Share

Bab 7

"Mantannya banyak?" gumamku pelan, hampir tak terdengar karena bicara untuk diriku sendiri.

Ada rasa cemburu di dalam sini, dalam hatiku. Aku pikir, aku adalah cinta pertama dan satu-satunya bagi suamiku itu. Ternyata dia pernah pacaran dan jatuh cinta juga. Harapanmu terlalu tinggi Alya.

"Tenang Mbak itu kan masa lalu, lagian gak banyak kok. Aku becanda," tutur Fitriana seakan mengetahui isi hatiku.

"Lagian Mas Harun kalau pacaran tuh langsung serius ingin nikah, bukan buat main-main. Tapi seringnya Mas Harun yang ditinggal sama pacarnya, ngenes ya," papar Fitriana sambil tertawa.

Anak ini, bilang ngenes tapi malah tertawa diujung ceritanya. Jadi Kak Harun selalu mengajak serius wanita yang diajaknya berkenalan. Artinya tidak neko-neko juga, buktinya pas kenalan sama aku lelaki itu sangat menjaga dirinya. Bahkan kami tidak pernah bersentuhan sama sekali saat bertemu.

Saat berbalas pesan pun, lelaki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu hanya berbagi hal yang sewajarnya. Bertanya dan menjawab seperlunya, tidak ada kata gombalan apalagi basa-basi. Tanya sedang apa, udah makan atau belum dan semacamnya saja tidak pernah.

"Jangan ngambek ya, Mbak. Jangan marah sama Mas Harun. Pasti sekarang hanya Mbak Alya satu-satunya wanita di hatinya."

Fitriana menatapku dengan pandangan memohon, karena melihatku melamun sesaat tadi. Mungkin dia merasa bersalah mengatakan kakaknya memiliki banyak mantan.

"Enggak, Dek. Masa gitu aja ngambek."

Meskipun awalnya tadi aku ingin melakukannya, tapi urungkan saja. Toh sekarang aku yakin hanya aku satu-satunya wanita yang ada di hatinya. Wanita-wanita masa lalu itu hanyalah wanita yang datang sementara karena ingin dikenalnya.

"Terus gimana, jadi ke mall?" Fitriana kembali menanyakan tentang rencananya.

"Ayok!"

"Hari ini saja Mbak, nanti sore sekalian buka puasa di luar. Kalau siang nggak seru, gak bisa makan-makan. Kalau besok malam dah takbiran pasti nggak boleh," tutur Fitriana panjang lebar.

"Hari ini pun gak boleh, Dek, kalau malam. Ini kan malam terkahir tarawih. Mana dibolehin sama Kak Harun, apalagi sama Ustadz Hamid," kupelankan suaraku saat menyebut nama kakak iparku.

Tidak enak juga jika aku dikira berburuk sangka pada beliau. Tapi memang Ustadz Hamid sepertinya orang yang tegas dalam segala sesuatu. Beda dengan Kak Harun yang masih bisa aku pengaruhi. Tentunya dengan mode manis manja.

"Ayolah, Mbak. Sekali-kali gak apa-apa kan. Nanti kita bisa salat tarawih di masjid kota sana. Bujuk Mas Harun, ya ... Ya..." Fitriana berkata sambil menarik-narik tanganku dan mengedipkan matanya berulang kali.

Lucu sekali caranya meminta, meskipun sudah usia dewasa tapi masih manja seperti anak kecil. Mungkin karena dia anak terakhir. Melihatnya seperti itu, aku jadi tidak tega menolaknya.

"Iya nanti aku bujuk Kak Harun."

"Bener ya, Mbak."

"Iya."

"Janji!"

Aku mengangguk kepala dengan mantap.

***

Setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, dan permohonan yang begitu dramatis, akhirnya kami jadi juga jalan-jalan tempat yang dikatakan Fitriana sebagai mall.

"Yang Deket aja, Mas, kalau gak mau yang jauh di kota," rengek Fitriana pada Kakaknya.

Membantuku meluluhkan hati suamiku. Aku sudah berusaha juga tadi, tapi masih saja berpikir terus.

"Ini malam terakhir Ramadhan, Ana. Kenapa malah ingin jalan-jalan, sih," cegah Mbak Mayang.

"Sekali doang, Mbak. Nggak apa-apa lah. Kemarin dan keluar gak kemanapun langsung pulang lagi." Gadis itu masih merengek.

