"Cukup Aini!"
Braaakkkk!! Erlangga Wijaya membanting surat kabar yang berada di tangan. Pria berkacamata itu bangkit dan menatap tajam ke arah istrinya.
"Apa sih mau kamu sebenarnya?!" Aini menundukkan kepala. Ia tahu suaminya benar-benar marah mendengar permintaannya kali ini.
"A-aku hanya ingin kamu bahagia, Mas, " jawab Aini ketakutan.
"Bahagia kamu bilang?! dengan menyuruhku menikah lagi?! apa akal kamu masih waras? apa masih kurang dengan aku menikahi kakak angkat kamu yang sakit itu? permintaan gila kamu sudah aku turuti! saat keluargamu jatuh, aku juga membantu mereka! apa kurangnya aku Aini, apa?" Erlangga marah besar. Pria tampan berkacamata itu tak mengerti dengan jalan pikiran istrinya.
"Justru karena kamu terlalu baik, aku ingin kamu bahagia. Kamu tahu ‘kan rahimku sudah diangkat karena kanker. Aku tidak bisa mengandung, Mas. Dua puluh tahun kita sudah menikah. Aku tidak mungkin memberikan kamu keturunan," jawab Aini dengan pilu, disela isak tangisnya.
"Tapi kita sudah punya Adelia dan Ratih! anak kamu dan Martha!"
"Mereka bukan darah dagingmu. Adelia juga tidak lahir dari rahimku. Ratih juga anak Kak Marta dan Yudi. Kamu harus punya penerus Hadi wijaya. Kasian mamah dan papah. Mereka ingin punya cucu kandung dari kamu! Hanya dari kamu mereka bisa berharap, karena kamu anak tunggal mereka!" Tangis Aini semakin menjadi. Dia merasa menjadi terdakwa karena ketidak mampuannya memberikan keturunan.
Melihat airmata istri tercinta, emosi Erlangga sedikit mereda. Ia membingkai wajah cantik sang istri dan mengarahkan mata sayu itu menatapnya."Aini, aku bertanya padamu, apa kamu masih mencintaiku?"
Aini menyentuh kedua tangan suaminya. "Aku sangat mencintaimu< Mas. Tidak ada satupun istri di dunia ini yang mau berbagi suami. Tapi aku dan kak Martha tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis kamu. Kami berdua punya jenis penyakit yang sama. Aku tidak boleh egois." tangis Aini pun pecah. Sesak di dada kala mengingat dirinya bukan lagi wanita sempurna.
Erlangga iba, lalu memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang.
"Aku tidak butuh itu, Aini. Yang kuinginkan hanya diri dan cintamu. Aku tidak ingin berbagi malam dengan siapapun. Kamu sedang sakit. Aku harus menjagamu." Erlangga mengecup puncak kepala sang istri.
"Kamu butuh, Mas. Kamu juga harus punya anak kandung." Aini menjauhkan kepalanya.
"Aku yakin setelah kamu sembuh, kita bisa menikmati kebahagiaan itu lagi. Aku akan setia menanti hingga saat itu tiba." Erlangga membelai pipi sang istri dengan sapuan punggung jemarinya.
"Tapi sampai kapan? Kamu harus secepatnya menikah lagi!"
"Tidak Aini! asal kamu tahu, selama lima tahun pernikahanku dengan Martha, tak sekalipun aku pernah menyentuhnya. Itu bukti kalau aku setia padamu! aku sangat mencintai kamu!"
"Aku percaya padamu, Mas."
Aini kembali memeluk suaminya. Erlangga membalas pelukan itu erat. Mereka berdua saling mencintai.Tujuh tahun mereka menjalin asmara. Hingga pernikahan mereka yang sudah terjalin selama dua puluh tahun, tak pernah ada perselingkuhan.
Ikatan cinta antara mereka sangat kuat. Saling support, saling percaya dan selalu harmonis. Hubungan mereka seperti pengantin baru, selalu mesra. Bahkan keduanya sering berkeliling dunia untuk berbulan madu entah yang keberapa kalinya.
Namun dunia seperti hancur ketika Aini divonis mengidap kanker rahim stadium 3. Saat itu walaupun nyawanya terancam, Aini tetap tidak mau dioperasi. Ia bersikeras untuk mempertahankan rahimnya. Namun pendarahan hebat memaksa suami tercinta untuk menandatangani surat pernyataan yang berkaitan dengan operasi pengangkatan rahim.
