LOGIN31“Jangan mengharapkan apa pun lagi darinya? Itu juga mauku kalau bisa, tapi sejauh ini, hatiku nggak bisa melupakannya begitu saja. Aku begini juga gara-gara melihatnya sebagai manager waktu itu. Apa perasaanku ini salah? Kenyataannya dia, kan, memang masih istriku. Manager yang bikin aku terpana adalah istriku sendiri. Boleh kan, aku mempertahankannya?”Di dalam mobil, aku berbicara sendiri. Agak kesal pada ucapan Agni tadi, ditambah dia langsung pergi tanpa mau mendengarkan perkataanku lebih dulu. Kesal, tetapi aku terlanjur ingin memilikinya.*POV Agni“Ni, bagaimana caraku untuk menebus kesalahanku padamu?”Jam istirahat, Mas Ghani meneleponku. Ia tak bisa datang ke restoran hari ini.“Apa, sih, Mas. Nggak perlu menebus apa pun. Aku memaklumi semua yang terjadi, kok. Mama udah baikan, kan?”“Alhamdulillah, Ni. Tapi, aku masih disuruh tunggu di sini. Belum boleh urus kerjaan.”“Iyalah, Mas. Rawat Mama dulu. Maaf, kalau aku nggak bisa jenguk. Rumah sakitnya jauh, Mas.”“Udah dido
30“Loh! Arfan?” ucap Mbak Olif saat aku keluar dari mobil.“Iya, Mbak,” balasku sambil melangkah mendekat.“Kok, kamu bisa bersama Agni?”“Bisa, Mbak. Aku diundang juga di pesta ulang tahun itu.”Aku meminta bersalaman padanya.“Wah … bisa gitu, ya? Takdir kalian unik banget.”“Biasa aja kali!” ketus Agni yang mengurungkan masuk rumah.Aku sempat melihatnya terkejut, lalu mendelik ke arahku yang memutuskan keluar dari mobil. Padahal dilarang olehnya. Aku keluar gara-gara disuruh Mbak Olif. Harusnya bukan salahku seutuhnya.“Ni ….”Aku melihat bola mata gadis itu diputar ketika Mbak Olif memanggilnya sebagai teguran.“Aku aja nggak nyangka, Mbak,” ucapku tetap melengkungkan senyuman.Mbak Olif seperti mencari sesuatu pada mobilku karena sorot matanya tertuju ke arah sana. Namun, aku melihat keraguan di wajahnya saat hendak mengungkapkan sesuatu.“Nyari apa, Mbak?” tanyaku ikut melihat ke belakang.“Iya, ya, mobil kalian ternyata beda. Warna dan modelnya aja yang hampir mirip. Ditambah
29“Aku akan pesankan taksi online buatmu saja, ya,” ujar Ghani lagi, ia mulai fokus pada ponsel. Meski wajahnya terlihat gelisah.“Lebih baik, Anda langsung berangkat ke rumah sakit saja, Pak Ghani. Mungkin Anda sudah sangat ditunggu di sana. Soal Mbak Agnia, aku yang akan antar sekalian bertanggung jawab soal gaunnya yang kena noda gara-gara kesalahanku,” ucapku.Ghani melihatku sekilas, lalu berpindah pada Agni.“Kamu nggak apa-apa, Ni?” tanyanya, padahal tidak perlu bertanya begitu. Aku harap, ia cepat pergi.Aku melihat Agni gelisah pula. Mungkin banyak sekali pertimbangan yang berseliweran di kepala. Namun, aku sangat berharap kalau dia akhirnya pasrah pergi bersamaku.“Ya udah, Mas. Kamu pergi ke rumah sakit secepatnya. Nggak usah pesankan taksi online, nanti kelamaan. Yang ada di rumah sakit lebih penting, Mas,” ucap Agni.Ponsel yang digenggam oleh Ghani berbunyi lagi.“Aku ditelepon lagi. Aku harus pergi. Maafkan aku, Ni. Lain waktu, aku akan menebusnya,” ucapnya sambil berj
