Tanpa menjawab, Firda langsung menarik tangan Husna kembali ke ruang guru. Secepat mungkin.
Tergopoh-gopoh, Husna berusaha mengimbangi langkah gesit keponakannya itu yang seolah ingin terbang. Padahal pening di kepalanya belum mereda.
“Mana?” tanya Husna sambil celingak-celinguk ketika keduanya sudah berada di ruang guru.
“Nyariin siapa, Neng? Nyari Bapak, ya?” tanya Pak Sanusi, guru mata pelajaran olahraga, sambil bersiul menirukan suara burung dekukur.
Guru olahraga mereka itu memang terkenal senang sekali bersiul menirukan suara burung. Jika guru olahraga pada umumnya menggunakan peluit untuk memberikan aba-aba saat melakukan aktivitas gerakan olahraga, maka Pak Sanusi lebih suka memanfaatkan keahliannya bersiul. Lebih murah meriah dan alami katanya.
“Anu …. Bapak ada ngeliat 2 orang siswi yang mencari meja Pak Jaka, Pak?” tanya Firda tanpa basa-basi.
Pak Sanusi memasukkan kedua tangannya ke saku
“Ini tolong diketik dan diperbanyak, ya?”“Oke!”Atika baru saja akan membalikkan tubuhnya masuk ke dalam kelas ketika sebuah colekan menghentikan langkahnya. Terlihat wajah Sandra yang sedang cengar-cengir mengintip menatapnya dari balik pintu kelasnya.“Hei!” Atika tersenyum.“Siapa, tuh?” Sandra menunjuk lewat isyarat dari gerak bola matanya.“Dia?” Atika menunjuk ke arah Habibi yang hanya terlihat dari bagian belakang karena berjalan menjauh ke arah yang berlawanan.“Huum!” angguk Sandra.“Itu Habibi. Ketua rohis yang baru. Memang kamu enggak tahu?”“Enggak!” geleng Sandra.Sandra teringat peristiwa dua hari lalu saat dirinya sedang mencari-cari liontin kalungnya yang mendadak lepas dan hilang. Awalnya dia tidak tahu. Tetapi saat sedang ngobrol dengan Atika di depan kelas, tanpa sengaja jemarinya memegang-megang liontin ka
Persahabatan antara Atika dan Sandra kembali terjalin mesra dan akrab. Semenjak Atika menemani sahabatnya itu menunggui pamannya yang dirawat intensif di ICU, Sandra terlihat makin lengket dengannya. “Tik! Jangan lupa nanti hadir pas kajian keputrian, ya?” Atika yang sedang menikmati seblak pedasnya mengangguk dan mengacungkan jempolnya pada Firda yang mencolek lengannya. Husna tersenyum sambil membawa dua botol minuman teh.“Kita duluan, ya?” pamit Husna.Atika lagi-lagi mengacungkan jempolnya karena mulutnya masih penuh berisi makanan. Sementara Sandra yang duduk di sebelahnya hanya memerhatikan saja.“Kamu rajin ikut acara kajian, Tik? Memang asyik, ya?” tanya Sandra ingin tahu.“Iya. Namanya juga ngerasa butuh untuk nyari ilmu agama, San. Pelajaran agama kan hanya dua jam sepekan. Kurang, dong.” Ati
“InsyaAllah nanti kita akan mengadakan acara mendaki gunung. Nanti kita rencananya akan bekerjasama dengan eskul lain.”Sedikit pengumuman dari Habibi saat pertemuan rutin bulanan para pengurus rohis dan keputrian membuat suasana yang semula hening mendadak gaduh. Ruang masjid tempat mereka mengadakan pertemuan dipenuhi suara dengungan dari gumaman para pengurus.Ada yang bereaksi sntusias, ada yang tak paham dengan pengumuman tersebut, dan sebagainya. Apalagi Habibi tak melanjutkan infonya dengan memberikan kejelasan-kejelasan lainnya.“Pihak eskul lain itu maksudnya bagaimana?” tanya Akbar, dari divisi perikhwanan.“Kita akan melakukan Kerjasama membuat acara mendaki gunung dengan pihak lain yang tentunya lebih paham dan menguasai seluk beluk pendakian. Kita kemarin itu belum pernah sampai mendaki gunung, kan? Baru menjajal kaki gunung dan sekitarnya. Nah, untuk agenda selanjutnya, kita akan coba untuk mendaki gunung. Tapi
Lain waktu Husna sedang membereskan mukena-mukena di masjid ketika didengarnya ada yang menyapa dari saf Ikhwan.“Butuh bantuan, Ukhti?”Husna menoleh dan menemukan sebuah wajah sedang nyengir menatap kepadanya. Gadis itu tak menjawab. Hanya kembali sibuk merapikan muken yang sedang dibereskannya.“Ukh, kok diam saja? Nan ….” Suara itu berbunyi lagi kali ini lebih mendekat.“Ehem! Jerry! Kamu lagi ngapain di situ?”Tiba-tiba dari balik kain hijab atau pembatas antara saf Ikhwan dan akhwat, menyembul wajah Pak Ahmad, sang pembina rohis yang baru. Wajahnya yang dihiasi kumis tebal terlihat memelototkan kedua matanya.Jerry yang terkesiap kaget, segera mundur perlahan-lahan dan mengangguk malu-malu pada Pak Ahmad. Husna diam-diam menahan tawa melihatnya. Tapi dia bisa berakting dengan terus sibuk merapikan mukena.“Kamu tahu ini apa?” Pak Ahmad memegang kain hijab atau pembatas.