Dunia terasa runtuh. Ditambah lagi Ia harus menjalani serangkaian terapy yang sangat menyiksa. Kemoterapy dan radioterapy yang membuatnya lemas, mual dan rambutnya rontok. Semua harus dilalui.
"Erlangga benar Aini. Dia tidak pernah menyentuhku. Walau dia bermalam di kamarku!" Martha muncul dari balik pintu kamar, membuat Erlangga dan Aini gugup. Keduanya saling melepas pelukan.
"Martha, maafkan aku. Aku tidak bermaksud ...."
"Aku tahu Erlangga, Kamu sangat mencintai Aini. Aku justru berterimakasih kepada kalian yang telah menyelamatkan kehormatanku, saat Yudi mencampakanku." Martha merasa sedih saat mengingat sang mantan suami mencampakkannya bagai seonggok sampah yang tak berguna. Sangat menyakitkan.
Aini memeluk sang kakak dan membawanya duduk di tepi ranjang mewah berwarna gold.
Dada Erlangga terasa sesak. Kamarnya yang besar terasa begitu sempit. Ia duduk di sofa dengan kedua tangan berpangku pada lutut.
"Aini benar Erlangga. Kamu harus menikah lagi. Supaya kamu punya generasi penerus."
"Martha! Aku tidak mau menghianati Aini! aku tidak mau tidur dengan perempuan manapun, termasuk kamu!" Erlangga berbicara dengan nada tinggi kepada istri keduanya itu.
Martha mengelus dadanya. Hati wanita mana yang tak teriris mendengar perkataan dari suami yang sangat dicintai. Namun wanita sabar itu sudah terbiasa dengan kondisi tak nyaman ini. Dia harus lebih memahami pria yang sangat mencintai istri pertamanya. Keberadaannyapun tak diinginkan oleh suaminya.
Martha menarik napas panjang untuk mengatur kesabarannya. Lalu mendekat ke arah suami dan duduk di sampingnya. Wanita cantik itu menggenggam tangan sang suami.
"Kamu tidak harus tidur dengannya. Kalian bisa mencoba program bayi tabung. Aini masih punya ovarium. Mungkin saja sel telur Aini masih bagus, dan kita hanya perlu mencari ibu pengganti. Kita bayar berapapun yang dia inginkan." Martha mencoba meyakinkan suaminya.
"Kak Martha benar." Mata Aini berbinar. Ia mengambil posisi duduk di samping suaminya.
"Bagaimana menurut kamu, Mas?" tanya Aini dengan antusias.
Erlangga terdiam. Iya yakin kedua istrinya sudah kompak merencanakan semuanya dengan matang. Pria berusia empat puluh lima tahun itu tak hanya bisa pasrah.
"Terserah kalian saja. Tapi tolong, jangan merusak nama baik keluarga!"
Erlangga bangkit dan berlalu menuju ke arah balkon untuk mencari udara segar.
Pria yang masih terlihat tampan dan segar di usianya yang matang itu berdiri mematung. Ia tidak perduli dengan dinginnya angin malam yang menusuk hingga ke tulang.
Sebagai lelaki normal Ia memang butuh menyalurkan hasratnya. Namun pria setia itu tidak mau menghianati istri yang sangat dicintainya.
Seandainya bisa memilih, Aini pasti tidak mau penyakit ganas itu bersarang di organ yang paling mulia bagi seorang wanita. Tapi takdirlah yang memilih istrinya untuk memikul cobaan seberat ini.
Erlangga menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan. Tatapannya lurus ke arah bawah. Ia melihat Ratih turun dari mobil bersama Adelia dan temannya yang sangat cantik. Sepertinya gadis itu tidak asing baginya.
”Rasanya aku seperti pernah menlihatnya, tapi dimana?!” Erlangga berusaha mengingat sesuatu.
