Share

Mencari tahu

Penulis: Atiexbhawell
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-11 10:44:12

Luna masih memandang kepergian Hendri yang semakin menjauh, rasa sesak kian memenuhi dadanya manakala mobil hitam suaminya itu tak lagi terjangkau oleh indera penglihatannya.

Setelah memetralkan perasaannya, Luna kembali membuka ponselnya, mengetikkan nama "Ratna" di kolom pencarian media sosial. Ada banyak hasil, tetapi tidak ada yang sesuai dengan kriteria yang ia bayangkan. Nama itu terlalu umum, dan Luna tahu ia membutuhkan lebih banyak informasi untuk mempersempit pencariannya.

Luna memutuskan untuk menghubungi Ayu lagi.

[Ay, kamu punya foto Ratna atau tahu alamat rumahnya?]

Pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Luna merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba memahami bahwa Ayu mungkin sedang sibuk.

Ia memutuskan untuk bersiap dan segera pergi ke rumah ibunya seperti rencana semula. Tak butuh waktu lama, dia sudah rapi dengan dress terusan tanpa lengan berwarna pastel. Ia biarkan rambut panjangnya tergerai indah.

"Mau ke mana kamu?" tanya ibu mertuanya yang melihat Luna sedang mengunci pintu kamarnya.

"Mau ke rumah Ibu jemput Rafi." jawab Luna datar.

Ibu mertuanya mendengus kecil, menatap Luna dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan mencela. "Perempuan seperti kamu itu harusnya tahu diri. Hendri capek kerja cari uang, kamu malah senang-senang terus. Nggak heran dia jadi—"

"Jadi apa, Bu?" potong Luna cepat, kali ini tatapannya lurus ke arah ibu mertuanya. Ia tidak ingin lagi diperlakukan seperti perempuan lemah yang hanya diam saat disindir. "Saya ke rumah Ibu untuk jemput anak saya, bukan bersenang-senang. Kalau ada yang mau dibicarakan soal rumah tangga saya dan Hendri, lebih baik biar kami yang menyelesaikan. Saya nggak mau ada yang ikut campur."

Ibu mertuanya terkejut, seolah tidak percaya Luna berani berbicara seperti itu. "Kamu pikir kamu siapa, berani ngomong begitu ke saya?"

"Saya ini istri Hendri, Bu. Bukan pembantu di rumah ini. Tolong hargai saya seperti saya menghormati Ibu," jawab Luna, suaranya tetap tenang, tetapi penuh ketegasan.

Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Luna melangkah pergi meninggalkan ibu mertuanya yang masih mematung. Mungkin masih syock dengan perubahan Luna yang sangat drastis, dari wanita penurut menjadi berani membantahnya.

Sepanjang perjalanan ke rumah ibunya, Luna tidak bisa menghentikan pikirannya yang berkecamuk. Ia mencoba fokus pada jalanan yang sesekali dipenuhi kemacetan, tetapi bayangan Hendri dan perempuan lain terus menghantuinya.

Sampai di rumah ibunya, Luna mendapati Rafi sedang bermain di halaman bersama beberapa anak tetangga. Wajah mungil itu langsung berseri-seri saat melihat Luna datang.

"Mama!" seru Rafi sambil berlari menghampirinya.

Luna segera memeluk putranya erat-erat. Di tengah carut-marut pikirannya, hanya Rafi yang mampu memberikan ketenangan.

"Lagi main apa, Nak?" tanyanya sambil mengelus rambut anaknya.

"Main bola, Ma. Seru banget!" jawab Rafi dengan semangat.

Luna tersenyum kecil. "Kalau sudah capek, jangan lupa istirahat, ya."

"Siap, Ma."

Rafi kembali berlari ke arah teman-temannya yang sudah menunggunya, sementara Luna naik ke teras dengan senyum di wajahnya.

Tepat saat kakinya menapak teras, ibunya muncul dari dalam rumah, membawa nampan berisi minuman dan sepiring kue basah.

"Kamu baru sampai, Lun?"

"Iya, Bu, agak macet." jawabnya lalu menjatuhkan diri di salah satu kursi yang berada di sana.

"Anak-anak ... sini minum dulu!" suara ibunda Luna memanggil Rafi dan teman-temannya.

Dengan segera anak-anak berlarian datang mendekat, lalu berebut minum yang dibawakan oleh ---Bu Septi--- ibunda Luna.

"Rafi gak nakal selama di sini 'kan, Bu?" tanya Luna setelah ibunya turut duduk di sampingnya.

"Enggak, cuma nangis sebentar semalam. Katanya kangen kamu, tapi langsung diam setelah ditawarin es krim sama Andra." jawab Bu Septi.

"Andra di sini?"

"Iya, tapi tadi pagi sudah pulang lagi ke Jogja. Pulang cuma mau ambil beberapa berkas buat wisuda saja."

Luna mengangguk paham, tatapannya lurus ke halaman dimana anak-anak masih asyik bermain.

