Share

Curiga

Author: Poepoe
last update Last Updated: 2024-05-27 21:32:19

“Siapa wanita itu, Mas?” desakku lagi. Mataku menyorot tajam ke arah Pras yang berusaha untuk tersenyum, walau aku tahu senyumannya begitu kaku.

“Perkenalkan, saya Ratih,” sergah wanita itu, berjalan dengan anggun ke arahku. Kini kami saling berhadapan. Rambutnya panjang seperti rambutku, tinggi kami juga sama. Hanya saja wanita yang bernama Ratih ini jauh lebih muda dariku.

Mataku menyipit, memperhatikan penampilan Ratih yang formal.

“Iya, dia Ratih,” ucap Pras dari balik punggungku. “Dia–”

“Saya salah satu klien di perusahaan ini. Kebetulan saya bekerja sebagai AE dari salah satu PH yang akan bekerja sama dengan jaringan TV langganan ini,” Ratih menjulurkan tangannya.

Terpaksa aku menyambut uluran tangannya meski instingku mengatakan sesuatu yang aneh telah terjadi.

“Benar, Ndin. Dia salah satu calon klien penting perusahaan,” ucap Pras lagi, melempar senyum ke arah Ratih.

Aku manggut-manggut. “Saking pentingnya, sampai mengunci pintu ruangan segala?”

“Yah, begitulah. Kami harus membahas beberapa dokumen confidential, Ndin,” terang Pras. Lantas, Ratih membereskan beberapa kertas yang berantakan di atas meja kerja Pras.

“Saya rasa cukup sekian pembahasannya, Pak,” Ratih menukas sambil menenteng sejumlah dokumen. “Saya pamit dulu.”

“Ah, ya. Makasih ya, Tih,” tukas Pras.

Lalu, Ratih berhenti di depanku dan menyunggingkan senyum yang manis. Tapi entah kenapa aku merasa kalau senyum itu palsu.

“Oh ya, selamat ya, Bu Andini, atas perayaan pernikahan kalian yang kesepuluh. Pak Pras banyak bercerita soal keluarganya yang bahagia dan tentu saja istrinya yang cantik.”

Aku tahu bola mata Ratih memperhatikan penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Trims,” balasku singkat.

“Semoga pernikahan kalian langgeng,” lanjut Ratih lagi.

Saat wanita itu berjalan keluar, dia meninggalkan wanginya yang khas, semacam wangi mawar yang membuat kepalaku pusing.

****

“Sepertinya dia wanita yang ambisius,” ucapku setelah menata makan siang di atas meja di ruangan Pras.

Pras duduk di sofa di seberangku. “Siapa?”

“Ratih.”

“Yah, begitulah. Dia wanita muda yang pintar,” Pras menyeruput kopi dari tumbler yang kubawa.

“Dia bukan selingkuhanmu kan?”

“Uhuk!” Tiba-tiba saja Pras tersedak kopinya. “Astaga, Sayang! Kenapa kamu bisa berpikiran begitu sih? Lagian tumben-tumbenan kamu cemburu.”

“Sayang?” ulangku. “Kamu hanya memanggilku Sayang kalau kita sedang bercinta, Mas.”

Tawa Pras berderai kencang. “Masa sih?”

Aku mendengus pelan. “Hitam atau abu-abu metalik. Kamu bahkan enggak tahu warna kesukaanku.”

Kedua ujung alis Pras menyatu. “Apa maksudmu?”

“Aku tahu kamu membelikanku sebuah mobil kan? Sales-nya menelepon ke rumah,” terangku.

“A-apa?” Pras membenarkan posisi duduknya.

“Kenapa kamu enggak bilang sih, Mas? Maksudku, aku belum butuh mobil baru. Lagian, mobil yang kupakai ini kan belum ada lima tahun. Terus, besok mobil itu bakalan datang ke rumah. Yah, bukannya aku enggak bersyukur. Aku senang sih. Tapi mobil itu mau ditaruh di mana, Mas? Garasi kita hanya cukup dua mobil. ”

“Soal itu…” Pras mengusap tengkuknya berkali-kali.

Mataku menyipit curiga. “Itu mobil untukku kan?”

“Astaga! Tentu saja, Sayang! Maksudku, Andini, Sayangku. Aku hanya sedikit kesal saja. Bisa-bisanya sales itu menelepon ke rumah. Padahal aku mau memberimu kejutan. Tapi ya sudahlah.” Pras menepiskan tangannya. “Sebenarnya, mobilmu mau kujual. Ada salah satu temanku yang ingin membelinya.”

“Kenapa kamu enggak bilang, Mas? Aku suka mobil itu soalnya warnanya merah, warna kesukaanku.”

Pras menggaruk-garuk pelipisnya. “Tadinya, aku mau cari yang warna merah tapi enggak ada. Cuma ada warna hitam dan abu metalik. Tapi kamu tahu kan kalau mobil itu keluaran terbaru dan lebih mahal?”

“Aku tahu kok.”

“Sistem keamanannya juga lengkap. Ada dua airbag di belakang dan di depan. Pokoknya aku merasa aman kalau kamu nyetir pakai mobil baru itu.”

“Makasih ya, Mas. Aku enggak nyangka kamu bakal memberiku hadiah mobil,” ucapku.

Pras tertawa. “Kamu satu-satunya wanita yang kucintai di dunia ini, Ndin. Ingat kan, betapa besar perjuanganku untuk mendapatkanmu? Sampai akhirnya, kamu menerima cintaku, menikah denganku, dan memberiku dua anak yang lucu. Jadi, kurasa mobil baru itu memang layak untukmu.”

Lantas, Pras mulai menyantap makan siangnya bersamaku.

Namun seperti biasa, kami hanya makan dalam diam karena aku dan suamiku memang jarang ngobrol.

'Pernikahan ini terlalu sempurna, kan?' batinku.

Hanya saja, kusadari aku sedikit terlambat.

Tidak akan keburu mengejar kelas baking.

Jadi, aku berjalan santai saja melewati lobi setelah makan siang.

Namun, aku langkahku terhenti begitu melihat Ratih yang duduk di lobi gedung. Maksudku, dia masih berada di sini? Padahal sudah satu jam selepas dia pamit dari ruangan Pras.

“Ratih?” tukasku yang kini berdiri menjulang di depannya.

Kepala wanita itu mendongak dan matanya langsung membulat. “Lho, Bu Andini?”

“Seharusnya aku yang kaget. Kenapa kamu masih ada di sini? Apa masih ada keperluan dengan suamiku? Apa aku sudah mengganggu waktu kalian?” cerocosku.

“Ah, enggak kok, Bu. Saya…sebenarnya sedari tadi saya sedang menunggu taksi online, tapi di-cancel terus. Mungkin karena daerah sekitaran sini memang macet kalau jam makan siang,” terang Ratih.

Lalu aku menghempas diri di sampingnya. Dari gelagatnya aku tahu dia risih akan keberadaanku.

“Hm, bukannya kalau AE itu biasanya dapat fasilitas mobil kantor ya?” tanyaku.

“Iya, tapi mobilnya lagi di bengkel. Lagi pula, saya juga belum punya mobil pribadi.”

“Ah, atau jangan-jangan kamu ya temannya Mas Pras yang mau membeli mobilku?” Tebakku asal.

“Eh?”

Aku menepiskan tangan. “Itu hanya asumsiku saja kok. Soalnya Mas Pras baru saja memberiku hadiah mobil baru. Dan mobil lamaku mau dibeli oleh temannya Mas Pras. Bisa saja kan itu dirimu? Tapi sepertinya bukan sih.”

“Oh, begitu ya. Bukan saya kok yang mau membeli mobil Bu Andini,” Dia tersenyum kecut. “Sepertinya Pak Pras memang benar-benar mencintai Bu Andini ya, sampai dibelikan mobil baru segala. Menyenangkan sekali.”

Aku hanya mengedikkan bahu. Dia tidak tahu kenyataan sebenarnya. “Yah, begitulah. Ngomong-ngomong, kamu sudah punya pacar?”

“Pacar?” Mata bulat Ratih mengerjap-ngerjap.

“Kurasa perempuan secantik kamu enggak mungkin jomlo kan?”

Ratih tertawa kecil sambil mengibaskan rambut panjangnya. “Well, aku bahkan sudah menikah.”

“Oh ya?” Kini giliran mataku yang membelalak lebar.

Rambut Ratih bergoyang saat mengangguk pelan. “Aku sangat mencintai suamiku dan aku bahkan rela melakukan apa saja demi bersamanya.”

Yah, seharusnya aku tidak berpikiran macam-macam tadi. Ternyata Ratih sudah menikah. Namun, dahiku mengerut melihat jari manisnya.

“Tapi, kenapa enggak ada cincin yang melingkar di jarimu?”

“Bu Andini juga enggak pakai cincin kawin kan?” Tembaknya.

“Ah, iya sih. Itu karena pernikahanku sudah berjalan sepuluh tahun dan kami saling percaya satu sama lain. Lagi pula cincin kawinku juga sudah enggak muat.”

“Sama denganku. Aku dan suamiku juga saling percaya. Jadi, cincin itu enggak perlu.”

Aku kembali mengecek pergelangan tanganku. “Mau kuantar? Aku masih punya banyak waktu sebelum menjemput kedua anakku.”

“Terima kasih, Bu Andini. Tapi saya enggak mau merepotkan.”

Aku lantas bangkit. “Yah, senang berkenalan denganmu, Ratih.”

Ratih menyunggingkan senyum simpul dan aku pun segera menghilang dari pandangannya. "Saya juga senang bertemu dengan Ibu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JERAT HASRAT TETANGGA TAMPAN   Rahasia Selamanya (END)

    “Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me

  • JERAT HASRAT TETANGGA TAMPAN   Terperangkap

    Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.

  • JERAT HASRAT TETANGGA TAMPAN   Jebakan Pras

    Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol

  • JERAT HASRAT TETANGGA TAMPAN   Calon Pengantin yang Menghilang

    Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di

  • JERAT HASRAT TETANGGA TAMPAN   Bayang-Bayang Pras

    “Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t

  • JERAT HASRAT TETANGGA TAMPAN   Menghitung Hari

    Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status