🏵️🏵️🏵️
Aku tidak terbangun untuk melaksanakan salat Subuh, badan terasa capek hingga tidak menyadari kalau hari sudah pagi. Aku tidak mengerti kenapa tadi malam tidur sangat pulas dan tidak seperti biasanya.
“Pagi, Sayang.” Aku terkejut melihat Mas Haris duduk di samping tempat tidur. Di tangannya ada segelas susu dan beberapa keping roti di piring kecil.
“Maaf, Mas, saya kesiangan.” Aku langsung duduk sambil menutupi tubuh dengan selimut. Tiba-tiba aku merasa canggung di depannya.
“Kamu tidurnya nyenyak banget, saya nggak tega mau bangunin mandi sebelum salat Subuh.” Aku merasakan pipi ini memanas karena mengingat apa yang terjadi tadi malam.
“Seharusnya Mas tetap bangunin saya. Apa kata Papi dan Mami jika mengetahui saya baru bangun?” Aku benar-benar merasa bersalah.
“Mereka pasti ngerti, Sayang. Santai aja.” Mas Haris tersenyum kepadaku.
“Ngerti apa maksudnya, Mas?”
“Ngerti dengan pengantin baru.”
“Saya harus gimana, nih, Mas?”
“Udah, nggak apa-apa. Ini aja Mami yang minta saya bawakan sarapan untuk kamu.”
“Apa? Nggak mungkin, Mas.” Mas Haris menaruh apa yang ada di tangannya ke nakas, kemudian mendekatkan diri kepadaku.
“Biasa aja kagetnya. Kamu makin cantik dengan wajah seperti itu, saya makin terpesona.” Dia mengusap pipiku.
Apa yang telah kami lakukan tadi malam, akhirnya terjadi lagi pagi ini. Aku membayangkan apa yang ada dalam pikiran mertua saat ini, karena aku dan Mas Haris masih tetap berada di kamar. Bagaimana ini?
Setelah selesai memadu kasih untuk yang kedua kali dengan Mas Haris, kami secara bergantian membersihkan tubuh di kamar mandi. Aku masih belum mampu menghilangkan dari pikiran kalau sekarang aku adalah miliknya.
Aku berharap agar segera dapat menyerahkan hati ini untuk Mas Haris. Sungguh, aku merasa bersalah karena belum mampu memberikan cinta untuknya. Dia sangat pantas dicintai.
“Sarapan dulu, ya, Sayang.” Mas Haris kembali bersuara. Kami memilih duduk di tempat tidur setelah mandi. Dia menyuguhkan susu dan roti yang ada di nakas.
“Kok, cuma satu gelas, Mas? Untuk Mas?” tanyaku kepadanya.
“Saya udah sarapan tadi.”
“Tuh, kan, saya makin merasa bersalah. Masa suami sarapan sendiri, istri masih tidur.” Aku berhenti mengunyah roti yang telah masuk ke mulut.
“Saya nggak sendiri, kok. Ada Papi, Mami, dan Bella.”
“Bella juga ada? Apa penilaian yang akan dia berikan ke saya dengan kejadian ini? Saya tidak ingin jika dia semakin membenci saya.”
“Udah … nggak usah dipikirin. Apa pun yang dia sampaikan ke kamu, jangan masukin ke hati.”
“Iya, Mas, saya akan berusaha. Saya sangat bingung, kenapa badan tiba-tiba terasa pegal dan capek. Saya nggak nyangka bisa tidur sepulas itu.” Aku masih merasa aneh dengan apa yang kurasakan.
“Udah. Mungkin karena belum terbiasa digangguin suami.” Dia mengusap rambutku.
“Maksudnya apa, Mas?” tanyaku karena tidak mengerti maksud ucapan Mas Haris.
“Nggak ada maksud apa-apa, kok. Ya, udah, kamu sarapan dulu. Setelah itu, kita ke rumah Bapak dan Ibu. Kamu pasti udah kangen.” Aku sangat bahagia mendengar kejutan yang diucapkan Mas Haris.
“Yang benar, Mas?” Aku merasa masih seperti mimpi karena akhirnya akan bertemu dengan orang-orang tersayang.
“Hari ini, kan, Minggu. Saatnya untuk memanjakan istri tercinta. Besok saya udah mulai aktif ke kantor.”
“Terima kasih, Mas.”
“Seharusnya saya yang berterima kasih dan meminta maaf karena saat ini belum dapat mengajak kamu untuk menikmati bulan madu. Saya sedang sibuk menyelesaikan proyek besar. Setelah semuanya selesai, kita pasti akan pergi bulan madu.” Dia mendaratkan ciuman di dahiku.
Aku tidak tahu kenapa, setiap Mas Haris mendaratkan sentuhan di keningku, perasaan lain tiba-tiba muncul. Ada getaran yang berbeda dibanding awal kami menikah. Pertanda apa ini? Bagaimana mungkin secepat itu aku merasakan cinta untuknya?
==========
==========
🏵️🏵️🏵️Aku tidak terbangun untuk melaksanakan salat Subuh, badan terasa capek hingga tidak menyadari kalau hari sudah pagi. Aku tidak mengerti kenapa tadi malam tidur sangat pulas dan tidak seperti biasanya.“Pagi, Sayang.” Aku terkejut melihat Mas Haris duduk di samping tempat tidur. Di tangannya ada segelas susu dan beberapa keping roti di piring kecil. “Maaf, Mas, saya kesiangan.” Aku langsung duduk sambil menutupi tubuh dengan selimut. Tiba-tiba aku merasa canggung di depannya.“Kamu tidurnya nyenyak banget, saya nggak tega mau bangunin mandi sebelum salat Subuh.” Aku merasakan pipi ini memanas karena mengingat apa yang terjadi tadi malam.“Seharusnya Mas tetap bangunin saya. Apa kata Papi dan Mami jika mengetahui saya baru bangun?” Aku benar-benar merasa bersalah.“Mereka pasti ngerti, Sayang. Santai aja.” Mas Haris tersenyum kepadaku.“Ngerti apa maksudnya, Mas?”“Ngerti dengan pengantin baru.”“Saya harus gimana, nih, Mas?”“Udah, nggak apa-apa. Ini aja Mami yang minta saya
🏵️🏵️🏵️Hati ini masih terus bertanya, kenapa adik iparku sendiri sepertinya sangat tidak suka dengan keberadaanku di rumah ini. Dari awal pertemuan, Bella telah menunjukkan sikap aneh dan tatapan penuh kebencian.Dulu, aku menganggap kalau itu hanya perasaanku saja. Aku tidak ingin berprasangka buruk terhadapnya. Namun, ternyata sikap kasar yang dia tunjukkan di depanku tidak hanya sekali, tetapi ini untuk ketiga kalinya.“Bella mengatakan yang sebenarnya, Pih.” Bella dengan santai memberikan jawaban.“Kenapa kamu ngomong seperti itu, Bel?” tanya Mas Haris kepada adiknya itu.“Apa salah kalau aku jujur, Kak?” Bella justru balik bertanya.“Jaga bicaramu! Tika itu kakak iparmu, istri Kakak. Kamu harus menghormatinya!” Mas Haris menaikkan suara.“Sekarang Kakak udah berani bentak aku hanya karena wanita itu?” Bella menunjuk ke arahku.“Diam kamu, Bella!” Mas Haris terlihat marah.Aku memegang lengan Mas Haris untuk menenangkannya. “Sudah, Mas, saya yang salah. Sebaiknya saya makan di
🏵️🏵️🏵️Hari ini, statusku resmi menjadi istri Om Haris. Inilah jalan hidup dan kenyataan yang harus kuhadapi, di mana gadis berusia delapan belas tahun telah memiliki pasangan halal.Resepsi pernikahan berlangsung dengan penuh kemegahan dan kemewahan. Seorang pengusaha sukses yang berasal dari keluarga terpandang, menikahi gadis biasa dan masih sangat muda dibandingkan dirinya.Akan tetapi, selisih usia kami tidak membuatku menyesal atau merasa tidak beruntung. Semua itu kulakukan demi meringankan beban Ibu yang harus rela menjadi tulang punggung semenjak Bapak tertimpa musibah.Om Haris telah berjanji akan membantu kebutuhan keluargaku. Dia juga akan membiayai pengobatan Bapak dan sekolah Tiwi. Aku sangat bangga dan bersyukur karena dengan adanya pernikahan ini, maka orang-orang tersayang tidak akan merasa kekurangan lagi seperti sebelumnya.Sudah terlalu lama Ibu menanggung dan memikul beban menjadi tulang punggung. Saat itu, aku hanya mampu memberikan dukungan kepada beliau agar
