Sebenarnya bukan hal yang mengejutkan jika akhirnya Daryan muncul di hadapanku. Cepat atau lambat, kami pasti akan bertemu. Entah itu sekarang, ataupun nanti, dia pasti akan mempertanyakan keberadaanku selama ini, juga bagaimana kelanjutan hubungan kami.Aku tak mungkin terus menghindar, apa lagi bersembunyi. Tak ada yang perlu aku takuti. Aku bukan miliknya. Belum juga menyerahkan diri padanya. Aku masih punya hak untuk memilih, laki-laki mana yang kini membuatku merasa nyaman, sekaligus... aman.*Aku menoleh ke arah sumber suara, meski sudah tahu siapa pemiliknya. Suara tengil itu juga pernah membuatku hampir gila saking rindunya. Namun kini hanya sebatas kisah yang hampir membuatku kehilangan nyawa.Aku sedikit tertegun, melihat penampilan barunya yang kini layaknya eksekutif muda. Dengan setelan kemeja berdasi, juga jas yang membalut bentuk tubuhnya yang atletis.Aku membuang pandangan, kembali menatap layar ponsel dengan video mukbang sedang memutar.Kudengar langkah sepatunya m
"Cukup dengan mengorbankan keselamatannya demi aku. Apa itu lebih dari cukup untuk mengalahkanmu?""MAYA!""Berhenti membentakku, Daryan!" Aku tak ingin mengalah. "Kau tahu bagaimana aku sekarang. Kau bilang akan mundur jika tahu aku dimiliki orang lain. Pegang saja ucapanmu. Jangan lagi merengek padaku."Kulihat wajahnya semakin menggeram. Kepalan tangan itu semakin menguat hingga lengannya bergetar. "Brengsek!" Dia melampiaskan semua kekesalan dengan menyapu semua wadah yang terletak di etalase hingga jatuh, berserakan. Membuatku terkejut dan segera menghentikannya."Apa yang kau lakukan, Daryan?" Aku mendorong tubuhnya agar menjauh. Lalu berjongkok, memungut benda-benda plastik itu dari lantai.Mataku mengembun melihat serbuk-serbuk itu bertaburan. Berusaha memasukkan kembali mana yang masih bisa terpakai.Tubuh tinggi tegap itu kini ikut berjongkok, mensejajarkan diri, berusaha menatap wajahku yang kini telah dibasahi oleh air mata karena ulahnya."Maaf," lirihnya. Berusaha memeg
Dia tertegun mendengar ucapanku. Kembali meremas tanganku yang dari tadi sibuk dimain-mainkannya sambil mengulum senyum.Selama aku tinggal bersamanya, hanya hal itu saja yang dapat dia lakukan hingga puas. Tahu aku akan merajuk dan tak mau bicara, jika dia melakukan hal yang lebih dari itu."Aku masih pacar orang." Aku beralasan, saat dia berusaha menciumku. Sedang alasanku berada di sana hanya demi keamanan dan juga merawatnya saja.Aku hanya memberinya kecupan di pipi, agar dia tahu hatiku kini sudah menjadi miliknya. Hanya saja aku tak mau melakukan hal yang lebih dari itu, saat seseorang masih menganggapku sebagai kekasihnya."Tunggu sampai hubungan kalian berakhir. Aku tak akan memberimu ampun lagi," godanya saat aku mengolesi salap di perutnya.Selama tinggal di sana, menyingkap atau melihatnya membuka baju di hadapanku bukan lagi hal yang aneh. Dia bahkan menggoda dengan mengajakku mandi bersama, hingga berakhir dengan timpukan bantal di kepala."Aku hanya bercanda," gumamnya,
"Kapan kau akan mengakhiri hubungan dengan orang itu? Perlukah aku menemui dan memintanya untuk tak bertemu denganmu lagi? Aku tak terima kau jadikan sebagai simpanan, apa lagi hanya pelarian.""Kau ini bicara apa? Kapan aku menjadikanmu seperti itu?""Kau hanya tinggal mengirim pesan. Setelah itu semuanya selesai. Jika dia masih bersikeras, selanjutnya biar menjadi urusanku.""Begitukah caramu dalam mendapatkan yang kau inginkan? Sudah berapa banyak wanita yang kau perlakukan seperti aku, ha?""Baru kau saja.""Di usia yang hampir tiga puluh tahun?""Biasanya para wanita yang mengejarku. Aku hanya tinggal memilih saja.""Hish, Ren!" Aku mencubit pahanya dengan kesal. Kali ini agak kuat, hingga dia merintih dan kesakitan."Lihatlah, kau begitu cemburu saat aku menyebut wanita lain yang tak pernah kau lihat." Dia mengusap bekas pelampiasanku tadi."Lalu bagaimana dengan perasaanku yang setiap saat memikirkan bahwa kau dan si brengsek itu selalu bercanda dan tertawa, ha? Bahkan sampai m
Aku menangis di kasur tipis di kamar sempit ini. Memeluk guling, membelakangi dia yang kini berbaring miring sambil memelukku."Kau menangis?" bisiknya lembut di telingaku.Aku langsung membalikkan tubuh dan menghadapnya. Memeluknya dengan sekuat tenaga. Membenamkan diri dalam dada bidangnya dengan tangis yang semakin terisak."Hei, kenapa seperti ini?" Dia terdengar merasa bersalah, semakin mendekapku dalam pelukan.Aku tak menjawab, masih larut dalam kesedihan. Kurasakan kini tangannya membelai, dan merapikan rambut yang berserakan menutupi wajahku. "Kau marah?" Suaranya lembut, merayu.Aku mengusap air mata, lalu bangkit. Duduk, dan kembali membelakanginya. Masih menangis sambil memeluk lutut. Dia ikut bergerak, kembali merangkul tubuhku dari belakang. Mendekatkan wajahnya ke telingaku."Aku sudah menepati janji untuk tak melakukan itu padamu. Kenapa malah menangis?" Ya, hal itulah kini yang membuatku menangis. Begitu terharu, karena nyatanya masih ada pria seperti Ren yang ben
Siang ini aku diantar Ren ke rumah ayah. Setelah itu dia pergi lagi, dan akan kembali saat urusannya sudah selesai. Seperti biasa aku mengantar keperluan rumah untuk adikku. Padahal Adit sudah melarang, karena kini dia sudah punya penghasilan sendiri untuk mencukupi kebutuhannya.Namun aku bersikeras, karena merasa masih bertanggung jawab dengan remaja kesayanganku itu. Tak ingin membuatnya merasa terbebani dengan tanggung jawab yang belum mampu dia pikul. Sama seperti yang aku rasakan dulu. Dewasa sebelum waktunya."Berhenti bekerja, Dit! Apa masih kurang uang yang kuberikan padamu?" Aku bersungut, saat menjemur pakaiannya."Kakak simpan saja. Sudah bertahun-tahun aku dan ayah seperti lintah yang menempel pada kakak," ucapnya, membantuku mengeluarkan sisa pakaian dari mesin pengering."Kau bicara apa? Kau sudah berani melawanku sekarang. Apa karena sekarang kau sudah bisa menghasilkan uang, dan tidak butuh aku lagi?""Aku hanya ingin merasa berguna, kak. Aku seorang laki-laki. Selam
Mataku mengerjab melihat Daryan. Tak menyangka kalau dia masih akan datang setelah kejadian waktu itu. Apalagi jelas-jelas aku sudah mengakhiri hubungan kami. Dan dia pun menerimanya, meski berujung penghinaan bernada emosi.Jujur, aku tak pernah membencinya. Hanya saja merasa kesal dengan kejadian yang menimpaku saat itu, hingga membuat rasa yang dulu pernah ada, perlahan memudar.Kemudian menghilang.Kulirik Ren menatapnya dengan pandangan sinis. Membuatku bergidik ngeri, mengingat perangainya yang selalu menyelesaikan segala urusan dengan tindak kekerasan. Aku bangkit, berdiri untuk menyapa pria yang sekarang berstatus hanya sebagai mantan."Ada apa ke sini?" tanyaku heran."Mencarimu," ucapnya sinis. Namun mata itu tertuju pada pria yang kini sedang duduk di sampingku."Ada perlu apa?"Dia menoleh, menyipit memandangku."Sedang apa dia di sini? Kau masih berhutang padanya?" Daryan menunjuk Ren dengan dagunya.Ren yang merasa terpanggil, meremas batang nikotin yang belum sempat h
"Iya... itu... aku...." Aku berucap ragu."Kau mendapatkannya dari dia?" Ren akhirnya tahu, dan aku tak pernah berniat menyembunyikannya. Aku mengangguk.Ren berjongkok, mensejajarkan tubuh pada Daryan, lalu menarik kembali kerah kemejanya."Berikan nomor rekeningmu, sialan! Aku tak sudi menerima uang dari bajingan sepertimu."Daryan tertawa mengejek, tentu saja dengan suara rintihan dan batuk akibat ulah kekasihku itu."Untuk apa kau melakukan itu? Kau ingin mengambil simpati Maya? Ha!" Daryan tetap menantang, tak merasa takut meski berulang kali tersakiti."Kau kecewa?" Ren tak mau kalah.Daryan kembali tertawa. Membuatku merasa semakin miris. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Meski dia tak tahu bahwa aku dan Ren berpacaran, setidaknya dia harus menyadari kalau dia bukan siapa-siapaku lagi."Sudah kuduga. Kau menyukai Maya, kan?" Daryan terus mengoceh. "Sayang sekali, karena kenyataannya Maya begitu membencimu.""Tutup mulutmu, sialan!" Ren kembali menarik kerahnya, mengay