Hari masih pagi, sang mentari menyembunyikan sinar hangatnya. Suasana dapur sudah ramai. Terdengar ada sedikit keributan. Suara Aini berbicara dengan nada tinggi membuat Erlangga risih mendengarnya.
Erlangga mengenakan kaos dan celana olahraga, siap untuk jogging yang sudah menjadi rutinitasnya disetiap pagi. Pria berkacamata itu menghampiri dapur untuk melihat apa yang terjadi.
“Ada apa sih ribut-ribut?“
“Ini Mas. Bunga mau pamit pulang. Tapi aku khawatir kalau preman-preman itu datang lagi.“ Aini berusaha menjelaskan kepada suaminya.
“Kenapa kamu yang repot?! Kalau dia mau pulang, pulang saja. Ngapain ditahan-tahan! Dia punya otak yang bisa digunakan untuk berfikir! “ ujar Erlangga berpura-pura cuek. Padahal jauh dalam hatinya tak ingin gadis itu pergi dari rumahnya.
Bunga terdiam, Ia mencoba mencerna perkataan pria itu. Walaupun terkesan kasar, setiap kata yang terlontar dari mulut sadisnya penuh makna.
Bunga mencoba mengulang memory di otak tentang kejadian semalam. Keberuntungan belum tentu datang dua kali. Semalam Tuhan mengirim Pak Er untuk menolongnya. Bagaimana untuk nanti, besok dan seterusnya. Belum tentu keberuntungan selalu berpihak kepadanya.
“Bunga. Tinggallah beberapa hari lagi di sini. Setidaknya sampai Mas Erlangga membawa kembali sertifikat tanah kamu yang berada di tangan lintah darat itu. Setelah semua aman, saya pasti mengijinkan kamu pulang kok.“ Aini mencoba membujuk Bunga. Dengan penuh kasih sayang Aini membelai pipi gadis yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Bahkan ingatan Aini masih segar ketika Bunga datang ke sekolah dengan dua kuncir di kepala saat duduk di bangku sekolah dasar. Aini sangat menyayangi Bunga layaknya putri sendiri.
“Baiklah Tante, Bunga mau. Kalau begitu, Bunga mau berangkat kerja dulu.“
“Berangkat kerja? kan masih pagi, Sayang. Jam kerja kamu jam delapan’kan?“
“Bunga sudah tidak bekerja di hotel lagi, Tante. Bunga sudah dipecat.“
“Dipecat?!“ Aini sangat terkejut. Ia lalu menatap ke arah sang suami. “Mas, ini pasti ulah kamu kan?!“ Aini memukul lengan suaminya dengan kesal.
“Kalau iya, kenapa? saya tidak suka keberadaan dia!“ Erlangga mengacungkan jari telunjuk kepada Bunga.
“Keterlaluan kamu Mas! kasian Bunga! Dia butuh pekerjaan!“
“Aku tidak perduli! sudah cukup! kepalaku rasanya mau meledak setiap kali melihat dia!“ Erlangga meninggalkan dapurr. Namun Ia tidak benar-benar pergi dan hanya bersembunyi di balik dinding dapur yang tersekat oleh sebuah kulkas besar dan tinggi. Tujuannya untuk menguping percakapan Aini dan Bunga.
“Kamu sekarang bekerja di mana?“ Aini memperhatikan penampilan Bunga. Ia memakai pakaian santai, tidak nampak seperti bekerja di kantoran. Kaos lengan pendek, celana levis dan juga tas slempang yang melekat di tubuhnya.
“Jadi sopir angkot,Tante. Gantiin Ayah sementara.“
“Sopir Angkot?! Itu’kan pekerjaan laki-laki, Nak. Nanti kamu diapa-apain lo sama penumpang. Dan orang-orang yang ada di terminal itu’kan ... .iih mengerikan.“ Aini bergidik membayangkan preman-preman yang sering berada di terminal.
“Enggak, Tante. Temen-temen Bunga di sana baik-baik kok. Tante enggak usah khawatir. Bunga berangkat dulu ya Tante, titip Ayah, ibu sama Ade. Assalamu’alaikum.“ Bunga mencium punggung tangan Aini.
“Wa ‘alaikum salam, Hati-hati ya!“
“Iya, Tante.“
Bunga melangkah dengan cepat. Ia bangun kesiangan karena peristiwa semalam dan membutnya sulit memejamkan mata. Hal itu membuatnya harus berpacu dengan waktu. Telat sedikit saja bisa tidak kebagian penumpang.
Bukk ... “Aduh,“ suara adel dan papahnya bersamaan. Keduanya merasakan sakit di bagian kening karena berbenturan.
“Aduh Adel! ngapain sih kamu! Sakit tau!” Erlangga memegangi keningnya.
“Iih papah yang ngapain ngendap-ngendap kaya maling!“ Adel juga memijit keningnya.
“Haah,” Erlangga mendengkus kesal dan pergi meninggalkan putrinya yang menatap dengan penuh tanda tanya. ‘Ngapain papah begitu‘ bathin Adel. Ia mengedikan bahunya lalu masuk ke dapur.
****
Erlangga berada di depan terminal. Ia sengaja menyewa jasa taxi online untuk membuntuti Bunga. Sengaja tidak mengendarai mobil pribadinya, supaya orang rumah tidak curiga kalau dia mengikuti Bunga.
Sayangnya, Erlangga kehilangan jejak. Seseampainya di terminal, hampir satu jam menunggu, gadis cantik itu tak jua menampakkan batang hidungnya. Mengambil ponsel dan berniat untuk menelpon Bunga. Namun Ia tidak pernah menyimpan nomor gadis itu. Erlangga kesal dan menjambak rambutnya pelan. Ia kesal dengan dirinya sendiri, kenapa bisa begitu peduli pada gadis menyebalkan itu. Kenapa harus rela menghabiskan waktu percuma dengan sesuatu yang tidak penting.
Saat Erlangga memutuskan untuk meninggalkan terminal, tanpa sengaja melihat angkot berwarna merah keluar dari pintu terminal dikemudikan oleh seorang wanita cantik. Erlangga mengucek matanya. Ia ingin memastikan kalau sopir cantik itu adalah orang yang ditunggu. Senyumnya merekah, sopir itu benar-benar Bunga. Ia terlihat sangat mahir mengemudikan angkot yang masih kosong. Erlangga menyuruh Taxi untuk memotong jalan.
Bunga menginjak rem mendadak. Hampir saja menabrak mobil yang ditumpangi oleh Erlangga. Bunga menggerutu kesal. Namun Ia hnya diam dan menunggu mobil itu pergi. Sifatnya yang pendiam membutnya tidak berani untuk melabrak si pengemudi mobil.
Bunga melihat seorang pria memakai baju olah raga mendekat ke arahnya. Dia merasa tak asing.”Pak Erlngga? ngapain Dia berada di sini?”Bunga bermonolog..
Membuang jauh pandangannya ke luar dan meletakkan dagunya di atas daun pintu dengan harapan Pria itu tidak melihat dirinya.
Bunga tersenyum lebar saat ada penumpang yang masuk dan duduk di sampingnya. “Alhamdulilah, dapat penumpang.” Bunga berbicara dengan dirinya sendiri. Ia lalu menoleh kearah penumpang. Ia sangat terkejut melihat penumpang yang ada di samping.
“P-Pak Er?!“ Bola mata gadis itu membulat sempurna seolah nyaris jatuh dari kelopaknya. Ia tidak meyangka kalau pria yang dihindari olehnya kini duduk di sampingnya.
“Kenapa?! gak usah kaya lihat hantu! cepat jalan!“
“I-iya pak. Tapi nunggu penumpang lagi.“
“Gak usah! hari ini saya booking angkot kamu!“ Erlangga mengeluarkan uang sejumlah tiga juta rupiah dan meletakkannya di atas dashboard. “ Nih, ambil!“
“Enggak usah Pak, saya bersedia mengantar Bapak gratis.“
“Tapi saya tidak suka gratisan! ambil uang itu sekarang dan cepat jalan!“
“I-iya Pak,“ jawab Bunga dan mengambil uang di atas Dashboard lalu memasukannya ke dalam tas slempang yang dikenakan tanpa menghitungnya. Lalu melaju perlahan.
“Kita mau kemana, Pak?“ tanya Bunga tanpa menatap ke arah Erlangga sedikitpun. Bola matanya menatap lurus ke arah jalan yang mulai sesak oleh kendaraan.
“Antar saya ke rumah lintah darat itu sekarang!“
“Sekarang Pak?!“
“Dengar ya Nona menyebalkan, saya paling tidak suka mengulang kata-kata ataupun perintah! mengerti kamu!“
“Iya.“
Bunga mempercepat laju kendaraannya menuju kediaman si pria tambun menyebalkan itu. Entah apa yang akan dilakukan oleh pria yang ada di sampingnya ini. Bunga mencoba menuruti keinginan pria yang sudah banyak membantunya.
Erlangga memperhatikan cara mengemudi Bunga secara diam-diam. Gadis itu terlihat begitu lincah dan sangat profesional. Namun profesi ini sangat tidak layak untuk gadis secantik dia. Dia tak setangguh wanita di luar sana yang mampu menghadapi keisengan penumpang hidung belang yang berniat menggodanya. Dia khawatir kalau sesuatu menimpa diri gadis itu.
Erlangga merasa bersalah, karena keputusan memecat Bunga pada saat itu berdasarkan emosinya semata. Kini gadis itu harus menanggung beban berat di pundaknya..
Bunga menghentikan angkot di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi dan kokoh. Rumah ini sangat tertutup. Tak ada satu orangpun yang berani masuk ke dalam tanpa seijin pemilik rumah. Menurut warga sekitar, kalu ada seorang yang di bawa masuk ke rumah itu karena tak membayar hutang, tamatlah riwayatnya.
“Ini rumahnya,Pak!“
“Oke!. Sekarang kamu pulang dan enggak usah kerja! uang yang tadi saya beri cukup’kan untuk membayar sewa angkot?“ Suara Erlangga terdengar lembut, tidak kasar seperti biasanya.
“Tidak, Pak! Jangan masuk ke sana sendiri. Berbahaya. Lebih baik tunggu mereka menemui Bapak saja!” Bunga terlihat khawatir.
“Sudahlah. Truti perkataan saya! Saya laki-laki, pasti mampu menghadapi orang licik seperti mereka. Kamu pulang sekarang juga!“
Erlangga turun dan memperhatikan rumah lintah darat itu. Ia lalu menelpon seseorang.
Bunga terus memperhatikan gerak-gerik Erlangga. Beberapa saat setelah pria itu selesai menelpon, muncul dua mobil polisi dan satu mobil mini bus dari arah yang berlawanan. Bunga ketakutan. Ia lalu turun dan bersembunyi di balik punggung Erlangga.
“Bunga. Kamu pulang sekarang!“
“Enggak mau, Bunga takut!“ gadis itu seperti anak kecil yang berlindung di balik punggung ayahnya. Dia terlihat begitu ketakutan.
“Ini bahaya! Saya bilang pulang sekarang! Turuti perintah Saya!“
Bunga menggelengkan kepala. Ia berpegangan erat kaos yang dipakai Erlangga tanpa menyadarinya. Tubuhnya terasa lemas. Ia punya trauma di masa kecil. Saat usianya baru sepuluh tahun. Satu mobil polisi datang ke rumahnya untuk menangkap Ayahnya dengan tuduhan fitnah yang sangat keji. Si lintah darat yang dulu menyukai ibunya memfitnah Ayahnya melakukan tabrak lari.
Untung saja Tuhan mendengar do’a umatnya yang tak bersalah. Saat kejadian, ayahnya sedang tidak narik angkot dan akhirnya dibebaskan dari tuduhan. Semua trauma itu masih membekas hingga kini. Dan kini Bunga tidak sanggup untuk menyaksikan kekerasan yang akan terjadi di depan matanya. Bungapun terjatuh dan tak sadarkan diri.
Bunga tersadar dan menatap langit-langit kamar dan juga sekelilingnya. Pandangannya kabur. Namun perlahan dapat melihat jelas orang di sekelilingnya. Adik lelaki dan ibunya duduk di tepi ranjang sambil memijit kakinya. Ayahnya duduk di kursi roda, Aini dan juga Martha duduk di kursi dan memegang lengannya seraya menguntai senyum manis penuh ketulusan.“Kenapa Bunga ada di sini, Tante? bukan kah tadi Bunga ....”“Bunga. Kamu tadi pinsan di jalan dan ada orang yang mengantar kamu kesini.”Aini membelai rambut Bunga dengan lembut.Bunga membisu. Ia tidak melihat Pak Er ada di sini. Bunga ingat betul tadi dirinya yang mengantar ke rumah Suryo. Bagaimana nasib beliau kini. Apakah beliau mengalami kesulitan.Bunga tidak bisa tinggal diam dan harus melakukan sesuatu. Ia tidak mau gara-gara menolong dirinya, Pak Er jadi celaka. Bunga beranjak dari tempat tidur dan semua orang menahannya.“Bunga. Kamu mau kemana? istirahatlah dulu.” Martha berusaha mencegahnya.“Tidak, Tante, Bunga harus menolo
”Siapa, Bunga? katakan!” Aini makin penasaran dan terus mendesak Bunga.“Bunga sendiri, Tante,” Jawab Bunga lirih. Dan semakin menundukkan kepala lebih dalam. “Apa?!” jawab Martha dan Aini berbarengan.“Kamu jangan bercanda, Bunga. Tante enggak suka!” ucap Aini.“Bunga serius, Tante. hanya dengan cara ini Bunga bisa membalas budi kepada keluarga Tante. “ Bunga memberanikan diri menatap wanita yang sangat dihormatinya. Seorang wanita yang berhati mulia tapi mendapat cobaan yang sangat berat.“Tidak, Bunga. Tante tidak setuju! Kamu masih muda. Tante tidak akan membiarkan kamu terkungkung dalam ikatan ini. Lagi pula Kami tidak pernah mengharapkan balasan apapun dari kamu, sayang, Tante ikhlas.”“Justru karena Bunga masih muda dengan harapan berhasil lebih besar. Bunga juga ikhlas Tante. Masa depan Bunga bisa drajut kembali setelah tugas selesai.” Bunga menggenggam jemari Aini dan mencoba meyakinkannya.“Cukup Bunga! Tante tidak mau merusak masa depan kamu. Kamu masih gadis. Kalau kamu
“Justru karena aku mencintai kamu. aku ingin kamu bahagia dan punya anak dari benih kamu, Mas. Berkali-kali aku sudah membicarakan ini.” Aini juga berdiri dan balas menatap tajam suaminya.“Aku tidak mau! punya istri dua saja Aku belum bisa bertindak adil kepada Martha. Aku banyak dosa padanya! dan itu menjadikan aku beban di dunia dan akhirat! mikir enggak sih kamu! belum lagi perkataan orang lain di luar sana, mereka akan menganggap aku lelaki hidung belang yang doyan main perempuan! asal kamu tahu, biarpun aku tidak pernah mendapat kepuasan bathin dari kamu tapi aku tidak pernah jajan sekalipun, aku setia Aini!” Erlngga berteriak di depan wajah Aini persis. Ia menumpahkan segala kekesalannya kepada istri tercintnya itu.“Aku tahu Mas. maka dari itu aku ingin kamu bahagia dengan menikahi Bunga untuk menjalankan program bayi tabung. Itu saja, bukan untuk menyuruhmu ‘tidur’ dengannya!” Aini menyentuh lengan suaminya untuk melembutkan hatinya. Namun Erlangga menepisnya dengan kasar.“B
“Kamu mikir apa sih?” Erlangga membuang muka. Ia tidak ingin istrinya tahu perubahan wajahnya.Erlangga memegang kedua bahu Martha dan menatapnya tajam.“Martha, tolong bantu aku untuk berbicara kepada Aini. Aku tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Lupakan keinginan untuk mempunyai anak kandung. Aku sudah punya Adelia dan Ratih, mereka anak-anakku.”Martha menatap kedua bola mata suaminya. Sulit bagi Martha untuk mengartikannya. Nalurinya mengatakan ada yang berbeda antara ucapan dan tatapan mata yang penuh keraguan.“Martha, Kamu dengar ucapanku?” Erlangga mengguncang bahu istri keduanya.Pertanyaan suaminya membuat Martha terkejut hingga membuyarkan semua lamunannya. “Iya, aku bantu.” Martha tersenyum sembari mengerjapkan matanya.“Terima Kasih, Martha.” Erlangga memeluk Martha begitu erat. Ada sedikit ringan di dadanya sekaligus kepedihan di hatinya. Ia akan kehilangan permata itu untuk selamanya.Martha tak menyangka suaminya akan memeluknya seerat ini. Ini adalah pelukan per
Pintu terbuka dari dalam. Bunga muncul dari balik pintu mengenakan daster tanpa lengan setinggi lutut. Ia terkejut melihat kedatangan Aini.Sementara itu, Erlangga bersandar pada dinding hingga luput dari pandangan Bunga.“Tante?!”“Iya, Sayang. Apa kabar?” Aini memeluk Bunga begitu erat.Erlangga menahan nafas dan dadanya kembang kempis. Entah kenapa dadanya terasa bergemuruh. Pria itu melihat Bunga secantik bidadari. Tubuh sexy dengan balutan daster berbelahan pendek di bagian dada dan punggung membuat pria matang itu meneguk saliva. Kulitnya yang putih mulus begitu menggoda.Ada geletar aneh dan dentuman dahsyat dari hasrat lelakinya. Pria itu memalingkan wajah untuk mengurangi hasrat yang tiba-tiba saja datang dan menekan dada.Tanpa sengaja Bunga mengarahkan pandangannya ke arah Erlangga. Gadis itu tak menyangka pria menyebalkan itu juga ada di rumahnya.”Pak Er?!” Bunga sangat terkejut. Ia masih sangat kesal mengingat penghinaan pria itu semalam. Bunga melepas pelukan Aini dan h
“Bunga.” Aini menyentuh pipi Bunga dengan lembut.“I...iya Tante. Bunga mau, tapi demi Tante!“ jawab Bunga dengan gugup. Gadis itu memainkan jemarinya sebagai tanda dia sedang gelisah. Ada penyesalan saat menjawab pertanyaan tanpa berpikir terlebih dahulu. Namun nasi sudah menjadi bubur. Apa yang terucap takkan bisa ditarik kembali.“Terima Kasih, Bunga!” Aini memeluk Bunga dengan erat. Matanya berkaca-kaca. Perasaan sedih dan bahagia bercampur menjadi satu.Wanita mana yang takkan sedih bila harus merelakan sang suami menikah lagi dan akan mempunyai anak dari wanita lain. Namun Aini harus menguatkan diri karena hal itu juga demi keutuhan rumah tangganya.“Sama-sama, Tante.” Bunga membalas pelukan Aini. Rasa sesal sedikit terurai saat melihat wajah wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya itu bersinar bahagia.Erlangga tersenyum bahagia dan merasa seperti baru saja memenangkan sebuah proyek besar. Tapi bukan Erlangga namanya kalau tidak pandai menutupi perasaan dengan kemarahan. Egon
Siang hari yang begitu cerah Aini dan Martha mendatangi rumah Bunga dengan tujuan untuk melamar Bunga sebagai istri ketiga suaminya. Semula kedua orang tua Bunga menolak lamaran itu.Pada dasarnya tidak ada orang tua yang rela putrinya menjadi istri kedua ataupun ketiga. Begitu juga dengan orang tua Bunga. Mereka tidak mau mengorbankan kebahagiaan anaknya hanya untuk balas jasa.Namun Aini berusaha menjelaskan semuanya, bahwa pernikahan Bunga dan suaminya hanya untuk menjalani program Bayi tabung saja, bukan untuk tidur dengan suaminya. Aini yang menjamin kalau suaminya tidak akan menyentuh Bunga. Bunga akan tetap virgin hingga tugasnya selesai.Dengan susah payah Aini membujuk kedua orangtua Bunga. Ia berusaha meyakinkan keduanya untuk menerima pinangan suaminya.Bunga juga berusaha meyakinkan kedua orangtuanya yang masih diselimuti oleh keraguan. Keinginannya hanya untuk membalas kebaikan keluarga yang telah banyak membantu kehidupannya dan keluarga.Dengan berat hati dan berlinang
“Mas Erlangga enggak salah Mah. Pah! Semua ini kemauan Aini. Bunga menikah dengan Mas Erlangga hanya untuk melaksanakan program bayi tabung saja, supaya Mas Erlangga mempunyai anak kandung. Cucu dari keturunan Hadi Wijaya sebagai generasi penerus. Aini melakukan semua ini karena untuk kebahagiaan Mamah dan Papah. Aini terpaksa melakukan karena sudah gak punya rahim, Mah!” ucap Aini dengan pilu. Buliran bening mulai berguguran dan saling berdesakan.Nyonya Irma memeluk menantunya dengan penuh kasih sayang. “Aini. Kamu tidak perlu berkorban sejauh itu. Kami sudah menganggap Adel dan Ratih seperti cucu kami sendiri.”“Siapa yang mencari calon madumu, Aini? apa Erlangga sendiri?” Hadi wijaya bertanya penuh selidik. Ia melihat gelagat putranya yang aneh.Cara putranya menatap ke arah calon menantunya seperti pria yang sedang jatuh cinta. Matanya berbinar saat menatap Bunga. Tak ada wajah kesedihan seperti saat Aini menyuruh putranya menikahi Martha.“Aku juga lelaki, Nak. Aku tahu kamu sed