Share

Bab 3

Aku membuka mata tiba-tiba, merasa kaget karena sebuah bunyi nyaring. Segera aku tolehkan kepalaku untuk mencari sumber bunyi tersebut. 

Mataku menemukan ponsel milikku sendiri berkedip-kedip dan berdering. Ah, mataku berkedip beberapa kali. Aku ingat kalau aku menyalakan alarm di ponsel.

Tanganku akhirnya menggapai ponsel yang berada di meja lalu mematikan alarmnya. Aku tadi tertidur di kasur setelah lelah membersihkan kamar. 

Aku juga hanya sempat mengatur sebagian barang-barangku, belum semuanya. Awal kedatanganku di apartemen ini adalah tadi pagi, dan sekarang sudah sore.

Steve sepertinya sedang tidak di apartemen, sejak aku menyuruhnya melanjutkan pekerjaannya.

Aku tahu dia berencana libur sehari karena diminta oleh ibunya, tapi aku rasa sebenarnya ia masih punya pekerjaan untuk dilakukan meski seharusnya terpaksa ditunda, dan ternyata benar. Aku membuatnya batal libur dan melanjutkan pekerjaannya,  aku tidak melakukan kesalahan, kan?

Tiba-tiba perutku berbunyi, astaga. Inilah akibatnya menunda makan siang.

Aku bangun dari posisi berbaring dan duduk di kasur. Aku menghela napas melihat kardus yang masih menumpuk di sudut ruangan kamar.

“Bagaimana aku bisa cepat selesai mengatur barang, jika saja barangku bertambah tiga kali lipat,” gumamku. 

Ibunya Steve mengirimkan banyak pakaian, aksesoris sampai alat rias. Aku tahu tidak seharusnya aku mengeluh, aku tahu seharusnya aku berterimakasih. Yeah, aku memutuskan menelepon Ibunya Steve.

Aku mendekatkan ponselku ke telinga setelah menekan nomor kontak milik Ibu Steve. Telepon diangkat setelah dering kedua.

“Halo, Helen?”

“Halo, Mrs,” aku berdehem dan meralat ucapanku, “Halo, Mom.” Hampir saja.

“Ada apa Helen?”

“Mom,” aku menarik napas, belum terbiasa memanggil beliau seperti itu, “Apa Mom yang mengirimkan banyak paket untuk Helen?” tanyaku.

“Oh, itu ya? Kalau ada barang yang kurang bilang, ya.”

“Jadi memang Mom, ya?” tanyaku memastikan lagi.

“Iya, sayang.”

“Tapi, Helen tidak minta Mom untuk...” ucapanku terputus oleh ibu Steve.

“Bukannya Mom sudah bilang, kenapa kamu hanya boleh bawa sedikit barang ke apartemen Steve?”

“Eh?” Aku mengingat-ingat percakapan kami, ah, sepertinya aku tidak memperhatikan karena terlalu fokus pada hal yang mengejutkan tentang perjodohan yang mana aku bisa berdekatan dengan Steve. 

“Semua keperluan kamu nanti Mom dan Steve yang tanggung. Kalau ada sesuatu bilang saja sama Mom dan Steve. Tapi karena Steve tidak paham tentang barang wanita, jadinya Mom yang urus untuk yang satu itu. Kalau sama Steve kamu perlu sebutin detailnya baru dia mengerti barang-barang yang kamu perlukan. ”

“Ah, hm.” Aku bergumam seraya mengangguk. Jadi, aku sengaja diminta membawa sedikit barang karena Ibunya Steve akan mempersiapkan banyak barang. Dan barang yang tidak ku bawa aku sumbangkan atas saran ibu Steve juga.

Kurasa keadaan ini cocok dengan kalimat sedekah tidak mengurangi harta. Aku menyumbangkan barang tapi kemudian diberi barang yang lebih banyak. Padahal aku tidak tahu karena tidak mendengar perkataan ibunya Steve.

“Thanks ya, Mom,” ucapku sambil tersenyum tulus. “Oh iya Mom,” aku teringat tentang nomor ponsel Steve, aku perlu untuk menghubunginya.

“Ya?”

“Steve..” aku belum menyelesaikan kalimatku dan terhenti karena bel apartemen berbunyi hingga terdengar di kamar baruku.

“Tunggu sebentar Mom.” aku keluar kamar dan menuju pintu apartemen, melihat siapa yang menekan bel apartemen. Apakah Steve sudah pulang? Sepertinya bukan, untuk apa dia menekan bel apartemennya sendiri?

Aku membuka pintu apartemen dan menemukan seorang pria yang terkejut mendapati diriku di apartemen Steve. “Mom, nanti Helen telepon lagi, ya?”

Setelah aku memutuskan sambungan telepon, aku memperhatikan pria di hadapanku.

“Siapa?” tanya kami berdua kompak. Oh jangan lagi memulai drama seperti tadi pagi.

Kali ini aku memutuskan menjawab lebih dulu dan lebih cepat, “Aku...” tapi kemudian aku sadar, aku harus memperkenalkan diri sebagai siapanya Steve? Calon tunangan? 

Terdengar gila setelah Steve menolakku. Ayo berpikir! Aku harus cepat menemukan kata yang pas!

