Share

JSO 5

“Baik, Pa. Papa apa kabar?“

“Sangat baik, Sayang. Sudah hampir setahun kita nggak ketemu dan sekarang kamu terlihat makin cantik,“ puji Damar kepada Clarisa. Gadis blesteran Indonesia-Itali yang tak lain adalah putri kandung Damar. “Bagaimana sekolahmu?“ lanjut Damar.

“Ceritanya nanti di rumah saja. Nenek sudah menunggu dan Papa tahu, 'kan? Nenek tidak akan berhenti mengomel kalau kita sampai terlambat pulang.“

“Baiklah, ayo kita pulang!“

Mereka berjalan berdampingan. Jika dilihat dari belakang mereka nampak seperti pasangan suami istri. Clarisa sekolah di Itali sejak SMA, ia ikut Mamanya di Itali dan akan pulang ke Indonesia satu tahun sekali untuk menemui Damar dan Aida neneknya.

Perjalanan dari Bandara ke rumah Damar hanya satu jam lebih sedikit. Rumah mewah dan besar itu dijaga oleh dua orang satpam di pintu gerbang. Mereka berdua menunduk saat mobil Damar masuk. Clarisa melambaikan tangan, sementara Damar hanya menganggukan kepala.

“Nenek, kami pulaaang!“ teriak Clarisa begitu pintu rumah dibuka.

Seorang wanita tua yang cantik keluar dari ruang tengah. “Hey, Sayang. Mana papamu?“ tanya Aida.

“Itu!“ tunjuk Clarisa. Damar yang masih berada di belakang segera mendekat, mencium tangan Aida, lalu memeluknya erat.

Mereka langsung menuju meja makan. Menikmati banyak menu masakan jawa sambil bercerita tentang satu tahun yang telah mereka lewati.

“Setalah makan kalian istirahatlah. Kalian pasti capek.“

“Saya ada sedikit urusan di Jogja, Bu. Jadi saya mau keluar sekarang biar nggak terlambat,“ ucap Damar seraya melirik jam tangannya.

“Apa nggak bisa ditunda besok? Kamu baru saja datang, masak mau pergi lagi,“ sahut Aida pelan.

“Saya sudah janjian, Bu. Cuma sebentar. Sebelum jam tujuh malam nanti, semoga sudah sampai rumah. Oiya, aku pergi naik motor saja. Biar nggak kena macet.“

“Paaa, Clarisa boleh ikut?“

“Kali ini tidak! Papa perginya naik motor, besok Papa ajak kamu jalan-jalan.“

“Yaaa, Papa. Clarisa 'kan pengen naik motor.“

“No! Sekarang kamu istirahat, besok kita jalan-jalan.“

Damar gegas keluar. Sudah jam dua lebih. Ia bahkan belum sempat membuka ponsel untuk mengabari Ratih kalau dirinya sudah tiba di Yogyakarta. “Ah, nanti saja kalau sudah sampai di pasar Beringharjo,“ lirih Damar sambil menyalakan motor kesayangan, yang selalu ia pakai setiap kali pulang ke Solo.

Hampir jam empat sore, Damar sudah sampai di pasar. Ia membuka ponsel dan membaca pesan terakhir Ratih. Dua menit sebelum ia naik pesawat. Damar menekan nada panggil, tetapi telepon Ratih tidak diangkat. Mungkin ia masih sibuk di toko. Karena sebentar lagi jam pulang.

[Share lok, ya. Aku sudah sampai pasar.] Damar menunggu di kedai angkringan di depan pasar.

***

Sementara di toko, Ratih tengah gusar. Beberapa kali panggilan telepon dari Damar ia abaikan. Sampai ada bunyi notifikasi pesan, Ratih hanya memegang ponselnya, ia berjalan hilir mudik kebingungan.

“Sudah temui saja. Kamu orang baik, Ratih. Kamu pasti bertemu dengan orang yang baik-baik juga.“

“Tapi aku masih takut kalau ....“ Ratih membuang napas kasar.

“Aku temani sampai dia datang. Nanti setelah lihat orangnya kamu masih tetap tidak yakin, kamu tinggal cari alasan untuk tidak melanjutkan pertemuan itu. Aku akan mengantarmu pulang. Sudah, cepat! Aku ada arisan.“

Ratih hanya mengangguk, ia mengambil ponsel lalu mengirimkan lokasi kepada Damar.

