🏵️🏵️🏵️
Hati ini masih terus bertanya, kenapa adik iparku sendiri sepertinya sangat tidak suka dengan keberadaanku di rumah ini. Dari awal pertemuan, Bella telah menunjukkan sikap aneh dan tatapan penuh kebencian.
Dulu, aku menganggap kalau itu hanya perasaanku saja. Aku tidak ingin berprasangka buruk terhadapnya. Namun, ternyata sikap kasar yang dia tunjukkan di depanku tidak hanya sekali, tetapi ini untuk ketiga kalinya.
“Bella mengatakan yang sebenarnya, Pih.” Bella dengan santai memberikan jawaban.
“Kenapa kamu ngomong seperti itu, Bel?” tanya Mas Haris kepada adiknya itu.
“Apa salah kalau aku jujur, Kak?” Bella justru balik bertanya.
“Jaga bicaramu! Tika itu kakak iparmu, istri Kakak. Kamu harus menghormatinya!” Mas Haris menaikkan suara.
“Sekarang Kakak udah berani bentak aku hanya karena wanita itu?” Bella menunjuk ke arahku.
“Diam kamu, Bella!” Mas Haris terlihat marah.
Aku memegang lengan Mas Haris untuk menenangkannya. “Sudah, Mas, saya yang salah. Sebaiknya saya makan di belakang aja supaya adik Mas nggak merasa terganggu dengan keberadaan saya.” Aku pun berdiri.
“Jangan, Sayang. Kamu istri saya dan sepantasnya kamu juga harus makan bersama keluarga di sini.” Mas Haris meraih tanganku.
“Nggak apa-apa, Mas. Ini demi kebaikan bersama.”
“Nggak usah sok cari perhatian, deh. Aku yang akan pergi dari sini!” Bella langsung berdiri lalu beranjak menuju ruang TV.
“Kamu duduk aja, jangan hiraukan dia.” Mami mertua memintaku untuk duduk.
“Iya, Mih,” balasku, kemudian kembali duduk.
“Maafin sikap Bella, ya, Sayang. Saya juga nggak tahu kenapa dia bersikap seperti itu padamu.” Mas Haris mengusap lenganku.
“Iya, Mas, nggak apa-apa.” Aku berusaha tersenyum.
“Ya, udah, kita sarapan sekarang.”
“Iya, Mas.” Aku mengisi piring Mas Haris dengan nasi, lauk, dan sayuran.
“Jangan pernah sungkan di rumah ini, ya, Nak Tika. Sekarang, ini juga rumahmu.” Papi mertua kembali membuka suara.
“Baik, Pih,” balasku singkat.
Akhirnya, kami sarapan berempat tanpa Bella. Aku tidak tahu apa alasan wanita itu untuk tidak suka kepadaku. Sebelumnya, aku sama sekali tidak mengenalnya dan bahkan melihatnya saja tidak pernah.
Sikap yang Bella tunjukkan benar-benar tidak dapat aku mengerti. Dia seolah-olah memiliki dendam dan kebencian yang mendalam kepadaku. Ada apa sebenarnya? Apa alasannya untuk selalu menyakitiku?
Seandainya bukan karena ingin memberikan kebahagiaan kepada orang tuaku, mungkin sekarang keadaannya tidak akan seperti ini. Aku pasti masih bersama keluarga dan tidak mendengar penghinaan yang telah Bella lontarkan.
Sudahlah … aku tidak boleh menyesali keadaan ini. Semua kulakukan demi orang-orang tersayang. Aku harus kuat, Bapak dan Ibu tidak perlu tahu apa yang terjadi sebenarnya terhadap putri sulung mereka.
Bapak dan Ibu cukup tahu kalau aku sangat bahagia menikah dengan Mas Haris dan menemukan keluarga baru. Sebagai seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tua, aku tidak boleh membuat orang tuaku merasa terbebani.
Apalagi dengan kondisi Bapak yang masih duduk di kursi roda. Beliau tidak boleh sedih, tetapi harus tetap semangat agar pengobatannya berjalan dengan baik dan dapat berjalan seperti dulu lagi.
“Sarapannya, kok, sedikit banget, Sayang? Jangan bilang kamu lagi mengatur porsi makan atau diet.” Mas Haris ternyata memperhatikan porsi makanku yang sedikit.
“Nggak, kok, Mas. Tapi saya udah kenyang.” Aku memberikan alasan.
Mas Haris tidak tahu apa yang ada dalam pikiranku saat ini. Aku merindukan suasana di rumah orang tuaku yang penuh dengan cinta dan kasih sayang, walaupun keadaan serba kekurangan. Ternyata kebahagiaan itu tidak dapat diukur hanya dari segi materi saja.