28Decak kasar keluar dari mulutku. Kedua alisku bahkan mengerut.“Sial! Dia mau dibelikan gaun pesta itu,” gumamku.Aku akui, penampilan Agni saat ini begitu menawan. Ia benar-benar terlihat sangat cantik. Lelaki manapun sepertinya akan memujinya cantik, walau aku tahu bagaimana dia dulu bentukannya. Namun, saat ini, ia sangat jauh berbeda. Apalagi dia manager yang membuatku berdebar saat pertama melihat, bahkan aku kejar karena ingin sekali mengenalnya.“Pak Arfan, maaf untuk yang tadi.”Suara perempuan di sebelahku membuatku menoleh. Dia Ivana yang sudah berdiri di dekatku.“Iya … nggak masalah,” jawabku singkat.“Kalau begitu, terima kasih, Pak. Untuk hadiahnya juga, walau aku nggak bisa menyebutnya spesial seperti yang dikatakan Mbak Agni.”“Sama-sama.”Aku beneran tidak mau banyak bicara dengan Ivana, apalagi setelah kalimat itu keluar dari lisan Agni, seolah dia menuduhku ada hubungan dengan Ivana. Ingatanku memutar lagi tentang perbuatan Ivana saat membersihkan bibirku pakai t
27Agni bareng Ghani ke pesta ulang tahunnya Ivana? Apa-apaan ini!Rasa terkejutku berubah menjadi kesal, apalagi saat pandanganku bertemu dengan Agni. Senyumannya seolah sinis sekali padaku. Apa yang dipikirkannya?“Aku koreksi ucapanmu, Va. Yang bersamaku ini bukanlah pacarku. Dia temanku. Kalau soal cantik, itu fakta,” ujar Ghani menanggapi ucapan Ivana.Agak lega mendengarnya, tetapi kalimat akhir yang terucap itu tetap saja membuatku sebal.Beraninya ngomong begitu di depanku.“Oh … Pak Arfan ternyata diundang juga ke sini, ya? Senang bertemu lagi dengan Anda, Pak. Apakah Anda datang ke sini sendirian, atau bersama istri?” tanya Ghani lagi, kali ini ditujukan kepadaku. Bahkan, ia mengulurkan tangan kanannya sambil mengulas senyuman.Dengan terpaksa, aku menyambut tangannya. Ujung bibir ditarik agar mau tersenyum padanya.“Aku sendiri, karena istriku lagi pergi bareng temannya,” jawabku sambil melirik sebentar pada Agni.“Oh, gitu, ya? Mungkin istri Anda lebih nyaman pergi bareng
26POV Agni“Mau ke mana kamu, Ni?” tanya Mbak Olif saat melihat penampilanku yang sudah rapi baru keluar dari kamar.Di saat yang sama, pintu depan diketuk dari luar.Meski masih menyimpan rasa penasaran, Mbak Olif memutuskan untuk pergi ke depan. Aku membuntut walau sebenarnya sudah menduga siapa yang datang di balik pintu.“Assalamualaikum, Mbak,” ucap seseorang saat pintu itu sudah terbuka.“Waalaikumsalam. Oh … Ghani ….”Mbak Olif beralih melihatku yang ada di belakangnya.Aku tersenyum.“Aku mau izin ajak Agni pergi ke pesta ulang tahun temanku, Mbak,” ucap Mas Ghani membuat Mbak Olif fokus padanya lagi.“Iya, Mbak. Aku mau pergi ke pesta ulang tahun temannya Mas Ghani. Kalau udah selesai, aku langsung pulang. Janji, deh,” ucapku sambil nyengir.Aku melihat raut wajah bimbang pada kakakku itu. Mungkin seperti kemarin yang dipikirkannya. Ia takut aku kena fitnah gara-gara pergi bareng lelaki lain, sedangkan statusku masih istrinya orang. Namun, aku tak ingin jauh-jauh memikirkan