[Baik, aku segera meluncur.] Jawaban singkat Damar membuat keringat di tubuh Ratih keluar. Untuk mengurangi rasa cemas, ia segera membantu Mirna menutup toko.

Sebuah motor ninja berwarna merah hitam berhenti di depan toko. Ratih dan Mirna saling melempar pandang.

“Mungkin dia, Tih,“ bisik Mirna. Ratih hanya mengangguk. Ratih pernah melihat motor itu dibuat story w******p oleh Damar, jadi Ratih yakin kalau orang itu adalah Damar.

Damar membuka helm, turun dari motor, lalu berjalan mendekati Ratih dan Mirna yang duduk di depan toko.

“MasyaAllah, ganteng banget, Tih. Kamu nemu pangeran di mana?“ bisik Mirna sambil menarik-narik kaos Ratih. Ratih tidak menjawab. Perasaannya sudah semakin tak karuan. Damar yang ia lihat sekarang jauh lebih tampan dari Damar yang di foto.

“Ratih?“ sapa Damar mengulurkan tangan. Dengan gemetar, Ratih mengangguk sambil menerima uluran tangan itu.

Ratih seperti salah tingkah. Semua foto yang dikirimkan ke Damar selama ini adalah efek filter dan pencahayaan dari ponsel. Sekarang saat melihat wajah Ratih yang asli mungkin Damar akan kecewa dan langsung pergi meninggalkannya.

“Apa kabar?“ Pertanyaan Damar membuyarkan rasa cemas Ratih. Ia kembali tersadar dari lamunannya.

“Ba-baik,“ jawab Ratih gugup. Damar mengulas senyum. “Kenalkan, ini Mirna temanku.“ Mirna mengulurkan tangannya, Damar menyambutnya tanpa melepas senyum.

“Kita langsung mau jalan? Atau ...?“ tanya Damar menggantung.

“Ratih, Mas Damar, saya mau permisi dulu. Sudah ditunggu.“ Mirna menepuk bahu Ratih lalu berjalan cepat menuju motornya.

“Mir ... Mirna, sebentar!“ Panggilan Ratih hanya mendapatkan lambaian tangan dari Mirna.

“Kamu kenapa? Masih takut sama aku?“ tanya Damar menangkap kegugupan Ratih.

“Ehm enggak, aku nggakpapa.“

“Ya sudah. Kita mau ke mana? Atau kalau kamu takut, kita ke rumahmu saja!“

“Eh, jangan. Rea dan Kinar pasti terkejut melihat kamu.“

“Baiklah, kita cari makan saja. Kamu pasti belum makan, 'kan?“

“Sudah tadi siang," jawab Ratih singkat. Padahal Ratih berbohong, pekerjaan toko yang banyak membuatnya melewatkan makan siang.

“Makan sore 'kan belum? Kalau kamu nggak mau makan, temani aku makan. Kamu bisa pesan kopi atau teh atau apa pun yang kamu mau.“

Damar berjalan duluan, Ratih di belakang berjalan pelan. Kakinya masih sedikit pincang.

“Kakimu kenapa?“ tanya Damar begitu melihat Ratih menyeret langkahnya.

“Jatuh kemarin. Tapi ini sudah lebih baik, kok.“

“Apa perlu kita ke Dokter?“

“Nggak usah, sudah bisa buat jalan jauh.“

Damar menatap Ratih dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan yang ia kenal lima bulan lalu itu memang tidak secantik apa yang dilihatnya saat bertukar foto. Namun, entah kenapa ada sesuatu yang menarik dari dalam diri Ratih yang membuat Damar menginginkan Ratih lebih dan lebih.

“Ayo, naiklah!“

Ratih menurut, entah kenapa kini ia yakin kalau Damar bukan orang jahat. Ia naik motor Damar, menembus jalanan kota Yogyakarta yang mulai basah oleh gerimis.

Damar berjalan semakin jauh, dan kini Ratih mulai merasa cemas. Bukankah tadi Damar berkata hanya ingin mengajaknya makan? Banyak rumah makan di sekitar pasar, tetapi Damar justru membawanya jauh ke pinggir kota. Tentu saja dengan kecepatan motor yang di atas rata-rata.

Ratih mulai takut, ia mencoba menepuk bahu Damar sambil bertanya mereka mau ke mana. Namun, Damar tak menjawab, ia terus membawa motornya hingga perbatasan Yogyakarta dan Solo.

“Mas Damar, turunkan aku. Kumohon!“ teriak Ratih sambil menarik jaket kulit yang Damar pakai.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status