Share

Bab 7. Hasrat

"HENTIKAN, NANCY! AKU SEDANG TIDAK INGIN!" pekik Topan sambil menyingkirkan tangan Nancy dari dalam celananya.

Nancy langsung terdorong ke belakang, terkejut melihat mata Topan sengit menatap padanya, mukanya merah padam, dan napasnya tertahan.

Jeremy langsung bangun dan menarik Nancy menjauh dari Topan, keluar dari area sofa tempat mereka duduk.

"Aku sudah bilang tinggalkan kami! Majikanku sedang ingin sendiri! Pergi!"

"Kau sangat kasar padaku, Jeremy!" geram Nancy dengan mata nyalang.

"Jangan ganggu kami, atau Tuan Topan bisa membuatmu ditendang dari bar ini!" balas Jeremy tak kalah sengit.

Nancy pergi membawa dongkol dan muka masam, merasa dihina oleh Jeremy sebagai perempuan. Meski dia seorang pelacur, tetapi Nancy tidak terima diperlakukan kasar oleh laki-laki manapun. Bagi Nancy, itu menginjak harga dirinya.

Saat Jeremy berbalik untuk kembali ke sofa, Topan sedang meneguk Vodkanya hingga tandas.

"Tambahkan lagi!" teriak Topan dari sofanya sambil mengangkat gelas, lalu menaruhnya dengan cukup keras.

Jeremy buru-buru ke sofa agar Topan tidak berulah. Topan punya kebiasaan tidak mabuk, tetapi meninggalkan masalah dalam keadaan sadar ketika kepalanya buntu.

"Bawakan wine satu botol," kata Topan lagi, ketika pelayan datang.

"Pak, lebih baik kita pulang. Bapak bisa minum sepuasnya di rumah."

Topan mendenguskan napasnya keras-keras. "Apa kamu lupa kakek saya tidak mengizinkan mabuk di rumah?"

Pelayan kembali dengan satu botol wine mahal, menaruhnya di meja lalu pergi sesuai arahan Jeremy.

Topan gegas membuka tutup botol dan menuangnya ke dalam gelas. "Kakek akan marah besar melihat saya mabuk di rumah."

"Pak Alex tidak suka melihat Bapak mabuk," bantah Jeremy. Namun, tidak diacuhkan Topan.

Lelaki itu sibuk dengan wine putih, minuman kesukaannya yang terasa nikmat di lidahnya.

"Pak, Bapak menikahi Nona Emma untuk mendapatkan bayi pewaris. Kalau Bapak di sini mencari hiburan, Bapak merusak rencana bapak sendiri," bisik Jeremy hati-hati.

Topan bisa menghajarnya jika Jeremy salah memilih kosakata dalam penggunaan diksi untuk menasehatinya.

Topan tidak peduli dengan Emma, sebab Laura lebih penting baginya. Kekasih yang dicintainya harus berpisah karena koma dan jarak.

Dia lebih banyak menghabiskan waktu di Indonesia hingga berbulan-bulan, karena bisnis perusahaan dan datang ke Berlin hanya satu hingga dua bulan di sana. Dua tahun menunggu, Topan mendapat berita mengejutkan.

Hidup Topan tidak akan berbeda seperti ketika Laura semasa koma. Kini dia harus menghadapi emosi Laura dan reaksinya yang pasti menolak kenyataan.

Saat kenangan Laura menghiasi kepala Topan, ponselnya berdering. Panggilan telepon dari Alex membuat napas Topan tertahan setelah melihatnya.

Dada Topan kembali sesak, suaranya tercekat, terasa sulit bisa bernapas. Alex–orang terdekat tempat Topan berbagi kisah, seperti sedang menodongnya dengan celurit untuk merampok.

Dering telepon terus berbunyi. Topan memejam mata sebelum menjawab telepon.

"Kakek, Laura … lumpuh permanen."

"Jangan bercanda kamu, Topan! Bagaimana mungkin dia bisa lumpuh seumur hidup? Kita mengobatinya di rumah sakit mahal dengan pengobatan canggih. Mustahil dia lumpuh!"

