Kedatangan Andreas, seniman muda yang mempesona, sebagai tetangganya mengubah kehidupan Andini yang semu. Keduanya pun mulai terperangkap ke dalam hubungan terlarang. Rasa bersalah memenuhi diri ibu dua anak itu. Akan tetapi, sentuhan Andreas membuat Andini tidak bisa lepas begitu saja. Lantas, apa yang harus Andini lakukan? Ikuti kisahnya di JERAT HASRAT TETANGGA TAMPAN.
View More"Kamu enak ya, Din! Suamimu hebat, anakmu pintar lagi."
"Iya. Kayanya, suamimu gak pernah ngecewain kamu, ya."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan mereka.
Ya, semua orang mengira kalau aku menjalani hidup yang sempurna.
Menikah dengan pria mapan yang baik hati dan bertanggung jawab; memiliki dua anak yang tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria; dan nampak seperti gadis dengan tubuh molek yang mempesona meski berusia 35 tahun.
Hanya saja, ada satu hal yang mereka tak tahu.Aku selalu berpura-pura menikmati semua sesi bercinta dengan Prasetyo–suamiku.
Tidak sekali pun dalam sepuluh tahun pernikahan kami.
Bahkan, seksolog pun tidak membantu.
Tok, tok, tok!
“Sayang, udahan belum? Kok lama banget? Aku boleh masuk ya?”
Suara Pras terdengar dari luar sana membuatku tersadar dari lamunan.
Cepat-cepat aku membasuh seluruh tubuhku hingga bersih.
“Sebentar, Mas!” balasku kemudian.
Setelahnya, kami menjalani rutinitas biasa.
Mas Pras bekerja dan anakku sekolah.
Selama "waktu tenang" itu, aku mengikuti kelas pilates.
Setelahnya, aku sengaja mampir ke toko buah langganan dan bergegas pulang untuk istirahat sebentar sebelum nanti aku lanjut les baking pukul dua siang.
Selesai kelas baking, aku harus menjemput kedua putraku, Evan, delapan tahun dan Rico, enam tahun, di sekolah.
Begitu terus.
Belanja, les sana-sini, ngopi cantik dengan teman-temanku, ke salon, antar jemput anak.
Sepertinya hampir semua kursus pernah aku ikuti, mulai dari memasak, merajut, yoga dan pilates, bahasa asing, sampai yang terakhir aku iseng ikut kursus coding sampai dapat sertifikat segala–tapi entah untuk apa sertifikat itu, toh aku dilarang kerja oleh suamiku?
Semua karena suami sempurnaku itu tidak mengizinkanku bekerja. Dia ingin aku mengabdi sepenuhnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak kami.
Awalnya, aku keberatan. Karena sebelum menikah dengan Pras, aku memiliki pekerjaan yang cukup stabil. Tapi Pras berjanji untuk memenuhi segala kebutuhanku–dan dia melakukannya–jadi, ya sudah, aku menjalani peran sebagai ibu rumah tangga saja selama ini.
Kadang, aku merasa kesepian apalagi kalau teman-temanku sibuk dengan bisnis mereka.
Tapi, Pras juga melarangku berbisnis. Katanya aku tidak berbakat.
Makanya, aku mendaftar berbagai macam kursus.
Aku menyeka keringat yang membasahi pelipis lalu menaruh keranjang belanjaan.
Tring!
Tiba-tiba telepon rumah berdering. Keningku mengernyit karena tumben-tumbenan ada yang menelepon ke rumah.
“Halo?”
“Selamat siang!” Suara seorang pria terdengar ceria dari seberang sana. “Ini benar dengan rumah Bapak Prasetyo Hendrawanto?”
Aku menghela napas pendek. Bisa kutebak, dia pasti sales yang hendak menawarkan kartu kredit, atau mungkin penipu yang bilang suamiku menang undian.
“Iya, benar,” jawabku acuh. Huh, seharusnya aku tidak usah mengangkat telepon ini. Buang-buang waktu saja, pikirku.
“Kami dari Showroom Mobil Permata Indah. Saya dengan Wawan sebagai sales executive yang menangani pembelian mobil dari Bapak Prasetyo Hendrawanto.”
“Mo-mobil?”
“Benar. Maaf, saya berbicara dengan siapa ya?”
“Saya istrinya.”
“Oh, Ibu! Apa kabar, Bu? Sehat? Kebetulan, mobil ini kan dibeli Pak Prasetyo untuk Ibu. Nah, kami lupa, Bu. Waktu itu Bapak pilih mobilnya warna abu metalik atau hitam ya?”
“A-apa? Suamiku beli mobil baru?” Kerutan di keningku semakin dalam.
Sales itu nampak terdiam sesaat di seberang sana. “Iya, Bu. Sebagai hadiah perayaan pernikahan Ibu dan Bapak yang ke…Aduh, maaf Bu, saya lupa.”
“Yang kesepuluh.”
“Ah, iya yang kesepuluh ya? Jadi, Ibu pilih warna yang abu metalik atau hitam?”
Apa ini hadiah kejutan dari Pras untukku? Tapi perayaan ulang tahun pernikahan kami yang kesepuluh sudah lewat tiga bulan yang lalu dan Pras memberiku hadiah sepasang anting berlapis berlian.
“Entahlah. Aku kurang tahu suamiku pilih warna apa. Tapi kalau mobil itu untukku, aku lebih suka warna hitam,” jawabku.
“Baiklah. Kalau begitu besok kami akan kirim mobilnya ke rumah.”
Sales itu lantas mengkonfirmasi alamat rumah kami.
Tapi, untuk apa Pras memberiku mobil baru? Garasi kami saja tidak muat untuk menampung mobil lagi.
Setelah menutup telepon, aku masih termenung.
Kurasa aku harus menanyakan hal ini langsung pada Pras.
Kulirik pergelangan tanganku. Hm, aku bisa datang ke kantornya sambil membawakannya makan siang.
Yah, hitung-hitung sebagai kejutan karena sudah membelikanku mobil baru.....
Gegas kusuru Miyem, ART-ku agar menyiapkan makan siang untuk Pras.
Tak butuh waktu lama, aku sampai ke sana.
Masih ada sepuluh menit lagi menuju jam makan siang. Kuharap Pras masih ada di ruangannya.
Kulangkahkan kaki santai di koridor menuju ruangan Pras.
Namun, aku tidak menemukan asisten Pras di mejanya. Maka, aku masuk begitu saja ke arah pintu ruangan Pras yang ada di ujung koridor.
Alisku langsung bertautan begitu pintu ruangan Pras terkunci. Apa dia sedang keluar? Namun, saat aku hendak balik badan, aku mendengar suara kaki meja yang berdecit dari dalam sana.
Tok, tok, tok!
“Mas Pras? Mas?” tanyaku dari luar. “Mas ada di dalam? Mas Pras?”
Aku lalu menempelkan kupingku di permukaan pintu untuk mengetahui apakah ada orang di dalam atau tidak.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara slot pintu yang bergeser dan tubuhku hampir limbung ke depan karena pintu ruangan Pras membuka begitu saja.
“Andini?” Pras berdiri di hadapanku dengan sedikit terkejut. Tangannya membenarkan posisi kerah kemejanya yang miring. “Kenapa kamu datang enggak bilang-bilang?”
“Sorry, Mas. Aku mau kasih kejutan untuk kamu.”
“Kejutan?”
Aku mengangkat kantung bekal yang kutenteng sedari tadi. “Makan siang spesial untuk kita!”
“Tumben,” kini Pras mengancingkan salah satu mansetnya.
Aku tersenyum tipis, menatapnya. “Aku tahu, Mas.”
Pras nampak menelan ludahnya dalam-dalam. Astaga, kenapa dia jadi tegang begitu sih? Apa karena kejutan hadiah mobil untukku batal gara-gara sales itu menelepon ke rumah?
“Tahu soal apa?” Suara Pras terdengar sedikit parau kali ini.
Aku mendahuluinya, masuk ke dalam ruangannya. “Bahwa kamu…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, langkahku seketika tertahan begitu melihat seorang wanita cantik yang berdiri di samping meja Pras.
Wanita itu tersenyum padaku.
Kepalaku sontak menoleh ke arah Pras yang berdiri di belakangku. “Siapa dia?” tanyaku dingin.
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments