Daguku menengadah ke atas, memperhatikan plang studio lukis milik Jonathan. Ruang Karya namanya.
Dengan perasaan sedikit gugup, aku melangkah masuk.
Lonceng bergemerincing pelan begitu aku mendorong pintunya. Tidak ada orang di sana. Hanya ada beberapa kursi kayu panjang dan lukisan-lukisan yang menggantung di dinding.
Di sudut ruangan aku melihat meja antik yang di atasnya terdapat humidifier. Uapnya membumbung tinggi, mengeluarkan wangi yang menenangkan–semacam wangi sereh dicampur dengan lemon.
Aku merasa seperti berada di sebuah galeri seni yang antik. Lalu aku bergegas naik ke lantai dua–Andreas bilang kelas melukisnya ada di lantai dua.
Setelah mendapat izin dari Pras, tentu saja aku langsung menghubungi Andreas dan mendaftar kursusnya. Walau sebenarnya dia baru buka pendaftaran murid baru sebulan lagi, tapi khusus untukku, Andreas membiarkanku masuk ke kelas yang sedang berlangsung.
Entah kenapa dadaku selalu berdebar kalau mau bertemu Andreas. Jadi, aku menghabiskan waktu cukup lama di depan kaca, memilih baju apa yang sekiranya cocok untuk kupakai saat kursus melukis.
Akhirnya, pilihanku jatuh ke overall jins berwarna biru muda dan dipadukan dengan kaos abu pucat. Aku mengikat rambut panjangku seperti buntut kuda dan memakai sepatu kets juga tas selempang.
Yah, kalau dipikir-pikir gayaku seperti anak muda. Tapi aku kan harus menyesuaikan diri. Yang ikut kursus ini pasti orang-orang yang umurnya jauh di bawahku.
Saat aku membuka pintu ruangan, aku langsung dihadapkan dengan beberapa orang yang duduk di depan kanvas mereka. Di tengah ruangan terdapat buah-buahan yang ditaruh dalam sebuah mangkuk.
Sepertinya aku telat beberapa menit, karena peserta yang lain sudah serius meniru gambar di depan mereka.
Lantas, Andreas menengadahkan kepalanya, begitu menyadari kedatanganku.
Lesung pipinya itu langsung terlihat dan matanya berbinar menyambutku. Aku melambai sambil malu-malu dan ada beberapa peserta yang menoleh ke arahku sekilas.
Ternyata dugaanku salah karena sebagian dari mereka adalah orangtua–tidak ada anak muda atau anak kecil.
Andreas kemudian mengisyaratkan aku untuk duduk di salah satu bangku kosong di bagian belakang. Aku pun duduk sambil menatap kanvas di depanku.
Beberapa menit kemudian, Andreas menghampiriku. Wanginya yang maskulin itu menyesap ke dalam hidungku. Aku jadi begitu bersemangat sekarang!
Andreas nampak begitu keren dengan celemek abunya yang kotor dipenuhi goresan cat. Rambutnya yang selalu berantakan itu malah membuatnya semakin mempesona di mataku.
Dia menepuk pundakku pelan. “Selamat datang,” ucapnya dengan suaranya yang lembut. Aku bisa merasakan pipiku yang memanas. Kuharap dia tidak memperhatikannya.
“Maaf ya aku agak telat,” balasku sambil tersenyum tipis.
“Coba kamu contoh itu,” dia menunjuk buah-buahan yang ada di tengah kelas. “Aku mau lihat komposisinya. Gambarlah sebisamu.”
Aku mengangguk paham lalu mengambil pensil untuk mengarsir.
Lambat laun, aku mulai tenggelam dalam kegiatan menggambar ini. Aku begitu fokus hingga melupakan keadaan sekitar, melupakan keluargaku, juga gairahku yang membabi buta pada Andreas.
Kini hanya ada aku, kanvas dan buah-buahan itu.
*
Andreas nampak manggut-manggut memperhatikan gambarku. Dia bilang komposisinya bagus. Tarikan garisku juga meyakinkan. Aku mewarnai buah-buahan itu dengan teknik gradasi warna.
“Wah, sepertinya kamu berbakat,” kata seorang ibu di sebelahku. “Seharusnya kamu ikut kelas lanjutan.”
Jujur, aku senang dengan pujian itu. Sewaktu SMA, aku pernah mengikuti kursus melukis secara diam-diam sepulang sekolah. Soalnya, orangtuaku hanya mau membiayaiku bimbel untuk masuk PTN bergengsi.
Aku juga pernah mendaftar ke fakultas seni dan diterima, tapi orangtuaku tidak setuju. Makanya aku terpaksa ambil jurusan lain yang sesuai dengan keinginan orangtuaku.
Aku memendam keinginan mendalami seni selama belasan tahun. Dan sekarang, di kelas melukis ini, semua seakan tumpah. Tangan dan jiwaku meronta bahagia.
“Aku enggak tahu kalau kamu jago gambar,” tukas Andreas saat kami jalan berdampingan ke lantai bawah
Aku menyunggingkan senyum tipis. “Sebenarnya dulu aku suka menggambar, tapi jarang disalurkan.”
“Gimana kalau minggu depan, kamu ikut kelas lanjutan saja? Kita akan belajar soal anatomi tubuh,” tawarnya.
“Boleh.”
