Setiba di mansion mewah kediamannya, Rosie bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia menggosok seluruh tubuh terutama di bagian-bagian yang telah dijamah pria asing itu kuat-kuat hingga kulit putih mulusnya memerah, tak lupa menggosok gigi dan berkumur puluhan kali. Ia merasa dirinya sangat kotor saat ini.
Air matanya tumpah bersamaan dengan guyuran shower di atas kepalanya. Perlahan dipejamkannya mata dan ingatannya terbang kembali ke masa lima tahun yang lalu.
“Mulai sekarang tinggalkan karirmu sebagai aktris, Ayah akan menikahkanmu dengan putra relasi ayah, Richard Eddison!”
Rosie masih ingat betul kata-kata ayahnya, Sebastian White waktu itu. Ia masih berusia 22 tahun dan sedang berada di puncak karir sebagai aktris muda berbakat ditunjang dengan wajah cantik, mata biru, rambut emas, dan tinggi 172 cm bak model dunia.
Rosie sudah menekuni dunia akting sejak usia 17 tahun, karena dengan berakting ia dapat mengekspresikan diri sekaligus mengusir kesepian setelah ibunda tercintanya meninggal dunia. Sementara ayahnya yang ambisius terlalu sibuk mengembangkan bisnisnya.
Namun saat ayahnya memaksa Rosie meninggalkan dunia akting, Rosie terpaksa menerima perjodohan itu.
Resepsi pernikahan dilangsungkan dengan megah karena mengundang pengusaha-pengusaha sukses di negara tersebut, juga beberapa pejabat tinggi.
Di hari itu juga Rosie berjanji akan melalui semua bersama-sama dengan Richard, dengan berusaha menjadi istri terbaik untuk suaminya. Ia percaya suatu saat kesabarannya akan membuahkan hasil. Bukankah batu karang yang keras sekalipun akan terkikis dihantam ombak setiap waktu? Apalagi sebuah hati.
Namun ternyata kenyataan tidak semudah pikiran naif istri malang itu.
Rosie keluar dari kamar mandi setelah merasa jauh lebih tenang dan segar kembali. Ia menuju ke pantry untuk menyiapkan makan malam. Ia akan memasak makanan kesukaan Richard, makaroni keju dan salmon alaska panggang.
Seperti kata pepatah yang pernah ia dengar, cinta berawal dari perut naik ke hati.
“Aaaww!” Rosie meringis menyadari jari telunjuknya teriris saat ia sedang memotong salmon. Ia segera membersihkannya dengan air yang mengalir dari kran bak cuci piring lalu meraih kotak P3K dan membalut jarinya dengan plester penutup luka.
Apakah ini? Perasaannya mendadak berubah tak tenang, seperti ada firasat buruk. Apakah ada hubungannya dengan Richard?
Sebuah notifikasi muncul di ponsel Rosie yang ia letakkan di atas kitchen island menarik perhatiannya. Ia meraih ponsel dan menggeser layar untuk membukanya. Ada pesan dari Selena
Rosie membuang nafas kesal, pasti gadis cerewet itu berniat mencercanya habis-habisan perihal pria panggilan yang ditolaknya itu.
Namun kemudian ia memutuskan untuk tetap menelponnya karena tahu konsekuensinya bila diabaikan, Selena akan menterornya dengan misscall bertubi tubi.
“Hai!” sapa Rosie.
“Rosie?”
“Selena, aku minta maaf karena…”
“Sst!” terdengar desisan di seberang menyuruhnya bungkam. Rosie mengernyitkan kening tak mengerti. “Kau ingin menangkap basah suamimu?”
Rosie terkesiap, darahnya terasa berhenti mengalir. Ia tak tahu harus menjawab apa, karena tak yakin siap menyaksikan pria yang dicintainya bersama kekasih gelapnya dengan mata kepala sendiri.
“Rosie?”
“Aku tidak tahu,” jawabnya perlahan.
“Ku-kirim alamatnya sekarang, terserah kau mau datang atau tidak!” tukas Selena.
Semenit kemudian muncul notifikasi lagi dari Selena yang berisi info sebuah alamat rumah yang ia tahu ada di kawasan real estate mewah.
Setelah menimbang, Rosie memutuskan untuk pergi ke alamat yang ada dalam pesan sepupunya dan ia akan memaksa suaminya meninggalkan perempuan itu, bagaimanapun caranya.
Rosie tiba di rumah yang dimaksud setelah hampir satu jam perjalanan. Sebuah rumah yang cantik dengan gaya mediterania, entah berapa ratus ribu dollar yang dikeluarkan suaminya untuk membelinya. Gadis itu pasti sangat istimewa bagi Richard, batin Rosie cemburu.
Ia menghentikan mobilnya di samping rolls-royce hitam yang ia tahu adalah mobil kesayangan suaminya. Ia keluar dari mobil dengan anggun dan langsung disambut oleh sopir suaminya, Anthony.
“Nyonya?” wajah Anthony tampak kaget tak percaya bercampur panik.
“Aku ingin bertemu suamiku,” Rosie menatap Anthony dingin.
“Aah..ehmm.. saya rasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu Tuan Richard,” Anthony berusaha menghalangi langkah majikan perempuannya.
“Oh ya, mengapa?” Rosie meletakkan kedua tangannya pada pinggang rampingnya lalu meneruskan, ”Karena suamiku sedang bekerja keras memuaskan nafsunya, begitu?”
Mata Anthony membeliak, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Rosie mendorong tubuh Anthony ke samping dengan tak sabar lalu meneruskan masuk ke dalam rumah. Anthony berusaha mengejar namun terlambat, ia tak berani lancang ikut masuk. Ia memutuskan menghubungi nomor ponsel Richard namun tak terjawab.
Rosie memperhatikan kemeja yang ia hafal betul milik suaminya tercecer di lantai lobby Ia melangkah dengan dada bergemuruh bagai gelombang badai saat air laut pasang, mengikuti lembaran demi lembaran kain penutup tubuh yang berceceran bak penunjuk jalan hingga kaki Rosie terhenti di area dapur.
Pemandangan di depannya terlalu menyakitkan. Seorang wanita berambut hitam sebahu tanpa sehelai benang-pun di tubuhnya setengah membungkuk dengan kedua tangan memegang erat meja counter.
Sementara bibirnya meneriakkan nama Richard berulang kali seperti mengucapkan mantra karena setiap nama itu disebut, gerakan pria yang menempel di belakang tubuhnya makin liar dan menggila.
Air mata Rosie luruh kembali, tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin mati saja rasanya.
Dan seolah mengetahui adanya kehadiran sosok lain, dua manusia yang dipenuhi nafsu terlarang itu menoleh dan wajah Richard yang awalnya merah dilanda hasrat menggebu berubah menjadi pucat pasi. Ia buru-buru melepaskan diri dari kekasihnya, Sasha. Mereka menyembunyikan bagian vital tubuh mereka di belakang meja counter.
“Mengapa kau lakukan ini padaku, Richard?”
“Rosie, aku…”
“Sudahlah,” Rosie menatap laki-laki yang dicintainya lekat-lekat, ”Aku sudah memaafkanmu, pulanglah bersamaku, kita akan memulai kembali dari awal.”
Richard tertegun dengan kata-kata Rosie, bagaimana mungkin wanita bisa setegar itu? Sebesar itukah cinta Rosie padanya? Tapi mengapa ia tak pernah bisa membalas cinta itu?
“Aku ingin kita bercerai,” begitu saja kata-kata itu keluar dari bibir Richard, ”Aku tak bisa terus berpura-pura mencintaimu sementara di hatiku hanya ada orang lain. Perceraian ini adalah yang terbaik,untukmu dan untukku.”
Rosie menggeleng kuat, ”Kau hanya mengerti yang terbaik untukmu, Richard. Hal terbaik-ku adalah kita tetap bersama.”
Richard iba melihat pipi Rosie bersimbah air mata, tapi ia sudah membulatkan hati untuk meninggalkan wanita yang sudah menemaninya lima tahun itu.
“Maafkan aku tapi cinta tidak bisa dipaksakan, kita hanya akan saling menyakiti.”