Jadi apakah benar Jerry sedang berusaha mendekati Husna? Sandra menaruh prasangka seperti itu tentang gerak-gerik sepupunya itu akhir-akhir ini. Jerry juga tidak berusaha menyangkal atau membantah Ketika dia berusaha mencari tahu.“Hei! Kok, bengong?” Atika menepukkan kedua telapak tangannya di depan Sandra.Sandra terperanjat kaget dan tersadar dari lamunannya. Atika terkekeh melihat bibir sahabatnya itu refleks mengerucut. Itu kebiasaan Sandra kalau dia merasa diajak bercanda.“Apa sih kamu? Bikin kaget aja!” sungut Sandra dengan wajah kekanakan khas dirinya.“Awas nanti salah masukin, lho.” Atika terkikik sambil menunjuk ke barisan mangkok kaca yang berjejer rapi di hadapan Sandra.Sandra melihat ke bawah dan terkesiap. Buru-buru dia mencari tisu kering untuk mengelap meja yang tiba-tiba dikotorinya. Bagaimana tidak? Dirinya bukan menuangkan buah-buahan ke dalam mangkok tetapi malah ke atas permukaan meja. Unt
“Bener-bener enggak beres keputrian di sekolah kita. Memalukan!”“Dulu Putri yang kelakuannya ngawur. Kalau enggak kita peringatkan, mungkin dia masih jalan dengan Alan. Eh, sekarang malah ketuanya langsung!”“Betul! Kacau banget sih para pengurusnya?”Atika yang sedang menyelesaikan tugas di dalam kelas tiba-tiba mendengar sesuatu yang kurang enak. Ditajamkannya pendengarannya untuk terus menyimak.“Dila! Kamu yakin melihat mereka berduaan?”“Yakin banget, Ti. Soalnya cowoknya kan yang berpapasan langsung denganku. Meski dia kakak kelas kita, tapi aku hafal wajahnya. Mantan ketua klub PA. Kak Jerry!”“Kamu melihat mereka di mana?”“Di mal, May. Mereka naik taksi berdua. Puasa-puasa, eh pacarana! Keterlaluan!”Mal? Kemarin? Bukannya kemarin dia juga ke mal Bersama Sandra, ya? Tapi rasa-rasanya dia enggak melihat Jerry dan Husna. Husna? Benarkah
Atika menimang-nimang kotak bros yang selama ini disimpannya di dalam kantong bagian depan tasnya. Sudah hamper tiga bulan berturut-turut dia mendapatkan bros setiap pekannya. Jadi bisa dihitung berapa banyak bros yang berhasil dikumpulkannya hingga saat ini?Dua belas bros! Ya! 12 bros berukuran mungil terkumpul di dalam tasnya. Dengan beragam warna dan bentuk. Ada yang berbentuk bunga mawar, hati, bunga matahari, bintang, dan masih banyak lagi. Lucu-lucu memang. Membuat Atika kadang gemas ingin mengenakannya.Tapi karena dia tak tahu siapa yang sudah memberi bros-bros tersebut, Atika tak berani untuk memakainya. Alasannya karena tak mau sang pemberi bros jadi geer dan menyangka Atika bersedia menerima perasaannya.Tidak munafik kalau Atika senang mendapatkan hadiah. Tapi harus dari teman yang bagaimana dulu, kan? Kalau teman akrab yang memang berteman dengannya tulus, ya masa sih hadiahnya ditolak? Tapi kalau si pemberi hadiah ternyata meminta ba
Atika memegang kedua lengan Firda erat. “Kamu percaya sama aku. Itu aja dulu.”Firda menghela napas berat. Atika tahu kalau temannya itu pasti juga sedang risau memikirkan Husna yang akhir-akhir ini memang jarang terlihat bersamanya. Entah ada kesibukan apa. Saat bertemu di acara kajian rutin keputrian pun, Husna jarang bicara dan selalu tampak sibuk mengurusi sesuatu.Firda meninggalkan kelas Atika masih dengan mendung bergelayut di wajahnya. Suasana mendadak terasa muram. Atika sempat mengantar Firda hingga di depan pintu kelas. Sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya, dia melirik ke arah kelas Sandra yang pintunya tertutup setengah bagian. Ia menghela napas sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya sendiri.***Siang ini rencananya Atika ingin menyerahkan laporan hasil kegiatan keputrian selama ini. Biasanya saat istirahat Habibi sering terlihat di dalam masjid. Melaksanakan salat Duha atau sekadar ngumpul dengan pengurus rohis lainnya. Tapi sa