Ana, gadis muda berwajah cantik dan bertubuh menawan, melamar pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga demi membiayai pengobatan ibunya di kampung. Ia diterima bekerja di rumah Kevin—pria mapan dan tampan, namun kesepian karena istrinya, Clara, sering pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Ketika Ana hadir dengan pesona polosnya yang menggoda, batas profesional dan godaan mulai kabur, dan Kevin mulai terperangkap dalam hasrat yang tak seharusnya ia rasakan.
View More"Sayang... malam ini, ya?" Kevin menghampiri sang istri dan berdiri di belakangnya kemudian meletakkan tangannya di bahu wanita itu lalu memeluknya dari belakang.
Clara hanya diam sejenak sebelum menjawab pelan, tanpa menatap suaminya di cermin, "Aku capek, Mas. Tadi lembur sampai jam sembilan. Kepala masih pening ini..."
Kevin menarik diri dengan pelan dan wajahnya langsung berubah begitu mendapat penolakan dari sang istri. Ia memang tidak membantah langsung, tapi sorot matanya menunjukkan rasa kecewa yang sudah sering berulang.
“Selalu saja begitu. Libur lagi, libur lagi,” keluh Kevin lalu menghela napas lelah.
Clara memejamkan mata sejenak, sedikit merasa bersalah tapi tubuhnya benar-benar letih. Ia tidak ingin berbohong, namun tidak juga ingin menyulut pertengkaran.
Kevin berdiri sejenak di sisi ranjang dengan tangan yang mengepal. Pernikahan mereka yang sudah terjalin sejak dua tahun ini yang awalnya romantis dan penuh cinta, kini terasa hambar ketika Clara memutuskan untuk kembali kerja dengan alasan bosan di rumah.
Kevin semakin kesepian karena Clara selalu pulang malam bahkan hampir setiap malam.
Dan akhirnya, Kevin mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Air mengalir deras di dalam, mengguyur tubuh Kevin yang mulai dipenuhi amarah dan frustrasi. Dia menyandarkan keningnya ke dinding keramik, mencoba menenangkan diri. Namun, hasrat yang sudah telanjur bangkit membuatnya akhirnya menyerah pada cara lama—bersolo sendiri.
Beberapa menit kemudian, Kevin keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya dibalut handuk, rambutnya masih basah. Ia melihat Clara yang sudah mematikan lampu meja rias dan berbaring memunggunginya.
"Besok akan ada pembantu baru. Namanya Ana yang akan menggantikan Rani. Dia mau nikah, jadi mau berhenti kerja," ucap Clara singkat, suaranya datar.
Kevin hanya bergumam kecil, "Terserah. Aku nggak peduli siapa yang kerja di rumah ini, asal rumah beres."
Clara mengangguk kecil tanpa membalikkan tubuhnya. Hening kembali melingkupi kamar, hingga Kevin akhirnya ikut berbaring dan memunggungi istrinya juga.
Pagi harinya, suara bel yang berbunyi membuat Kevin yang baru bangun dari tidurnya mengenakan kaus tipis dan celana pendek lantas membuka pintu utama tersebut.
Seorang perempuan muda berdiri di depan pintu. Usianya mungkin belum genap dua puluh lima, tubuhnya ramping, wajahnya bersih tanpa riasan, dan rambut hitam panjangnya diikat sederhana. Tatapannya tajam namun tenang.
"Permisi, Pak. Saya Ana. Ibu Clara bilang saya mulai kerja hari ini," ucapnya sambil menunduk sedikit.
Kevin sempat diam beberapa detik, mengamati Ana dari atas hingga bawah. Ia tampak ragu.
"Kamu... yakin mau kerja di sini?" tanyanya datar. Tampak meremehkan penampilan Ana yang sepertinya tidak pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Ana tersenyum bahkan tidak gentar sedikit pun. "Saya bisa kerja, Pak. Nggak usah khawatir. Semua pekerjaan rumah, saya bisa."
Pria berusia tiga puluh tahun itu masih diam dan menatap datar wajah Ana. Sebelum akhirnya dia mengangguk pelan. Namun, dalam hatinya dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin perempuan semuda dan secantik itu menjadi pembantu rumah tangga? Tapi, ia tak ingin ribet. Selama rumah beres, ia tak peduli siapa yang mengurus.
"Langsung ke dapur aja. Nanti Rani yang kasih tahu apa saja yang kamu kerjakan di sini."
Ana tampak sumringah begitu mendengarnya. “Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.” Ana kembali tersenyum lalu masuk dengan langkah tenang dan mengangkat tas kain kecilnya itu.
**
Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 20.47. Kevin duduk menyandar di sofa, mengenakan kaus hitam dan celana training, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tapi tidak benar-benar ia tonton.
Ponsel di meja samping bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Clara. Dengan malas, Kevin meraih ponsel dan membaca pesan itu.
"Sayang, aku lembur lagi. Kayaknya baru bisa pulang jam 10 malam. Maaf ya..."
Kevin mendengus pelan. Matanya melirik jam, lalu ia menjatuhkan tubuh lebih dalam ke sandaran sofa.
"Jam sepuluh lagi... tiap hari kayak gini. Istri apa robot sih?" gerutunya, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Suasana hening sejenak, sampai langkah ringan terdengar mendekat dari arah dapur. Ana muncul, mengenakan seragam rumah yang sederhana, rambutnya diikat rapi ke belakang. Ia berdiri beberapa langkah dari Kevin, tangan terlipat di depan tubuh.
"Pak Kevin... mau saya buatkan kopi? Atau teh, mungkin?" tanyanya dengan nada lembut dan sopan.
Kevin menoleh perlahan, menatap Ana sebentar lalu mengangguk. "Kopi aja. Tapi yang enak ya. Jangan asal seduh."
Ana tersenyum tipis, menundukkan kepala singkat. "Baik, Pak. Akan saya buatkan yang istimewa."
Kevin menatap Ana dengan tatapan datarnya lalu beranjak dari duduknya. “Antarkan ke kamarku kopinya.”
Ana menganga mendengarnya. Sedikit terkejut karena dia tidak biasa mengantarkan makanan atau minuman ke kamar pribadi majikannya.
“Kenapa? Apa perintahku terdengar berat, sampai buat kamu terdiam kayak gini?”
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sore tadi, Kevin membawakan sebuah lingerie tipis yang harus dia gunakan untuk melayani Kevin malam ini.Ana berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya ia sisir pelan, meski dengan tangan gemetar. Seragam kerja sudah dia tanggalkan, diganti dengan lingerie berwarna putih tulang—bersih, polos, dan justru membuat tubuhnya terlihat lebih rapuh.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Kevin:"Kamar tamu lantai dua. Sekarang."Ana menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal sepuluh juta saja. Ini tentang harga dirinya. Tentang seluruh garis batas yang selama ini ia jaga.“Maafkan aku, Ibu. Aku harus melakukan ini demi kesembuhanmu,” ucapnya dengan suara lirihnya.Dia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap dirinya sekali lagi di cermin di hadapannya.“Pada akhirnya, ucapan Pak Kevin benar. Aku menyerah dan menyerahkan diriku padanya. Aku benar-benar
Napas Ana berat ketika berdiri di depan pintu ruang kerja majikannya itu.Jujur saja, dia tidak ingin ke ruangan itu. Tidak ingin menatap wajah pria itu lagi setelah malam-malam penuh tekanan dan sindiran.Tapi, sudah tidak ada pilihan lain. Ia sudah mencoba segalanya. Semua kontak telah dia hubungi, tapi tidak ada yang mau meminjamkan padanya karena terlalu besar.Ana berhenti di depan pintu ruang kerja Kevin. Tangannya yang dingin terangkat dan mengetuk pelan dua kali.“Masuk,” terdengar suara pria dari dalam.Ana membuka pintu perlahan dan masuk. Kevin duduk di kursi kerja dengan kemeja santai dan celana panjang kain.Di meja kerjanya, sebuah laptop terbuka, namun perhatiannya langsung terarah pada Ana yang masuk dengan wajah pucat dan mata sembab.Ana berdiri beberapa langkah dari mejanya, menunduk. Tangannya meremas sisi rok seragamnya.Kevin memiringkan kepala sedikit. “Ada apa pagi-pagi begini kamu data
Setelah menenangkan diri sebisanya, Ana kembali ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang sempit itu dan menggenggam ponsel dengan tangan gemetar.Napasnya masih berat. Matanya sembab, tapi belum ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus segera bertindak. Harus mencari bantuan. Ibunya butuh pertolongan—dan waktu berjalan dengan cepat.Dengan jari yang masih sedikit bergetar, Ana membuka kontak di ponselnya.Pertama, Dinda. Teman satu kos saat masih bekerja paruh waktu di kafe dulu. Mereka cukup dekat dan Ana berharap wanita itu mau meminjamkan uang padanya.Telepon tersambung, nada sambung terdengar... satu kali, dua kali, tiga kali...Lalu klik.“Halo, Din, ini Ana.”“Hah? Ana? Ana yang mana ya?”Ana menelan ludah. “Ana... teman sekosmu dulu. Yang bareng-bareng kerja di kafe.”“Oh! Iya iya, Ana. Ya ampun, udah lama banget ya... ada apa, Na?”Ana menar
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari masih malu-malu menyelinap di antara tirai rumah mewah itu.Suasana rumah terasa lengang, hanya terdengar suara gemerisik halus dari dapur yang mulai hidup oleh aktivitas Ana.Ana sudah bangun sejak sebelum fajar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Meski hatinya masih terasa berat sejak percakapan panas malam sebelumnya, ia memilih untuk tetap melakukan tanggung jawabnya seperti biasa.Ia mencuci sayuran, menyiapkan bahan sarapan, dan menyalakan kompor gas dengan tangan yang sedikit gemetar—tapi tetap terkontrol.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap muncul di ambang pintu dapur. Kevin.Ia masih mengenakan baju tidur satin berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat rapi dalam kekacauan yang tampak dibuat-buat. Pandangannya langsung tertuju pada Ana—dan tidak berpaling.“Aku pikir kamu akan pergi dari rumah ini karena sudah tidak membutuhkan peke
“Maaf, Pak Kevin. Saya tidak bisa,” ucap Ana sembari menggelengkan kepalanya dengan pelan.Kevin sempat tak bereaksi. Tatapannya kosong selama beberapa detik seakan belum sepenuhnya memahami kata-kata itu.“Kamu ... tidak bisa?” ulangnya, nada suaranya berubah tajam. “Alasannya apa sampai kamu menolaknya, Ana?” tanyanya dengan suara dinginnya.“Saya tidak sedang menjual diri saya dengan menjadi pelayan nafsu Bapak.”Kevin menatap dingin wajah Ana. Rahangnya mengeras, kedua bola matanya menyala dengan emosi yang samar-samar tertahan.Ia cukup kecewa dengan jawaban Ana. Tapi, dia juga tidak mau memaksa Ana jika wanita itu tidak menyerahkan dirinya terlebih dahulu.Ana menelan ludah bahkan tak sanggup menatap wajah Kevin yang memperlihatkan wajah kesalnya.Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan getar ketakutan yang merayap perlahan di bawah kulitnya.“Saya bukan perempuan seperti itu, Pak Kevin. Kalau Bapak butuh wanita untuk melayani, silakan cari saja yang lain. Saya han
Ana sedang menyapu beranda depan ketika seorang kurir berseragam datang membawa paket kecil. Lelaki itu berhenti di depan pagar rumah dengan senyum sopan, lalu menyebutkan namanya.“Untuk Ibu Ana. Dari Bapak Kevin,” katanya singkat dan menyerahkan kotak kecil bersegel rapi.Ana sempat membeku. Nama itu—Kevin. Masih asing di mulutnya, tapi akhir-akhir ini begitu sering mengusik pikirannya. Ia menerima bingkisan itu dengan ragu, dan menatap kotaknya lama sebelum membukanya perlahan.Di dalamnya—obat-obatan yang telah ia cari berminggu-minggu untuk ibunya. Merek-merek asing, kualitas terbaik, lengkap, mahal—terlalu mahal.Tak mungkin ia beli sendiri dengan gajinya sekarang. Tangannya gemetar saat memegang nota pengiriman yang menyertai paket itu. Tertulis harga yang membuat napasnya tercekat. Bahkan untuk satu jenis saja, ia harus bekerja berbulan-bulan.Air matanya menumpuk di pelupuk mata, tapi tak ia biarkan jatuh.Saat ia kembali masuk ke dalam, langkahnya terasa berat. Baru saja men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments