“Sayang, masih di sini?” tanya Gito sembari menempelkan salah satu telinganya ke dinding.Bu Teti meraba dinding dari atas ke bawah, tapi tak didapati apa pun selain permukaannya yang rata.“Nduk, kamu di mana?”Baik Bu Teti maupun Gito kebingungan di bawah pengawasan Pak Kiai yang tersenyum penuh arti.“Tua bangka! Keluarin aku dari sini!”Tiba-tiba terdengar suara dari arah toples.Benda tersebut tampak bergeser hampir menyentuh bibir bufet. Gito segera berlari menyelematkan benda tersebut sebelum jatuh.“Alhamdulillah!”Gito berseru sembari mengusap tetesan keringat yang menetes di dahi.Pria ini sempat panik saat mengetahui toples sudah bergeser akan jatuh. Kedua tangan kekarnya mencengkeram benda bening berbahan dasar kaca tersebut lalu mengangkat sejajar dengan kepala.“Hai, Jin! Meski aku tak bisa liat wujudnya, tapi bau kasturi telah mewakili keberadaanmu. Jangan lagi ganggu istriku! Cari dari bangsamu.”“Hahaha ... Dinda lebih mencintaiku. Dia akan tetap jadi permasuriku.”Gito
“Hei, Pak Tua! Dan bisa kupastikan, bacaan ngajiku lebih merdu dari Gito.”“Insyaallah lebih bagus tapi belum tentu lebih salih,” jawab Pak Kiai yang membuat Mustafa bertambah gusar karena merasa diremehkan.Ia yang ingin selalu terlihat sempurna di mata sang pujaan hati merasa kalah mental lewat kata-kata pria bersorban putih tersebut.“Tahu dari mana bacaan ngajiku?” tanya Gito lirih kepada sang istri dan Dinda pun hanya bisa menggeleng.“Ia tinggal di dekat rumah Mas dan selalu masuk rumah mengawasi gerak-gerik kalian berdua. Tentu saja akan melihat dan mendengar sendiri saat kalian salat atau mengaji,” sahut Pak Kiai seketika.“Kamu takut bersaing, Gito?”Tawa mengejek Mustafa bergema seantero ruangan membuat sakit telinga.Gito hanya tersenyum simpul menanggapi pertanyaan konyol dari jin Timur Tengah ini. Pria berambut cepak ini segera mendekat ke etalase dan tepat di hadapan toples—tempat Mustafa terkurung—ia menempelkan mulut.“Allohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum, laa t
“Bu, kardus di atas etalase aku pake wadah, ya?”“Pakai aja, Le! Nduk, tolong kamu ambilkan tali rafia di laci bufet ruang tengah.”“Ya, Bu,” balas Dinda yang kemudian bergegas melangkah ke bufet mengambil kedua benda tersebut.Gito mengangkat kardus berisi dua toples lalu melangkah ke arah meja makan. Kedua sisi tutup kardus dirapatkan. Dinda segera menghampiri sang suami dan membantu menggunting tali rafia yang diperlukan. Akhirnya kardus sudah rapi, meskipun sempat ada insiden pemberontakan kecil dari toples berisi Mustafa. Namun, dapat diatasi segera oleh Pak Kiai dengan tersenyum. Pria tua berjenggot putih ini mengetok toples dengan membaca doa, Mustafa langsung minta ampun.“Masyaallah rapi banget. Mas Gito dan Mbak Dinda membungkus toples kayak mau dikirim jauh. Terima kasih sekali atas bantuannya.”“Kami yang harusnya berterima kasih kepada Kiai. Semoga kebaikan Pak Kiai dibalas oleh Allah dengan banyak berkah.”“Aamiin. Terima kasih, Bu Teti.”Berempat melangkah menuju ruang
Mustafa merasa Dinda adalah calon permasurinya dan kini sedang memacu gairah bersama pria selain dirinya. Ia yang cemburu buta makin tak terkendali.Kedua tangan terkepal lalu diangkat ke arah meja makan dan tak berhasil mengeluarkan kekuatan yang diinginkan. Sosok ini mencoba kembali, tapi tak berhasil juga.“Brengsek! Ini pasti ulah si Tua Bangka. Kekuatanku hangus oleh ilmu dia. Bedebah!” Sosok tinggi besar ini sekali lagi mencoba mengangkat tangan dengan mengatur napas lalu mengerahkan tenaga dalam dan gagal kembali. Kedua mata besar yang merah tampak membara bagai api dalam sekam.Bola mata melotot seakan-akan mau keluar. Embusan napas memburu berakhir dengan dengusan panjang.Mustafa pun lenyap dengan meninggalkan aroma kasturi yang menguar teramat tajam.Aroma tersebut memenuhi semua sudut rumah, hingga membuat rasa sesak di dada. Bu Teti yang berada di ruang tamu sampai terbayuk-batuk lalu segera membuka pintu depan. Wanita separuh baya ini menghidupkan seluruh kipas yang ada
