Share

Part 4

Author: Manda Azzahra
last update Last Updated: 2022-07-05 14:56:00

Waktu sudah menunjukkan hampir magrib. Tak lama terdengar suara adzan. Kali ini aku sengaja memperlambat diri ke kamar mandi untuk berwudhu. Tahu bahwa bang Haikal langsung ke sana.

Aku menguping dari depan pintu, lalu segera keluar untuk berwudhu setelah mendengar pintu ditutup dari kamar sebelah.

Kamar mandi di rumah ini memang tak ada yang berada di dalam kamar. Usai menikah, bang Haikal langsung mengajakku untuk pindah dan mengontrak rumah.

Rumah sederhana dengan dua kamar. Dia tak ingin kami tinggal di rumah orang tuaku ataupun orang tuanya.

Padahal aku tahu, dia pasti hanya ingin membuatku merasa tak nyaman. Tinggal di rumah sederhana, sedang sebelumnya aku tinggal di rumah besar dan punya asisten rumah  tangga untuk membersihkan rumah.

Namun aku tetap harus membuktikan bahwa aku benar-benar pantas menjadi istri yang baik baginya. Mengikuti kemana dia pergi dan melayani kebutuhannya sehari-hari. 

Memasak, mencuci, bahkan membersihkan rumah dengan ikhlas aku jalani. Semewah apa pun seseorang hidup, tak mungkin tak mengenal mesin cuci. Perkara memasak, ada banyak tutorial yang bisa aku lihat di beranda youtube. Pernikahan ini sungguh bukan suatu beban buatku. 

Yang menjadi masalah hanyalah sikap suamiku yang masih tak bisa menganggapku sebagai kekasih hati layaknya dia memperlakukan Kania. Aku cuma menginginkan itu.

Usai sholat magrib aku mendengar ketukan di pintu kamar. Aku bergegas melipat mukena dan juga sajadah. 

Mataku terpaku melihat bang Haikal kini berdiri di depan pintu. Rambutnya yang masih basah sisa-sisa air wudhu membuat mataku mengerjab. Cahaya wajahnya tampak memancar setelah melakukan ibadah.

Ya, aku memang terlalu berlebihan dalam menggambarkan sesosok pria yang aku idolakan sejak masih ingusan itu.

"Sudah siap?" Aku mengangguk. Jika belum selesai salat, mana mungkin aku bisa membukakan pintu untuknya.

Tanpa dipersilakan dia langsung masuk. Membuatku menelan ludah atas sikapnya. Padahal selama ini dia hanya masuk jika keluarga salah satu dari kami menginap di sini.

"Abang mau apa?" tanyaku heran. Dia langsung mengambil posisi duduk di tepi ranjang.

Dahinya mengernyit. Alis tebalnya menyatu memandangku.

"Kau masih bertanya? Kau sendiri yang meminta. Ayo cepat!" Tangannya bergoyang seperti sedang memanggil anak kecil.

Ada apa ini? Apa memang seperti ini proses perceraian? Kenapa harus dilakukan malam ini juga? Aku yang ragu atau dia yang begitu bersemangat?  

Bukankah hal ini harus dibicarakan lagi dengan masing-masing keluarga? Kenapa harus dilakukan saat berdua? 

Sebelumnya aku memang pernah membaca novel religi Ketika Cinta Bertasbih. Furqan menceraikan Ana Altafunnisa sendirian saja di dalam kamar. Dan detik itu juga mereka sah berpisah dan tak halal lagi sebagai suami istri.

Ya. Sesederhana itu.

Tapi bukan seperti ini yang aku maksud. Aku butuh ayah dan ibu. Juga bang Eka _kakak laki-lakiku _. Aku butuh mereka untuk memelukku saat bang Haikal mentalakku. Bagaimana jika aku menangis sampai pingsan? Apa calon mantan suamiku nanti masih tetap peduli dan mau menolongku?

Kalau dia langsung buang badan dan bilang kalau aku sudah bukan tanggung jawabnya lagi, bagaimana?

"Cepatlah. Mau, tidak?" Dia kembali bersungut. Aku memasang wajah cemberut. Tak menyangka kalau dia akan seantusias ini menyambut keputusanku.

"Ke sini!" Dia menepuk ranjang di sebelahnya. Aku menurut saja. 

Tak mau lagi dibilang anak kecil yang plinplan dan suka berubah pikiran. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku tak mau perpisahan ini terjadi. Aku masih secinta itu dengan laki-laki tampan ini.

Ya, Tuhan! Tolong aku. Berikan keajaiban agar suamiku berubah pikiran dan mengurungkan niatnya. Tak mungkin lagi aku yang membatalkan. Sudah habis semua harga diriku selama ini di hadapannya. Tak ada lagi sisa sedikit pun.