🏵️🏵️🏵️Tiga hari setelah kedatangan keluarga Om Haris ke rumahku, laki-laki itu kini kembali menemuiku lalu menghampiri Bapak yang sedang berada di ruang tamu dan duduk di kursi roda. Aku menyuguhkan minuman kepadanya layaknya sebagai tamu.Saat aku melangkah dan ingin kembali ke dapur, Om Haris justru mencegahku. “Duduk di sini aja, Dek, saya mau ngomong sesuatu.” Om Haris benar-benar berubah menurutku. Sekarang, dia sangat ramah dan tidak cuek seperti biasanya. Dia bersikap seolah-olah kami telah terbiasa dekat satu sama lain, padahal kenyataan sebelumnya, dia tidak pernah menyapaku.Akhirnya, aku duduk di samping Bapak. “Mau ngomong apa?” tanyaku kepada Om Haris.“Saya ingin mengajak kamu cari cincin pernikahan kita. Sebenarnya saya bisa langsung beli sendiri, tapi saya juga ingin agar kamu ikut memilihnya.” Ternyata tujuan laki-laki itu kembali berkunjung ke rumahku untuk menemaninya mencari cincin pernikahan kami.“Tapi ….”“Nggak apa-apa, Nak. Kamu boleh pergi bersama calon
🏵️🏵️🏵️Seminggu berlalu, akhirnya keluarga Om Haris berkunjung ke rumahku. Orang tuanya sangat baik kepadaku, tetapi sangat berbeda dengan Bella—adik bungsunya yang selalu menunjukkan tatapan tajam. Mungkin selisih usia kami sekitar empat tahun, dia lebih tua dariku.Aku tidak mengerti kenapa pandangannya seperti tidak menyukai diriku. Namun, aku tetap berharap semoga ini hanya perasaanku saja karena sangat tidak baik jika harus berprasangka buruk terhadap orang lain.Kini, kedua keluarga masih membicarakan rencana pernikahanku dan Om Haris. Laki-laki itu tiba-tiba melihat ke arahku. Kejadian ini tidak seperti biasanya. Dulu, dia tidak pernah menoleh sedikit pun untuk melirikku.Bagiku, Om Haris adalah laki-laki serius dan sangat jarang mengembangkan senyuman. Namun hari ini, dia menunjukkan jejeran gigi putihnya di hadapanku. Ketampanan yang dia miliki makin sempurna dengan wajahnya yang tampak berseri-seri.“Kapan pernikahan anak-anak kita dilangsungkan, Pak Budi?” tanya Pak Arfa
🏵️🏵️🏵️“Bagaimana mungkin Tika nikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi ayah untuk Tika, Buk?” Aku sangat terkejut mendengar keputusan sepihak dari wanita yang telah melahirkanku.“Ini demi pengobatan Bapak, juga masa depan kamu, Nak.” Ibu memberikan alasan yang sulit aku mengerti.“Kenapa harus dengan laki-laki itu, Buk? Usia kami terpaut dua puluh tahun. Dia lebih cocok dijadikan sebagai om, bukan suami.” Aku tetap berusaha menyadarkan Ibu.“Kamu harus berpikir untuk ke depannya. Hanya dia yang mampu dan bersedia meringankan penderitaan kita. Kamu harus lihat adik kamu yang masih butuh biaya untuk sekolah, sedangkan Bapak sudah setahun ini tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga kita.” “Tapi, Buk ….” Aku menjeda karena tidak tahu harus berkata apa.“Dia orang baik, Nak. Dia juga sangat mencintaimu.”“Apa? Itu nggak mungkin, Buk.”Aku tidak percaya tentang kata cinta yang Ibu ucapkan.“Haris sendiri yang mengatakannya. Dia menunggumu selama berbulan-bulan. Setelah kamu dinyat