Pria itu tidak membentak dan terlihat hanya seperti merengek.
"Dengar penjelasan Mom dulu," kata wanita paruh baya di sampingku membalas ucapan pria itu. Pandanganku beralih dari pria di depanku ke ibunya.
"Mom ingin kamu sama Helen menjalin hubungan baik. Soalnya kamu masih tidak punya kekasih sampai sekarang, dan dengan pertunangan ini kamu bisa mengenal Helen dengan lebih baik. Helen itu perempuan yang baik." Aku hanya diam saat namaku disebut kesekian kalinya, kalimatnya tidak lepas dari kata 'baik'. Lagi pula akan sangat tidak sopan jika aku bicara saat belum waktunya disuruh bicara.
"Aku punya, Mom. Aku sudah punya kekasih. Berapa kali aku harus bilang pada Mom?" Pria itu meringis.
Aku tertarik dengan apa yang dia katakan. Bukannya dia sedang sendirian, tidak menjalin hubungan dengan siapa pun? Ibunya yang mengatakan itu padaku.
Ibu pria itu membalas, "Dan berapa kali Mom bilang, kalau kamu punya kekasih, kenalkan sama Mom, tapi kamu satu kali pun tidak pernah melakukannya. Terus, mana kekasih kamu itu?" Pria itu rewel, tapi aku tahu sifat itu dari mana, ibunya juga sama.
Mereka sudah dari tadi membalas perkataan masing-masing dan tidak ada tanda-tanda akan berakhir dalam waktu singkat. Sedangkan aku, tentu saja hanya diam mendengarkan. Jujur saja, aku berusaha terlihat tenang. Tapi sebenarnya, sejak pria itu protes pada ibunya, aku sudah merasa gelisah. Pria itu jelas sekali menolakku. Dan ibunya masih belum menyerah sampai anaknya itu menurut, semakin membuatku tidak tenang.
"Dia di luar negeri, Mom. Di Amsterdam." Pria itu menjawab dengan enggan.
"Nah, kan. kamu jawabnya begitu lagi." Ibunya terlihat geram. Aku bingung, karena jawaban pria di hadapanku dan bingung karena tidak tahu harus bagaimana untuk menenangkan wanita berumur di sampingku ini yang mulai tampak mengamuk.
“Yeah, soalnya dia lanjut S2-nya di sana Mom,” kata pria itu terlihat bosan, mungkin dia juga sudah kesekian kalinya mengatakan kalimatnya tadi.
“Lalu kapan dia-nya balik ke sini?” tanya ibunya masih belum terima begitu saja perkataan anaknya.
“Dia belum lama di sana Mom, jadi masih kurang lebih dua tahun lagi.” Pria itu terlihat bersabar meladeni ibunya.
Oh, jadi begitu. Kekasihnya belum lama ini pergi?
“Mom tidak percaya sama kamu. Itu cuma alasan kamu saja supaya kamu tidak perlu dekat dengan siapa-siapa.” Ibunya masih setia dengan pendapatnya sendiri.
“Mom,” Pria itu merengek lagi kesekian kalinya.
“Kamu tahu tidak, sih? Mom itu takut kalau kamu itu ternyata kelainan seksual.” Perkataan ibunya membuat aku dan pria itu melotot horor, tapi aku rasa pria itu bukan hanya kaget karena kalimat ibunya, juga kaget karena aku yang yang tiba-tiba tersedak ludah sendiri. Saking terkejutnya, aku sampai tersedak.
“Mom!” Pria itu menyebut dengan suara yang lebih keras. Tapi rupanya, wanita di sampingku tidak terpengaruh oleh seruan putranya.
Ibunya kembali bersuara, masih belum selesai berkata, “Tapi kamu tidak pernah mau jujur sama Mom. Kalau memang begitu, belum terlambat mengaku sekarang, Steve.”
Sekarang rasanya aku malah seperti barang yang dimanfaatkan ibunya untuk memojokkan anaknya agar mengaku. Apa lagi sudah bermenit-menit aku seperti diabaikan. Aku menatap pria di depanku, bagaimana dirinya membela diri sekarang?