“Eh, tapi .... suamimu kok belum dateng-dateng, ya. Udah ketemu belum dengan Kiai. Tolong ambilin ponsel Ibu di meja makan, Nduk.”“Baik, Bu,” jawab Dinda yang kemudian melangkah masuk menuju ruang tengah.Ia mengambil ponsel mertuanya lalu kembali ke arah teras. “Kamu telepon suamimu. Udah sampe mana dia?”Dinda segera membuka menu dalam ponsel lalu mencari nomor kontak Gito. Begitu ketemu, ia segera menghubungi suaminya.“Assalammu'alaikum, Sayang.”“Wa'alaikumussalam. Mas, udah ketemu Kiai?”“Alhamdulillah udah ketemu di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ada apa dengan Kiai?”“Kiai kecelakaan ditabrak motor. Beliau masih pingsan. Mas tungguin sampe siuman, biar tahu keadaan pastinya.”“Innalillahi wa'inalillaihi rajiun. Udah kasih tau keluarga Kiai?”“Udah.”“Parah, Mas?”“Insyaallah enggak. Cuma luka lecet dan ada sobek di kening sedikit. Moga gak ada masalah di kepala.”“Mudah-mudahan. Aamiin.”“Mas urusin Kiai dulu, ya. Banyakin baca doa. Bisa jadi, kedua jin lepas karena toplesnya p
Dinda yang melihat sang ibu mertua berbicara seolah-olah ada dirinya di dapur menjadi semakin keheranan. Apalagi masakan yang dibicarakan Bu Teti tak terlihat juga.“Bu, aku di sebelah sini bukan di dapur,” ucap Dinda mendekati sang mertua, akan tetapi Bu Teti seakan-akan tak mendengarkan dan melihatnya.Wanita separuh baya ini semakin asik memegang sesuatu di meja dapur. Sementara, yang dipegang oleh mertuanya tak tampak oleh Dinda. Wanita muda ini semakin kebingungan lalu segera berlari ke ruang tengah dan mengambil ponsel. Ia segera menelepon Gito.“Assalammu'alaikum.”“Wa'alaikumussalam. Mas, cepetan pulang. Darurat! Ibu ....”“Sayang, ada apa?”Dinda sudah tak mendengarkan suara suaminya lagi. Wanita ini syok melihat di depan matanya, tubuh sang mertua melayang dengan kepala hampir menyentuh plafon. Di tangan wanita separuh baya dengan pandangan kosong tergenggam sebuah pisau yang cukup tajam.“Dinda? Sayang? Ada apa? Mas segera pulang. Perbanyak zikir dan selawat.”Sambungan tel
“Alhamdulillah Wa Syukurilah! Le, susul istrimu itu.”Gito berlari menuju toilet. Pria ini mengetuk pintu mendengar suara rintih kesakitan sang istri.“Sayang, bukain pintu. Biarin Mas ikut masuk. Sayang?”Tak beberapa lama pintu pun terbuka dengan seraut wajah pucat pasi Dinda ada di baliknya. Tiba-tiba tubuh wanita muda ini mulai melemah dan Gito segera menangkapnya. Tampak noda darah segar membasahi bagian perut Dinda.Bau anyir dan busuk berbaur jadi satu membuat Gito mual. Bu Teti yang mengetahui hal tersebut segera berlari mengambil masker di kotak obat. Kemudian ia melangkah menghampiri Gito dan memasangkan masker tersebut.Saat wanita separuh umur ini tak heran lagi saat melihat noda darah di pakaian Dinda. Ia telah tahu bahwa darah tersebut bagian dari janin gaib yang meski keluar semua dari rahim sang menantu. Caranya keluarnya memang ‘nyleneh’ tak seperti janin manusia.“Kamu gotong Nduk ke kamar. Ibu siapin air hangat buat membersihkan darahnya.”Gito pun segera membopong
“Makasih, Bu,”ucap Dinda.“Sama-sama, Nduk. Barusan Ibu telah pesan jamu buat kamu di penjual jamu keliling.”“Wah, seger ini. Aku juga mau minum jamu.”“Sudah pasti, kamu juga, Le. Kita semua harus minum jamu, biar segar kembali. Terutama Genduk.”Mustafa yang kesakitan masih bertahan di sekitar rumah. Sosok Timur Tengah ini bertengger di atas atap rumah. Sosoknya yang tinggi besar seketika membentuk sebuah bayangan sehingga mampu membuat redup lingkungan sekitar. Para tetangga Bu Teti buru-buru memasukkan jemuran karena menyangka hujan deras akan segera datang.“Jamila, itu anak kita. Calon putra mahkota. Kau tak akan bisa punya anak dari laki-laki pembunuh. Mustafa menginginkanmu.” Suara Mustafa bergetar diikuti isakan berkamuflase sebagai hujan dan petir, tetapi dalam gendang telinga Dinda adalah sebuah raungan yang bergema. Sesaat setelah Mustafa menghujat, Gito mengajak sang istri dan ibunya masuk ke rumah.“Ujan petir tiba-tiba gini? Padahal dalam perkiraan cuaca, hari ini cer