Share

JSO 4

JATAH SUAMI ONLINE

JSO 4

Sepanjang malam Ratih tidak bisa tidur. Ia terganggu dengan pikirannya sendiri yaitu tentang pertemuan esok hari. Selama ini Ratih hanya melihat Damar dari foto-foto yang dikirim lewat pesan w******p, tetapi besok mereka akan bertemu secara langsung. Antara rasa penasaran dan takut menjadi satu dan bersarang dalam pikiran Ratih.

Ratih membolak-balikkan badannya, terkadang ia berhitung sampai ratusan berharap bisa segera tidur. Namun, matanya enggan mengatup juga.

Akhirnya Ratih mengambil wudu, ia salat sunah, membaca Al Quran hingga lama-lama ia kelelahan dan tertidur di atas sajadah.

Paginya, Ratih bangun kesiangan. Kinar sudah lebih dulu ada di dapur, Kinar sedang menanak nasi. Ia juga sudah menyapu lantai. Kinar anak yang rajin, tanpa diminta, ia selalu membantu pekerjaan ibunya.

“Kalau Ibuk masih sakit, Ibuk libur lagi saja. Kebutuhan rumah bisa pakai uangku dulu. Yang penting kondisi Ibuk pulih dulu,“ ucap Kinar saat melihat Ratih sedang membuat omlet.

“Nggakpapa, cuma nyeri sedikit. Nanti juga sembuh. Uangmu jangan dihambur-hamburkan. Ditabung biar bisa sekolah yang tinggi.“

“Aku bisa cari lagi, Buk. Aku baca artikel online banyak sekali lomba menulis remaja. Aku mau coba-coba ikut. Siapa tahu rezekiku ada di situ,“ ucap Kinar sambil menata meja makan.

“Terserah kamu saja, Nduk. Asal nggak ganggu sekolahmu, Ibuk selalu mendukung.“

“Nggak ganggu, kok, Buk. Aku sangat senang bisa membantu Ibuk.“

“Ya sudah, sana bangunkan adekmu, suruh salat dulu, mandi lalu makan.“

Rutinitas pagi di rumah kecil itu terasa sangat hangat. Rea dan Kinar adalah anak yang penurut, mereka jarang sekali bahkan hampir tidak pernah membuat Ratih marah. Kalau dulu, saat suami Ratih masih hidup, Rea sering merajuk dengan bapaknya, tetapi sejak bapaknya meninggal, kebiasaan buruk Rea itu pun ikut hilang.

***

Ratih berangkat ke toko naik angkutan, ia meminjam uang Kinar tiga ratus ribu, untuk bekal Rea dan dirinya. Ratih belum bisa berjalan jauh. Luka di lututnya bahkan terlihat memburuk. Namun, ia tetap nekat bekerja. Minimal, gajinya minggu ini bisa dipakai untuk makan minggu depan. Dan ia tak perlu merusak uang tabungan Kinar.

“Maaf, Mir, agak telat. Tadi jalanan macet,“ kata Ratih saat melihat Mirna sudah membuka toko dan tengah mengepel lantai.

“Kakimu sepertinya tambah parah? Jalanmu kelihatan banget nahan sakitnya.“

“Enggak, ini mungkin karena aku lepas plesternya, jadi bekasnya berdarah lagi.“

“Ya sudah, kamu timbangi gula saja. Biar yang beres-beres aku. Tadi Mbak Galuh mampir, katanya ada pesanan gula seperempatan kilo 300 bungkus, mau diambil nanti siang.“

“Baiklah. Aku mulai bungkus sekarang saja, mumpung belum ada yang beli, takut nggak keburu.“

“Nanti kalau ada yang beli biar aku yang layani, kamu fokus bungkus gula saja. Biar kakimu nggak banyak gerak, biar cepat kering.“

Ratih menurut, Ratih mencari bangku yang agak tinggi biar lututku tidak menekuk. Baru dapat berapa bungkus, sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi.

[Pesawatku sudah mau berangkat. Kemungkinan Zuhur aku sudah sampai Jogja. Tapi ada tempat yang akan aku kunjungi lebih dulu. aku jemput kamu jam 4 nanti.] Pesan dari Damar membuat mata Ratih melotot.

[Kamu serius datang? Aku kira .... ] Pesan yang Ratih kirim sudah centang satu, artinya ponsel Damar sudah dimatikan dan dia sudah di dalam pesawat.

“Duuuh!“ Ratih menepuk jidatnya.

“Kenapa, Ratih?" tanya Mirna yang melihat Ratih tampak gelisah dan kebingungan.