“Aku akan menunggu sampai kau mencintaiku lagi…tolong jangan tinggalkan aku!”
“Aku akan tetap menceraikanmu, itu sudah keputusanku!”
Richard tak bergeming dengan wajah istrinya yang memelas. Bukannya Richard pria yang tak memiliki hati, tapi ia harus mengakhiri drama rumah tangganya. Ia tak mau mendustai Rosie terus-menerus, juga tak mau kehilangan cinta sejatinya.
Richard menuju ruang tamu dan mengenakan lagi kembali pakaiannya diikuti Sasha, ketika ia menangkap siluet Rosie berdiri di ambang pintu sambil menggenggam pisau di tangan kirinya. Entah dari mana Rosie mendapatkan pisau dapur itu, pandangan kosong Rosie membuatnya mulai kuatir.
“Bercerai sama dengan membunuhku, mungkin lebih baik bagimu melihatku mati sekarang!”
Kejadian berikutnya terjadi begitu cepat, sebelum mata Richard sempat mengerjap, wanita malang itu sudah menggores nadi pergelangan tangannya.
Darah mengucur deras dari lubang yang menganga, lantai marmer di sekitar segera penuh dengan genangan darah.
“Rosie, omg!” teriak Richard panik.
Ia segera mengambil handuk dan dibalutkan pada pergelangan istrinya, sebentar saja handuk itu sudah berubah warna menjadi merah. Richard memeluk tubuh istrinya yang mulai lemas.
“S-sekarang...k-kau... bisa m-menikahinya...,” Rosie tersenyum getir.
Dalam keheningan ruangan yang hanya terisi suara gemerisik gaun satin, Rosie berdiri bagai patung lilin, indah namun bagai tanpa nyawa. Cahaya lampu di atas kepala menyorot lembut menciptakan kilauan pada renda dan kain satin yang membalut tubuh rampingnya.Tiba-tiba pintu terayun terbuka, terdengar suara langkah kaki berbalut sepatu high heels memasuki ruangan lalu disusul suara wanita yang terperangah sekaligus terpesona.“Wow, cantik sekali!” pekik Selena memandang sepupunya dari atas ke bawah berulang kali seolah tak pernah puas mengagumi. Tetapi kemudian wajah bahagianya berubah manyun menyadari ekspresi Rosie yang kaku tanpa keceriaan di dalamnya.“Kau ini kenapa? Ini hari pernikahanmu, harusnya bahagia bukan cemberut seperti nenek-nenek tua!” omel Selena, “Tariklah ke atas bibirmu itu!”Rosie berusaha menarik bibirnya ke atas seperti saran Selena, menciptakan senyuman miring yang tak sedap dipandang.“Jelek sekali, ingat … Ini momen terbaikmu!” keluh Selena, diraihnya tangan Ro
Keputusan menikah Michael dan Rosie mendapatkan sambutan yang positif dari banyak pihak, terutama Sebastian. Pria tua itu sangat lega karena putrinya bersedia menikah dengan pengusaha kaya raya. Ia lega bukan hanya karena bisnis Keluarga White akan membaik, tetapi juga anak dan cucunya akan memiliki sebuah keluarga utuh.Rosie sendiri berusaha untuk berpura-pura bahagia di depan Sebastian, ia tak ingin ayahnya berduka yang akan mempengaruhi kesehatan pria yang sudah tak muda lagi itu. Namun sesungguhnya jauh di dalam hati, Rosie mengalami pergumulan batin. Antara dendam, kebencian, dan cinta. Ia membenci Michael dengan sepenuh hati, ingin membalas dendam atas kebohongan yang pernah ditorehkan pria itu kepadanya. Tetapi wanita itu juga takut akan jatuh cinta lagi pada ayah kandung Ronald, karena jujur ia belum bisa melupakan Michael. Namun Rosie merasa sedikit lega karena Michael bersikap acuh tak acuh padanya semenjak kesepakatan mereka untuk menikah. Pria itu hanya datang ke aparte
