Share

Bab 8. Berdua di kamar

Emma menggeliat antara sadar dan tidak sadar. Dia merasa tubuhnya seperti terhalang sesuatu, gerak tangannya tidak leluasa, dan ada benda berat di atas perut dan kakinya.,

Saat sedang membalik badan, Emma terkejut karena kepalanya terantuk benda keras. Dia berulang kali mengedipkan mata lalu mendelik melihat laki-laki memeluknya sangat erat.

"Astaga! Siapa dia?" Emma sontak bangun dengan susah payah, matanya semakin mendelik seperti akan keluar saat melihat pria di sampingnya.

Udara dingin, tidak berselimut, pria itu malah telanjang bulat tanpa merasa tulangnya ditusuk nyeri dingin.

"Hei, lepaskan aku, kenapa kamu ada di sini? Siapa kamu?" Emma berusaha melepaskan tangan dan kaki dari belenggu pria itu, memukul-mukul bahu Topan di posisi duduk yang sulit.

Topan tak bereaksi sama sekali. Suara parau Emma yang perlahan menghilang, dibalut ketakutan dan panik, tergambar jelas di dini hari.

Rasa bingung Emma tak bisa dikatakan. Bersama lelaki tidak dikenal, telanjang, satu alas, memaksa Emma berpikir keras. Seingat Emma, dia tidur seorang diri, sedangkan Topan di kasurnya sendiri karena mabuk.

Tatap mata Emma tak sengaja ke sweater yang dipakai. Tiba-tiba tersadar dia masih berpakaian lengkap. Tidak ada yang kurang. Lantas, siapa lelaki bugil itu dan bagaimana dia bisa masuk?

Emma melongok ke tempat tidur yang lumayan tinggi. Dia bisa melihat di kasur itu kosong.

"Ke mana Topan?" Emma bergumam. "Kenapa tempat tidurnya kosong?"

Emma menoleh ke Topan yang masih di posisi miring. Paha dan kaki Emma kesemutan dan kebas. Kaki Topan yang masih di atas kakinya, dia sorong kuat hingga posisi Topan berubah sedikit telentang.

Namun, posisi kaki Topan yang tak sama membuat mata Emma melotot dan napas tercekik. Alat kelamin Topan sedang bergerak-gerak bangun.

Emma buru-buru berdiri, terkesiap saat alarm bawah sadarnya aktif. Jantung Emma berdetak menjadi lebih cepat dan tidak karuan. Kerongkongan Emma sulit menelan saat kepala Topan yang sedikit bergeser, membuat wajahnya menjadi terlihat jelas.

Emma gugup menuju kasur Topan, mengambil bantal lalu menutup 'senapan bio' Topan yang mulai terlihat menantang.

Dia menutupnya sambil melihat wajah Topan.

"Kenapa dia bisa telanjang dan tidur di sini? Apa tadi dia … Ah, tidak, tidak. Orang mabuk berat tidak akan bisa berbuat demikian. Mereka sangat mengantuk, tidak ada kesadaran untuk melakukan hubungan seks." Emma menggeleng sambil menepuk kepala secara pelan beberapa kali.

Emma teringat menghangatkan Topan, lalu ke lemari mengambil selimut tebal yang lain.

"Laura …."

Kaki Emma sontak berhenti, keningnya mengerut mendengar Topan menyebut nama perempuan.

"Siapa Laura? Apa itu pacarnya?" Emma bergumam sambil memandang Topan yang mengigau nama Laura hingga beberapa kali. "Apa perempuan itu tidak bisa hamil yang membuatku terlibat dalam urusan pribadinya?"

Emma menggeleng lagi sambil lalu.

"Tidak, bukan urusanku. Aku hanya kontrak dengannya, jadi tidak perlu tahu perempuan yang dekat dengannya."

Emma mengambil selimut dari lemari, menutup tubuh Topan sampai ke leher, lantas memilih tidur di tempat lain.

***

Sebelum sarapan, Topan terperanjat ketika bangun tidur menemukan dirinya bergelung selimut dalam keadaan bugil. Topan melupakan runutan kejadian tadi malam. Bahkan, dia tidak ingat dirinya baru menikah sehari sebelumnya.