"Tidak, Kek. Dokter Baren mengatakannya tadi. Tolong, Kek. Carikan dokter dan rumah sakit bagus lainnya. Aku ingin Laura sembuh. Aku tidak mau melihat dia sedih karena cacat."

"Kakek akan mencarinya. Sekarang pulanglah, istrimu Emma sendirian di kamar. Apa kamu lupa untuk apa kamu menikahinya?"

Panggilan telepon langsung terputus sebelum Topan menjawab perintah Alex. Terlebih ketika mendengar nama Emma disebutkan, membuat Topan mendengus semakin keras.

"ARGGHHH!"

Jeremy bukan tidak mencegah atau menghalangi Topan dari mabuk. Peringatannya berulang kali diabaikan Topan, bahkan tangan Jeremy ditepis Topan ketika mengambil gelas atau menjauhkan botol wine.

"LETAKKAN BOTOL ITU, JEREMY!"

"Pak, pikirkan Nyonya Laura. Dia pasti akan sedih kalau tahu Bapak selemah ini."

"SUDAHLAH, JEREMY. TINGGALKAN SAYA SENDIRI. MALAM INI SAYA INGIN TENANG!"

Namun, Jeremy tidak bergerak dari sofa. Dia punya tugas ganda dari Alex untuk menjaga Topan selain menjadi asisten pribadi Topan. Dia tetap memangku botol, menatap Topan dengan tatapan rumit, sementara bar semakin ramai dari pengunjung kelas atas.

Kondisi Topan sudah kacau dari gerakan tubuh yang tidak bisa lagi diseimbangkan. Dia bersandar dengan kepala menatap plafon bar dan bicara tidak jelas, membuat kening Jeremy mengerut menatapnya prihatin.

"Laura itu hidupku, pelangiku, dia membuat hidupku berwarna dan membuatku bahagia, melakukan apa saja untukku seperti Kakek." Topan meracau, sesekali diselingi cegukan.

Jeremy menarik napas dalam-dalam mendengar igauan Topan. Tulus, jujur dari hati terdalam, luka terpendam yang tak pernah Jeremy dengar sebelumnya.

"Sekarang dia sudah tidak koma lagi, tapi kenapa dia menjadi lumpuh?" katanya lagi dengan mata sayu. "Kenapa harus dia, Jeremy? Dia sudah tidur dua tahun, apa tidak bisa dia bersenang-senang lagi menikmati hidupnya seperti dulu?"

Tiba-tiba suara Topan melemah, terasa bergetar lalu dia terisak. Sudut matanya mengalir air hingga pipinya basah. Topan benar menangis kali ini di luar kesadarannya. Suara tangisnya keluar, didengar Jeremy yang terdiam memperhatikan Topan.

Jeremy menaruh botol wine ke meja sebelum memapah Topan untuk duduk tegak. "Bapak sudah mabuk berat, sebaiknya kita pulang, Pak. Pak Alex—"

"Heh … mana pernah saya mabuk? Apalagi mabuk berat," sanggah Topan. "Saya sedang ngantuk, Jeremy."

"Besok banyak masalah yang harus dihadapi. Nyonya Laura dan Nyonya Emma."

"ARGGHHH!"

BRUK

Jeremy memejam mata dengan napas tertahan, karena Topan meninggalkan masalah baru–memukul meja hingga retak, membuat tangannya terluka dan berdarah.

Jeremy menegakkan punggung Topan dengan susah payah. Lengan kiri Topan dilingkarkan ke lehernya

Tubuh Topan yang sempoyongan menjadi lebih berat, memaksa Jeremy mengeluarkan energi lebih besar ketika menariknya untuk berdiri.

***

Karena air minum di gelas sudah habis, Emma keluar kamar untuk mengambil air minum. Dia menemukan bagian-bagian rumah besar itu terlihat sepi di bawah terang lampu.

Setelah pernikahan selesai, Emma langsung dibawa ke kamar untuk membersihkan diri dan istirahat. Di kamar tamu yang besar, Emma tidak beristirahat. Hiasan sederhana, indah, dan mewah kamar pengantin membuat Emma sesak napas.

