali hadir di tengah-tengah acara.
Friska hanya tersenyum manis menyapa para tamu yang tadi belum sempat bertemu dengannya. Awalnya, Wanita itu memang menambah rundown acara dengan memberikan kejutan untuk semuanya. Beberapa hari ini ia seperti merasakan seluruh ciri-ciri kehamilan yang nyaris lengkap. Bahkan, ia pun sudah mengalami keterlambatan datang bulan selama 7 hari. Hal tersebut membuatnya begitu yakin, bahwa acara anniversary kali ini akan benar-benar spesial karena hadirnya benih cinta yang diyakini telah tumbuh dalam rahimnya.
Jadilah, Friska diam-diam kembali ke kamar hotel untuk melihat hasil tes kehamilan yang sudah ia lakukan sebelum memulai acara. Namun, ternyata harapan itu runtuh saat melihat hasil tes menunjukkan kenyataan seperti bulan-bulan lalu. Sebuah perasaan hancur yang mungkin tidak semua wanita pernah merasakannya.
Seorang MC berjalan ke arah Faris dan Friska serta mengajaknya berbincang. Ekspresi wajah sang pemandu acara pun tampak kebingungan dan gugup.
“Mbak Friska, untuk acara pregnancy announcement-nya jadi gak?” tanya seorang lelaki tampan yang dipercaya Friska untuk memandu acara wedding anniversary-nya.
Friska dan Faris saling menoleh lalu tersenyum lebar. Tampak pancaran ketabahan terukir di wajah keduanya.
“Cancel aja. Kita langsung ke acara hiburan,” ujar Friska.
“Ohh,” desis lelaki itu dengan mengangguk pelan, ekspresinya datar seolah sudah bisa membaca situasi ini. “Oke, kalau begitu.”
Acara kembali berlangsung, MC pun langsung mengarahkan ke acara berikutnya yaitu pemotongan kue, acara dansa, menyanyi dan lain sebagainya.
Faris dan Friska pun tampak bahagia malam ini. Kesedihan dan kekecewaan seperti sirna dalam sekejap. Teman dan rekan-rekan mereka juga tak banyak yang menyinggung soal penantian buah hati pada pemilik acara, karena beberapa di antara mereka pun banyak yang mengerti bahwa soal keturunan adalah hal yang sensitif untuk dibahas.
Lain hal dengan Farida yang terlihat tidak bersahabat malam itu. Ia duduk dengan ekspresi masam. Membuat Lisda–besannya melangkah mendekat.
“Ada apa, Bu? Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Lisda dengan hangat. Ia duduk di kursi yang berada di sebelah Farida.
Wanita paruh baya itu tersenyum kecil dan menjawab, “Baik. Hampir aja, Friska melakukan kesalahan tadi.”
Lisda menautkan alis. Ia menoleh ke arah putrinya yang sedang bersenda gurau bersama teman-teman. “Memangnya ada apa dengan dia?”
Farida mengangkat bahu. “Biasalah, ngambekan aja. Keliru sama keadaannya. Terlalu di manja kali ya sama Bu Lisda dulunya?”
Lisda menghela napas. Di beberapa hal, besannya itu memang agak menyebalkan. Tapi ia tak mau ambil pusing. Mungkin putrinya memang sedang ada masalah saja.
“Lagi ada masalah aja kali, Bu. Sebagai orang tua, saya gak mau berpikir negatif sama anak. Tidak berani berkomentar apa-apa juga soal masalah yang sedang dihadapinya.” Lisda menarik napas. Kemudian ia memilih untuk beranjak.
Farida mencibir dengan tatapan sengit. “Ibu sama anak sama aja kayaknya!”
Ponselnya berdering. Ada sebuah pesan singkat masuk. Farida tersenyum lebar saat mengusap layar dan melihat pesan dari seseorang. Tampaknya begitu spesial untuknya.
Senyumannya semakin merekah saat ia melihat sebuah foto boneka beruang kecil beserta isi pesan di dalamnya.