Setelah beberapa menit, Topan baru menyadari ada yang berbeda dari harinya. Dia baru ingat Emma ketika melihat kasur pengantin yang terlihat rapi.

Topan bermaksud untuk mandi saat pintu kamar terbuka. Emma muncul di pintu dengan raut wajah terkejut melihat Topan berdiri bugil menatapnya.

Emma spontan berpaling muka, lalu menuju meja kecil dengan perasaan gugup.

"Kata Bibi Dagna kamu semalam mabuk. Jadi, aku bawakan bubur ini untukmu." Emma menaruh mangkuk berisi bubur.

Topan sempat melihat raut kaget Emma, sebab Topan juga terkejut pintu dibuka tanpa ketukan.

"Kenapa tidak ketuk pintu?" Topan bertanya sambil jalan, suaranya berat dan parau.

Suara Topan terasa mendekat saat bertanya, sinyal dalam diri Emma menyala seketika.

"Uhm … itu … maaf, aku lupa. Kupikir kamu belum bangun, jadi kalau kuketuk mungkin kamu akan terbangun karena terganggu." Emma beralibi, padahal dia tidak terbiasa mengetuk pintu kamar sebelum masuk.

Emma berbalik untuk keluar, tetapi dia terkejut Topan berdiri di belakangnya tanpa merasa malu dengan tubuh bugilnya.

"Apa yang kamu lakukan?" Suara Emma bergetar dan mata mendelik.

"Apa?" Topan bingung, benar-benar tidak mengerti dengan raut wajah sayu.

"Kenapa kamu tidak memakai handuk? Apa kamu tidak kedinginan?" Napas dan suara Emma tercekat, sehingga Emma mendadak kesusahan menelan.

Topan tidak langsung menjawab, matanya tidak berpaling dari bola mata Emma yang hitam bersinar. Raut sayu Topan samar-samar berubah menjadi mengerikan. Ujung bibirnya bergerak membuat senyum misterius.

"Kenapa?" Suara Topan berubah semakin parau, menghilang, terdengar sayup dan menggelitik. "Aku memang sedang kedinginan sekarang. Mau menghangatkanku?"

Emma terjebak di antara tubuh tinggi Topan dan meja kecil, tidak ada sela untuk melarikan diri. Tangan Emma sudah memegang ujung meja, kepala Emma semakin mundur sebab Topan terus menunduk dan mendekat.

"Hmm … kenapa tidak menjawab?" Topan bersuara pelan dan terdengar menggoda.

"Maksudku, kenapa tidak berpakaian atau setidaknya pakai handuk? Kamu bisa sakit karena udara dingin. Yah, kamar ini sangat dingin dan di luar juga sedang dingin." Emma berkilah, sedangkan dia tahu arah pertanyaan Topan.

Sikap Emma gugup dan bergetar, membuat Topan semakin senang membuat Emma sesak napas karena ketakutan.

"Aku tidak akan sakit, karena sudah terbiasa dengan iklim di Berlin. Tapi saat ini memang sangat dingin. Kamar ini juga tidak ada penghangat ruangan, jadi …. "

Aroma sedap bubur merangsang perut Topan menjadi semakin lapar. Topan bertanya saat melirik mangkuk bubur.

"Apa bubur itu kamu yang masak?"

Emma bingung karena mendadak pertanyaan Topan beralih pada pengganjal perut yang nikmat itu.

"Tidak, Bibi Dagna yang memasaknya. Dia sedang memasaknya saat aku ke dapur. Aku tidak tahu apa pun tentangmu, lagi pula aku baru satu hari di sini," jawab Emma bernapas lega, akhirnya terlepas dari jerat Topan yang sedang menyiksa batinnya. Dia berharap lebih pada perubahan situasi, di mana Topan mengambil bubur dan memakannya, lalu pembicaraan mereka selesai.,

"Bagaimana tanganmu?" Emma sengaja menanyakan luka di tangan Topan, agar Topan dan percakapan mereka tetap teralih. Jadi, Emma bebas dari rongrongan Topan yang tidak membuatnya nyaman. Selain itu, rasa gugup Emma masih tampak meski tak kentara seperti tadi.

"Tanganku?" Topan memang merasakan sakit di punggung tangannya sejak bangun tidur. Dia ingat yang terjadi padanya setelah berupaya mengingat setelah bangun tidur. Topan mengangkat tangan yang diperban. "Sakit."

Topan mengambil tangan kanan Emma dengan sangat pelan, meletakkannya di pinggul kiri lalu turun menyusuri bokong yang padat, hingga ke paha bagian luar.

Emma merasakan tangannya di bawah paksaan tangan Topan yang menggiringnya tangannya untuk meraba kulit Topan. Jantung Emma tidak lagi normal, napasnya juga tertahan di dada dan perut yang kempis tertahan.

Topan dan Emma seperti sedang bertukar suhu tubuh. Saat tangan Topan mengambil tangannya, Emma merasakan dingin teramat sangat seperti es batu. Topan merasakan pinggulnya hangat saat telapak tangan Emma bersentuhan dengan kulitnya dan menjalar sepanjang kulit yang tersentuh kehangatan tangan Emma.

Emma spontan melepas sentuhan jarinya dari kulit Topan, berusaha menggenggam, tetapi Topan membuka paksa jari Emma dan mengarahkan lagi tangan Emma meraba paha bagian dalam.

"Lepaskan aku. Kamu sangat bau! Perutku terasa mual dan …."

Hoeekkk

Topan spontan berhenti saat kepala Emma langsung tertunduk dan mulutnya berbunyi mual-mual. Emma menarik tangannya dari kulit Topan, menutup mulutnya lalu mendorong Topan untuk memberinya jalan.

Emma lari ke kamar mandi, mengunci pintu dan menyalakan air. Dia berdiri di depan cermin menatap dirinya entah bagaimana untuk dijabarkan. Wajahnya kemerahan karena sandiwara yang diperbankan dengan cukup baik.

"Tidak tahu malu! Mentang-mentang ini kamarnya, dia pikir bisa seenaknya telanjang di depanku?" Emma bergumam sambil mendengus jengkel.

***

"Selalu saja buat ulah! Kebiasaan buruk belum juga hilang. Bagaimana nanti saat kamu punya anak?" sentak Alex geleng-geleng kepala dengan kelakuan Topan.

Anak lelaki satu-satunya yang dia miliki setelah anak dan mantunya meninggal–ketika Topan berusia delapan tahun–tak banyak berubah. Alex harus mengambil alih pengasuhan merangkap orang tua dan kakek bagi Topan kecil.

Topan membuang muka sambil mengembus napas. Kepalanya seperti mau pecah. Dia ingin sendiri, tetapi Alex menghadangnya di ruang tamu ketika baru saja selesai sarapan.

Mau tak mau, Jeremy harus mengatakan tentang Topan yang menolak kenyataan tentang Laura yang cacat permanen. Jeremy tak berani bersuara tentang mabuk dan sudah siap mengarang cerita tentang Topan.

Meski sudah lama bekerja pada Topan, Jeremy masih tidak habis pikir pada pewaris bisnis grup Danudara itu. Dia punya kebiasaan membuat pusing orang lain setiap kali membuat masalah.

Jeremy sebagai asisten sering menyelesaikan kekacauan yang Topan timbulkan. Seperti tangannya yang terluka robek hingga harus dibawa ke dokter agar tidak mengalami infeksi dan mabuk. Pukul satu dini hari, mereka pulang bermuka kuyu dan lemas.

Topan dan Jeremy di sofa panjang seperti pelaku kriminal di kursi pesakitan. Dalam situasi tertentu, berhadapan dengan Alex akan menjadi hal menyeramkan bagi mereka berdua.

Alex Danudara–pemilik perusahaan pabrikan cokelat–sosok yang berkharisma, cakap dalam melobi, berparas keras, tetapi perhatiannya penuh untuk Topan kecil.

Dia melakukan banyak hal dan segalanya untuk sang pewaris tunggal yang yatim piatu itu. Bersama mendiang istrinya, Alex mendidik Topan menjadi sosok yang tangguh dan berkualitas.