"Kamu kelihatan capek, Lun. Ada apa? Hendri nggak bikin masalah lagi, kan?"

Luna tertegun sejenak, lalu menggeleng pelan. "Nggak, Bu. Cuma lagi banyak pikiran aja."

Sang ibu memandang Luna dengan tatapan penuh kasih sayang. "Kalau ada apa-apa, cerita ke Ibu, ya. Jangan dipendam sendiri."

"Iya, Bu," jawab Luna dengan senyum tipis. Namun, ia tahu ada banyak hal yang tidak mungkin ia ceritakan, bahkan kepada ibunya sendiri.

Setelah menghabiskan waktu beberapa jam bersama ibunya, bahkan sempat makan siang bersama. Luna memutuskan untuk pulang. Tanpa Rafi, karena bocah berusia 7 tahun itu masih enggan pulamg dari rumah neneknya walau sudah dibujuk sedemikian rupa.

"Sudah gak apa-apa, Lun, biar besok Ayah yang antarkan." Begitu kata ---Pak Pramono--- Ayah tiri Luna, saat dirinya tak berhasil membujuk Rafi untuk pulang bersamanya.

Alhasil, dia harus kembali pulang sendiri. Sejujurnya dia pun malas sekali untuk pulang di saat ibu mertua dan iparnya masih di rumahnya. Akan tetapi untuk menginap di rumah ibunya pun tak mungkin karena besok dia sudah harus kembali bekerja dan jarak rumah ibunya ke kantornya bekerja sangat jauh.

Sebelum pulang ke rumah, dia mampir ke sebuah kafe lebih dulu untuk sekedar menghabiskan waktu agar tak terlalu lama bertemu dengan mertua dan iparnya di rumah.

Dia memilih sebuah kafe yang terletak di sebelah salon seorang artis ternama. Kabarnya kafe tersebut milik istri dari sepupu sang artis. Tempatnya nyaman dan instagramable, sehingga membuat pengunjung betah berlama-lama di kafe sekedar untuk ngopi atau nongkrong sama teman-teman.

Sayangnya kali ini Luna datang seorang diri ke tempat itu. Usai menemukan tempat yang pas, dia lalu memesan beberapa camilan dan tentu saja kopi yang menjadi andalan kafe tersebut.

Sembari menunggu pesanannya, dia membuka hp yang sejak tadi sengaja dia silent di dalam tas. Beberapa panggilan tak terjawab dan ribuan pesan sudah memenuhi notif screennya.

Namun dari banyaknya pesan satu nama muncul membuat kedua sudut bibirnya tertarik ke samping kiri dan kanan.

Adrian

[Ayo bertemu, Aluna!]

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Familly time

    Adrian mengajak Luna dan Rafi ke pusat perbelanjaan besar yang agak jauh dari rumah, alasannya mencari playground yang lebih besar dan lengkap untuk Rafi. Meaki harus ditempuh dengan 1 jam lebih perjalanan.Namun begitu, pilihan Adrian benar-benar membuat Rafi bahagia karena hampir semua permainan yang dia idamkan ada di sana.Rafi segera menjajal satu persatu wahana permainan di sana, tak lupa bersorak riang setiap kali ia berhasil menaklukkan permainan yang ia coba. Matanya berbinar-binar penuh semangat, dan tawa kecilnya terus mengalun, membuat Luna tak henti-hentinya tersenyum.“Mama, lihat! Aku bisa naik ini sendiri!” seru Rafi sambil memanjat dinding panjat mini dengan penuh percaya diri. Tangannya yang mungil menggenggam erat pegangan demi pegangan, sementara kakinya dengan cekatan mencari pijakan."Hati-hati, Sayang!" seru Luna dari pinggir arena sementara Adrian berdiri di bawah, siap siaga jika sewaktu-waktu Rafi kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Boy. Pegang yang kuat, ya

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Semakin dekat

    "Kami belum menemukan keberadaan Pak Hendri, Bu." Luna dan Bu Septi saling berpandangan dengan tatapan khawatir. Sedangkan Pak Pramono menyandarkan punggungnya disertai helaan nafas panjang.Setelah hampir dua minggu lamanya menanti, akhirnya Luna mendapatkan kabar dari pengacaranya. Sayangnya, kabar yang dia terima tidak seperti yang dia inginkan."Jadi Hendri benar-benar kabur?" ulamg Pak Pramono lagi. Memastikan apa yang dia dengar tidaklah salah."Betul, Pak. Sejak kejadian hari itu, sampai hari ini tidak ada yang tahu keberadaan Pak Hendri. Menurut informasi, Pak Hendri sudah hengkang dari perusahaan tempatnya bekerja sehari sebelum hari kejadian dan beliau juga tidak perbah terlihat pulang ke kediaman Bu Luna." tambah Pak Sandy selaku pengacara Luna."Jadi, siapa yang tinggal di rumah saya?" tanya Luna penasaran."Hanya Bu Marni dan Bu Siska saja. Itu pun hanya sekitar satu minggu. Setelahnya rumah Ibu kosong." Kenyataan ini membuat Luna terkejut luar biasa. Pasalnya dia mengi