“Aku tidak begitu Mom. Aku tidak mengaku karena memang itu tidak terjadi, bisa-bisanya Mom mengatakan hal seperti itu.” Pria itu menatap ke arahku, seakan baru sadar kehadiranku karena baru saja tersedak. Dia malu.
Tapi sebenarnya aku merasa lebih malu lagi karena tiba-tiba tersedak dengan tidak elitnya beberapa saat yang lalu.
Aku mengerti perasaannya, aku juga pasti malu jika berada di posisinya. Bagaimana tidak? Ibunya bertanya atau bisa dibilang menuduh kelainan seksual seperti itu saat ada kehadiran orang lain yang baru dikenal, yaitu aku. Bahkan bisa dibilang aku masih orang asing.
“Mom tidak mau dengar kamu protes lagi. Kalau memang dugaan Mom itu tidak benar, turuti perkataan Mom.” Pria itu menatap tak percaya pada ibunya, memang sudah kesekian kalinya dia menampakkan ekspresi seolah terkhianati-nya itu. Tapi ibunya sama sekali tidak peduli.
Aku turut berduka cita untuk pria itu. Tapi di menit selanjutnya aku berubah pikiran, mungkin saja pria itu memang mengalami kelainan seksual. Lalu ibunya ingin mengatasinya dengan memaksanya menjalin hubungan denganku. Ini seperti cerita novel dewasa yang bertema kelainan seksual.
Aku ingin berteriak histeris rasanya, aku korban di sini! Aku yang paling menyedihkan di sini!
Dan sekalipun pria itu tidak mengalami kelainan seksual, bagaimana dengan dirinya yang akan menjadi orang ketiga nantinya? Pria itu mengatakan punya kekasih, hanya saja mereka sedang terhalang jarak untuk sementara.
Oh, sempurna sudah! Aku tidak bisa menolak karena wanita di sampingku ini bersahabat dekat dengan ibu dan akhirnya aku terpaksa berada dalam situasi ini.
Padahal saat pertama kali wanita yang mengaku sebagai ibu dari pria itu datang padaku, lalu mengatakan akan membuatku dan pria itu bersama, jujur saja aku merasa sangat senang. Siapa yang tidak senang jika diberi jodoh yang tampan dan mapan? Terus kata ibunya dia pria yang baik, jadilah jodoh yang sempurna.
Tidak ada yang bisa menolak, jangan munafik. Yah, kecuali jika dia memang mencintai orang lain yang lebih baik dengan cinta berlebihan yang terlalu dalam. Atau dia, wanita yang punya kelainan seksual.
Tapi aku normal, jadi tidak menolaknya. Mungkin sepertinya aku harus memikirkan solusi agar terbebas dari predikat ‘korban’. Apa ada yang mengerti keadaanku? Atau malah menertawakanku?
Aku ingin histeris lagi. Hanya ingin, aku tidak benar-benar melakukannya.
Tapi, dalam hati kecilku, aku ingin bersama pria itu walau hanya sementara. Perasaanku malah membuat situasi semakin sulit untukku. Aku sadar, aku bahagia hanya karena bisa melihatnya dengan jarak sedekat ini. Sebelumnya aku hanya bisa memandangnya dari jauh dan menyukainya dalam diam.
Aku tidak mengingkari, aku termasuk salah satu dari banyaknya perempuan yang mengagumi pria itu. Dan aku tidak merasa istimewa sedikit pun hanya karena mencintai pria itu selama bertahun-tahun. Aku mencintai pria yang bahkan abai dengan kehadiranku. Tadi saja, dia acuh padaku karena aku tersedak dan dia merasa tidak nyaman, nyatanya dia melakukan itu karena hanya peduli pada dirinya yang merasa malu saja.
Aku memang tidak pernah melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya sejak dulu. Aku tidak berani. Aku bukan perempuan yang bisa dibandingkan dengan para perempuan yang pernah dekat dengannya dan menjalin hubungan. Kalau begitu untuk apa bertahan menyukainya? Tidak, aku juga pernah menyukai pria lain.
