Share

6. MENEMUI BUNGA

Hari masih pagi, sang mentari menyembunyikan sinar hangatnya. Suasana dapur sudah ramai. Terdengar ada sedikit keributan. Suara Aini berbicara dengan nada tinggi membuat Erlangga risih mendengarnya.

Erlangga mengenakan kaos dan celana olahraga, siap untuk jogging yang sudah menjadi rutinitasnya disetiap pagi. Pria berkacamata itu menghampiri dapur untuk melihat apa yang terjadi.

“Ada apa sih ribut-ribut?“

“Ini Mas. Bunga mau pamit pulang. Tapi aku khawatir kalau preman-preman itu datang lagi.“ Aini berusaha menjelaskan kepada suaminya.

“Kenapa kamu yang repot?! Kalau dia mau pulang, pulang saja. Ngapain ditahan-tahan! Dia punya otak yang bisa digunakan untuk berfikir! “ ujar Erlangga berpura-pura cuek. Padahal jauh dalam hatinya tak ingin gadis itu pergi dari rumahnya.

Bunga terdiam, Ia mencoba mencerna perkataan pria itu. Walaupun terkesan kasar, setiap kata yang terlontar dari mulut sadisnya penuh makna.

Bunga mencoba mengulang memory di otak tentang kejadian semalam. Keberuntungan belum tentu datang dua kali. Semalam Tuhan mengirim Pak Er untuk menolongnya.  Bagaimana untuk nanti, besok dan seterusnya. Belum tentu keberuntungan selalu berpihak kepadanya.

“Bunga. Tinggallah beberapa hari lagi di sini. Setidaknya sampai Mas Erlangga membawa kembali sertifikat tanah kamu yang berada di tangan lintah darat itu. Setelah semua aman, saya pasti mengijinkan kamu pulang kok.“  Aini mencoba membujuk Bunga. Dengan penuh kasih sayang Aini membelai pipi gadis yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Bahkan ingatan Aini masih segar ketika Bunga datang ke sekolah dengan dua kuncir di kepala saat duduk di bangku sekolah dasar. Aini sangat menyayangi Bunga layaknya putri sendiri.

“Baiklah Tante, Bunga mau. Kalau begitu, Bunga mau berangkat kerja dulu.“

“Berangkat kerja? kan masih pagi, Sayang. Jam kerja kamu jam delapan’kan?“

“Bunga sudah tidak bekerja di hotel lagi, Tante. Bunga sudah dipecat.“

“Dipecat?!“ Aini sangat terkejut. Ia lalu menatap ke arah sang suami. “Mas, ini pasti ulah kamu kan?!“ Aini memukul lengan suaminya  dengan kesal.

“Kalau iya, kenapa? saya tidak suka keberadaan dia!“ Erlangga mengacungkan jari telunjuk kepada Bunga.

“Keterlaluan kamu Mas! kasian Bunga! Dia butuh pekerjaan!“

“Aku tidak perduli! sudah cukup! kepalaku rasanya mau meledak setiap kali melihat dia!“ Erlangga meninggalkan dapurr. Namun Ia tidak benar-benar pergi dan hanya bersembunyi di balik dinding dapur yang tersekat oleh sebuah kulkas besar dan tinggi. Tujuannya untuk menguping percakapan Aini dan Bunga.

“Kamu sekarang bekerja di mana?“ Aini memperhatikan penampilan Bunga. Ia memakai pakaian santai, tidak nampak seperti bekerja di kantoran. Kaos lengan pendek, celana levis dan juga tas slempang yang melekat di tubuhnya.

“Jadi sopir angkot,Tante. Gantiin Ayah sementara.“

“Sopir Angkot?! Itu’kan pekerjaan laki-laki, Nak. Nanti kamu diapa-apain lo sama penumpang. Dan orang-orang yang ada di terminal itu’kan ... .iih mengerikan.“ Aini bergidik membayangkan preman-preman yang sering berada di terminal.

“Enggak, Tante. Temen-temen Bunga di sana baik-baik kok. Tante enggak usah khawatir. Bunga berangkat dulu ya Tante, titip Ayah, ibu sama Ade. Assalamu’alaikum.“ Bunga mencium punggung tangan Aini.

“Wa ‘alaikum salam, Hati-hati ya!“

“Iya, Tante.“

Bunga melangkah dengan cepat. Ia bangun kesiangan karena peristiwa semalam dan membutnya sulit memejamkan mata. Hal itu membuatnya harus berpacu dengan waktu. Telat sedikit saja bisa tidak kebagian penumpang.

Bukk ... “Aduh,“ suara adel dan papahnya bersamaan. Keduanya merasakan sakit di bagian kening karena berbenturan.

“Aduh Adel! ngapain sih kamu! Sakit tau!” Erlangga memegangi keningnya.

“Iih papah yang ngapain ngendap-ngendap kaya maling!“ Adel juga memijit keningnya.

“Haah,” Erlangga mendengkus kesal dan pergi meninggalkan putrinya yang menatap dengan penuh tanda tanya. ‘Ngapain papah begitu‘ bathin Adel. Ia mengedikan bahunya lalu masuk ke dapur.

****

Erlangga berada di depan terminal. Ia sengaja menyewa jasa taxi online untuk membuntuti Bunga. Sengaja tidak mengendarai mobil pribadinya, supaya orang rumah tidak curiga kalau dia mengikuti Bunga.

Sayangnya, Erlangga kehilangan jejak. Seseampainya di terminal, hampir satu jam menunggu, gadis cantik itu tak jua menampakkan batang hidungnya. Mengambil ponsel dan berniat untuk menelpon Bunga. Namun Ia tidak pernah menyimpan nomor gadis itu. Erlangga kesal dan menjambak rambutnya pelan. Ia kesal dengan dirinya sendiri, kenapa  bisa begitu peduli pada gadis menyebalkan itu. Kenapa  harus rela menghabiskan waktu percuma dengan sesuatu yang tidak penting.

Saat Erlangga memutuskan untuk meninggalkan terminal, tanpa sengaja melihat angkot berwarna merah keluar dari pintu terminal dikemudikan oleh seorang wanita cantik. Erlangga mengucek matanya. Ia ingin memastikan kalau sopir cantik itu adalah orang yang ditunggu. Senyumnya merekah, sopir itu benar-benar Bunga. Ia terlihat sangat mahir mengemudikan angkot yang masih kosong. Erlangga menyuruh Taxi untuk memotong jalan.

Bunga menginjak rem mendadak. Hampir saja  menabrak mobil yang ditumpangi oleh Erlangga. Bunga menggerutu kesal. Namun Ia hnya diam dan menunggu mobil itu pergi. Sifatnya yang pendiam membutnya tidak berani untuk melabrak si pengemudi mobil.

Bunga melihat seorang pria memakai baju olah raga mendekat ke arahnya. Dia merasa tak asing.”Pak Erlngga? ngapain Dia berada di sini?”Bunga bermonolog..

Membuang jauh pandangannya ke luar dan meletakkan dagunya di atas daun pintu dengan harapan  Pria itu tidak melihat dirinya.

Bunga tersenyum lebar saat ada penumpang yang masuk dan duduk di sampingnya. “Alhamdulilah, dapat penumpang.” Bunga berbicara dengan dirinya sendiri. Ia lalu menoleh kearah penumpang. Ia sangat terkejut melihat penumpang yang ada di samping.

“P-Pak Er?!“ Bola  mata gadis itu membulat sempurna seolah nyaris jatuh dari kelopaknya. Ia tidak meyangka kalau pria yang dihindari olehnya kini duduk di sampingnya.

“Kenapa?! gak usah kaya lihat hantu! cepat jalan!“

“I-iya pak. Tapi nunggu penumpang lagi.“

“Gak usah! hari ini saya booking angkot kamu!“ Erlangga mengeluarkan uang sejumlah tiga juta rupiah dan meletakkannya di atas dashboard. “ Nih, ambil!“

“Enggak usah Pak, saya bersedia mengantar Bapak gratis.“

“Tapi saya tidak suka gratisan! ambil uang itu sekarang dan cepat jalan!“

“I-iya Pak,“ jawab Bunga dan mengambil uang di atas Dashboard lalu memasukannya ke dalam tas slempang yang dikenakan tanpa menghitungnya. Lalu melaju perlahan.

