Share

JERAT CINTA ISTRI KETIGA
JERAT CINTA ISTRI KETIGA
Author: YATI CAHAYA HATI

1. KESETIAAN SEORANG SUAMI

"Cukup Aini!"

Braaakkkk!! Erlangga Wijaya membanting surat kabar yang berada di tangan. Pria  berkacamata itu bangkit dan menatap tajam ke arah istrinya.

"Apa sih mau kamu sebenarnya?!" Aini menundukkan kepala. Ia tahu suaminya benar-benar marah mendengar permintaannya kali ini.

"A-aku hanya ingin kamu bahagia, Mas, " jawab Aini ketakutan.

"Bahagia kamu bilang?! dengan menyuruhku menikah lagi?! apa akal kamu masih waras? apa masih kurang dengan aku menikahi kakak angkat kamu yang sakit itu? permintaan gila kamu sudah aku turuti! saat keluargamu jatuh, aku juga membantu mereka! apa kurangnya aku Aini, apa?" Erlangga marah besar. Pria tampan berkacamata itu tak mengerti dengan jalan pikiran istrinya.

"Justru karena kamu terlalu baik, aku ingin kamu bahagia. Kamu tahu ‘kan rahimku sudah diangkat karena kanker. Aku tidak bisa mengandung, Mas. Dua puluh tahun kita sudah menikah. Aku tidak mungkin memberikan kamu keturunan," jawab Aini dengan pilu, disela isak tangisnya.

"Tapi kita sudah punya Adelia dan Ratih! anak kamu dan Martha!"

"Mereka bukan darah dagingmu. Adelia juga tidak lahir dari rahimku. Ratih juga anak Kak Marta dan Yudi. Kamu harus punya penerus Hadi wijaya. Kasian mamah dan papah. Mereka ingin punya cucu kandung dari kamu! Hanya dari kamu mereka bisa berharap, karena kamu anak tunggal mereka!" Tangis Aini semakin menjadi. Dia merasa menjadi terdakwa karena ketidak mampuannya memberikan keturunan.

Melihat airmata istri tercinta, emosi Erlangga sedikit mereda. Ia membingkai wajah cantik sang istri dan mengarahkan mata sayu itu menatapnya."Aini, aku bertanya padamu, apa kamu masih mencintaiku?"

Aini menyentuh kedua tangan suaminya. "Aku sangat mencintaimu< Mas. Tidak ada satupun istri di dunia ini yang mau berbagi suami. Tapi aku dan kak Martha tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis kamu. Kami berdua punya jenis penyakit yang sama. Aku tidak boleh egois." tangis Aini pun pecah. Sesak di dada kala mengingat dirinya bukan lagi wanita sempurna.

Erlangga iba, lalu memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang.

"Aku tidak butuh itu, Aini. Yang kuinginkan hanya diri dan cintamu. Aku tidak ingin berbagi malam dengan siapapun. Kamu sedang sakit. Aku harus menjagamu." Erlangga mengecup puncak kepala sang istri.

"Kamu butuh, Mas. Kamu juga harus punya anak kandung." Aini menjauhkan kepalanya.

"Aku yakin setelah kamu sembuh, kita bisa menikmati kebahagiaan itu lagi. Aku akan setia menanti hingga saat itu tiba." Erlangga membelai pipi sang istri dengan sapuan punggung jemarinya.

"Tapi sampai kapan? Kamu harus secepatnya menikah lagi!"

"Tidak Aini! asal kamu tahu, selama lima tahun pernikahanku dengan Martha, tak sekalipun aku pernah menyentuhnya. Itu bukti kalau aku setia padamu! aku sangat mencintai kamu!"

"Aku percaya padamu, Mas."

Aini kembali memeluk suaminya. Erlangga membalas pelukan itu erat. Mereka berdua saling mencintai.Tujuh tahun mereka menjalin asmara. Hingga pernikahan mereka yang sudah terjalin selama dua puluh tahun, tak pernah ada perselingkuhan.

Ikatan cinta antara mereka sangat kuat. Saling support, saling percaya dan selalu harmonis. Hubungan mereka seperti pengantin baru, selalu mesra. Bahkan keduanya sering berkeliling dunia untuk berbulan madu entah yang keberapa kalinya.