“Aku akan lebih tega jika membiarkan dia berpisah dengan seseorang yang sangat dicintainya. Ma, kita hanya tidak sadar, kalau yang membuat Friska bisa bertahan sejauh itu hanyalah karena suaminya!” Zafriel menegaskan.Perasaannya mendadak tergoncang saat ini. Tetapi ia tidak mau terkalahkan oleh akal sehat.“Lupakan perjodohan itu! Aku akan tetap menjadi seorang dokter yang akan membantunya mewujudkan mimpi mereka untuk mendapatkan anak!” seru Zafriel pada akhirnya. Ia tidak ingin menjadi jahat jika menyetujui perjodohan konyol itu.Kirana menatap serius ke arah putranya dan kembali berujar.“Kamu munafik, Nak. Mama tau betul kamu sangat menginginkan dia! Kamu juga tidak ingin dia menangis karna terus menerus tersiksa batinnya. Ayolah, Nak. Perjuangkan dia sekali lagi! Dapatkan dia, dan bahagiakan dia!” Mendadak Kirana tersulut emosional dan justru mendukung perjodohan itu.“Tidak! Aku akan menjadi pencuri kalau seperti itu, Ma.” Zafriel tetap menolak.“Bukan! Kamu bukan pencuri! Kamu
“Apa-apaan ini?” gumam Friska yang masih tak percaya. Degup jantunya seperti berhenti berdetak.“Kami yakin, Zafriel adalah pria yang tepat untukmu. Dia pasti bisa membahagiakan kamu seperti Faris!” ucap Arya dengan yakin.“Tidak!!” tolak Friska cepat dan tegas. Membuat suasana menjadi semakin tegang. Friska tak pernah sebelumnya terlihat sangat tegas dan marah dihadapan keluarganya.Mungkin kali ini emosinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan semuanya karena satu persoalan, yaitu perihal keturunan. Suatu hal yang sangat sensitif di beberapa kalangan yang begitu mengharapkan.“Sudah cukup! Aku tidak mau berdebat lebih jauh lagi! Ini sudah terlalu berlebihan, Pa!” Napas Friska naik turun dengan berat. Tubuhnya mulai merasakan getaran akibat menahan tangis dan emosi. Daripada meledak, Friska memilih untuk menyudahi pertemuan itu.“Apa pun yang terjadi denganku
“Mama benar-benar keterlaluan! Kenapa sih dia ambisi banget sama keluarga itu?” Kini Amara yang terlihat sangat kesal.“Itulah, kelemahan papa, tidak bisa mengendalikan keinginan mamamu yang satu itu!” ucap Gandha.“Itu bukan kelemahan Papa. Tapi emang Mama-nya aja yang gak bisa di kasih tau!” ketus Amara.“Ya udah. Sekarang kita ke rumah sakit aja!” sambung Amara. Saat melihat ayahnya dalam keadaan yang kurang sehat.“Loh kenapa ke rumah sakit? Kita kan mau ke bandara!” kata Gandha.“Gimana aku bisa pergi kalau keadaan Papa kayak gini? Yang ada nanti Papa kenapa-napa sendirian!” ujar Amara yang melepas seat belt dan hendak menggantikan ayahnya untuk mengemudi mobil.“Papa udah lebih baik kok, Nak.” Gandha berusaha tersenyum.“Ya udah, kalau gitu kita pulang aja ke rumah. Papa harus istirahat biar aku balik ke Jerman lusa aja!” ujar Amara.Jadilah, Amara dan ayahnya memilih untuk pulang ke rumah. Sementara itu di lain tempat, Friska dan ayahnya beserta Mbah Putri sudah berada di sebu
“Apa yang Anda bicarakan, Bu Ratna?” Farida seolah tercenung melihat kedatangan Raden Arya juga ibunya itu.“Ucapanmu itu sudah sangat keterlaluan! Bukan hanya ucapan bahkan sikap dan perilakumu pada cucuku sudah tidak bisa dimaafkan!” tandas Mbah Putri.“Tapi apa yang saya bicarakan itu semua fakta! Memang Friska yang bermasalah dalam hal ini!” ujar Farida yang masih tampak angkuh.Mbah putri menghela napas dan menyeringai sinis. Sementara Friska hanya berdiri mematung. Ia enggan untuk bersuara lagi. Lelah berdebat dengan orang tua yang sangat egois itu.“Memangnya kamu punya bukti apa sampai mengira cucuku mandul? Apakah kamu sudah melihat rangkaian pemeriksaan medis? Lalu, bagaimana jika ternyata putramu yang bermasalah?” Mbah Putri menatap penuh menantang.“Itu tidak akan terjadi!” balas Farida.“Bu, sudahlah. Ingat! Apa tujuan kita datang ke rumah sakit ini!” bisik
Wajah gadis itu tampak penuh dengan kesedihan dan keterkejutan.“Ada apa, Yoana? Kenapa kamu menangis?" tanya Zafriel yang tampak terheran. Kemudian Yoana duduk di kursi yang berdekatan dengan Friska.Friska pun mengusap bahu Yoana yang bergetar. Perempuan itu masih berusaha keras untuk menenangkan diri sambil terisak-isak."Orang tua kami ...," suaranya gemetar.“Kamu harus mencoba untuk tenang, Yoana," ujar Friska sambil mengusap lembut bahu Yoana.Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Zafriel dan Friska memberikan Yoana waktu yang untuk bisa mengendalikan diri.Akhirnya, Yoana bisa mengatur napasnya kemudian perlahan menjelaskan.“Mama dan Papa ... mereka mengalami kecelakaan tunggal, Kak,” ucap Yoana dengan suara parau.“Benarkah? Kecelakaan?” Zafriel bertanya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.“Mereka mengalami kecelakaan beberapa jam lalu di Malaysia. Saat aku akan menyusul ke sana, pihak rumah sakit mengabari kalau mereka tidak bisa diselamatkan dan... meninggal.” Yoa
Gladies tersenyum tipis. Ia memang selalu berlebihan dalam hal apa pun, bahkan tanpa persetujuan orang tuanya, ia berani menjanjikan kerja sama antara perusahaan orang tuanya dengan perusahaan keluarga Faris. Itu fatal sekali.Untung saja Faris memiliki saham besar di perusahaan keluarganya sehingga apa pun yang terjadi tetap harus atas persetujuannya. Friska pun tidak tega melihat kegusaran ayahnya karena kesalahpahaman itu. Karena dana yang disuntikan pada perusahaan Gandha bukan jumlah yang main-main.“Oke, aku mengerti. Tapi terlepas soal itu semua, aku benar-benar minta maaf karena telah membuat kamu sedih, Friska. Karena mertuamu lebih sayang padaku dari pada kamu!” ucap Gladies yang kali ini mengalihkan topik.Sementara Friska hanya mendengus perlahan. Baginya Gladies seperti ABG yang hobi-nya mencari pengakuan.Friska menyeringai kecil seolah sangat jijik dengan pernyataan Gladis yang sama sekali tidak membuatnya merasa direndahkan. Justru Friska semakin memahami wanita sepert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments