Share

Bab 5. Pernikahan

Emma sama sekali tidak mengerti tentang jalan hidupnya, yang masih membingungkan baginya bahwa semuanya berubah dalam waktu kurang dari sepuluh hari. Dia juga tidak menyangka bahwa Topan akan memenuhi semua perkataannya untuk mengubah hidupnya secara drastis dalam sekejap. 

Gaun pengantin yang dia kenakan terlihat indah, riasan wajahnya juga cantik, Emma terlihat sangat menawan. Penata rias menciptakan momen yang tak terlupakan untuk Emma. 

Topan tidak berkedip saat melihat Emma di tempat pernikahan. Hanya kakeknya dan ayah Emma yang hadir dalam pernikahan yang tersembunyi itu. Beberapa orang lainnya adalah pengawal dan asistennya.

"Selamat atas pernikahanmu," bisik Alex. "Kakek harap Kakek akan segera memiliki cicit." 

"Aku juga, Kakek. Semoga rencana ini berjalan lancar. Harus," sahut Topan, "aku sudah memikirkan rencana lain, tapi Erica tidak masuk dalam daftar berikutnya. Dia sulit diatur. Kita membutuhkan wanita seperti Emma. Dia sempurna untuk rencana ini." 

Namun, Topan lupa akan risiko yang harus dia ambil karena melewatkan beberapa hal penting. Seharusnya dia memikirkan untuk mencari kandidat lain jika rencananya untuk Emma tidak berhasil.

Alex mengangguk. "Bagus. Erica tidak boleh tahu tentang pernikahan ini. Katakan padanya untuk menjaga sikap saat bertemu Emma."

"Aku akan memberitahunya, itulah sebabnya aku melindungi Emma saat mereka bertemu secara kebetulan hari itu di kantor. Dia tidak sopan pada Emma dan Erica pasti akan menyakitinya setelah ini."

"Pastikan semuanya sudah siap tanpa ada kekurangan," perintah Alex dengan tegas dan kalem.

"Baik, Kakek. Aku akan segera kembali." Topan meninggalkan kakeknya untuk menemui pengantinnya. 

Emma bersama ayahnya sedang menyesap anggur merah. Pernikahan rahasia itu berlangsung di rumah Topan di Berlin. Emma mempelajari ruangan yang besar itu, terlihat sederhana dalam desain dan interiornya, tetapi meninggalkan kesan mewah dan elegan.

Topan memanggil Emma untuk berbicara. Mereka berdiri di depan pelaminan--sebuah pelaminan mini yang sengaja dirancang atas permintaan Topan untuk meninggalkan kenangan indah bagi Emma.

Tiba-tiba Topan teringat saat dia mencium bibir Emma untuk pertama kalinya setelah pendeta mengatakan sah. Rasanya manis dan segar, seperti yang pernah Topan lakukan pada wanita yang dia sukai saat masih remaja. Meskipun terasa aneh, tetapi mereka berhasil melakukan adegan tersebut. 

Topan berulang kali mencoba untuk menepis perasaan aneh yang menghinggapinya sejak pertama kali melihat Emma muncul dari belakang. Matanya tidak bisa berhenti menatap istrinya itu.

"Kuharap kamu menyukainya." Topan meneguk anggurnya dengan lahap. "Mudah-mudahan kamu juga menikmatinya, meskipun hanya untuk kita sekeluarga."

Namun, Emma juga tidak bahagia atau menikmati pernikahannya. 

"Ya, terima kasih. Kuharap begitu." Hanya itu Emma jawab–dengan lembut, lalu suaranya menghilang. Emma merasa tidak nyaman sejak ciuman di altar itu terjadi. 

Topan berbalik untuk menatapnya. "Berharap?" Itu bukan jawaban yang ingin Topan dengar.

"Apa yang bisa kukatakan? Kamu sudah menyiapkan segalanya, termasuk mempercepat perceraianku. Itu tidak termasuk dalam perjanjian. Itulah satu-satunya hal yang perlu kuingat sepanjang hidupku." 