Emma diserang gugup luar biasa, seolah-olah malam itu juga dia memulai semuanya seperti tak ada hari esok. Selama di kamar, Emma tidak menemukan Topan setelah terakhir kali melihatnya sebelum masuk ke kamar pengantin.

"Nyonya."

Emma tersentak ketika mendengar suara panggilan. Dia melihat pelayan tua–Dagna–yang mengurusnya sejak tadi, ketika menoleh padanya.

"Bibi Dagna … saya …"

"Nyonya ingin minum air? Biar saya ambilkan," ujar Dagna berbahasa Indonesia yang cukup luwes.

Pelayan tua itu mengambil gelas dari tangan Emma yang mengenakan piyama. Tubuhnya sedikit tambun karena tinggi badan rata-rata perempuan Eropa.

Emma berdiri kikuk, serba salah, sebab Emma terbiasa melakukan sendiri dan mengurus orang lain.

Malam pertamanya menjadi Nyonya Marselait, membuat dirinya tampak seperti seorang bodoh. Bahkan dia merasa lebih buruk dari pelayan yang bekerja di mansion tersebut.

"Ini air minumnya, Nyonya." Dagna menyerahkan gelas tersebut, lantas berbalik. "Saya akan siapkan satu ceret air untuk persediaan di kamar."

Dagna membuat Emma semakin merasa sungkan. Karena Emma tidak pernah dilayani sebelumnya, membuat Emma merasa seperti tamu tidak tahu diri.

"Bibi Dagna, ambilkan segelas air untuk Tuan Topan!" ujar Jeremy tiba-tiba muncul di dapur dengan tergopoh-gopoh.

Dagna baru saja selesai menutup ceret saat Jeremy bicara. Ketika dia menoleh, gerak-gerik Jeremy tampak gelisah. Dagna berdiri tertegun melihat Jeremy langsung mengambil baskom dan air.

"Apa yang terjadi?" Raut muka Dagna tampak bingung saat bertanya.

"Tuan Muda mabuk dan dia terluka. Cepat bantu aku mengatasinya sebelum Tuan Alex mengetahuinya!"

Jeremy setengah memekik, lantas berlalu cepat.

Dagna lekas menyerahkan teko kepada Emma. "Ini, bawalah dan segera kembali ke kamar, Nyonya."

Dagna lantas berbalik mengambil gelas dan lainnya yang dibutuhkan. Dia bergerak cepat, kemudian meninggalkan Emma sendiri di dapur.

Emma yang sedari tadi berdiri dan bingung melihat Jeremy dan Dagna panik, mengikuti Dagna dari jarak beberapa meter. Lidah Emma entah kenapa mendadak kelu untuk bertanya 'siapa Tuan Muda' yang tadi dia dengar dari Jeremy.

Rasa penasaran Emma terjawab ketika melihat Dagna masuk ke kamar pengantinnya. Mereka menutup pintu rapat-rapat. Emma terdiam di balik pintu dengan satu ceret air, melihat Topan Di kasur bicara tak karuan.

Jeremy memandangi Topan dengan kerumitan di kepala. Dia cemas mulut Topan yang lepas akan merusak rencananya sendiri karena menyebut nama Laura.

Emma beralih ke Dagna. Pelayan tua itu mengusap wajah dan kepala Topan menggunakan kain basah. Penuh kasih sayang seorang ibu dan juga kelembutan.

"Nyonya Emma," panggil Jeremy tiba-tiba saat teringat, Emma.

Jeremy menoleh ke pintu, datang padanya dengan setengah yakin. Dia harus mengendalikan beberapa hal di waktu yang sama. Dan semua bersifat rahasia.

Jeremy tak bisa meminta Emma tidur di kamar lain, sebab Alex mungkin saja akan mengetahuinya. Namun, membiarkan Emma dan Topan dalam satu kamar akan lebih berisiko jika Topan mengoceh tentang pernikahan barunya dan Laura.

"Ada apa? Kenapa dia mabuk?" Emma berjalan mendekat ke kasur, menaruh ceret. Matanya tertegun melihat tangan Topan yang diperban. "Kenapa tangannya terluka?"