Sepertinya yang dimaksudkan kemarin itu adalah saat dia ikut Mbak Mayang periksa kandungan. Gara-gara mengkhawatirkanku, akhirnya mereka buru-buru pulang. Begitu yang aku tahu dari ceritanya Fitriana.

"Nanti kita salat di masjid yang ada di sana," ujarku membantu Fitriana.

"Memangnya ada mall lebih dekat dari, sini. Setahuku adanya di kota sana, dekat dengan alun-alun kota," sela Kak Harun.

"Ada Mas! Mas Harun aja yang gak tahu. Itu tempat baru, makanya ayo pergi. Jangan di rumah aja, masa adiknya gak diajak jalan-jalan sama sekali padahal udah pulang. Kalian kan pulang setahun sekali."

"Ya udah sana siap-siap, habis ashar kita berangkat," titah Kak Harun.

Mendengar perintah kakaknya, gadis itu langsung bergegas meninggalkan kami dengan riang gembira. Sepertinya dia hendak bersiap-siap untuk berangkat.

"Mbak Mayang mau ikut?" tanyaku pada kakak iparku itu.

Mungkin dengan mengajaknya jalan-jalan akan membuatnya melupakan tentang masalah buah hati.

"Enggak Dek, dirumah aja. Bisa kena omel Mas Hamid, aku," sahutnya dengan tawa berderai.

"Diajak aja sekalian."

"Beliau ada jadwal ngisi kultum setelah tarawih. Lagian malas juga Dek, akunya. Capek."

"Oh ...." aku membulatkan bibirku.

"Masih jauh gak, Ana?" Pertanyaan Kak Harun membuatku kembali dari melamunkan perdebatan kami sebelum berangkat tadi.

"Dikit lagi, Mas. Setelah tanjakan, belok kanan, bangunannya ada di sebelah kiri."

Aku yang duduk di depan, di samping Kak Harun ikutan memerhatikan jalanan. Siapa tahu suamiku itu perlu mata ekstra untuk melihat tempat yang dimaksud oleh adik iparku.

Kendaraan roda empat yang kami tumpangi, memang mulai melewati jalanan yang dilalui beberapa motor dan mobil. Tadi saat keluar dari rumah, di kanan kiri jalan hanya terdapat hamparan pepohonan dan kebun. Jalan berkelok-kelok, naik turun khas pedesaan. Sangat berbeda dengan jalanan kota metropolitan yang rata-rata datar dan lurus.

"Mau ngapain sih ke mall segala?" tanya Kak Harun.

Sepertinya suamiku itu masih belum rela mengantarkan adik bungsunya jalan-jalan.

"Cari baju lebaran," jawab Fitriana.

"Emang belum punya?"

"Udah sih, daripada gak ada alasan," sahut Fitriana asal.

Dasar bocah ini, bisa aja jawabnya.

Mobil terus melaju hingga melewati tanjakan dan belokan seperti yang dikatakan oleh Fitriana. Aku langsung menajamkan pandangan, sebentar lagi mall yang dimaksudkan oleh Fitriana akan kami lewati sedangkan gadis itu masih asyik dengan smartphonenya di kursi belakang.

Aku tidak ingin kami melewatinya, jika harus memutar balik nanti malah makan waktu, apalagi hari sudah senja dan sebentar lagi waktu Maghrib. Kami harus membatalkan puasa juga, artinya harus cari tempat makan di dalam mall. Jika di Jakarta, biasanya suka penuh tempat makan saat menjelang berbuka puasa.

"Depan itu, Mas. Berhenti!" seru Fitriana saat melihat di depan sana ada sebuah bangunan dengan cat berwarna biru dan putih.

Mobil yang kami tumpangi berbelok ke arah tempat yang dimaksudkan oleh Fitriana.

"Yah tutup," ucap gadis itu dengan nada kecewa saat melihat pintu bangunan itu tertutup rapat.

"Ini yang kamu maksud mall, Dek?" tanyaku tidak percaya.

"Iya Mbak," sahut Fitriana dengan nada yang masih lesu tidak bersemangat.

Aku ingin tertawa melihat bangunan di depanku yang dikatakan sebagai mall oleh adik iparku itu. Tapi tidak tega karena melihat begitu kecewa saat mengetahui mall yang dia maksud tutup.

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status