Dengan dada yang bergetar aku duduk di sebelahnya. Mataku kembali menghangat dan ingin sekali menangis sejadi-jadinya. 

"Jangan takut. Aku tahu ini akan sakit untukmu. Tapi, bukankah ini yang kau inginkan?"

Air mataku tak bisa lagi kubendung. Hanya sakit untukku, katanya? Kalau dia sama sekali tak merasa sakit, setidaknya jangan tunjukkan wajah bahagia di hadapanku.

"Jangan menangis gadis cengeng! Setelah malam ini kau bukan lagi anak-anak. Berhenti bersikap manja. Aku tak suka." Lirih suaranya terdengar. 

Detik berikutnya dia memegang pucuk kepalaku. Aku semakin sesenggukan. Apa ini kali terakhir dia melakukannya? Aku memejamkan mata. Tak sanggup melihat wajah sumringah itu saat menjatuhkan talak padaku.

Lalu tiba-tiba kening ini terasa hangat. Seperti ada sesuatu yang menempel. Perlahan aku memberanikan diri membuka mata. Sepertinya aku sudah pingsan sebelum mendengar kata talak. Seperti berhalusinasi, samar bayangan bang Haikal sedang menyentuh dahiku dengan mulutnya. Dia terlihat begitu dekat.

Tak lama tangannya menyentuh kancing atas piyamaku. 

Arrgghhh!!!

Seperti tersadar, aku langsung berteriak dan refleks mendorong tubuhnya hingga jatuh terjengkang ke lantai.

"Kau kenapa?" Bang Haikal tampak terkejut dengan posisi hampir terlentang dengan kedua tangan menyangga tubuhnya.

"Abang mau apa?" Aku memegangi kerah piyama dengan kencang.

Tiba-tiba dahinya mengernyit. Seperti ragu-ragu dia menatapku. Mencoba berpikir atau takut salah. Sejurus kemudian dia menelengkan kepala.

"Nafkah batin?"

                                 ~~~~

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
ya ampun ngakak banget baca part ini .........hahahaaaaaaa
goodnovel comment avatar
Fahmi
Tiba tiba dahinya mengrenyit
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • JODOH HASIL RAMPASAN   Part 83 (Ending)

    "Sudah kubilang itu bukan urusanmu. Kau semakin lancang, Bim. Aku tak mau punya teman sepertimu!" Kubuang muka, tanda tak terima dengan sikapnya."Aku mendengar pembicaraanmu saat di toko buku. Kenapa tak menurut saja? Suamimu bahkan ingin menjauh dengan kembali menyekolahkanmu." Ucapannya kini tak lagi kasar. Terkesan seperti memohon pengertian.Aku menelan ludah. Lalu beralih kembali menatap wajahnya. Begitukah cara dia mengungkapkan perasaannya? Sama sekali tak ada bedanya denganku. Egois dan selalu menggunakan berbagai cara."Kau mengikuti kami?" Aku langsung menebak.Dia sama sekali tidak menyangkal. Malah memandangku dengan sorot mata yang... mungkin meminta pengertian."Sikapmu sama sekali tidak mencerminkan mahasiswa terpelajar, Bim. Kau seperti....""Ya! Aku terlihat seperti orang gila, kan?!" Menggeram dia menebak ucapanku yang terhenti. "Aku sama sepertimu. Jatuh cinta pada orang yang salah."Mata itu kini

  • JODOH HASIL RAMPASAN   Part 82

    Setelah menjalani proses yang memakan waktu cukup lama, akhirnya pengadilan memutuskan Kania bersalah. Dia dijatuhi hukuman dua tahun kurungan.Aku merasa lega, bukan hanya karena tindakan kekerasan yang dia lakukan terhadapku. Namun juga karena sikapnya yang selama ini terus menerus meneror batinku. Membuatku merasa tak layak dicintai oleh suamiku sendiri. Juga membuat bang Haikal selalu merasa rendah diri dan takut mencintai wanita sepertiku, meski telah sah menjadi isterinya.Masih kuingat dengan jelas wajah terakhir gadis itu sebelum petugas membawanya. Tak ada penyesalan terlihat di sana. Seolah apa yang dia lakukan bukanlah sesuatu yang salah. Di sidang-sidang sebelumnya pun dia selalu mengumpat jika sedang berpapasan denganku. Mengatakan kalau dia belum kalah, dan akan merebut kembali miliknya yang telah aku curi.Matanya jelas masih begitu berharap agar bisa bertemu lagi dengan suamiku. Memang selama sidang berlangsung, hanya sekali mantan kekasihnya itu