Kenyataannya sekarang, walaupun di rumah ini serba ada, hatiku tidak merasakan ketenangan melihat sikap yang Bella tunjukkan. Namun, aku harus berusaha kuat dan sabar. Keluarga Mas Haris jangan sampai tahu dengan perasaanku yang sebenarnya.
Aku harus tetap menjadi istri dan menantu yang baik seperti harapan orang tuaku. Aku tidak mau kalau sampai Mas Haris dan kedua mertua menganggapku tidak dididik oleh Bapak dan Ibu. Walaupun aku masih sangat muda menyandang status sebagai istri, tetapi aku tetap harus mampu bersikap dewasa.
🏵️🏵️🏵️
Malam kedua hingga seminggu berikutnya setelah acara pernikahanku dan Mas Haris, aku sebagai istri belum menjalankan kewajiban yang seharusnya telah terlaksana. Semua itu karena aku sedang berhalangan, kedatangan tamu bulanan. Hati ini merasa lega karena masih takut membayangkan sesuatu yang akan terjadi.
Akan tetapi, malam ini rasa gelisah itu kembali menghampiriku. Setelah menunaikan kewajiban salat Isya, aku dan Mas Haris berbaring di tempat tidur. Kami memilih lebih cepat memasuki kamar karena cuaca sangat dingin. Sore tadi, kota ini di guyur hujan deras dan bersamaan dengan suara petir hingga sekarang.
“Kamu mau lanjutin sekolah nggak, Sayang?” tanya Mas Haris sambil mengusap pipiku.
“Boleh, ya, Mas?” tanyaku penuh semangat.
“Boleh, dong.”
“Sebenarnya saya ingin menyampaikan ini sama Mas, tapi saya nggak berani.” Aku mengatakan apa yang kurasakan.
“Kenapa nggak berani?”
“Nggak enak ngerepotin dan nyusahin Mas.”
“Sama sekali nggak, Sayang. Kamu itu istri saya, kenapa ngomong seperti itu?”
“Maafin saya, Mas.”
“Kamu nggak perlu minta maaf.”
“Terima kasih, Mas. Saya ingin kuliah.” Aku akhirnya mengutarakan niat yang telah lama aku impikan.
“Baik, Sayang. Nanti kamu pilih kampus yang kamu mau.”
“Terima kasih karena Mas bersedia mewujudkan harapan saya.”
“Dari tadi ngucapin terima kasih mulu sama suami sendiri.” Dia mengembangkan senyumnya.
Tiba-tiba suara petir dari luar terdengar sangat kuat hingga membuatku terkejut. Sejak kecil, aku selalu takut dan langsung memeluk orang yang ada di dekatku jika mendengar bunyinya. Malam ini juga, aku spontan mendekap Mas Haris.
“Saya takut, Mas.” Aku membenamkan wajah di dadanya.
“Kamu nggak perlu takut, Sayang. Ada saya di sini yang akan jagain kamu.”
Mas Haris memelukku sangat erat hingga aku merasakan ketenangan dalam dekapannya. Walaupun baru menikah kurang lebih seminggu lamanya, tetapi dia selalu mampu membuatku makin mengaguminya.
“Dari kecil, saya sangat takut jika mendengar suara petir, Mas. Saya pasti langsung memeluk siapa pun di dekat saya.” Aku menceritakan kebiasaanku kepadanya.
“Walaupun yang berada di dekat kamu saat itu laki-laki?”
“Iya, Mas. Saya tidak peduli siapa pun dia. Saya seperti orang tidak sadar gitu. Tapi setelah saya kembali menyadarinya, langsung minta maaf.” Aku berusaha jujur kepada Mas Haris.
“Ya, udah … mulai sekarang, kamu cukup peluk saya aja.”
“Iya, Mas.”
Tiba-tiba Mas Haris meraih wajahku dari dadanya, kami pun berpandangan dengan jarak hanya sekitar dua senti. Dia memegang daguku, hati ini berdebar tidak keruan. Apakah malam ini, dia akan meminta haknya yang telah tertunda?
Mas Haris makin mendekatkan wajahnya, dia berhasil mendaratkan ciuman di bibirku. Ini untuk pertama kalinya, aku melakukannya. Aku hanya diam dan tidak tahu harus berbuat apa. Ciuman pertama telah kuberikan kepadanya.