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Baper

    "Terimakasih," kata Luna setelah mobil Adrian berhenti tepat di depan gerbang rumah Pak Pramono."Sama-sama ... salam buat Rafi, Ayah dan Ibu, ya ... maaf gak bisa mampir." balas Adrian tersenyum begitu lebar.Luna mengangguk, lalu bersiap untuk turun. Akan tetapi Adrian lebih dulu turun dan memutari mobil kemudian membukakan pintu untuknya.Perlakuan sederhana yang membuat wanita berbunga-bunga, tapi tidak semua laki-laki mau melakukannya. Namun, Adrian melakukannya. Membuat hati Luna tak karuan rasanya. Antara senang, bahagia tetapi juga malu yang mendera sebab mereka tak hanya berdua saja, tetapi ada Angga yang ikut serta.Ia bahkan bisa melihat raut keheranan dari asisten pribadi Adrian itu ketika melihat atasannya membukakan pintu untuknya."Terimakasih sekali lagi, malah jadi ngerepotin." ungkap Luna setelah turun dari mobil."Iya, Aluna ... aku senang melakukannya." balas Adrian menatap lekat wajah Luna, namun buru-buru dia sudahi mengagumi wajah ayu itu. Bisa-bisa, dia tidak j

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Mati kutu

    Luna melangkah terburu meninggalkan basement setelah mengambil tasnya dari dalam mobil Adrian. Jam masuk masih tersisa 5 menit lagi tetapi dia harus buru-buru sebab perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya setelah kejadian beberapa saat lalu.Luna memejamkan mata sesaat di samping mesin fingerprint, jantungnya masih berdetak tak karuan. Teringat lagi kejadian di taman tadi, bisa-bisanya dia ikut terbuai dan menikmati moment bersama Adrian."Ngapain, Lu?" Sakit?" tepukan Alya di bahunya sontak membuatnya membuka mata lebar-lebar.Luna gugup mendapat tatapan seintens itu dari Alya. "E-enggak ... gue baik-baik aja, kok." "Ya, terus ngapain di sini? Muka Lu merah gitu?" tanya Alya semakin keheranan, ia berniat menyentuh kening Luna tetapi Luna segera menghindar."Lu baru dateng juga?" tanya Luna mengalihkan perhatian Alya. Alya mengangguk, lalu melakukan absensi dengan tatapan mata tetap tertuju pada Luna yang masih berdiri di sebelah mesin fingerprint."Yuk!" ajaknya setelah absen be

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Takut nyaman

    Beberapa hari setelah Luna merasa benar-benar sehat, ia kembali masuk ke kantor. Tentu saja dengan persiapan mental yang lebih besar untuk menghadapi berbagai pertanyaan dari teman-temannya.Luna tak membawa mobil sendiri, melainkan dijemput oleh Adrian. Awalnya Luna menolak, tetapi Adrian meyakinkan kalau hanya untuk hari ini saja. Akhirnya Luna mengalah dan pergi bersama Adrian.Sampai di loby utama, Adrian tak menurunkan Luna tetapi membawanya serta ke basement."Masih terlalu pagi, aku mau ajak kamu sebentar." Ucap Adrian sembari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya."Ke mana?" tanya Luna menatapnya heran."Ikut aja!" Kata Adrian lalu membuka pintu mobil dan segera turun diikuti Luna kemudian.Adrian menarik pelan lengan Luna agar mengikutinya melangkah menuju basement paling ujung lalu berhenti tepat di depan sebuah motor sport berwarna merah."Ini ...?" "Kamu masih mengingatnya 'kan?" kata Adrian tak lepas menatap wajah cantik Luna yang sudah membaik dari lu

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Ancaman

    Ketenangan malam yang sempat menyelimuti rumah keluarga Luna mendadak terusik oleh ketukan pintu yang keras dan tergesa-gesa. Bu Septi yang tengah memangku Rafi sontak menoleh ke arah suaminya."Siapa malam-malam begini?" bisik Bu Septi cemas.Pak Pramono yang juga terkejut segera bangkit dan membuka pintu. Sosok perempuan paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dan nafas tersengal."Luna! Keluar kamu!" suara melengking itu menggema, membuat Luna yang tengah berbincang dengan Adrian di ruang tengah langsung menegang."Ibu ...." gumam Luna pelan, menyadari siapa tamu tak diundang itu.Bu Ratih, ibu Hendri, melangkah masuk dengan tatapan tajam penuh amarah. Ia menatap Luna seolah hendak menerkamnya."Bagus, ya! Kamu benar-benar sudah gil4, Luna! Kalau mau pisah, ya, pisah aja gak usah kamu laporkan anakku ke polisi?!" bentaknya tanpa peduli bahwa ia adalah tamu di rumah itu.Luna menelan ludah, tangannya mengepal di pangkuannya."Bu, tolong tenang dulu. Kita bisa bic

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status