Aini dan Erlangga masuk ke ruang praktik dokter kandungan. Dr. Elsa Siregar Sp.OG, sesuai dengan nama yang tertera di papan nama yang ada di meja. Dokter cantik berhijab itu tersenyum manis kepada Aini dan Erlangga yang duduk di hadapannya."Ada yang bisa saya bantu? " tanya dokter ramah itu."Begini dok. Saya ... mau tanya tentang ... surrogasy," Tanya Aini sedikit terbata. Ia terlihat gugup dan memilin ujung jilbabnya."Baik bu, akan saya jelaskan tentang surrogate mother atau sewa rahim atau lebih dikenal dengan ibu pengganti, adalah seorang wanita yang disewa rahimnya dengan perjanjian tertentu. Ia bertugas untuk mengandung, melahirkan dan menyerahkan bayi kembali kepada keluarga yang menyewanya. Pembuahan terjadi memakai metode InVitro Fertilization atau lebih dikenal dengan program bayi tabung. Akan tetapi di indonesia surrogate mother di larang keras. Karena bertentangan dengan etika dan norma. Pelakunya bisa dipidanakan."Penjelasan dari dokter, membuat wajah Aini berubah mas
Sajian lengkap sudah tersedia di masing-masing piring yang ada di meja makan. Erlangga selalu membiasakan keluarga untuk berdisiplin dan menghargai waktu. Karena baginya orang yang tidak disiplin dan tidak bisa menghargai waktu sama saja tidak menghargai diri sendiri dan juga orang lain.Begitu juga dengan jam makan. Di waktu yang telah ditentukan mereka harus berkumpul di meja makan. Tidak ada yang harus menunggu lama ataupun tidak sarapan karena kesiangan. Semua harus pandai memanage waktu sendiri,Masing-masing sandwich dan segelas susu sudah berpindah ke dalam perut mereka. Adelia dan Ratih berpamitan untuk berangkat kuliah. Mereka mencium tangan Ayah dan kedua ibu mereka,Erlangga berdiri dan menenteng tas kerjanya. "Ayo, aku antar ke mobil, Mas!" Aini mengambil tas yang ada di tangan Erlangga.Erlangga melirik ke arah Martha yang sedang sibuk membereskan meja makan di bantu oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama lima belas tahun.Erlangga teringat ucapan Martha sem
Brakk..suara pintu di buka dengan kasar.“Mamah tunggu!“ suara Adelia mengejutkan kedua orangtuanya. Gadis itu berlari menaiki anak tangga dengan cepat. Dadanya naik turun tak beraturan.Erlangga menurunkan tubuh Aini dari gendongannya.“Ganggu orang tua aja!“ Erlangga menggerutu.“Ada apa, Sayang?“ Aini menyentuh wajah putrinya.“Mamah, tolongin Bunga!“ Adelia menggandeng tangan Aini.“Iya. Tapi ada apa, Sayang? cerita sama Mamah!““Ayo, Mah! Cepetan! Nanti ceritanya di Mobil. Papah juga ikut!“ Adelia menarik lengan kedua orang tuanya.“Papah baru pulang kerja Adel. Cape!” Erlangga berusaha menolak ajakan putrinya.“Sebentar doang, Pah! “Walau kesal, Erlangga terpaksa mengikuti kemauan putrinya. Namun Aini mencoba untuk menenangkan suaminya. Dia yakin pasti ada sesuatu yang serius yang menimpa sahabat putrinya.Sopir pribadi juga sudah siap mengantar mereka. Mobilpun segera meluncur ke lokasi.****Mobil berhenti di depan rumah sederhana bernuansa betawi. Terlihat Bunga yang sedang
Bunga bermalam di kamar Adelia dan berbaring di samping sahabatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi matanya belum mampu terpejam. Dia terlihat begitu gelisah.Ucapan ayah sahabatnya itu masih terngiang jelas di telinganya. Ucapan yang sangat menusuk dan membuat hatinya hancur. Namun semua ucapan Pak Er memang benar. Tidak seharusnya Ia merepotkan orang lain karena perbuatannya sendiri.Namun tidak semuanya benar. Bunga dan keluarganya tidak menggunakan uang itu untuk berfoya-foya, melainkan untuk membiayai pengobatan ayahnya yang menjadi korban tabrak lari oleh pengendara sepeda motor. Ayahnya mengalami retak di bagian tulang rusuknya yang menyebabkan ayahnya harus berada di kursi roda sementara ini hingga kesembuhannya.Bunga menatap langit-langit kamar dan kembali memikirkan perkataan pria yang biasa Ia sebut dengan panggilan Pak Er. Kalau saja mau menerima si Boss gila yang sudah mempunyai istri empat dan entah berapa simpanan yang tak terhitung itu, mungkin saja
