Share

Bab 2

“Mom ingin kamu membiarkan Helen tinggal di apartemenmu, perlakukan dia dengan baik,” kata ibu Steve seraya menatap Steve dengan tegas. Steve hendak mengatakan sesuatu karena mulutnya tampak terbuka tapi dihentikan ibunya yang berbicara padaku.

“Helen.” Ibunya memanggilku,  mengambil perhatianku yang sebelumnya terarah pada Steve.

“Iya, Mrs. Felton?” balasku sopan.

“Kamu boleh panggil Mom, seperti Steve. Kamu 'kan seperti anak Mom juga.” Ibu Steve tersenyum lembut padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku karena merasa canggung dengan keinginannya.

Tapi aku menuruti keinginannya, “Iya, Mom.” Aku mengangguk. Sempat melihat Steve memutar bola matanya.

“Aduh, Helen. Sebenarnya siapa yang paling pantas jadi anak Mom di sini? Kamu lebih patuh daripada Steve anak kandung Mom sendiri. Helen manis sekali, jangan berhenti panggil Mom, ya?” Ibu Steve mencubit pipiku dengan gemas.

Aku hanya bisa terkekeh pelan sedangkan didalam hati sedang tidak nyaman.

“Nanti kalau Steve tidak memperlakukan kamu dengan baik, langsung bilang Mom, ya?” Aku melirik Steve yang memasang ekspresi seolah terkhianati-nya lagi. Setelah itu aku kembali menatap ibunya untuk menjawab.

“Oke, Mom,” jawabku. Masih setia dengan rasa tidak nyaman dalam hati.

Aku adalah orang yang sensitif, terlalu peka dengan orang lain. Tapi aku malah sering disalah pahami, padahal aku sudah susah payah memahami orang lain. Dulu aku berpikir jika peka pada orang lain itu baik, tapi ternyata aku malah jadi sensitif. Dan yang menyakitkan adalah merasakan tidak nyaman karena orang lain, dan aku tidak pernah bisa menunjukkannya.

Seperti saat ini, jika ada masalah aku lebih suka memakai topeng untuk bersembunyi dan memendamnya sendirian. Hah, tipe yang mudah depresi.

Setelah ibu Steve pergi, aku hanya bisa diam berhadapan dengan Steve di ruang duduk dalam apartemennya yang luas.

“Aku,” ucapku bersamaan dengan Steve. Kami saling memandang untuk mendengarkan.

Kami terdiam. Hening beberapa saat, seolah kami menunggu salah satu berkata ‘kau duluan’. Atau bisa juga menunggu salah satu kami langsung mengatakan apa yang ingin dikatakan. 

Akhirnya aku memutuskan untuk berbicara lebih dulu, aku terlalu malu untuk mengatakan ‘kau duluan’. Ini bukan suasana yang mendukung untuk acara romantis, berbicara hati ke hati seperti dalam film yang memiliki adegan dimana pemerannya bicara bersamaan.

“Jadi..” tapi kenyataannya, kami sekali lagi mengambil keputusan yang sama. Kami sekali lagi berkata disaat yang sama dan sekali lagi saling memandang dan terdiam.

Di sisi lain, aku merasa bersyukur Steve tidak mengeluarkan hawa kebencian dan melihatku seperti musuh. Hal yang mungkin terjadi jika seseorang menolak di jodohkan.

Steve melemaskan punggungnya di sandaran sofa seraya menghela napas. “Oke, kau duluan.”

Gantian aku yang menegakkan punggungku ketika mendengar ucapannya. Aku mengatur napas, menariknya pelan-pelan sebelum bersuara, “Jadi, aku minta maaf.”

“Minta maaf?” Steve terlihat kembali menegakkan punggungnya, “Untuk apa?” tanyanya.

“Aku sudah menduga kalau kau akan menolak, aku memang ragu kau menerimanya. Tapi aku tetap saja menuruti kemauan ibumu dan tidak menolak.” Aku tahu diri untuk tidak dengan bangganya menyebut ibunya dengan panggilan 'Mom' didepan Steve sendiri. Meski ibunya sendiri yang menyuruh. Lagi pula disini tidak ada ibunya.

“Hanya saja, aku tidak bisa menolak karena dia mengatakan hal tersebut adalah harapannya dan harapan ibuku, harapan mereka. Entah kenapa aku ingin mengabulkannya meski ibuku sudah tiada.” Aku menunduk, melihat meja yang memisahkanku dengan Steve.

Aku sebenarnya mengerti jika ibu tidak akan memaksakan harapannya padaku, buktinya aku baru tahu jika ibu ingin aku menikah dengan anak sahabatnya saat sudah lama meninggal.

Steve belum mengatakan apa-apa sebagai balasan, membuatku menggenggam tangan dengan lebih erat, aku juga belum ingin melihat langsung wajah Steve.

“Baik, aku maafkan. Walau sebenarnya kau sama sekali tidak bersalah.” 

Aku akhirnya mengangkat kepalaku karena balasan Steve yang akhirnya keluar juga.

“Kenapa aku tidak bersalah?” 

Aku malah menanyakan hal yang membuat Steve terlihat canggung. Aku hanya ingin mengerti bagaimana pandangannya terhadapku. Steve menggaruk tengkuknya.

“Ah, karena.. Karena itulah yang aku rasakan. Seperti itulah menurutku,” jawabnya.

Aku mengangguk mengerti seraya bergumam mengiyakan. Dia memang pria yang baik. Aku seharusnya tahu itu sejak dia tidak menganggapku sebagai musuhnya.

“Lalu, apa yang ingin kau katakan?” Aku bertanya dengan suara pelan. Sedikit menerka-nerka apa yang ingin dia katakan.

