Share

JODOH-JODOH DARI TUHAN
JODOH-JODOH DARI TUHAN
Penulis: Isna Arini

Bab 1

"Dek, tolong uleg bumbu ini ya," pintaku pada adik iparku.

Istri dari adik laki-lakiku yang baru tiga bulan lalu dinikahi. Mereka menikah di ibu kota dan tinggal juga di sana. Keduanya sama-sama bekerja di kota metropolitan itu. Dua hari yang lalu, mereka datang ke kampung karena tiga hari lagi adalah hari raya idul Fitri.

Hari ini kami akan masak untuk berbuka puasa. Meskipun adik iparku ini tinggal di kota dan bukan ibu rumah tangga, tapi di sini, tak segan-segan wanita yang selalu menutup sempurna auratnya itu turun ke dapur membantu kami. Setelah makan pun, dia dengan cekatan mencuci piring dengan berjongkok di bawa keran air. Ya, kami tidak memiliki kitchen Sik ataupun wastafel ala-ala orang kota.

"Ini mbak, sudah," ujar Dek Alya, adik iparku sembari menyodorkan alat penggiling bumbu yang biasa kami sebut cobek yang terbuat dari batu.

Didalam cobek tersebut, tampak bumbu-bumbu yang aku minta haluskan tadi sudah tercampur dengan sangat halus. Lebih halus daripada aku sendiri yang menguleknya.

"Terimakasih, ya dek. Halus banget nguleknya," ujarku sambil tersenyum, yang dibalas olehnya dengan senyuman tak kalah manis.

Aku segera menumis bumbu halus tersebut, hari ini kami akan memasak opor ayam untuk buka puasa.

"Dek, mana lengkuasnya ya?" Tanyaku pada adik ipar yang memerhatikan cara memasak dengan berdiri di sampingku.

Aku bertanya padanya, karena di keranjang bumbu yang tadi sudah aku serahkan untuk di uleng hanya tersisa sereh dan daun, salam jeruk, lengkuas sudah tidak ada di tempat itu.

"Aku uleng juga, Mbak."

Aku menatap tak percaya padanya.

"Bagussss ...." Ucapku seraya mengacungkan dua jempol padanya.

"Kenapa Mbak, salah lagi ya?" Tanyanya dengan nada bersalah.

"Enggak salah sih, tapi luar biasa. Aku aja gak pernah ngulek lengkuas sampai tak berbentuk seperti itu, hanya digeprek aja."

"Habis semua dikasih, aku pikir harus diuleng semua."

"Kenapa gak diulek sekalian itu sereh dan daun salam, jeruk," selorohku, yang hanya dibalas olehnya dengan senyuman.

Adik iparku ini memang murah senyum, selain karena ramah juga karena dia tidak bisa berbicara bahasa Jawa. Jadi daripada salah menjawab lebih baik tersenyum pada semua orang yang bertanya padanya.

Kemarin saat baru datang dan membantu emak memasak, ada juga kejadian lucu.

"Nduk, ini tolong di potong-potong tipis ya, parenya," pinta emak pada Dek Alya sore kemarin.

Dan yang terjadi adalah pare itu tidak hanya dipotong ,tapi juga di kupas hingga benjolan-benjolan yang ada di pare tersebut hilang, tinggallah si pare yang mulus-mulus tanpa benjolan. Seperti muka anak perawan yang habis perawatan.

"Mungkin di sana Dek Alya tidak pernah makan pare, Mak," timpal Fitriana, adikku yang nomor tiga.

Kami empat bersaudara, dua perempuan dan dua laki-laki. Ada Mas Bayu - kakakku, aku sendiri, adikku Harun- yang menikah dengan Dek Alya, dan Fitriana.

"Maaf, Mak. Salah ya," ucap Dek Alya dengan wajah bersalah.

"Nggak apa-apa, malah mulus kok parenya." Aku menyela.

"Mbak, masaknya udah apa belum? Aku mau ajak Alya ngabuburit," Suara Harun mengagetkan diriku yang sedang memasak sambil melamunkan kejadian kemarin.

"Wes, sana kalau mau pergi. Tapi tetap buka puasa di rumah ya," sahutku.

"Pergi dulu ya, Mbak," pamit Dek Alya.

Setelah kepergian keduanya, aku segera membereskan dapur. Cucian bekas masak tidak terlalu banyak karena sudah dicicil oleh Dek Alya tadi. Aku hanya membereskan sisa-sisanya saja.

Waktu menunjukkan jam setengah lima sore, lebih baik aku mandi dulu. Ibu dan bapak keluar rumah juga untuk berbelanja, Fitriana pergi mengajar TPA. Nanti saja jika sudah dekat waktu Maghrib baru membuat teh hangat untuk minum. Cukup lama aku di kamar mandi, dan berganti pakaian sekalian, hingga suara keramaian menumbuhkan penasaran dalam diri. Memaksaku cepat-cepat keluar dari kamar mandi.

"Bagaimana ceritanya kok bisa beli sebanyak ini?" Terdengar suara emak di telingaku.

Sepertinya semua orang sudah pulang dan berkumpul di ruang tamu. Aku segera pergi untuk ke tempat mereka berada untuk melihat apa yang terjadi.

"Tadi, Alya tuh aku tinggal sebentar. Tau-tau udah beli ginian, Mak," sahut Harun.

Aku sampai di ruang tamu dan melihat satu panci berisi pentol bakso kecil-kecil. Di kampung ini, makanan yang terbuat dari tepung dan campuran daging sapi serta ayam itu dibuat lebih kecil dari umumnya bakso, dan di jual keliling memakai motor. Jika ada yang membeli maka akan di masukkan kedalam plastik kecil dan diberi sedikit kuah, saus, sambal, dan kecap sesuai selera, kemudian di beri tusukan seperti tusuk sate untuk memakannya. Biasanya lima ribu saja sudah dapat banyak, bahkan ada yang membeli dengan uang pecahan dua ribu.

"Aku kan lagi pengen makan cilok, Kak," ucap Dek Alya membela diri.

"Iya, tapi gak seratus ribu juga kali belinya. Disini apa-apa gak semahal di kota. Gak sekalian aja mas-mas yang jualan dibeli," seloroh Harun.

Dek Alya hanya memanyunkan bibirnya, terlihat lucu.

"Lagian kamu, Run. Udah tahu seratus ribu bakalan dapat banyak. Tetap aja di beli segitu," sahutku membela Dek Alya.

Adik ipar yang sepertinya semakin aku sukai.

"Masa udah bilang seratus ribu, udah dikasih uangnya bilang gak jadi. Ngisin-isini ( malu-maluin) aja Mbak." Gantian Harun yang membela diri.

"Terus itu panci punya siapa?" Tanyaku.

"Tadi beli, untung ada toko kelontong belum tutup," jawab Harun.

"Ada apa sih, Mbak?" Tanya Fitriana yang baru saja pulang dari mengajar.

Gadis itu langsung berdiri dan bertanya padaku atas apa yang terjadi dengan penasaran.

"Itu, Mbak Alya beli pentol sampai seratus ribu, dapat satu panci. Katanya pengen makan cilok. Aku berkata seraya menunjuk panci yang berisi penuh benda-benda bulat sebesar kelereng.

"Mbakmu gak tahu kalau seratus ribu dapat banyak," timpal emak.

"Oh, mungkin di kota, Mbak Alya suka makan cilok sultan," sahut Fitriana.

"Cilok sultan?" Dek Alya mengulang perkataan Fitriana.

"Iya, kayak Sisca Kohl. Makanan yang dimakan harganya kan mahal-mahal. Daging jutaan, padahal disini seratus ribu dapat sekilo."

"Itu kan beda kualitas, Ana ..." Sahutku dengan gemas.

"Ya makanya, karena Mbak Ayla biasa beli mahal di kota. Makanya beli makanan di kampung ala sultan."

"Kamu memang pengertian." Dek Alya berkata sambil menghambur pada Fitriana dan memeluknya dengan erat.

"Ayo kita bikin review, Mbak." Fitriana mengurai pelukan dan menatap Kakak Iparnya dengan mimik serius.

"Makan bakso yang dibeli ala sultan check..." Ucap Fitriana menirukan gaya bahasa konten kreator yang terkenal itu.

🍁🍁🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status