“Aku ada ide!” Tiba-tiba Selena menjentikkan jari, bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. “Ide apa, Lena?” Rosie menjadi penasaran, ia harus akui Selena memiliki ratusan ide, meskipun kebanyakan dari idenya terbilang ekstrim.“Bagaimana kalau kau turuti saja persyaratan yang diminta Michael pada ayahmu?” usul Selena, dan sebelum sepupu berambut pirang itu memprotes, ia menempelkan telunjuknya ke bibir Rosie.“Coba pikirkan, bila kau setuju menikah dengan Michael. Pertama, hotel yang didirikan Sebastian akan terselamatkan dan kau bisa mengembangkannya menjadi hotel yang maju. Kedua, Ronald memiliki seorang ayah seperti yang selama ini selalu diimpikan. Ketiga, Sebastian memiliki semangat hidupnya kembali!” papar Selena, mata coklatnya berbinar penuh semangat.“Aku membenci laki-laki itu, Lena!” sergah Rosie cepat. “Aku tidak mau jatuh kedua kali padanya, sakit sekali rasanya.” “Kalau kau memang membencinya, mengapa takut jatuh cinta?” tantang Selena memprovokasi. “Lakukan balas dend
Sebastian menatap Rosie dalam-dalam, ada guratan kecewa di matanya. “Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hotel ibumu, Rosie!” suara Sebastian terdengar serak. “Tidak ada seorangpun yang sudi mengeluarkan uang untuk usaha kita ini, hanya dia yang mau menolong!” “Michael bukan menolong, Ayah!” sergah Rosie marah, “Dia menginginkan timbal balik, dan aku tak akan memberikan diriku padanya!” “Ayah mohon kau mau mempertimbangkannya, demi masa depanmu dan Ronald!” pinta Sebastian, suaranya nyaris memelas. “Tidak ada yang perlu dipertimbangkan, Ayah!” tegas Rosie, mata birunya berkilat-kilat. “Aku sudah tidak mau Ayah jadikan alat pembayaran untuk mencapai kesuksesan. Dulu Ayah sudah menjualku pada keluarga Eddison untuk penyatuan dua perusahaan besar, sekarang menjualku pada Bridgewood? Aku bukan pelacur!” Napas Rosie memburu dilanda emosi yang sangat hebat. Ia ingin menangis dan meraung namun sadar saat ini harus tegar dan kuat. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti h
Sebastian menatap punggung kursi direktur di depannya dengan rasa penasaran yang tinggi. Pria tua ini tak mengerti dan sedikit tersinggung mengapa George Jr. tidak menyambut dan menampakkan diri di depannya.Apakah benar dugaan Rosie, pebisnis macam George Bridgewood mustahil bersedia bekerja sama dengan keluarga White yang berada di ambang kebangkrutan?“Hal penting apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan George Junior?” Sebastian memberanikan diri bertanya seraya membenarkan posisi duduk yang terasa tak nyaman. Ia bersiap untuk menerima kemungkinan terburuk , karena sudah beberapa kali mengalaminya. Ya, penghinaan kerap pria tua itu terima saat menawarkan kerja sama karena dianggap datang hanya untuk meminjam uang. Bila hari ini ia menerima penghinaan itu lagi, baginya semua telah berakhir.“Saya ingin menyuntikkan dana untuk merenovasi kembali hotel Anda dan membantu pemasaran agar hotel tersebut bangkit kembali dan jaya seperti dulu.”“Benarkah Anda mau melakukan itu?”