Oh! Aku tahu. “Aku Helena Davies,” ungkapku sambil mengulurkan tangan pada pria itu yang sepertinya seumuran Steve. 

Akhirnya aku memutuskan mengatakan nama, memang seharusnya itu yang penting.

“Oh, maaf Miss Davies. Saya Dave Wright ingin menemui Mr. Felton, apakah beliau ada?” ucapnya formal sambil menyambut uluran tanganku.

Aku mengerutkan alis, “Tidak ada, bukannya dia sedang bekerja?” Salaman kami sudah terlepas.

Pria yang memiliki rambut hitam itu tampak terkejut. “Dia?”

Oh, aku mengiranya kaget karena tidak menemukan Steve, tapi justru hanya karena dia menyebut Steve ‘beliau’ dan aku menyebut Steve ‘dia’. Dia kaget karena panggilan ku?

“Aku kerabatnya,” balasku akhirnya.

Dave Wright mengangguk tanda mengerti. “Saya diberi tahu kalau Mr. Felton sedang libur hari ini, karena itu saya ingin mendiskusikan beberapa hal pada beliau." ucapnya sambil menunjukkan berkas yang dipegangnya.

“Kalau begitu, mau menunggu di dalam? Anda pernah ke sini sebelumnya, kan?” tanyaku.

“Memang pernah. Tapi kira-kira kapan Mr. Felton kembali?” tanyanya terlihat ragu untuk masuk.

Benar juga, jika Steve tidak pulang hari ini tidak mungkin Dave Wright menunggunya, kan? Selanjutnya aku berubah muram saat memikirkan Steve tidak pulang, apa karena keberadaanku dia enggan pulang ke apartemennya sendiri? Tapi dimana dia akan bermalam jika dia tidak pulang?

“Ah, kenapa tidak menghubunginya saja?” tanyaku.

“Sudah, dan beliau tidak menjawab panggilan saya. Saya pikir beliau sakit atau sedang beristirahat, tapi hal ini,” Dave menggoyangkan berkasnya, “Cukup penting, jadi saya ke sini sekaligus memastikan keadaan Mr. Felton. Beliau juga tinggal sendiri sebelumnya, jadi saya khawatir terjadi sesuatu pada beliau karena tidak menjawab panggilan saya.” Dave Wright berkata panjang lebar.

Aku tidak tahu hubungan Dave Wright dengan Steve, yang pasti Dave adalah rekan kerja yang perhatian.

Kemudian aku merasa gugup saat dia menatapku aneh. Dave tahu Steve sebelumnya tinggal sendiri, lalu kenapa aku tiba-tiba berada di tempat tinggal Steve? Mungkin seperti itu yang ada dipikirannya. Aku sadar karena Dave menatapku tajam saat dia mengatakan Steve tinggal sendiri.

“Bagaimana jika anda menelepon Mr. Felton sekarang Miss? Mungkin saja beliau akan mengangkatnya,” ucap Dave lagi.

Aku mengerutkan kening, tadi belum sempat minta nomor ponsel Steve pada ibunya.

“Kenapa tidak anda saja?” aku mengembalikan kalimatnya. Dia tampak mengerutkan alis dan semakin menajamkan pandangannya padaku.

“Tadi saya sudah mengatakan Mr. Felton tidak menjawabnya,” balasnya.

“Kalau begitu tidak ada bedanya jika aku yang menghubunginya, kan?” balasku.

“Tapi jika Miss Davies mau menelepon Mr. Felton sekarang mungkin beliau akan menjawabnya,” kata Dave lagi, masih dengan tatapan anehnya.

Aku mengerutkan alis semakin dalam. Aku ingin sekali menanyakan maksud ekspresinya dari tadi, apa dia mencurigaiku macam-macam? Kenapa melihatku begitu?

“Anda saja yang meneleponnya.” Aku kembali membalasnya.

“Kenapa?” tanyanya, dia juga mengerutkan alis. Aku juga ingin menanyakan hal yang sama, ada apa dengan perkataan-perkatannya dan ekspresinya?

Aku menghela napas, “Aku belum menyimpan nomor ponselnya karena tidak sempat.”

Jawabanku tampaknya tidak membuat Dave puas.

“Sebenarnya anda siapa?” tanyanya benar-benar mengintimidasi.

Aku menahan napas. Lalu akhirnya keluarlah pertanyaan yang sedari tadi ingin kukeluarkan.

“Kenapa?” tanyaku.

“Saya yang bertanya lebih dulu, apa hubungan anda dengan Mr. Felton?” Dave bersikeras.

“Bukannya aku sudah bilang tadi, aku kerabatnya.” Tidak biasanya aku juga bersikap keras seperti ini, ini semua karena aku tidak ingin mengaku sebagai mantan calon tunangan Steve, calon tunangan yang ditolak.

Dave menggeleng mendengar jawabanku. Dia ternyata masih tidak menerima.

“Kerabat yang tidak tahu nomor ponselnya?” tanyanya, sekarang terdengar menyindir ditelingaku.

Dan itulah kenapa nomor ponsel jadi begitu penting sekarang.

 *****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status