Penglihatan mereka soal keberadaan Ustaz Hamdan yang ada dua, membuat berpikir bahwa ada jin yang menyerupai putra sang kiai.“Moga tak ada masalah setelah ini,” ujar Ibu Pengurus.“Aamiin. Ngeri juga, Bu. Kalo kejadian kayak di rumah Mbak Dinda kemarin.”“Iya, Ustazah. Ngeri.”Kedua wanita baru saja tutup mulut saat dari rumah utama terdengar bunyi dentuman yang cukup keras seperti sesuatu amat besar roboh ke tanah lalu diikuti suara lengkingan panjang.Sontak saja, suara keributan di rumah utama menarik semua orang yang berada di sekitar lingkungan ponpes, terutama di masjid. Tak lama kemudian, Ustaz Hamdan tampak keluar dari rumah utama langsung berlari ke arah masjid. Pria muda ini mencari keberadaan Dinda.“Jamila, Mustafa lepas. Waspada,” ucap sang ustaz sembari memegang tangan sang istri.“Astaghfirullah!” seru Dinda yang seketika pucat pasi.Hal yang ia takutkan terjadi juga bahwa Mustafa akan membuat kerusuhan di hari pernikahan. Setelah didahului ancaman ditujukan kepada san
“Udah, Ngger! Biarkan aja. Dia bukan istri yang baik untukmu,” kata Pak Kiai.“Kiai, Ustaz, tolong disadarkan Dinda.Saya mau susul mereka,” ujar Bu Teti segera beranjak dengan setengah berlari mengejar Dinda dan Ustaz yang menurutnya palsu.“Kita susul sekarang, Bah?” tanya sang anak.Pak Kiai segera mengangguk dan mereka pun berjalan berdampingan menuju rumah utama. Bu Teti dengan setengah berlari mengejar pasutri di depannya.“Nduk, itu bukan suamimu. Itu Mustafa. Nduuuk ...!”Teriakan Bu Teti terhenti di depan pintu kamar. Saat wanita setengah baya ini hendak mengetuk, ada langkah yang mendekatinya.“Bu, biarin mereka. Nanti juga tau,” ucap Pak Kiai mencegah tangan wanita ini untuk mengayun ke daun pintu.Tak seberapa lama, terdengar suara Ustaz Hamdan dari dalam kamar.“Jamila, kamu kenapa?”Beberapa saat terdengar suara seperti suara retakan lalu diikuti teriakan histeris sang ustaz.“Ayaaah ...!”Suara sang ustaz lalu berubah menjadi suara lengkingan kesakitan dan kemudian senya
‘Tok ... tok ... tok!’“Nduk, habis ini ke dokter, ya?” tanya Bu Teti dengan nada cemas.Ustaz Hamdan terlihat tak henti-henti bertasbih. Doa terbaik ia panjatkan untuk wanita terkasih. Tak lama kemudian, pintu toilet terbuka dan Dinda keluar dengan wajah pucat pasi lalu roboh tepat di hadapan sang suami.“Astaghfirullah hal adzim! Sayang ...,”ucap Ustaz Hamdan dengan sigap memeluk tubuh lunglai Dinda.Akhirnya tubuh wanita muda ini dibopong oleh sang ustaz menuju kamar yang tak jauh dari toilet. Sementara itu, Bu Teti mengikuti mereka lalu segera mengambil kayu putih yang selalu ia bawa dalam tas.“Kepalaku pusing,” ucap Dinda sesaat setelah hidung dan lehernya dibaluri kayu putih oleh sang ibu.“Jamila, kita ke dokter, ya?” tanya Ustaz Hamdan lembut sembari memegang dahi sang istri.Sementara Bu Teti memijat kaki Dinda dengan kayu putih biar hangat.“Nduk, buruan pergi ke dokter. Ibu ambilin jaket kamu,” kata wanita setengah baya ini seraya bangkit lalu beranjak keluar kamar.Sepeni
“Mana mungkin aku sebiadab itu? Dia anak kandungku. Tak masuk akal”Pak Wardoyo selalu saja menyanggah semua pernyataan tim medis dan penyelidik.“Semua sudah terbukti dengan medis dan olahTKP. Bapak tak mungkin bisa mengelak dari semua bukti-bukti tersebut,” ungkap tim medis yang sedang menangani kasusnya.Ia tak pernah menyangka, bagaimana mungkin kesadarannya bisa hilang, saat hal itu menjjijikkan dalam hidupnya terjadi. Ia yang tak pernah minum beralkohol sebelumnya dan secara mengejutkan mendapati dirinya mabuk dalam mobil sesaat setelah insiden.“Apa aku telah gila? Kesadaranku bisa hilang tiba-tiba. Aku tak mampu mengendalikan tubuh sendiri. Aku perlu psikiater! Benar-benar bedebah! Apa yang terjadi denganku?” ungkap pria ini kepada pengacara yang mendampinginya.Pria berumur 50 tahunan ini benar-benar terpuruk menerima kenyataan barusan. Hal tersulit yang harus ia hadapi sepanjang hidupnya. Ia telah mencari sang putri selama bertahun-tahun dan bertekat akan membahagiakannya sa