Tapi setelah perasaanku berubah pada orang lain, aku akan teringat kembali padanya lagi. Mungkin inilah yang disebut cinta pertama. Padahal aku menyukai beberapa pria, tapi yang teringat setelah itu hanya dirinya saja. Dan begitulah, saat aku tidak menyukai siapapun, aku selalu memikirkannya. Aku menyukainya lagi dan lagi.
Aku memang sudah lama menyukainya, sejak masih berumur sepuluh tahun. Dan dia sebelas tahun saat itu.
Dia adalah cinta pertamaku. Steve Felton. Pemilik Felton Insurance, perusahaan terbaik di Hampshire.
*****
“Mom ingin kamu membiarkan Helen tinggal di apartemenmu, perlakukan dia dengan baik,” kata ibu Steve seraya menatap Steve dengan tegas. Steve hendak mengatakan sesuatu karena mulutnya tampak terbuka tapi dihentikan ibunya yang berbicara padaku. “Helen.” Ibunya memanggilku, mengambil perhatianku yang sebelumnya terarah pada Steve. “Iya, Mrs. Felton?” balasku sopan. “Kamu boleh panggil Mom, seperti Steve. Kamu 'kan seperti anak Mom juga.” Ibu Steve tersenyum lembut padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku karena merasa canggung dengan keinginannya. Tapi aku menuruti keinginannya, “Iya, Mom.” Aku mengangguk. Sempat melihat Steve memutar bola matanya. “Aduh, Helen. Sebenarnya siapa yang paling pantas jadi anak Mom di sini? Kamu lebih
Aku membuka mata tiba-tiba, merasa kaget karena sebuah bunyi nyaring. Segera aku tolehkan kepalaku untuk mencari sumber bunyi tersebut. Mataku menemukan ponsel milikku sendiri berkedip-kedip dan berdering. Ah, mataku berkedip beberapa kali. Aku ingat kalau aku menyalakan alarm di ponsel. Tanganku akhirnya menggapai ponsel yang berada di meja lalu mematikan alarmnya. Aku tadi tertidur di kasur setelah lelah membersihkan kamar. Aku juga hanya sempat mengatur sebagian barang-barangku, belum semuanya. Awal kedatanganku di apartemen ini adalah tadi pagi, dan sekarang sudah sore. Steve sepertinya sedang tidak di apartemen, sejak aku menyuruhnya melanjutkan pekerjaannya. Aku tahu dia berencana libur sehari karena diminta oleh ibunya, tapi aku rasa sebenarnya ia masih punya pekerjaan untuk dilakukan meski seharusnya terpaksa ditunda, dan ternyata benar. Aku membuatnya batal libur dan melanjutkan pekerjaannya, &
Alisku menekuk, aku benar-benar merasa tidak senang sekarang.“Dengar, ya. Aku tidak tahu kenapa kau bersikeras seperti ini, memangnya kau siapa? Dan kalau aku punya nomornya pun kau tidak bisa memaksaku jika aku tidak mau. Kau tidak punya hak untuk itu,” kataku dengan raut wajah berkerut. Aku berusaha untuk tidak membentaknya. Aku sudah tidak lagi berbicara formal padanya.Tak disangka, dia mendengkus. Dia bahkan tersenyum meremehkan sekarang. Aku benar-benar tidak mengerti.“Kau penasaran aku siapa?” tanyanya mendekatiku, spontan membuatku melangkah mundur. Aku terkejut dengan tindakannya. Oh, jangan lupakan dia juga tidak berbicara formal lagi. Seperti aku. Apa dia juga merasa kesal? Tapi siapa yang membuat orang kesal duluan?Karena perbedaan
Aku tidak pernah berharap perasaanku untuk dibalas, tapi aku juga tidak berpikir untuk melupakan Steve. Dia adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dilupakan. Ini memang bodoh, tapi perasaan ini jugalah yang membuatku terjaga dari para lelaki yang mendekatiku, apa lagi yang hanya mencari kesenangan.Aku hanya berharap, siapa pun itu, selama dia pria yang benar-benar baik dan bukan pria sembarangan, aku akan memberinya kesempatan. Tapi, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya.Steve terkenal karena ketampanan dan kekayaan yang dia miliki. Tapi dia bahkan tidak pernah digosipkan pernah dekat dengan satu pun wanita, yang ternyata karena dia setia pada kekasihnya. Padahal jarak diantara mereka sangat jauh.Sampai-sampai aku berpikir, sebenarnya sehebat apa wanita ya