"Tidak apa-apa, hanya tersenggol. Sudah saya obati," jawab Jeremy tergagap. "Uhm, Nyonya ...

Dagna langsung menoleh pada Jeremy dengan muka dingin dan lirikan tajam.

"Nyonya akan tidur di sini. Mengurus suaminya."

Komentar Dagna menekan napas Emma, mendorong kelopak matanya tertutup agar dadanya terasa sedikit longgar.

Usai menaruh kain ke dalam baskom, Dagna mengeringkan tangan, dan membereskan perlengkapan.

"Nyonya, waktunya istirahat. Tuan tidak pernah mabuk sebelumnya, karena Tuan Alex sangat menjaganya. Mungkin dia akan bangun dan sakit kepala juga muntah-muntah. Tolong berikan obat ini padanya dan urut bagian leher belakang kalau Tuan muntah-muntah," jelas Dagna tegas dan berwibawa. "Tolong, rahasiakan ini dari Tuan Alex. Dia pasti akan marah besar jika tahu Tuan Topan mabuk."

"Baik, Bibi Dagna." Emma tidak bertanya lagi, meski rasa ingin tahunya hampir mencekik leher karena suaranya tercekat.

Setelah Dagna dan Jeremy keluar dari kamar, Emma mengambil bantal dan selimut dari kasur. Dia memilih tidur di lantai, sebab di kamar itu tidak ada sofa besar untuk tidur.

Selimut tebal sudah dibentang, Emma sudah berbaring di lantai kamar berselimut udara dingin. Kedua tangannya terlipat dan saling mengusap karena menggigil.

Emma lekas bangun untuk mengambil sweater tebal agar lebih hangat di penghujung musim gugur. Suhu di musim gugur yang hampir berakhir, mulai turun perlahan jelang masuknya musim dingin.

Tak lama Emma terlelap, Topan menggeliat di balik selimut tebal yang Dagna selimutkan. Dia meringis karena kepalanya sakit, berdenyut dan pusing.

Saat merasakan perutnya mual, Topan bangun dan turun dari tempat tidur ke kamar mandi. Di sana dia muntah-muntah hingga merasa perutnya membaik.

Topan tertegun sejenak mengingat kembali insiden sebelumnya hingga dia harus muntah-muntah dan berada di kamar tamu. Topan juga melepas pakaian karena gerah dan memutuskan mandi.

Namun, setelah keluar dari kamar mandi, kaki Topan mendadak berhenti saat menuju lamari pakaian. Sesuatu di lantai mengejutkan Topan dan membuatnya terdiam menelaah.

Jantung Topan seperti diserang anak panah melihat dengan seksama, setumpuk kain di lantai menjadi alas seseorang untuk tidur. Lampu kamar sedang remang, menyuruh Topan agar memperhatikan dari jarak dekat.

Karena Dagna mematikan lampu sesaat sebelum keluar.

"Laura?"

Topan berjongkok di samping perempuan itu. Rambutnya menutup sebagian kecil wajah dengan helaian.

"Laura? Kamu sudah kembali? Kapan kamu pulang, Sayang? Kenapa kamu tidak bilang? Aku bisa menjemput kamu di rumah sakit. Kenapa kamu tidur di sini?"

Tangan Topan menggeser helaian rambut, lalu mengusap pelan kepala dan seluruh wajah Emma. Debar bahagia dan jantungnya yang tidak menentu mengubah Topan menjadi orang lupa ingatan.

"Kamu sudah sembuh, Sayang. Kamu tidak cacat, itu bohong. Dokter Baren hanya bercanda denganku." Topan berbisik.

Dia tersenyum dan tertawa kecil, menatap Emma seperti bidadari atau bunga tidur yang membuatnya gemas. Topan membaringkan tubuhnya di samping Emma, mengambil tangan Emma kemudian diletakkan di pinggangnya.

Namun, Topan melupakan satu hal. Alat kelaminnya mulai bangun dan menegang dalam keadaannya yang sedang telanjang bulat saat keluar dari kamar mandi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status