“Selesai kasus ini, kita honeymoon,” ucap Ustaz Hamdan sembari mencium pipi Dinda.Namun, ternyata ada yang salah dengan laju kendaraan beroda empat tersebut. Pasutri ini merasakan keganjilan. Jalan yang dilalui mobil ini tampak semakin redup. Mobil yang mereka tumpangi seperti melewati sebuah terowongan panjang.“Allahu Akbar! Perbanyak zikir, Jamila,” pinta Ustaz Hamdan sembari memegang tangan sang istri.“Emang ada apa?” tanya Dinda yang terkejut lalu seketika mengarahkan pandangan keluar melalui kaca depan.Tampak kabut tebal menghadang perjalanan mereka. Kendaraan roda empat terhenti tiba-tiba. Ustaz Hamdan melafazkan doa, sementara Dinda mengamati sopir yang geming di belakang kemudi.“Pak, kenapa berhenti?” tanya Dinda sembari melihat sopir dari kaca spion di atas dashboard.Pria di belakang kemudi tak bersuara, tetapi dari mulutnya terdengar zikir. Dinda mengamati tanpa berkedip. Ustaz Hamdan yang telah usai berdoa lalu menoleh ke arah sang istri.“Jamila!” panggil sang ustaz
“Abi kok kenal?”Ustaz Hamdan hanya tersenyum ke arah Dinda. Sang istri yang semakin tak sabaran, segera melotot ke arah suaminya.“Sebenarnya, sopir taksi barusan adalah bapaknya Mustafa,”ucap Ustaz Hamdan jeda sebentar sembari meminum kopi.“Bapaknya Mustafa? Sengaja ngintili kita?” tanya Dinda dengan sedikit emosi.Wanita ini merasa ada niat tak baik dari jin tua tersebut. Selama ini Mustafa selalu mengganggunya dan sang bapak muncul kedua kalinya untukmencari kesempatan.Mustafa dikurung demi menepati janji lalu sekarang muncul untuk mendekati mereka sengaja cari kelengahan suaminya.“Memang ngikuti kita karena dia tau kalo Mustafa tak mungkin akan menyerah begitu aja buat membiarkan kita bahagia. Dia tau betul watak Mustafa,” jawab Ustaz Hamdan.“Alhamdulillah. Jadi kabut gelap yang kulihat itu kerjaan Mustafa?” tanya Dinda dengan tersenyum penuh arti. “Iya. Sengaja biar mobil taksi terjebak dalam dunia mereka dan Mustafa tak tau bahwa sopir taksi itu bapaknya.”“Anehnya, kok bi
“Benar-benar pria yang selama ini aku dambakan. Aku harus bisa mendapatkannya.”Sepasang mata dengan bulu mata lentik mengintip dari balikjendela dengan senyum genit. Kedua bibir seksinya dikulum setiap kali melihat dada berbulu lebat turun sang pria turun naik mengambil napas.“Selamat siang, Suster. Maaf, pasien hanya menginginkan perawatan oleh nakes pria saja,” tegur seorang petugas jaga di depan ruang perawatan.“Kok bisa gitu? Kebetulan ruangan ini giliran saya untuk melakukan pemeriksaan,” jelas suster dengan nada bicara setengah berteriak.“Pasien dalam pengawasan psikiater dan demi kestabilan emosinya,” jelas pria berseragam cokelat ini.“Yaudah kalo gitu. Saya periksa pasien lain. Permisi.”“Silakan, Suster. Selamat siang,” balas sang petugas yang ditanggapi oleh suster tersebut dengan ekspresi tak mengenakkan.Wanita berseragam putih tersebut melangkah ke kantin rumah sakit lalu bertemu seorang pria. Mereka berbincang serius, sampai akhirnya ada seorang suster menghampiri w
Sementara itu, tak jauh dari kantin ada sepasang mata berbulu lentik sedang mengawasi mereka dengan senyum sinis.“Ganteng juga dokter muda itu. Astuti, kamu harus fokus ke Pak Wardoyo. Setelah misi berhasil, terserah kamu,” ucap lirih sosok berbaju putih berbulu mata lentik sembari menutup kedua mata dengan telapak tangan.Sempat terjadi pergulatan, antara hati dengan tubuh. Secara di dalam tubuh Suster Astuti berdiam roh lain. Kaki bersepatu pantofel memaksa pergi ke arah ruang perawatan Pak Wardoyo. Sesampai di ruang perawatan, Suster Astuti mendekati salah satu petugas.“Selamat siang, Pak. Maaf, pasien sudah ditemani psikiater?”“Selamat siang, Sus. Psikiater belum ada. Pengacara pasien punya rekomen sendiri.”“Yaudah kalo, gitu. Saya hanya merasa kasian dengan kasus yang dialami pasien. Permisi, Pak.”“Silakan, Sus.”Setelah Suster Astuti melangkah pergi, kedua petugas saling melempar senyum. Mereka sudah dapat info mengenai wanita tersebut dari suster yang lain. Dari arah berla