“Jadi begini, aku tidak bisa menerimamu karena sebenarnya aku tidak berbohong, aku punya kekasih. Tapi memang hubungan kami merenggang karena jarak. Kami jarang bisa berkomunikasi. Bisa dibilang kami sudah berpisah, tapi aku tetap menunggunya,” ungkapnya dengan pandangan menerawang.

“Apa-” ucapanku terputus karena bel apartemen berbunyi tiba-tiba. Yang ingin aku tanyakan adalah apa mungkin Steve akan menerimaku jika dia sedang tidak punya kekasih? Tapi kemudian aku bersyukur pertanyaan itu belum terucap karena aku sadar terlalu konyol untuk menanyakannya seperti itu. Aku sendiri yang akan malu.

“Sebentar.” Steve bangkit berdiri menuju pintu lalu membukanya.

“Helen!” aku tersentak mendengar Steve memanggil namaku. Segera aku menuju tempatnya berdiri di depan pintu yang terbuka.

Saat aku berada disampingnya, Steve menunjuk seorang berseragam yang ternyata adalah seorang petugas pengirim barang yang sedang membawa kardus. Dan ternyata aku sadar, bukan hanya satu orang tapi beberapa orang.

“Ini paketmu?” tanya Steve.

“Ah,” aku teringat barangku yang memang dipaketkan untuk dipindahkan ke apartemen Steve, “Iya benar. Tapi seingatku tidak sebanyak ini,” lanjutku sambil mengerutkan kening.

“Benarkah?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Ya sudah, masukkan saja semua. Nanti cari tahu kenapa paket barangmu kelebihan.” Steve menyuruh para petugas pengirim itu untuk membawa semuanya masuk.

Dalam hatiku, takut Steve merasa tidak nyaman dengan pengiriman ini. Padahal dia tidak menerimaku tapi aku sudah membawa barang untuk tinggal disini. Dan aku tidak mungkin menyalahkan ibunya yang menyuruhku.

“Maaf,” ungkapku begitu para petugas pengirim paket sudah pergi.

Steve mengerutkan alisnya lagi, “Apa?”

Aku diam, masih berusaha mengumpulkan kata-kata yang pas.

“Kau minta maaf lagi?” tanya Steve lagi. Aku mengangguk sembari melihat ke samping tubuhnya. Tidak berani melihatnya langsung.

“Sudahlah. Sepertinya aku tahu kenapa paketmu kelebihan. Ini pasti dari Mom.” ucapnya sambil memperhatikan paket barangku.

Saat dia hendak mengangkatnya, aku segera mencegah. “Tidak usah, biar aku saja,” kataku. Aku sudah merepotkannya lagi.

“Aku yang akan mengurusnya. Tidak apa-apa, oke?” kataku saat dia hendak membalas, aku tahu dia menawarkan diri. Dan sekarang dia sempat terlihat tak percaya karena perkataanku.

“Kau yakin?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk yakin. Dia terdiam sebentar lalu mengangguk juga. “Baiklah.”

Steve lalu membuka salah satu kamar apartemennya, yang mana apartemennya terdapat dua buah kamar. “Kamar ini tidak digunakan cukup lama, dulu Julia yang memakainya.”

“Kekasihmu?” tanyaku saat mendengar nama perempuan yang dia sebut.

Steve mengangguk kaku, terlihat bahwa ia tidak nyaman. Mungkin ia tanpa sadar mengucapkan nama Julia, dan takut membuatku sedih karena aku dijodohkan dengannya yang sudah menolakku karena perempuan lain. Aku tahu karena tatapan matanya tidak berani melihatku. Seperti aku yang beberapa kali tidak berani melihatnya.

“Jadi, aku akan membantumu membersihkan kamar ini.” Ia segera berjalan masuk kamar yang memang terlihat berdebu. Tapi aku menghentikannya lagi. Kali ini tanpa gerakan, aku mencegahnya lewat ucapan saja karena aku sedang memegang salah satu kardus, paket yang tadi.

“Tidak usah!” ucapku sedikit berseru membuat Steve berhenti melangkah dan berbalik menatapku.

“Aku akan melakukan semuanya,” ucapku seraya masuk kamar dan menaruh paket di sudut ruangan kamar.

“Kau mau menolak lagi?” tanyanya, mungkin merasa gemas dengan keinginanku.

“Apa kau tidak punya sesuatu untuk kau kerjakan? Kau itu sebenarnya banyak kerjaan, kan?” tanyaku, berusaha agar dia tidak membantu dengan mengungkit pekerjaannya.

“Sebenarnya ada..” Steve masih menggantungkan kalimatnya, aku segera menimpali.

“Kalau begitu lakukan, aku tidak punya kerjaan hari ini. Jadi ini akan membantuku menghabiskan waktu,” ucapku lalu tanpa sadar menariknya pelan keluar.

Steve terkejut saat aku memegang lengan bawahnya, tapi dia tidak bereaksi apa pun yang tampak menolak atau keberatan.

Aku tahu dia tidak akan melepas tanganku kecuali hal itu akan membuatku tersinggung. Dia memang pria yang baik.

Saat dia telah berhadapan dengan pintu kamar yang terbuka aku segera mendorongnya pelan agar keluar. Dia menurut.

“Jadi, selamat bekerja...” ucapku tersenyum kecil menatapnya yang berbalik melihatku kemudian terdiam karena Steve memandangku dengan tidak biasa, matanya menatapku dalam. Membuatku seolah tenggelam dalam mata hijaunya yang kini semakin terlihat memikat. Aku segera menyadarkan diri dan melanjutkan perkataanku yang terhenti beberapa detik, “.. masing-masing.”

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status