Share

Part 2

Namun tetap saja rasa kagum itu tak berkurang. Tanggung jawabnya sebagai seorang suami patut kuancungi jempol. Semua gaji dia serahkan untuk aku kelola. Padahal dia sendiri tahu bahwa uangku lebih banyak dari jumlah gaji yang dia hasilkan.

Sampai saat ini kami masih seperti orang asing yang tetap tidur di kamar terpisah. Dia masuk ke kamarku dan bermalam, hanya saat keluarga kami datang, dan mungkin menginap. Setelahnya kami tak lebih dari anak kost yang berdiam di masing-masing kamar.

*

Sore ini aku kembali menantinya pulang dari kantor. Kulihat sepeda motornya sudah memasuki halaman. Aku bergegas menyeduh teh manis yang airnya sudah aku panaskan sebelumnya.

Seperti biasa dia langsung duduk di meja makan dan menyeruput teh aroma melati itu. Aku ikut duduk di hadapannya. Menatap wajahnya dengan serius.

"Ada apa?" Dia tampak heran dengan sikapku.

Mataku mengerjab. Bingung harus mulai dari mana. Detik berikutnya dia mengangkat pergelangan tangan untuk melihat jam yang melingkarinya.

"Aku tepat waktu, kan? Kau tidak punya alasan lagi untuk curiga." Dia berucap penuh percaya diri untuk meyakinkanku.

Ya. Seperti itulah dia. Selalu berusaha menjaga sikap seolah-olah hubungan rumah tangga kami benar-benar harmonis dan normal seperti pasangan pada umumnya. Dia selalu menjaga perasaanku sebagai seorang istri. Baik itu sedang berdua ataupun di depan keluarga dan teman-temannya.

Tapi tetap saja aku tahu bahwa itu bukan cinta. Sedang hatinya lah yang paling aku butuhkan. Bukan sebuah kepura-puraan hanya demi membuatku merasa senang dan dihargai.

"Soal pembicaraan kemarin...." Aku ragu-ragu hendak mengucapkannya.

"Kenapa? Masih curiga? Aku bahkan tak lagi menyimpan nomornya. Kau bisa periksa sendiri." Dia merogoh ponsel dari kantong celana dan meletakkannya di atas meja.

Aku bergeming. Melihat benda itu sama saja membuka album kenangan antara dia dan Kania. Pasti masih ada sisa-sisa chat dan juga foto-foto kebersamaan mereka. Ini kali pertama suamiku menawari untuk melihat barang pribadinya itu.

"Tidak perlu." Aku berucap lirih. 

"Lalu? Ada apa soal kemarin?" Dia kembali menyeruput minumannya.

"Kita berpisah saja. Abang bisa bebas kembali bersamanya. Aku... sudah ikhlas."

Dia kembali menghela napas. Kali ini mata itu menatapku dengan serius. 

"Kau belum juga bisa bersikap dewasa. Selalu bertingkah kekanakan. Menganggap semuanya hanya sebagai permainan. Mau menikah tinggal menikah, begitu bosan tinggal bercerai. Apa semua itu begitu mudah bagimu, hingga tak ada beban saat kau mengucapkannya?"

Aku terdiam. Apa maksud ucapannya? Apa dia kembali berlagak menjadi korban seperti saat menikah dulu? Harusnya dia merasa senang dan menang. Bisa bebas menjalin hubungan dengan Kania seperti dulu lagi. 

Atau ini hanya sandiwara agar semua kesalahan kembali ditimpakan padaku? Ya, ya, ya. Aku yang memulai dan aku juga yang harus mengakhiri. Dia hanya korban dari keegoisanku yang selalu suka memaksa. Dia pasti akan mendapat simpati dari semua anggota keluarga yang akan menyalahkanku.

Tak apa. Aku terima. Karena sejak awal hanya akulah yang menginginkan pernikahan ini.

"Terserah abang mau bilang apa. Ceraikan saja aku. Abang bebas sekarang." Aku berucap tegas, lalu bangkit hendak meninggalkannya.

Dengan cepat dia menangkap tangan dan menahan langkah ini, lalu ikut berdiri tepat di hadapanku. Seketika mata kami saling beradu. Raut wajahnya tampak heran. Alisnya bertaut memandangku.

"Apa ini soal nafkah batin? Kalau itu alasanmu ingin bercerai, aku bisa berikan sekarang. Ayo kita lakukan!"

                            ~~~

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
baru baca 2 bab aja udah nyesek... cinta sendiri memang selalu menyakitkan
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku bisa berikan sekarang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status