Hari masih pagi, sang mentari menyembunyikan sinar hangatnya. Suasana dapur sudah ramai. Terdengar ada sedikit keributan. Suara Aini berbicara dengan nada tinggi membuat Erlangga risih mendengarnya.Erlangga mengenakan kaos dan celana olahraga, siap untuk jogging yang sudah menjadi rutinitasnya disetiap pagi. Pria berkacamata itu menghampiri dapur untuk melihat apa yang terjadi.“Ada apa sih ribut-ribut?““Ini Mas. Bunga mau pamit pulang. Tapi aku khawatir kalau preman-preman itu datang lagi.“ Aini berusaha menjelaskan kepada suaminya.“Kenapa kamu yang repot?! Kalau dia mau pulang, pulang saja. Ngapain ditahan-tahan! Dia punya otak yang bisa digunakan untuk berfikir! “ ujar Erlangga berpura-pura cuek. Padahal jauh dalam hatinya tak ingin gadis itu pergi dari rumahnya.Bunga terdiam, Ia mencoba mencerna perkataan pria itu. Walaupun terkesan kasar, setiap kata yang terlontar dari mulut sadisnya penuh makna.Bunga mencoba mengulang memory di otak tentang kejadian semalam. Keberuntungan
Bunga tersadar dan menatap langit-langit kamar dan juga sekelilingnya. Pandangannya kabur. Namun perlahan dapat melihat jelas orang di sekelilingnya. Adik lelaki dan ibunya duduk di tepi ranjang sambil memijit kakinya. Ayahnya duduk di kursi roda, Aini dan juga Martha duduk di kursi dan memegang lengannya seraya menguntai senyum manis penuh ketulusan.“Kenapa Bunga ada di sini, Tante? bukan kah tadi Bunga ....”“Bunga. Kamu tadi pinsan di jalan dan ada orang yang mengantar kamu kesini.”Aini membelai rambut Bunga dengan lembut.Bunga membisu. Ia tidak melihat Pak Er ada di sini. Bunga ingat betul tadi dirinya yang mengantar ke rumah Suryo. Bagaimana nasib beliau kini. Apakah beliau mengalami kesulitan.Bunga tidak bisa tinggal diam dan harus melakukan sesuatu. Ia tidak mau gara-gara menolong dirinya, Pak Er jadi celaka. Bunga beranjak dari tempat tidur dan semua orang menahannya.“Bunga. Kamu mau kemana? istirahatlah dulu.” Martha berusaha mencegahnya.“Tidak, Tante, Bunga harus menolo
”Siapa, Bunga? katakan!” Aini makin penasaran dan terus mendesak Bunga.“Bunga sendiri, Tante,” Jawab Bunga lirih. Dan semakin menundukkan kepala lebih dalam. “Apa?!” jawab Martha dan Aini berbarengan.“Kamu jangan bercanda, Bunga. Tante enggak suka!” ucap Aini.“Bunga serius, Tante. hanya dengan cara ini Bunga bisa membalas budi kepada keluarga Tante. “ Bunga memberanikan diri menatap wanita yang sangat dihormatinya. Seorang wanita yang berhati mulia tapi mendapat cobaan yang sangat berat.“Tidak, Bunga. Tante tidak setuju! Kamu masih muda. Tante tidak akan membiarkan kamu terkungkung dalam ikatan ini. Lagi pula Kami tidak pernah mengharapkan balasan apapun dari kamu, sayang, Tante ikhlas.”“Justru karena Bunga masih muda dengan harapan berhasil lebih besar. Bunga juga ikhlas Tante. Masa depan Bunga bisa drajut kembali setelah tugas selesai.” Bunga menggenggam jemari Aini dan mencoba meyakinkannya.“Cukup Bunga! Tante tidak mau merusak masa depan kamu. Kamu masih gadis. Kalau kamu
“Justru karena aku mencintai kamu. aku ingin kamu bahagia dan punya anak dari benih kamu, Mas. Berkali-kali aku sudah membicarakan ini.” Aini juga berdiri dan balas menatap tajam suaminya.“Aku tidak mau! punya istri dua saja Aku belum bisa bertindak adil kepada Martha. Aku banyak dosa padanya! dan itu menjadikan aku beban di dunia dan akhirat! mikir enggak sih kamu! belum lagi perkataan orang lain di luar sana, mereka akan menganggap aku lelaki hidung belang yang doyan main perempuan! asal kamu tahu, biarpun aku tidak pernah mendapat kepuasan bathin dari kamu tapi aku tidak pernah jajan sekalipun, aku setia Aini!” Erlngga berteriak di depan wajah Aini persis. Ia menumpahkan segala kekesalannya kepada istri tercintnya itu.“Aku tahu Mas. maka dari itu aku ingin kamu bahagia dengan menikahi Bunga untuk menjalankan program bayi tabung. Itu saja, bukan untuk menyuruhmu ‘tidur’ dengannya!” Aini menyentuh lengan suaminya untuk melembutkan hatinya. Namun Erlangga menepisnya dengan kasar.“B