Akhirnya malam ini, aku telah berhasil memberikan sesuatu yang paling berharga dalam diriku kepada laki-laki yang telah menikahiku. Tidak ada suara yang keluar dari mulut kami. Hening. Hanya bunyi tempat tidur yang terdengar.
Kini, aku telah menjadi seorang istri seutuhnya, menjalankan kewajiban dan memberikan hak suami. Ternyata ini yang dinamakan tugas suami istri. Malam pertama kami terlaksana dengan indah.
“Saya sangat mencintaimu, Sayang.” Mas Haris kembali mengeluarkan kata-kata itu setelah kami selesai memadu kasih. Dia mendaratkan ciuman di dahiku.
“Terima kasih atas cinta Mas.”
“Terima kasih juga atas sesuatu yang sangat berharga yang telah kamu serahkan pada saya.” Dia menunjuk ke arah noktah merah di seprai lalu memelukku sangat erat.
“Itu sudah menjadi hak Mas sebagai suami saya.”
“Ketulusan yang kamu berikan membuat saya semakin kagum dan terpesona padamu.” Dia melepaskan pelukan.
“Saya ikhlas melaksanakan kewajiban saya sebagai istri.”
“Saya sangat beruntung memilikimu. Tidak sia-sia hati saya memberikan pilihan padamu.”
Aku bersyukur dan bangga karena telah menjadi istri yang diinginkan Mas Haris. Walaupun saat ini, aku belum berhasil memiliki perasaan lebih atau cinta kepadanya, tetapi aku ikhlas menyerahkan jiwa dan ragaku hanya untuknya. Namun, aku tiba-tiba ingat sikap Bella.
===========
🏵️🏵️🏵️Aku tidak terbangun untuk melaksanakan salat Subuh, badan terasa capek hingga tidak menyadari kalau hari sudah pagi. Aku tidak mengerti kenapa tadi malam tidur sangat pulas dan tidak seperti biasanya.“Pagi, Sayang.” Aku terkejut melihat Mas Haris duduk di samping tempat tidur. Di tangannya ada segelas susu dan beberapa keping roti di piring kecil. “Maaf, Mas, saya kesiangan.” Aku langsung duduk sambil menutupi tubuh dengan selimut. Tiba-tiba aku merasa canggung di depannya.“Kamu tidurnya nyenyak banget, saya nggak tega mau bangunin mandi sebelum salat Subuh.” Aku merasakan pipi ini memanas karena mengingat apa yang terjadi tadi malam.“Seharusnya Mas tetap bangunin saya. Apa kata Papi dan Mami jika mengetahui saya baru bangun?” Aku benar-benar merasa bersalah.“Mereka pasti ngerti, Sayang. Santai aja.” Mas Haris tersenyum kepadaku.“Ngerti apa maksudnya, Mas?”“Ngerti dengan pengantin baru.”“Saya harus gimana, nih, Mas?”“Udah, nggak apa-apa. Ini aja Mami yang minta saya
🏵️🏵️🏵️Hati ini masih terus bertanya, kenapa adik iparku sendiri sepertinya sangat tidak suka dengan keberadaanku di rumah ini. Dari awal pertemuan, Bella telah menunjukkan sikap aneh dan tatapan penuh kebencian.Dulu, aku menganggap kalau itu hanya perasaanku saja. Aku tidak ingin berprasangka buruk terhadapnya. Namun, ternyata sikap kasar yang dia tunjukkan di depanku tidak hanya sekali, tetapi ini untuk ketiga kalinya.“Bella mengatakan yang sebenarnya, Pih.” Bella dengan santai memberikan jawaban.“Kenapa kamu ngomong seperti itu, Bel?” tanya Mas Haris kepada adiknya itu.“Apa salah kalau aku jujur, Kak?” Bella justru balik bertanya.“Jaga bicaramu! Tika itu kakak iparmu, istri Kakak. Kamu harus menghormatinya!” Mas Haris menaikkan suara.“Sekarang Kakak udah berani bentak aku hanya karena wanita itu?” Bella menunjuk ke arahku.“Diam kamu, Bella!” Mas Haris terlihat marah.Aku memegang lengan Mas Haris untuk menenangkannya. “Sudah, Mas, saya yang salah. Sebaiknya saya makan di
🏵️🏵️🏵️Hari ini, statusku resmi menjadi istri Om Haris. Inilah jalan hidup dan kenyataan yang harus kuhadapi, di mana gadis berusia delapan belas tahun telah memiliki pasangan halal.Resepsi pernikahan berlangsung dengan penuh kemegahan dan kemewahan. Seorang pengusaha sukses yang berasal dari keluarga terpandang, menikahi gadis biasa dan masih sangat muda dibandingkan dirinya.Akan tetapi, selisih usia kami tidak membuatku menyesal atau merasa tidak beruntung. Semua itu kulakukan demi meringankan beban Ibu yang harus rela menjadi tulang punggung semenjak Bapak tertimpa musibah.Om Haris telah berjanji akan membantu kebutuhan keluargaku. Dia juga akan membiayai pengobatan Bapak dan sekolah Tiwi. Aku sangat bangga dan bersyukur karena dengan adanya pernikahan ini, maka orang-orang tersayang tidak akan merasa kekurangan lagi seperti sebelumnya.Sudah terlalu lama Ibu menanggung dan memikul beban menjadi tulang punggung. Saat itu, aku hanya mampu memberikan dukungan kepada beliau agar
🏵️🏵️🏵️Tiga hari setelah kedatangan keluarga Om Haris ke rumahku, laki-laki itu kini kembali menemuiku lalu menghampiri Bapak yang sedang berada di ruang tamu dan duduk di kursi roda. Aku menyuguhkan minuman kepadanya layaknya sebagai tamu.Saat aku melangkah dan ingin kembali ke dapur, Om Haris justru mencegahku. “Duduk di sini aja, Dek, saya mau ngomong sesuatu.” Om Haris benar-benar berubah menurutku. Sekarang, dia sangat ramah dan tidak cuek seperti biasanya. Dia bersikap seolah-olah kami telah terbiasa dekat satu sama lain, padahal kenyataan sebelumnya, dia tidak pernah menyapaku.Akhirnya, aku duduk di samping Bapak. “Mau ngomong apa?” tanyaku kepada Om Haris.“Saya ingin mengajak kamu cari cincin pernikahan kita. Sebenarnya saya bisa langsung beli sendiri, tapi saya juga ingin agar kamu ikut memilihnya.” Ternyata tujuan laki-laki itu kembali berkunjung ke rumahku untuk menemaninya mencari cincin pernikahan kami.“Tapi ….”“Nggak apa-apa, Nak. Kamu boleh pergi bersama calon
🏵️🏵️🏵️Seminggu berlalu, akhirnya keluarga Om Haris berkunjung ke rumahku. Orang tuanya sangat baik kepadaku, tetapi sangat berbeda dengan Bella—adik bungsunya yang selalu menunjukkan tatapan tajam. Mungkin selisih usia kami sekitar empat tahun, dia lebih tua dariku.Aku tidak mengerti kenapa pandangannya seperti tidak menyukai diriku. Namun, aku tetap berharap semoga ini hanya perasaanku saja karena sangat tidak baik jika harus berprasangka buruk terhadap orang lain.Kini, kedua keluarga masih membicarakan rencana pernikahanku dan Om Haris. Laki-laki itu tiba-tiba melihat ke arahku. Kejadian ini tidak seperti biasanya. Dulu, dia tidak pernah menoleh sedikit pun untuk melirikku.Bagiku, Om Haris adalah laki-laki serius dan sangat jarang mengembangkan senyuman. Namun hari ini, dia menunjukkan jejeran gigi putihnya di hadapanku. Ketampanan yang dia miliki makin sempurna dengan wajahnya yang tampak berseri-seri.“Kapan pernikahan anak-anak kita dilangsungkan, Pak Budi?” tanya Pak Arfa
🏵️🏵️🏵️“Bagaimana mungkin Tika nikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi ayah untuk Tika, Buk?” Aku sangat terkejut mendengar keputusan sepihak dari wanita yang telah melahirkanku.“Ini demi pengobatan Bapak, juga masa depan kamu, Nak.” Ibu memberikan alasan yang sulit aku mengerti.“Kenapa harus dengan laki-laki itu, Buk? Usia kami terpaut dua puluh tahun. Dia lebih cocok dijadikan sebagai om, bukan suami.” Aku tetap berusaha menyadarkan Ibu.“Kamu harus berpikir untuk ke depannya. Hanya dia yang mampu dan bersedia meringankan penderitaan kita. Kamu harus lihat adik kamu yang masih butuh biaya untuk sekolah, sedangkan Bapak sudah setahun ini tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga kita.” “Tapi, Buk ….” Aku menjeda karena tidak tahu harus berkata apa.“Dia orang baik, Nak. Dia juga sangat mencintaimu.”“Apa? Itu nggak mungkin, Buk.”Aku tidak percaya tentang kata cinta yang Ibu ucapkan.“Haris sendiri yang mengatakannya. Dia menunggumu selama berbulan-bulan. Setelah kamu dinyat