“Kalau begitu sampai jumpa minggu depan. Eh tapi kita kan bisa ketemu tiap hari,” lesung pipi Andreas itu muncul lagi saat dia tertawa kecil.
Lantas, kami berpisah. Sambil menenteng hasil karya perdanaku, senyumku mengembang lebar.
*
Malam ini, aku tidur sendirian. Pras dinas di luar kota selama seminggu lebih, jadi aku bisa leluasa.
Aku menegakkan tulang punggungku dan menarik napas pelan. Di depanku sudah ada kanvas kosong. Aku sengaja duduk di depan jendela kamar sambil sesekali memperhatikan jendela kamar Andreas.
Sayang, jendela kamarnya kini sudah dilengkapi tirai jadi aku tidak bisa melihat ke dalamnya.
Pensilku pun bergerak di atas kanvas. Pikiranku melayang. Aku membayangkan sosok Andreas, mulai dari hidungnya yang mancung, lesung pipinya yang menarik, juga matanya yang berbinar indah.
Kini aku menggoreskan helaian rambutnya yang sering berantakan itu. Lalu membentuk bibirnya yang penuh dan menggoda.
Ah, bagaimana rasanya kalau bibir itu menyentuh leherku, mengecup setiap permukaan kulitku hingga basah? Selama ini aku hanya bisa membayangkannya saja.
Tubuhku mulai bergairah saat membayangkannya. Kakiku mengapit pelan karena bagian bawah sana mulai berdenyut-denyut.
Dalam bayangkanku, bibir kami kini saling bertautan liar. Lalu dia menggigit bibir bawahku saat kami mulai kehabisan napas.
Huft, jantungku jadi berpacu kencang. Pensilku terjatuh dan aku tidak bisa melanjutkannya lagi–menggambar maksudnya.
Hawa yang panas menyelubungi tubuhku. Lantas, aku menghempaskan diri ke atas ranjang. Jemariku mulai turun ke pangkal paha. Malam ini, aku akan menyenangkan diriku lagi sambil membayangkan Andreas tentunya.
Sepertinya aku sudah benar-benar gila karena terobsesi dengan Andreas.
*
Kali ini adalah kali kedua aku menghadiri kelas melukis. Di akhir pekan kemarin, aku sengaja pergi ke toko buku dan membeli banyak peralatan melukis, sampai-sampai staf tokonya pikir aku ini benar-benar seorang seniman.
Sambil menenteng peralatan lukis yang baru, aku melangkah riang ke studionya Andreas.
Seperti yang Andreas bilang, aku bakal mengikuti kelas menggambar anatomi–dulu aku pernah belajar menggambar anatomi tubuh manusia. Intinya, belajar menggambar komposisi tubuh manusia.
Namun, kelas yang akan kuikuti ini lagi-lagi sudah setengah berjalan.
Aku memperhatikan ke sekeliling. Pesertanya kali ini lebih banyak diisi oleh anak muda, yah mungkin seumuran dengan Andreas, tapi ada juga yang lebih tua dariku.
Andreas lalu muncul di tengah kelas. Wajahnya nampak sedikit muram.
Sambil mengatupkan kedua tangannya, dia pun berujar. “Sayang sekali, model kita hari ini batal hadir. Pagi ini dia kena diare akut.”
Seisi ruangan bergumam kecewa–aku juga ikut-ikutan kecewa walaupun aku tidak terlalu mengerti konteksnya. Kalau modelnya tidak bisa hadir, kenapa tidak menggunakan patung atau cari gambar di internet saja?
“Kalian ada yang mau menggantikannya?” Andreas menukas dengan nada bercanda yang disambut tawa oleh para peserta. Aku juga ikutan tertawa.
“Jadi, kita batal menggambar anatomi dengan model sungguhan hari ini?” tanya salah seorang dari mereka.
Andreas menggeleng. “Kita akan tetap menggambar tubuh manusia. Dan kali ini saya yang akan menjadi modelnya.”
Aku mendengar beberapa orang yang bergumam dengan semangat dan sebagian lagi malah bertepuk tangan dengan antusias. Well, aku juga ikutan tepuk tangan.
Aku yakin Andreas pasti bisa menjadi model yang baik. Lihat saja, bentuk tubuhnya yang ideal itu.
Andreas lalu menanggalkan celemek kotornya itu. Kemudian, dia menarik ujung bajunya ke atas hingga melewati kepalanya. Beberapa orang nampak terkesiap begitu melihat tubuh Andreas yang berotot.
Aku menelan ludah dalam-dalam. Aku menggigit bibir pelan begitu Andreas naik ke atas undakan setinggi dua puluh senti sehingga postur tubuhnya bisa terlihat jelas oleh seluruh peserta.
Di tengah ruangan, Andreas berdiri seperti patung Yunani yang terukir tampan.
Tapi kejutannya tidak berhenti sampai di sini. Kejadian selanjutnya membuatku hampir terkena serangan jantung mendadak.
Dengan santai, Andreas melepas celana panjangnya. Mataku membelalak. A-apa yang akan dia lakukan?! Di balik celana itu, ternyata Andreas masih mengenakan boxer hitam. Aku pun bernapas lega.
Tapi sedetik kemudian napasku tertahan saat Andreas menurunkan boxernya sehingga kini tubuh atletisnya itu benar-benar terpampang nyata tanpa sehelai benang pun.
Tanpa. Sehelai. Benang. Pun!
Astaga, rasanya aku benar-benar ingin pingsan!
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening