Mataku mengerjab mendengar penuturannya. Pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Berharap dia salah bicara atau sedang sakau karena pengaruh obat.
"Lupakan!" ucapnya dengan tegas.
Membuat kesadaranku segera kembali. Aku bahkan belum sempat bertanya apa aku salah dengar atau tidak. Tapi sepertinya aku memang salah.
"Pokoknya aku akan lebih sering datang untuk menagih hutang padamu." Dia membuang muka dan berlalu melewatiku.
Aku masih terdiam, membuang pikiran buruk yang mungkin terjadi. Amit-amit jika pikiranku ini sampai benar. Aku menggeleng cepat hingga tak sadar bahwa kini ada seorang wanita yang telah berada di hadapanku setelah aku berbalik.
"Ta-Tante?" Aku kembali tergagap saat berhadapan dengan ibunya Daryan.
Plak!
Tangan halusnya tiba-tiba mendarat di pipiku. Tanpa kata, aba-aba, apalagi peringatan. Menciptakan rasa panas dan pedih hingga membuat mataku terasa menghangat.
"Sudah saya bilang jangan ganggu Daryan lagi. Kamu mau mempermainkan saya, ha? Di mana Daryan sekarang?" Suara cemprengnya tampak sangat marah.
"Daryan? Aku tidak tahu," jawabku seadanya. Satu harian ini dia memang belum datang menemuiku.
"Jangan pura-pura suci. Kau mengajak Daryan menginap? Dasar murahan!" Matanya memerah menahan amarah. Hingga tangannya kini kembali mengudara dan bersiap ingin menamparku sekali lagi.
Dengan cepat aku menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha mengelak. Aku menunggu lama, tapi tak ada pukulan sama sekali. Tangannya belum juga sampai ke bagian tubuh mana pun.
Aku memberanikan diri menoleh, hingga kulihat tangannya kini tertahan di udara akibat cengkraman seseorang.
Ren? Dia belum pergi?
"Jaga tanganmu. Jangan sembarangan memukul orang!" ucap Ren tegas, lalu melempar tangan wanita itu asal.
Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, merasa tidak enak karena telah ingkar janji pada wanita itu.
Tapi aku benar-benar tidak tahu di mana Daryan sekarang. Ucapannya ternyata serius tentang tak mau pulang. Mereka pasti bertengkar hebat, hingga Daryan sampai tak pulang semalaman.
"Berani sekali kau bersikap seperti ini padaku?" Ibunya Daryan berang dengan sikap Ren. "Dasar preman!"
Ren menepikan tubuhku agar menjauh dari wanita itu. Dia menggeser tubuhnya membelakangi agar menjadi tameng untuk melindungiku. Aku mengintip reaksi wanita itu dari balik tubuh Ren. Entah apa yang akan terjadi.
"Anda rentenir?" Ren bertanya dengan polosnya.
Aih, gila! Apa dia berpikir hidupku hanya dikelilingi orang-orang seperti dia?
"Jangan sembarangan bicara. Kau tidak lihat aku ini wanita terhormat?" Diam-diam aku mengangguk mengiyakan. Gaya bicaranya memang terlihat sangat elegan.
Apalagi saat melihat tangannya mengusap bekas cengkraman Ren. Sungguh berkelas. Putarannya teratur dan tidak asal-asalan.
"Memukul orang sembarangan. Apa itu namanya terhormat?"
"Kau siapa? Apa kau penjaga keamanan di sini? Baguslah. Bilang pada gadis itu, jangan...."
"Dia pacarku, Tante!" Aku memotong ucapan mereka. Lalu refleks merangkul lengan Ren dengan erat. Laki-laki yang baru saja bersikap garang tadi mendadak diam terpaku.
"Pacar?" Matanya menyipit.
"Iya. Bukankah anda menyuruhku putus dari Daryan? Aku tak ada hubungan apa pun lagi dengannya. Tadi malam dia memang datang. Tapi aku segera menyuruhnya pulang. Mana mungkin aku mengingkari kesepakatan kita. Aku bukan tipe orang yang suka ingkar janji. Anda bisa pegang ucapanku." Aku menjelaskan dengan lantang.
"Benarkah?" Dia kembali melirik tanganku yang merangkul lengan Ren.
Kurasa Ren menyadari situasi ini. Dia berdehem, dan mencoba menarik lengannya dari rangkulanku. Sungguh tidak bisa diajak bekerja sama.
Aku mencoba menahan. Berharap situasi ini dapat membantu dan membuat ibunya Daryan percaya, lalu segera pergi dari sini. Namun lengan kekar pria ini tentu saja tak bisa kutahan. Sebentar saja dia berhasil meloloskan peganganku. Aku pasrah jika ketahuan.
Namun tiba-tiba tangan itu kini telah jatuh ke pundakku. Kini tangannya yang berganti merangkulku dengan erat. Menarik tubuhku agar merapat ke bawah ketiaknya. Sialan!
"Tentu saja. Kami pacaran," ucapnya tegas. "Aku akan menuntut anda karena telah melakukan tindak kekerasan. Ada CCTV di sana." Ren menunjuk ke sudut ruko dengan ibu jarinya ke belakang.
6Aku menelan ludah. Si brengsek ini benar-benar pintar memanfaatkan keadaan dan mencari kesempatan. Aku melotot, mendongak agar dia tahu aku marah. Namun sayang, pandangannya hanya lurus ke depan tanpa menoleh ke arahku.Dasar licik.Nyonya kaya raya itu berpikir sejenak. Napas dihembus secara perlahan. Lalu tersenyum sinis menatap kami."Begitu lebih baik. Gadis jalanan sepertimu memang pantasnya bersanding dengan preman seperti dia. Kalian sangat cocok. Jadi jangan lagi bermimpi yang bukan-bukan." Tarikan di sudut bibirnya membuat hatiku terasa sakit. Entah kenapa.Wanita itu kembali melirik tajam ke arahku. Lalu pergi begitu saja meninggalkan kami.Leherku sampai memanjang untuk memastikan bahwa mobil Alphard miliknya sudah menjauh, membawanya pergi dan tidak terlihat lagi.Dengan cepat aku melepaskan diri dan mendorong tubuh Ren agar menjauh. Namun tentu saja kaki jenjangnya tak bergeser sedikitpun. Terpaksa aku mengalah dan harus mundur. Aku mengusap bahu dan juga bagian tubuhku
Aku menyerah. Aku merasa lebih membutuhkan Daryan dari pada uang. Jujur saja, sejak mengenalnya aku jadi punya tempat untuk bercerita. Frustasiku juga kadang menghilang jika mendengar kisah-kisah konyolnya yang ternyata lebih gila dari aku. Entah itu nyata, atau hanya karangannya saja untuk membuatku tertawa.Aku meremas amplop yang diberikan Ren tempo hari. Andai Daryan kembali, aku akan mengembalikan uang itu padanya. Tak peduli lagi pada hutang-hutang itu. Berapa lama pun waktunya, aku akan tetap membayarnya dengan keringatku sendiri.Aku menyesali semuanya. Kenapa aku serendah itu, menerima tawarannya untuk menukar pertemanan kami dengan uang.Kupikir semua hanya candaan saja. Tanpa kusadari kalau ibunya benar-benar membayarku untuk menjauhinya.Aku juga menyesal sudah mengusirnya malam itu. Andai kubiarkan dia tinggal dan mengerti tentang masalahnya, tentu dia tak akan mengabaikanku seperti ini.Aku bersalah. Keserakahan telah membutakan mataku. Menukar persahabatan ini hanya dem
Dia bahkan tak bertanya kenapa aku bisa ada di sini. Wajahnya tampak tidak terkejut sama sekali. Tidak sepenting itukah aku di matanya? Jahat sekali."Kau kemana saja? Sama sekali tak menjawab pesanku." Aku bertanya tanpa basa-basi."Kau rindu padaku, ya?" selorohnya. Senyum itu masih melekat di bibirnya. Aku mengangguk tanpa sadar. Dia tertegun.Aku yang biasanya acuh tak acuh dan menjaga gengsi, kini seperti sang pemuja yang tunduk dengan perasaanku sendiri. Aku memang serindu itu.Dia memutar lehernya menyisir sekeliling area."Mencari siapa?""Kau sendirian?"Ya. Bukankah aku memang selalu sendiri?""Pacarmu?""Pacar? Kau benar-benar percaya kalau aku punya pacar?" Aku menatap cengeng wajahnya."Memangnya tidak, ya?" Dia mengusap belakang tengkuknya, tertawa cengengesan. Menggemaskan."Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Aku kembali berterus terang. Belum lagi dia menjawab, aku sudah menarik tangannya menjauh dari pintu masuk. Mencari tempat di sudut, yang tidak banyak dilalui
"Uangnya sudah aku kembalikan," lapor Daryan. "Ibumu bilang apa?""Dia bilang kau plin plan.""Mana mungkin." Aku tergelak. "Itu pasti hanya karanganmu saja." Dia ikut tertawa.Seperti itulah Daryan. Selalu tertutup tentang bagaimana keluarganya. Tak banyak yang dia ceritakan. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan pun hanya dengan senyuman dan kalimat-kalimat ambigu lainnya.Kalau dipikir-pikir, lebih banyak aku yang mengeluh dibanding dia. Semua permasalahan keluarga aku ceritakan padanya. Tak ada lagi yang aku tutup-tutupi. Bicara pada orang itu membuatku merasa nyaman.Sementara, pria berhidung mancung itu lebih banyak menutup rapat perihal siapa keluarganya. Yang dia ceritakan, hanya betapa kayanya mereka saja.Dari barang-barang yang dipakai, juga kartu-kartu yang aku juga tidak paham fungsinya apa, aku tidak berpikir kalau dia sedang mengada-ada atau sekadar mengarang cerita.Apalagi sejak bertemu ibunya. Juga pesta di hotel waktu itu. Semua nyata. Bukan khayalan atau sekedar ke
"Kupikir kau tak butuh aku lagi. Lagi pula, aku tak suka merusak hubungan orang. Kalau suatu hari kau punya pacar, aku tak akan mungkin datang lagi," rajuknya malam itu. Membuatku berpikir, laki-laki macam apa Daryan ini.Terdengar lemah sebagai seorang lelaki. Bahkan terkesan tak ingin berjuang, andai wanita yang disukai sudah ada yang memilki."Tapi kau sengaja memintaku datang.""Itu karena aku tak ingin kau tersiksa karena merindukanku.""Hish, Daryan!" Aku memukul bahunya. Kesal.Dia kembali terkekeh.*"Kalau ibumu datang lagi, aku harus bagaimana, Yan?" tanyaku serba salah. Di satu sisi aku benci diintimidasi. Tak ingin diremehkan hanya karena aku miskin. Tapi di sisi lain, musuh yang harus kuhadapi saat ini adalah ibu dari temanku. Seseorang yang yang katanya membutuhkan aku di sela-sela rasa bosannya. Meski kenyataanya, akulah sebenarnya yang lebih membutuhkan dia.Dia menatapku tajam. Terlihat serius. Membuatku merasa tidak enak. Dia pasti berpikir kalau aku berusaha memint
Dering ponsel berhasil memaksaku untuk membuka mata. Dengan malas aku meraba benda pipih itu dari sela-sela bantal. Mengucek mata agar pandangan tidak kabur. Hari Minggu seperti ini aku memang meliburkan diri dengan aktifitas usaha. Selain ingin meluangkan waktu untuk beristirahat, omset pun jauh bekurang karena tak ada mahasiswa langgananku.Aku mengamati layar ponsel yang menyala. Ada nama Adit sedang memanggil."Ada apa?" jawabku, dengan suara khas bangun tidur."Kak." Suaranya terdengar ragu."Apa?""itu....""Katakan saja.""Motorku...."*Ah, shit! Aku terus mengumpat sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung melepas helm berwarna hijau sekaligus membayar drivernya dengan terburu-buru.Adit terduduk lemas di sofa ruang tamu saat aku masuk. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Berbanding terbalik denganku yang kini sedang naik darah. "Mana Ayah?" cecarku, meletakkan tas dengan asal ke atas sofa. Adit menggeleng."Sudah hampir seminggu Ayah tidak pulang,"
"Ada apa lagi?" tanyanya heran."Kenapa kau masih meminjami Ayahku uang. Kau tahu sendiri Ayahku tak akan sanggup membayarnya. Pakai otakmu sedikit saja. Jangan hanya memikirkan keuntungan." Seperti biasa aku menyerangnya dengan kata-kata kasar tanpa berbasa-basi."Kau bicara apa? Ini masih terlalu pagi untuk memulai pertengkaran. Aku bahkan belum sempat sarapan." Dia masih berusaha bersikap santai."Kembalikan BPKB adikku. Akan kutransfer setengah dulu. Sisanya minggu depan." Aku langsung pada pokok permasalahan.Uang yang dipinjam Ayahku hanya tiga juta. Itu pun dengan janji hanya dua bulan, dengan bunga lima puluh persen. Tapi sampai saat ini Ayah terus mangkir dari waktu yang dijanjikan. Hingga bunga bertambah lagi lima persen sebagai denda.Rincian angka itu tertulis jelas pada pesan whatasapp yang diterima Adit. Selain menjamin surat itu, Ayah juga memberikan nomor Adit, kalau-kalau ponselnya tidak bisa dihubungi.Tentu saja Ayah melarikan diri. Dengan apa dia akan membayar huta
Motor melaju membelah jalanan. Tanganku sebentar-sebentar memegangi pinggangnya, lalu melepaskannya kembali sesuai laju kendaraan. Sulit bagiku untuk tidak berpegangan di situasi seperti ini. Caranya mengemudikan seperti sengaja mempermainkan dan memanfaatkan keadaan. Dasar pria mata keranjang. Hanya memikirkan kesenangan.Akhirnya kuputuskan menggenggam jaketnya saja. Memegangnya dengan kuat, tanpa berniat melepaskan lagi. Hampir setengah jam kami menyusuri jalan raya, hingga akhirnya sampai ke pinggiran kota. Motor memasuki halaman rumah bergaya minimalis. Membuatku berpikir, apakah ini rumah milik rentenir yang meminjami uang untuk Ayah. Sejauh ini rupanya, Ayah berhubungan dengan banyak orang seperti Ren. Dan anehnya, Ren juga mengenal mereka."Mana Bos-mu?" Ren berjalan mendekati seseorang yang sedang menyiram tanaman. Lalu terjadi percakapan di antara mereka."Tunggu di sini!" Ren memberi perintah padaku, lalu mengikuti langkah pria paruh baya itu untuk masuk.Dasar bodoh. Kal