Namun dunia seperti hancur ketika Aini divonis mengidap kanker rahim stadium 3. Saat itu walaupun nyawanya terancam, Aini tetap tidak mau dioperasi. Ia bersikeras untuk mempertahankan rahimnya. Namun pendarahan hebat memaksa suami tercinta untuk menandatangani surat pernyataan yang berkaitan dengan operasi pengangkatan rahim.

Dunia terasa runtuh. Ditambah lagi Ia harus menjalani serangkaian terapy yang sangat menyiksa. Kemoterapy dan radioterapy yang membuatnya lemas, mual dan rambutnya rontok. Semua harus dilalui.

"Erlangga benar Aini. Dia tidak pernah menyentuhku. Walau dia bermalam di kamarku!" Martha muncul dari balik pintu kamar, membuat Erlangga dan Aini gugup. Keduanya saling melepas pelukan.

"Martha, maafkan aku. Aku tidak bermaksud ...."

"Aku tahu Erlangga, Kamu sangat mencintai Aini. Aku justru berterimakasih kepada kalian yang telah menyelamatkan kehormatanku, saat Yudi mencampakanku." Martha merasa sedih saat mengingat sang mantan suami mencampakkannya bagai seonggok sampah yang tak berguna. Sangat menyakitkan.

Aini memeluk sang kakak dan membawanya duduk di tepi ranjang mewah berwarna gold.

Dada Erlangga terasa sesak. Kamarnya yang besar terasa begitu sempit. Ia duduk di sofa dengan kedua tangan berpangku pada lutut.

"Aini benar Erlangga. Kamu harus menikah lagi. Supaya kamu punya generasi penerus."

"Martha! Aku tidak mau menghianati Aini! aku tidak mau tidur dengan perempuan manapun, termasuk kamu!" Erlangga berbicara dengan nada tinggi kepada istri keduanya itu.

Martha mengelus dadanya. Hati wanita mana yang tak teriris mendengar perkataan dari suami yang sangat dicintai. Namun wanita sabar itu sudah terbiasa dengan kondisi tak nyaman ini. Dia harus lebih memahami pria yang sangat mencintai istri pertamanya. Keberadaannyapun tak diinginkan oleh suaminya.

Martha menarik napas panjang untuk mengatur kesabarannya. Lalu mendekat ke arah suami dan duduk di sampingnya. Wanita cantik itu menggenggam tangan sang suami.

"Kamu tidak harus tidur dengannya. Kalian bisa mencoba program bayi tabung. Aini masih punya ovarium. Mungkin saja sel telur Aini masih bagus, dan kita hanya perlu mencari ibu pengganti. Kita bayar berapapun yang dia inginkan." Martha mencoba meyakinkan suaminya.

"Kak Martha benar." Mata Aini berbinar. Ia mengambil posisi duduk di samping suaminya.

"Bagaimana menurut kamu, Mas?" tanya Aini dengan antusias.

Erlangga terdiam. Iya yakin kedua istrinya sudah kompak merencanakan semuanya dengan matang. Pria berusia empat puluh lima tahun itu tak hanya bisa pasrah.

"Terserah kalian saja. Tapi tolong, jangan merusak nama baik keluarga!"

Erlangga bangkit dan berlalu menuju ke arah balkon untuk mencari udara segar. 

Pria yang masih terlihat tampan dan segar di usianya yang matang itu berdiri mematung. Ia tidak perduli dengan dinginnya angin malam yang menusuk hingga ke tulang.

Sebagai lelaki normal Ia memang butuh menyalurkan hasratnya. Namun pria setia itu tidak mau menghianati istri yang sangat dicintainya.

Seandainya bisa memilih, Aini pasti tidak mau penyakit ganas itu bersarang di organ yang paling mulia bagi seorang wanita. Tapi takdirlah yang memilih istrinya untuk memikul cobaan seberat ini.

Erlangga menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan. Tatapannya lurus ke arah bawah. Ia melihat Ratih turun dari mobil bersama Adelia dan temannya yang sangat cantik. Sepertinya gadis itu tidak asing baginya.

”Rasanya aku seperti pernah menlihatnya, tapi  dimana?!” Erlangga berusaha mengingat sesuatu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status