Damar semakin kencang melajukan motornya. Ratih ketakutan, ia meremas jaket kulit Damar. Dalam hatinya berdoa, bermacam-macam doa ia panjatkan. Sampai akhirnya motor Damar berhenti di sebuah Klinik di pinggiran kota Yogyakarta. Ratih gemetar, ia turun dari motor lalu jongkok sambil mendekap kaki. Ratih menangis, ia benar-benar ketakutan. “Kumohon, kasihani aku. Aku masih punya dua anak yang harus aku hidupi. Tolong jangan sakiti aku!“ ucap Ratih gemetar, wajahnya menunduk, ia takut melihat Damar. Damar ikut jongkok di depan Ratih. Ia menyentuh bahu Ratih, tetapi tangan Ratih menepisnya dengan cepat. “Aku tidak akan menyakitimu, Ratih. Lihatlah! Aku membawamu ke klinik. Kita periksakan kakimu. Kakimu bisa infeksi kalau tidak dirawat.“Ratih mengusap airmata lalu mendongak. Benar, ia membaca papan besar sebuah klinik kesehatan. “Kenapa harus sejauh ini? Kamu benar nggak akan macam-macam, 'kan?“ tanya Ratih. Ia berdiri, lalu mengedarkan pandang. “Memangnya tampangku seperti penjaha
Selesai rutinitas malam, Ratih merebahkan diri di kamar. Ia membuka ponsel yang sudah beberapa saat terabaikan. Pesan dari Damar yang sudah masuk dari tadi baru sempat ia buka. Tidak membalas pesan itu, Ratih justru membuat story whatsapp. “Terima kasih untuk hari ini, hari yang sangat melelahkan.“[Belum tidur?] Selang dua menit, Damar mengirimkan pesan lagi. [Sebentar lagi.][Aku yang harusnya mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah mau menemuiku.] Damar menambahkan emoticon tangan saling bertautan. [Sama-sama. Aku juga mau ngucapin makasih. Makasih sudah membawaku ke Dokter. Tapi ....][Tapi kenapa lagi?][Kenapa kamu bayar taksinya mahal sekali?][Hahaha, aku kira apa. Biar saja, itu rezekinya bapak sopir taksi. Kasihan, dia kerja sampai malam.][Gajiku satu minggu saja nggak sampai segitu.][Memangnya berapa gajimu di toko?][Sudah nggak usah dibahas. Aku tidur dulu, ya!][Sebentar!][Apa lagi?][Apa kamu nggak punya keinginan menikah lagi?]Mendengar pertanyaan itu, tiba
“Kamu nyari siapa, Tih?“ tanya Mirna saat Ratih sudah kembali. “Orang yang kirim makanan itu, dia kirim pesan WA.““Siapa memangnya? Damar?““Bukan.““Lalu siapa?““Radit, tetanggaku. Enaknya gimana, nih? Aku balikin saja, ya, makanannya. Aku takut istrinya marah.““Owh dia sudah punya istri?“ tanya Mirna lagi. Ratih mengangguk. “Kalau kamu balikin sekarang terus istrinya tahu, apa kamu yakin nggak akan ribut juga?““Lalu aku harus gimana?““Kita makan saja. Anggap ini rejeki siang hari ini. Nah, kamu balas tuh chatnya, bilang nggak usah kirim-kirim makanan lagi. Misal tetep ngirim kamu ancam saja mau ngadu ke istrinya. Pasti dia mikir, itu pun kalau dia takut ribut sama istrinya.“Ratih memikirkan apa yang dikatakan Mirna, semua ada benarnya. Untuk kali ini, biarlah dianggap rezeki. Esok atau lusa, kalau Radit masih berani kirim makanan lagi, baru Ratih akah bertindak tegas. ***“Kenapa ayamnya nggak dimakan, Tih?“ tanya Mirna saat melihat Ratih hanya melahap nasi dan sambalnya saj
Seharian tanpa kabar dan sekarang Damar sudah ada di depan rumah Ratih? Ratih menutup mulut tak percaya. Kinar menatap Ratih penasaran, ia mengerutkan keningnya. Ratih berjalan ke ruang tamu, mengintip dari korden yang sudah tertutup rapat tanpa melepas ponsel dari telinganya. Damar tahu Ratih mengintip dari balik korden. Ia tersenyum, mematikan ponsel, lalu mengetuk pintu rumah. Dengan ragu Ratih membuka pintu. Kinar ikut mendekat, ia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. “Assalamualaikum.“ Damar mengucapkan salam, ia menyembulkan senyum dari wajahnya yang tampan. “Waalaikumsalam,“ jawab Ratih pelan. “Maaf bertamu malam-malam. Apa boleh masuk?““Oh, ehm, iya, silakan masuk!“ Ratih terlihat sedikit gugup. Damar duduk berseberangan dengan Ratih. Melihat Kinar berdiri di dekat buffet kayu, Ratih memanggil Kinar, lalu mengenalkannya pada Damar. “Kenalkan, ini Kinar anakku yang pertama. Kinar, ini Om Damar, beliau teman ibuk.“Damar mengulurkan tangan. Kinar menyambutnya, te