“Rosie, tunggu!” Michael berusaha mengejar Rosie yang berjalan tergesa menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari supermarket sambil menggandeng Ronald .“Rosie, jangan abaikan aku!” Michael berhasil menangkap lengan Rosie dari belakang, namun wanita berambut pirang itu menyentakkannya dengan marah.“Jauhi aku dan anakku!” desis Rosie dengan nada mengancam. Michael menoleh pada Ronald yang bersembunyi di belakang kaki jenjang wanita itu, seolah kaki-kaki itu dapat membuatnya tak terlihat.“Apakah dia anakku?” bisik Michael, matanya berkaca-kaca. Ia tak ingin menangis, tetapi melihat sosok kecil yang merupakan copy dirinya sungguh pemandangan yang mengharukan.“Ronald, masuk ke mobil cepat!” perintah Rosie pada putranya. Ronald berlari masuk ke dalam mobil dengan patuh.“Aku harap tidak perlu melihatmu lagi, karena kalau sampai kau berani mendekati kami, aku akan memanggil polisi!” ancam Rosie lagi.“Kau tega memisahkan aku dari anak kita!” Suara Michael terdengar kecewa. “Seharusny
Keputusan Rosie pulang kembali ke New York setelah lima tahun semata-mata karena ingin mengunjungi ayahnya yang sakit-sakitan. Hubungan mereka sudah sangat buruk sebelum akhirnya ia memilih pergi waktu itu. Kini saatnya memaafkan sekaligus memperkenalkan Ronald kepada kakeknya. Berdiri berhadapan di lobi sebuah hotel milik Sebastian yang tersisa, Rosie merasa canggung. Ayahnya seperti orang asing, dengan rambut berwarna perak, tubuh ringkih dan tongkat yang ia gunakan untuk membantunya tetap tegak berdiri. Apa yang telah Sebastian alami selama lima tahun ini sepertinya sangat berat untuk ia lalui sendirian. “Apakah dia … cucuku?” suara serak Sebastian menyadarkan Rosie. Wanita itu mengangguk lalu membungkuk menatap mata putranya. “Ronald, dia adalah kakekmu!” Rosie menunjuk Sebastian. Anak laki-laki berusia empat tahunan itu menoleh ke arah kakeknya, mata hijaunya berkilat. Setelah mendapat izin dari Rosie, Ronald berlari ke arah Sebastian. Sebastian tak bisa berjongkok untuk m
Lima tahun berlalu, di kota Seattle. Seorang bocah laki-laki kecil sedang berlarian keluar dari gedung sekolah, rambut ikalnya bergoyang tertiup angin. “Ronald!” langkah si kecil terhenti ketika seorang guru pria memanggilnya dari belakang. “Ya, Pak Tim?” Ronald kecil memutar tubuh menghadap gurunya yang bernama Timothy. “Kau melupakan kotak makan siangmu di bangkumu lagi!” Tim menggoyang-goyangkan tempat makan Ronald seraya menghampiri. “Terima kasih, Pak!” Ronald tersenyum saat menerima kotak makan bergambar 'lilo and stitch' kembali. Tim membantu memasukkan kotak tersebut ke dalam ransel yang disandang si kecil. Tim mengangkat dagu ke depan, melambai ke arah seorang wanita cantik yang menunggu Ronald di dalam mobil hatchbacknya. Ia menggandeng tangan Ronald berjalan ke arah mobil. “Hi, Mommy!” Ronald menyapa wanita itu. “Hi, Sayang!” Wanita itu tersenyum lebar, dengan sabar menunggu Tim membuka pintu mobil dan pria kecilnya memanjat masuk ke dalam mobil mereka. “Bagaimana
Di hari minggu yang cerah, pesta pernikahan Richard dan Sasha dengan nuansa alam terbuka sedang berlangsung. Sasha terlihat begitu bahagia, senyuman tak kunjung pupus dari bibir. Ia tampil bak seorang putri negeri dongeng, gaun pengantin mermaid yang dikenakan menyempurnakan penampilan. Pernikahan ini adalah yang ditunggu-tunggu, kini dirinya tidak akan lagi disebut pelakor atau orang ketiga. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Nyonya Eddison.Tetapi tidak demikian dengan Richard, seharian berwajah murung. Ia berusaha tersenyum di depan Sasha, namun pikirannya carut marut.Di hari istimewanya, sahabat yang selalu setia tidak bersedia datang maupun sekedar menelepon mengucapkan selamat. Richard mencoba menghubungi beberapa kali namun tak ada tanggapan. Rasa kehilangan tentu saja ada, bahkan sangat kental. Ia bukan hanya kehilangan sahabat, tetapi juga partner kerja.Selesai pemberkatan nikah, Sebastian White -ayah Rosie- menghampiri Richard. Wajahnya sangat dingin dan tidak b