  • JODOH HASIL RAMPASAN   Part 81

    "Jangan pedulikan ucapan mereka, Bang." Aku mulai merayu saat mendatangi suamiku di kamarnya. Aku membantu melepaskan kemeja yang tadi dia pakai.Entahlah. Masih canggung rasanya bagi kami untuk bersatu dan menempati kamar yang sama. Hingga kami masih harus saling menghampiri jika ada yang ingin dibicarakan."Sudah kubilang aku tak apa-apa." Bang Haikal tersenyum sembari memakai kaos oblong tipis untuk tidur. Lalu seenaknya membuka kancing dan resleting celana panjang, lalu menurunkannya tanpa pemberitahuan."Ish, Abang!" Tubuhku refleks berbalik memunggunginya. Malu jika melihat sesuatu yang sebenarnya sudah pernah aku rasakan."Kau kenapa?" Dia berjalan dengan suara yang kian mendekat."Kenapa buka celana di hadapanku?" Aku merengek."Kau ini aneh. Seperti tidak pernah melihatnya saja." Bang Haikal berjalan mendekati pintu dan menggantung celana panjang tadi. Kini dia sudah terlihat memakai celana pendek di bawah lutut."Tapi

  • JODOH HASIL RAMPASAN   Part 80

    Bima tampak masih sangat tenang meski semua orang menatapnya. Ingin sekali rasanya aku mencekik lehernya karena telah membuat suamiku kembali memikirkan hal yang bukan-bukan tentang aku dan dia.Bang Haikal pasti berpikir kalau Bima masih menaruh perhatian dan mencari cara agar bisa mendekatkan diri denganku. Tanpa dia tahu, kini aku dan Bima terlibat selisih paham karena kekurang ajaran mahasiswa psikologi itu.Jika malam ini sampai terjadi masalah lagi di antara kami karena Bima, aku bersumpah akan melempar kaca jendelanya hingga pecah. Aku lelah dengan semua masalah yang seperti tidak ada habisnya."Wah, Bima baik sekali. Kau dengar itu, Dwi?" Ibu tampak lebih mengagumi pemuda itu dari sebelumnya. "Harusnya kau juga bersemangat seperti Bima. Bukannya kalian seumuran? Kau bisa mengejar ketertinggalan jika belajar bersama Bima."Aku mendesis pelan. Ibu seolah-olah masih menaruh harapan agar aku juga memiliki antusias seperti Bima. Menjadi anak perempuan

  • JODOH HASIL RAMPASAN   Part 79

    Aku rasa sikapku selama ini terlalu kasar menghadapinya. Dari caranya menatapku tadi, seperti ingin menyapa dan menanyakan kabarku. Namun hal itu urung dia lakukan, karena Kania langsung menarik tangannya, dan menyeretnya menjauh dari kami.Tak lama kulihat sebuah mobil Daihatsu Sigra berhenti menghampiri mereka. Lalu gadis yang masih menatapku dengan penuh kebencian itu menghilang bersama ibunya saat mobil itu melintasi dan meninggalkan tempat."Singgah ke rumah, ya, Dwi. Biar nanti Haikal suruh menjemputmu di rumah." Ibu merangkulku hendak menuju mobil.Aku melirik Bima sekilas."Iya, Bu. Bang Haikal pasti akan bergegas menjemput jika tahu aku tidak di rumah." Sengaja aku bicara berlebihan agar Bima tahu bahwa hubungan rumah tanggaku tak seperti yang dia pikirkan.Dia hanya menatapku tajam tanpa mengucap sepatah kata pun.*[Norak!] Sebuah pesan whatsapp masuk atas nama Bima.Mataku membesar saat membacanya. Aku yang duduk di bangku belakang mobil milik ayah langsung membalasnya.[K

  • JODOH HASIL RAMPASAN   Part 78

    "Sudah mulai nakal kau rupanya, ya." Bang Haikal menyentil keningku dengan jemarinya. Membuat bibirku mengerucut dibuatnya."Makanya jangan menyuruhku yang bukan-bukan. Lebih baik aku mengurus sepuluh anak daripada memegang buku pelajaran," protesku.Dia tertawa kecil. "Kalau soal membantah, kau memang juaranya." Bang Haikal mengacak-acak rambutku.Aku tersenyum malu. Menganggap bahwa hal itu adalah suatu pujian, bukan lagi sebuah sindiran yang dia alamatkan untuk mengejekku seperti biasanya.*Siang ini aku menemani Dea ke toko buku. Tadi aku menghampirinya di kampus, lalu pergi bersama dengan Honda Brio merah-nya. Hal rutin yang sering kami lakukan saat bahan bacaan di rumah sudah habis.Dea terkikik geli saat aku menceritakan ide bang Haikal yang ingin kembali menyekolahkanku. Aku mencubit bahunya karena terus-terusan meledek, bahwa suamiku mungkin amnesia dan tak lagi mengenalku. Si bodoh yang ingin cepat-cepat lulus SMA agar bisa menikah dengan pria impiannya."Wanita yang baik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status