Share

Part 3

Aku melotot ke arahnya. Lalu menarik tanganku yang masih berada dalam pegangannya. Sejak kapan suamiku ini jadi pria mesum yang memikirkan nina ninu malam pengantin.

Apa wajahku ini terlihat sedang membutuhkan sesuatu yang sensitif seperti itu? Berpacaran saja tidak pernah. Mana mungkin aku memikirkan hal-hal menjijikkan seperti itu.

"Kenapa diam? Mau?" Suamiku kembali bertanya dengan nada tegas.

Sekarang sepertinya dialah yang menginginkan hal itu. Dasar mata keranjang!

Aku memasang wajah cemberut. Sekujur pipiku kini terasa panas mendengar ajakan konyol seperti itu. 

"Abang jangan asal bicara!" Aku sedikit membentak. Agar dia tahu kalau pikirannya tadi jelas salah. 

"Aku tidak mau lagi jadi wanita egois seperti yang abang katakan selama ini. Aku juga punya hati dan harga diri. Kalau selama ini abang belum juga bisa menganggap aku seperti Kania, baiknya aku mundur. Bukankah seharusnya abang mengucapkan terima kasih?" Lagi-lagi mataku ikut menghangat saat terlibat perdebatan dengannya. 

Tidak salah dia selalu mengataiku anak kecil yang cengeng. Selalu saja berlinang air mata jika tengah membahas sesuatu. Padahal dia bilang itu hanya hal sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan.

"Sudah setengah tahun kita menjalani pernikahan seperti ini. Kau bilang tidak keberatan asal aku menjadi suami yang baik. Lalu kenapa tiba-tiba berubah dan meminta berpisah? Kau tidak malu menyandang status janda di usia yang masih kecil?"

Aku terdiam. Sembilan belas tahun, dan dia masih menganggapku anak kecil.

Tentu saja aku malu. Bahkan sangat malu. Pasalnya aku telah berbangga diri pada orang-orang yang dulu tak percaya bahwa aku akan menikah dengan cinta pertamaku. Mereka terus-terusan mengejek bahwa aku hanya berkhayal. Hingga akhirnya aku membungkam mulut mereka dengan undangan dan pesta mewah.

Lalu belum sampai setahun, aku harus kembali berpisah. Pasti mereka berpikir akulah yang dicampakkan. Sedang saat menikah pun mereka bergunjing bahwa aku menjebak pria malang itu.

"Bagaimana? Jadi?" Dia kembali bertanya. 

Kan, kan. Kalau tidak ingin berpisah, kenapa kembali bertanya? Pasti ucapan tadi hanya modusnya saja agar kegirangan hatinya tak terendus olehku. 

Atau dia pikir aku tidak berani dan hanya menggertaknya saja?

Tidak, tidak. Keputusanku sudah bulat. Mau berapa lama lagi aku merendahkan diri, berharap hatinya berubah, dan melupakan Kania dari ingatannya.

"Jadi!" Aku berucap penuh keyakinan.

"Kau yakin?" Dahinya mengernyit.

"Ya." Aku membuang pandangan.

"Kau benar-benar sudah siap?"

Aku kembali menoleh ke arahnya. Dia mempertanyakan apa aku sudah siap? Menjadi janda di usia yang belum genap dua puluh tahun?

Siap tidak siap aku harus terima, bukan? 

"Aku sudah siap. Benar-benar siap!" ucapku tanpa ragu.

"Tunggulah di kamarmu. Aku mandi dulu. Biar wangi dan membuatmu nyaman. Ini juga pertama kalinya buatku." Dia menggeleng-gelengkan kepala seperti orang yang sedang gugup.

Tentu saja pertama kali. Memangnya dia sudah berapa kali mengucap kata cerai? 

Aku menuruti ucapannya dan melangkahkan kaki menuju kamar. Sebuah pertanyaan bermain-main di kepalaku. Kenapa dia menyuruhku menunggu di dalam?

Apa ada istilah pingitan untuk istri yang akan dicerai?

Atau suami istri yang akan berpisah tidak boleh bertemu lagi? Apa baru berniat saja sudah menjadikan kami tidak halal untuk saling bertatap muka karena ada kemungkinan akan tidak sengaja saling menyenggol?

Arrgghh... munafik sekali laki-laki itu. Sok alim. Lalu bagaimana hubungan dia dengan Kania? Merangkul bahkan menciumnya dengan mesra saat status mereka masih berpacaran. Dia hanya beralasan saja agar tidak bertemu denganku.

Aku benar-benar menurutinya berdiam diri di dalam kamar. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
wkwkwkwkkkk bisa²nya dia gagal.fokus malah jadi siap dicerai hahahaaa.. maksud abangmu itu siap malam pertama
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status