“Kita mau kemana, Pak?“ tanya Bunga tanpa menatap ke arah Erlangga sedikitpun. Bola matanya menatap lurus ke arah jalan yang mulai sesak oleh kendaraan.

“Antar saya ke rumah lintah darat itu sekarang!“

“Sekarang Pak?!“

“Dengar ya Nona menyebalkan, saya paling tidak suka mengulang kata-kata ataupun perintah! mengerti kamu!“

“Iya.“

Bunga mempercepat laju kendaraannya menuju kediaman si pria tambun menyebalkan itu. Entah apa yang akan dilakukan oleh pria yang ada di sampingnya ini. Bunga mencoba menuruti keinginan pria yang sudah banyak membantunya.

Erlangga memperhatikan cara mengemudi Bunga secara diam-diam. Gadis itu terlihat begitu lincah dan sangat profesional. Namun profesi ini sangat tidak layak untuk gadis secantik dia. Dia tak setangguh wanita di luar sana yang mampu menghadapi keisengan penumpang hidung belang yang berniat menggodanya. Dia khawatir kalau sesuatu menimpa diri gadis itu.

Erlangga merasa bersalah, karena  keputusan memecat Bunga pada saat itu berdasarkan emosinya semata. Kini gadis itu harus menanggung beban berat di pundaknya..

Bunga menghentikan angkot di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi dan kokoh. Rumah ini sangat tertutup. Tak ada satu orangpun yang berani masuk ke dalam tanpa seijin pemilik rumah. Menurut warga sekitar, kalu ada seorang yang di bawa masuk ke rumah itu karena tak membayar hutang, tamatlah riwayatnya.

 “Ini rumahnya,Pak!“

“Oke!. Sekarang kamu pulang dan enggak usah kerja! uang yang tadi saya beri cukup’kan untuk membayar sewa angkot?“ Suara Erlangga terdengar lembut, tidak kasar seperti biasanya.

“Tidak, Pak! Jangan masuk ke sana sendiri. Berbahaya. Lebih baik tunggu mereka menemui Bapak saja!” Bunga terlihat khawatir.

“Sudahlah. Truti perkataan saya! Saya laki-laki, pasti mampu menghadapi orang licik seperti mereka. Kamu pulang sekarang juga!“

Erlangga turun dan memperhatikan rumah lintah darat itu. Ia lalu menelpon seseorang.

Bunga terus memperhatikan gerak-gerik Erlangga. Beberapa saat setelah pria itu selesai menelpon,  muncul dua  mobil polisi dan satu mobil mini bus dari arah yang berlawanan. Bunga ketakutan. Ia lalu turun dan bersembunyi di balik punggung Erlangga.

“Bunga. Kamu pulang sekarang!“

“Enggak mau, Bunga takut!“ gadis itu seperti anak kecil yang berlindung di balik punggung ayahnya. Dia terlihat begitu ketakutan.

“Ini bahaya! Saya bilang pulang sekarang! Turuti perintah Saya!“

Bunga  menggelengkan kepala. Ia berpegangan erat kaos yang dipakai Erlangga tanpa  menyadarinya. Tubuhnya terasa lemas. Ia punya trauma di masa kecil. Saat usianya baru sepuluh tahun. Satu mobil polisi datang ke rumahnya untuk menangkap Ayahnya dengan tuduhan fitnah yang sangat keji. Si lintah darat yang dulu menyukai ibunya memfitnah Ayahnya melakukan tabrak lari.

Untung saja Tuhan mendengar do’a umatnya yang tak bersalah. Saat kejadian, ayahnya sedang tidak narik angkot dan akhirnya dibebaskan dari tuduhan. Semua trauma itu masih membekas hingga kini. Dan kini Bunga tidak sanggup untuk menyaksikan kekerasan yang akan terjadi di depan matanya. Bungapun terjatuh dan tak sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status