“Hati-hati, Mbak, kalau ngomong. Saya bisa tuntut Anda!" Damar ikut bicara. “Heh, aku Bu RT di sini, ya. Aku bisa usir kamu dari sini!““Menuduh tanpa bukti bisa dipidanakan, saya bisa membayar pengacara untuk membuat Anda di penjara!“ imbuh Damar. "Sudah, cukup! Baik, aku tidak akan ngobrol dengan suamimu lagi. Tapi tolong jangan bikin keributan dan katakan pada suamimu jangan ganggu hidupku lagi.““Baik, jika aku melihat kamu dekat-dekat dengan suamiku lagi. Maka aku akan melaporkan kalian dengan pasal perselingkuhan. Ngerti!“ bentak Tika. Ratih hanya mengangguk. Biasanya Tika tak seperti itu. Mungkin orang-orang yang tidak suka dengan Ratih membuat laporan yang tidak-tidak yang akhirnya menyulut cemburu di hati Tika. Tika pergi dengan mulutnya yang masih meracau tak jelas. Damar menatap Ratih sangat tajam. Damar mendekati Ratih. “Maafkan aku! Aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu.““Kamu nggak salah. Memang sudah resiko jadi janda, ya, seperti ini.“ Kelopak mata Rati
JSO 11Ratih merasakan mendengar suara orang bercakap-cakap. Ada yang menggenggam tangannya dan nyeri di kepala sudah sedikit berkurang. Ratih membuka mata. Ia sudah berada di rumah, terbaring di kursi panjang di depan televisi. Rea erat menautkan jemarinya sambil terisak. “Buk, Ibuk sudah sadar?“ Panggilan Rea membuat Ratih mengangguk. “Kamu sudah sadar Ratih?“ tanya Radit yang berdiri di sana bersama beberapa warga. Ratih duduk sambil mengurut keningnya. “Iya, aku sudah baik.““Warga menemukanmu pingsan di samping gapura. Mereka membawamu pulang, lalu menghubungiku.““Mbak Ratih, kalau masih panas kita antar ke rumah sakit saja Pak RT," ucap Pak Joni, pemilik warung di ujung gang. Kabarnya, beliau yang pertama kali menemukan Ratih pingsan di jalan. “Nggak perlu, aku sudah baik, kok. Nanti minum obat lagi juga sembuh. Terima kasih semuanya. Maaf sudah merepotkan Bapak Ibu semua.“ Mendengar pernyataan dari Ratih beberapa orang pamit meninggalkan rumah Ratih, hanya tertinggal Bu T
Ratih melongo, ia memandang ponsel tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tahu Damar sedang bercanda. Tidak mungkin seorang lelaki sesempurna Damar bisa menyukai dirinya yang berparas biasa-biasa saja. Ratih menepuk-nepuk pipinya. “Halo ... Ratih, kamu masih di situ, 'kan? Halo!“Ratih bukan Cinderela. Cerita seperti itu hanya ada di dalam negeri dongeng dan sinetron ikan terbang saja. Ini dunia Ratih, seorang janda beranak dua yang tidak memiliki sepatu kaca. “Halo, Ratih. Aku yakin kamu masih mendengarku.““Iya, aku mendengarmu. Mendengar leluconmu! Jangan mengajakku bercanda, Tuan. Anda salah tempat.““Kenapa nada bicaramu jadi seperti itu? Aku sungguh-sungguh! Dengan cara apa aku harus membuktikan keseriusanku?““Mas Damar tahu? Aku sekarang sedang duduk di depan cermin, dan aku sedang memandang diriku sendiri. Aku tahu diri, Mas.““Benar, aku bisa mencari istri seperti artis. Mantan istriku pun seperti artis. Tapi aku maunya kamu.““Mas Damar pasti hobi nonton sinetron ikan te
Notifikasi dari m-Banking berbunyi. Transaksi transfer masuk dan saldo rekeningnya bertambah. Netra Ratih membola melihat jumlah angka yang tertera di sana. [Kirimkan nomor rekeningmu, aku akan mengembalikannya, aku tidak bisa menerima uang darimu.] Ratih langsung mengirim pesan kepada Damar. [Pakai untuk berobat, jika kurang, nanti kutransfer lagi.][Aku tidak mau! Aku masih punya uang untuk berobat.][Kalau begitu, gunakan untuk membayar semua hutang-hutangmu. Lalu, istirahat di rumah. Jangan bekerja dulu sampai kamu sembuh!][Bagaimana bisa begitu? Aku tidak mau dikasihani.][Aku tidak sedang mengasihanimu. Aku sedang melaksanakan kewajibanku sebagai suami. Aku tidak mau anak-anak dan istriku terlantar.][Suami?][Iya, meski masih menjadi suami online-mu.][Kita tidak punya kesepakatan untuk itu. Tidak ada pernikahan dan tidak ada suami ataupun istri!] tegas Ratih. [Aku tidak butuh persetujuanmu, aku hanya melakukan apa yang aku inginkan. Dan aku senang melakukan ini. Aku senang