Aku tahu masalah semalam pasti akan diungkit, entah untuk membicarakan tentang rencana pembatalan pertunangan atau membicarakan hal yang lainnya. Aku hanya tidak menyangka jika Dave akan meminta maaf. “Tidak masalah,” jawabku bohong tanpa melihat ke arahnya. Tentu saja masalah, tapi Dave tidak perlu tahu. Tanganku kembali melanjutkan kegiatan untuk menata sarapan. “Aku mengerti," lanjutku. “Aku sadar semalam sudah menyinggungmu dan menyalahkanmu berlebihan. Hanya saja aku sangat geram dengan masalah Steve.” Aku berdeham lalu membalas tanpa melihatnya lagi, “Yeah. Aku tahu.” Akhirnya makanan untuk sarapan dan piring yang akan dipakai untuk makan sudah tertata semuanya di atas meja bar dapur. &n
Aku tidak ingin membayangkan bagaimana perasaan atau ekspresi Steve saat mendengar aku sempat menolak dari perkataan Dave, seolah aku sangat ingin bersama Steve atau memaksa bersama Steve. Padahal aku tidak menolak sama sekali. “Perasaan aku tidak pernah bilang kalau aku menolak,” balasku pada Dave. Memberikan tatapan lurus-lurus padanya. Dave mengerut, lagi. Mungkin dia sedang berpikir kenapa aku membalasnya karena merasa ucapannya tidak ada yang salah. “Kau menolak, itu pasti. Kau memang tidak mengatakannya tapi kau menggeleng saat pertama kali kusuruh. Dan saat kedua kalinya barulah kau menurut dan setuju,” ungkap Dave. Aku menggeleng, dan semakin berusaha mengabaikan Steve, apalagi saat aku akan menyebut ibunya lagi. “Aku menggeleng karena ber
“Mom yang menyetir?” tanyaku ragu jika harus membiarkan wanita paruh baya yang beberapa tahun lagi berumur setengah abad untuk mengendarai mobilku. Dia tidak menjawab dan hanya membalas, “Ayo.” Kami sudah berjalan keluar dari kediamannya, dimana aku ikut berjalan di belakang Mrs. Felton. Dia tidak membawa apa pun dan aku hanya membawa satu tas tangan. “Sebenarnya kita akan ke mana, Mom?” tanyaku saat sudah masuk ke dalam mobil. “Kalau kita pergi dengan sopir Mom atau bawa mobil Mom sendiri, kamu harus balik ke sini lagi untuk mengambil mobilmu, karena kamu perginya harus sama Mom.” Ibu Steve menyalakan mesin mobil. Jadi Mrs. Felton harus pergi bersamaku tanpa meninggalkan mobilku agar aku tidak kembali ke kediamannya untuk mengambil mobilku. Aku sadar ibu Steve tidak menjawab de
Aku semakin takut saat Mrs. Felton membuka pintu sebuah ruangan tanpa mengetuknya. Tapi kemudian aku bernapas lega saat pintu terbuka menampilkan sebuah ruangan yang aku tebak sebagai kantor tempat kerja Steve. Di sana tidak ada Steve. Ruangan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Yeah, aku lega meski aku tahu apa pun yang terjadi Mrs. Felton akan menemui Steve. Dan Steve juga akan berhadapan dengan ibunya. Lega ini hanya sementara, aku tahu itu. Yang bisa aku lakukan, akan aku lakukan. Seperti berusaha membuat Mrs. Felton tidak memarahi Steve. Aku ingin membuatnya merasa lebih tenang. Tapi ketika aku berniat melakukan itu, karena mengira Mrs. Felton akan menunggu Steve di ruangan ini, Mrs. Felton malah segera keluar dari ruangan. Aku yang tidak ingin ketinggalan segera mengikutinya. Aku juga tidak berani bertanya kenapa be