Tak jarang, dia pun dibuat kelabakan karena ulah Topan yang menguras kesabaran. Termasuk, di usianya sekarang.

"Kamu harus pikirkan rencana lain, karena Laura akan pulang ke rumah ini. Tempatkan mereka di tempat yang berbeda. Setidaknya mereka tidak bertemu sementara waktu."

"Baik, Kakek." Hanya itu jawaban Topan, agar Alex tak lebih panjang bicara.

Bagi Alex, Topan seorang anak manis dengan kenakalan dan kepatuhan tersendiri. Kasih sayang yang terasa, merengkuh ikatan batin diantara mereka.

Maka, di usia senja di mana Alex seharusnya duduk tenang menikmati hari tua, dia masih terlibat urusan pribadi Topan. Hati Alex tak rela melepas Topan–merasa Topan tetaplah cucu kecilnya yang masih butuh arahan dan perlindungan.

"Katakan seperti yang Kakek katakan saat kamu bertemu keluarga Laura. Tidak boleh ada curiga yang muncul pada mereka."

Topan tak mau berpanjang lagi, maka dia memberi anggukan. Kemudian, telepon Topan berdering.

"Topan, kami di rumah sakit sekarang. Laura sudah bangun dan dia ingin bertemu denganmu. Cepatlah kemari, dia sangat terpukul mengetahui keadaannya. Dia menangis sejak tadi."

"Baiklah, aku ke sana sekarang."

Topan menutup telepon, segera berdiri dan pamit pada Alex. Setelah keluar dari lift, Topan berlari menyusuri koridor rumah sakit seperti orang tak waras. Dia takut Laura akan berbuat nekat jika dia terlambat. Di dalam kamar Laura, keluarga istrinya sedang menenangkan Laura yang menangis histeris.

"Laura!" Topan berteriak dan mendekat ke ranjang pasien. "Laura, Laura …."

Laura menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Dia tertegun sejenak dengan air mata berderai melihat Topan sudah hadir di depan matanya.

"Topan, Topan!" Laura mengangkat tangan kanan untuk merangkul Topan. "Topan …."

"Laura, tenanglah." Topan memeluk Laura sangat erat, merasakan ketakutan Laura yang menyadari kelumpuhan permanen yang dia alami. "Tenanglah, aku di sini. Semua akan baik-baik saja."

"Tidak, aku … aku … tangan dan kakiku lumpuh, Topan. Aku lumpuh, aku cacat," ujar Laura tersedak dan tergugu.

Topan semakin memeluk Laura dengan lebih erat, melirik ibu mertuanya ternyata sedang mengusap air mata.

"Kami tidak bisa menenangkannya sejak dia sadar tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan," pungkas ayah mertua Topan berusaha tegar.

Topan mengusap kepala Laura. "Tidak, Sayang. Kamu akan sembuh, aku sedang mencari dokter yang hebat untuk pengobatanmu. Kita akan menemukannya. Tenanglah. Kamu akan bergerak lincah lagi seperti dulu."

"Aku tidak mau cacat," kata Laura tercekat.

"Tidak, tidak akan, kamu akan kembali sembuh. Percayalah. Tidak ada yang mustahil di dunia ini," sahut Topan meyakinkan, meski dia tahu mungkin saja harapan itu tidak terjadi. Namun, Topan tetap menyangkal kemungkinan itu.

Setelah tangis Laura mereda, Topan melepas pelukan perlahan-lahan. "Istirahatlah."

"Kamu akan di sini bersamaku 'kan?"

Topan mengangguk sambil tersenyum manis. "Aku akan menjagamu di sini. Tidurlah."

"Tidak, aku sudah lama tertidur." Laura menatap Topan dengan tatapan rumit.

"Kamu ingat sesuatu?" tanya Topan terkejut.

Laura mengusap air mata, lalu melirik orang tuanya. "Aku tidak terlalu ingat, tapi kata Papa dan Mama, aku sudah lama koma. Benarkah?"

Topan mengembus napas, terdengar keras sebelum dia menjawab, "Benar, kamu sudah koma selama dua tahun, karena mengalami kecelakaan mobil. Apa kamu ingat? Atau ada yang kamu ingat dari dua tahun lalu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status