“Aku mau minta pendapatmu, tapi ... ah, aku bingung harus mulai cerita dari mana.“

“Katakan saja! Aku siap mendengarnya.“ Mirna ikut menyeret bangku, duduk berhadapan dengan Ratih. Tangan mereka sambil bekerja membungkus gula pasir.

“Begini ... ehm, beberapa bulan lalu, tepatnya lima bulan, aku kenal seorang laki-laki lewat faceb**k. Kita saling bertukar komen, lalu berbalas inbok, dan akhirnya bertukar nomor w******p.“ Ratih terdiam sejenak.

“Lalu? Dia orang mana? Kerja di mana?“

“Dia aslinya orang Solo, tetapi bekerja di Kalimantan, di tambang.“

“Waaah, orang tambang 'kan berduit, Tuh!“ celutuk Mirna.

“Dan aku punya hutang uang sama orang itu,“ ucap Ratih sambil menepuk jidatnya.

“Banyak?“

“Lumayan banyak buatku, tapi buat dia ya aku nggak tahu.“

“Dia nagih kamu, gitu?“

“Enggak.“ Ratih menggelengkan kepala. Mirna adalah teman yang tahu kalau Ratih punya hutang di beberapa tempat, salah satunya hutang ke Galuh. Dan kini ia juga tahu kalau Ratih punya hutang pada orang dari dunia maya.

“Lah terus masalahnya apa?“

“Hari ini dia datang. Sekarang sudah di pesawat dan nanti jam empat mau menjemputku ke sini,“ ucap Ratih sambil kembali menepuk kepala. Mirna melongo.

“Maksudmu? Dia ngajak ketemuan? Atau mau nagih hutang itu?“

“Mengajak bertemu, tapi aku juga takut kalau dia nagih hutang. Dan yang lebih takut lagi kalau dia ....?“

“Orang jahat? Tapi menurutku, kalau dia jahat, dia tidak mungkin sampai meminjamimu uang. Dia tahu kamu janda?“ tanya Mirna yang langsung mendapat anggukan kepala dari Ratih.

“Duuuh!“ Sekarang giliran Mirna yang menepuk jidat.

“Kenapa?“ tanya Ratih.

“Kamu tahu status dia?“

“Tidak, tapi aku pernah tanya dan dia tidak menjawab.“

"Bagaimana kalau dia suami orang?“

“Duuh, aku harus bagaimana, Mir. Aku takut. Tapi kalau tidak ditemui, dia sudah datang jauh-jauh dari Kalimantan. Kamu bisa temani aku temui dia?“

“Aduh, Ratih. Ini kan tanggal sepuluh. Aku ada arisan PKK dan aku nggak bisa libur karena aku pegang keuangan.“

“Jadi aku harus bagaimana?“

"Begini saja. Kamu temui dia, tapi di tempat keramaian, alun-alun atau mall gitu, jadi kalau dia macam-macam kamu bisa teriak minta tolong.“

Ratih terlihat sejenak berpikir. Ia tengah menimbang apa yang dikatakan Mirna. Dan sepertinya, ide Mirna adalah ide yang sangat tepat.

“Baiklah, aku akan temui dia, tapi nyari tempat yang aman," ucap Ratih mengakhiri percakapan mereka. Ratih sibuk kembali dengan pekerjaannya membungkus gula, sementara Mirna melayani pembeli di toko.

***

BANDARA ADI SUCIPTO YOGYAKARTA

Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar menarik koper berwarna merah tua. Ia mengenakan kaca mata hitam, kemeja berwarna navy yang lengannya digulung, dan celana jeans berwarna senada.

Pria itu adalah Damar Hikmawan. Direktur sebuah perusahaan tambang di Kalimantan. Orang yang selama ini hanya mengaku sebagai karyawan biasa di hadapan Ratih.

Dari arah berlawanan seorang perempuan cantik melambaikan tangan. Tubuhnya seperti model, langsing dan putih. Pakaian yang ia kenakan sangat modis, rambutnya diikat ke atas hingga menunjukkan lehernya yang jenjang.

Melihat kedatangan Damar ia melambaikan tangan, Damar menyambut lambaian tangan itu, lalu melebarkan tangannya. Perempuan itu berlari mendekat, bibirnya menebar senyum, menunjukkan giginya yang putih dan rapi. Begitu sampai di depan Damar, perempuan itu langsung menghambur ke pelukan Damar. Memeluknya erat, sangat erat. Damar pun menyambutnya, ia melakukan hal yang sama.

“Apa kabarmu, Sayang?“ ucap Damar tanpa melepaskan pelukan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status