Topan mengangguk sambil meminum anggurnya. "Aku tidak ingin masa lalumu membawa masalah bagi kita di kemudian hari, yang akan menggagalkan program kehamilanmu." 

"Aku akan mencoba yang terbaik." 

Emma mengerti untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Tidak ada makan siang gratis itu benar adanya. Tidak ada orang yang akan memberikan uangnya secara cuma-cuma, kecuali seseorang yang akan memberikan umpan balik kepada mereka. 

"Kamu harus, karena ini adalah bisnis." Karena Emma tidak memberikan komentar apapun, Topan menganggap sikap diam Emma sebagai sebuah penerimaan. Selain itu, Topan merasa tidak ingin menghentikan pembicaraannya dengan wanita itu. "Mau menari denganku?" 

Emma menatapnya sejenak sebelum menyambut tangan Topan untuk membawanya ke lantai dansa. 

Dari kursi rodanya, Alex menyaksikan romantisme cucunya berdansa dengan anggun bersama istri barunya. Dia tersenyum melihat mereka. Keinginannya untuk memiliki ahli waris akan segera terwujud melalui Emma. 

"Ini yang Anda cari, Tuan." Asisten pribadi Alex menyodorkan sebuah kertas, lalu berbisik yang membuat Alex mengernyitkan dahinya.

Alex membaca kertas itu dengan seksama lalu mengalihkan pandangannya kepada ayah Emma. "Apa kau yakin?" 

"Yakin, Pak. Dia orang yang menolong Topan waktu itu. Saya akan memintanya untuk datang jika Anda ingin berbicara dengannya." 

"Sulit dipercaya, tapi memang dunia ini kecil. Tak ada yang mustahil. Aku akan bicara dengannya lain kali. Bagaimana dengan Erica?" Alex terkekeh. 

"Dia baik-baik saja. Saya memberinya pekerjaan tambahan supaya dia tidak punya waktu untuk memikirkan Topan, apalagi mencarinya."

Alex mengangguk. "Kita beruntung bisa menemukan Emma, karena Erica akan membahayakan kita. Saya tidak siap menghadapi dampak yang sangat besar karena dia." 

Sang asisten memperhatikan pengantin pria dan wanita yang berdansa dengan iringan musik klasik. Seperti Alex, dia hanya mendoakan yang terbaik untuk mereka. Kemudian, dia mendorong kursi roda sesuai keinginan Alex ke kamar Alex. 

"Kirimkan informan untuk memata-matainya. Kalau anak buahmu menemukan tindakan yang membahayakan kita, bunuh dia. Dan juga Erica. Aku tidak suka ada orang bermuka dua di sekitarku."

Belum sempat asistennya menjawab, dua ketukan terdengar dari pintu. Seorang pelayan tanpa ekspresi bergegas menghampiri Alex. 

"Keluarga Bronson ingin bertemu dengan Tuan. Mereka baru saja tiba." 

Alex kehilangan kata-kata, karena dia tiba-tiba bingung harus menyambut besan. Bagaimana dia menjelaskan kepada mereka jika dia menyambut mereka di rumahnya, sementara ada pernikahan yang sedang berlangsung? 

"Apa yang harus saya katakan pada mereka, Tuan?" tanya pembantunya.

Alex mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan sebelum memutuskan keluar. Mereka pasti akan sangat marah jika mengetahui putri mereka terluka. 

Di ruang pernikahan, kedua mempelai berfoto sebagai kenang-kenangan. Topan mengenakan tuksedo hitam dan berdiri di samping Emma tanpa tersenyum sedikitpun. Dia sengaja memilih pakaian tersebut agar serasi dengan gaun Emma. 

Selama pemotretan, keduanya tidak berusaha mencairkan suasana. Alih-alih mengikuti arahan fotografer, mereka menunjukkan bagaimana menjadi elegan dengan cara yang tanpa ekspresi. 

Saat foto terakhir diambil, asisten Topan bergegas menghampirinya dan berbisik, "Ada telepon dari rumah sakit. Istri Bapak mengalami kemajuan dari komanya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status