Mataku menemukan ponsel milikku sendiri berkedip-kedip dan berdering. Ah, mataku berkedip beberapa kali. Aku ingat kalau aku menyalakan alarm di ponsel.
Tanganku akhirnya menggapai ponsel yang berada di meja lalu mematikan alarmnya. Aku tadi tertidur di kasur setelah lelah membersihkan kamar.
Aku juga hanya sempat mengatur sebagian barang-barangku, belum semuanya. Awal kedatanganku di apartemen ini adalah tadi pagi, dan sekarang sudah sore.
Steve sepertinya sedang tidak di apartemen, sejak aku menyuruhnya melanjutkan pekerjaannya.
Aku tahu dia berencana libur sehari karena diminta oleh ibunya, tapi aku rasa sebenarnya ia masih punya pekerjaan untuk dilakukan meski seharusnya terpaksa ditunda, dan ternyata benar. Aku membuatnya batal libur dan melanjutkan pekerjaannya, aku tidak melakukan kesalahan, kan?
Tiba-tiba perutku berbunyi, astaga. Inilah akibatnya menunda makan siang.
Aku bangun dari posisi berbaring dan duduk di kasur. Aku menghela napas melihat kardus yang masih menumpuk di sudut ruangan kamar.
“Bagaimana aku bisa cepat selesai mengatur barang, jika saja barangku bertambah tiga kali lipat,” gumamku.
Ibunya Steve mengirimkan banyak pakaian, aksesoris sampai alat rias. Aku tahu tidak seharusnya aku mengeluh, aku tahu seharusnya aku berterimakasih. Yeah, aku memutuskan menelepon Ibunya Steve.
Aku mendekatkan ponselku ke telinga setelah menekan nomor kontak milik Ibu Steve. Telepon diangkat setelah dering kedua.
“Halo, Helen?”
“Halo, Mrs,” aku berdehem dan meralat ucapanku, “Halo, Mom.” Hampir saja.
“Ada apa Helen?”
“Mom,” aku menarik napas, belum terbiasa memanggil beliau seperti itu, “Apa Mom yang mengirimkan banyak paket untuk Helen?” tanyaku.
“Oh, itu ya? Kalau ada barang yang kurang bilang, ya.”
“Jadi memang Mom, ya?” tanyaku memastikan lagi.
“Iya, sayang.”
“Tapi, Helen tidak minta Mom untuk...” ucapanku terputus oleh ibu Steve.
“Bukannya Mom sudah bilang, kenapa kamu hanya boleh bawa sedikit barang ke apartemen Steve?”
“Eh?” Aku mengingat-ingat percakapan kami, ah, sepertinya aku tidak memperhatikan karena terlalu fokus pada hal yang mengejutkan tentang perjodohan yang mana aku bisa berdekatan dengan Steve.
“Semua keperluan kamu nanti Mom dan Steve yang tanggung. Kalau ada sesuatu bilang saja sama Mom dan Steve. Tapi karena Steve tidak paham tentang barang wanita, jadinya Mom yang urus untuk yang satu itu. Kalau sama Steve kamu perlu sebutin detailnya baru dia mengerti barang-barang yang kamu perlukan. ”
“Ah, hm.” Aku bergumam seraya mengangguk. Jadi, aku sengaja diminta membawa sedikit barang karena Ibunya Steve akan mempersiapkan banyak barang. Dan barang yang tidak ku bawa aku sumbangkan atas saran ibu Steve juga.
Kurasa keadaan ini cocok dengan kalimat sedekah tidak mengurangi harta. Aku menyumbangkan barang tapi kemudian diberi barang yang lebih banyak. Padahal aku tidak tahu karena tidak mendengar perkataan ibunya Steve.
“Thanks ya, Mom,” ucapku sambil tersenyum tulus. “Oh iya Mom,” aku teringat tentang nomor ponsel Steve, aku perlu untuk menghubunginya.
“Ya?”
“Steve..” aku belum menyelesaikan kalimatku dan terhenti karena bel apartemen berbunyi hingga terdengar di kamar baruku.
“Tunggu sebentar Mom.” aku keluar kamar dan menuju pintu apartemen, melihat siapa yang menekan bel apartemen. Apakah Steve sudah pulang? Sepertinya bukan, untuk apa dia menekan bel apartemennya sendiri?
Aku membuka pintu apartemen dan menemukan seorang pria yang terkejut mendapati diriku di apartemen Steve. “Mom, nanti Helen telepon lagi, ya?”
Setelah aku memutuskan sambungan telepon, aku memperhatikan pria di hadapanku.
“Siapa?” tanya kami berdua kompak. Oh jangan lagi memulai drama seperti tadi pagi.
Kali ini aku memutuskan menjawab lebih dulu dan lebih cepat, “Aku...” tapi kemudian aku sadar, aku harus memperkenalkan diri sebagai siapanya Steve? Calon tunangan?
Terdengar gila setelah Steve menolakku. Ayo berpikir! Aku harus cepat menemukan kata yang pas!
Oh! Aku tahu. “Aku Helena Davies,” ungkapku sambil mengulurkan tangan pada pria itu yang sepertinya seumuran Steve.
Akhirnya aku memutuskan mengatakan nama, memang seharusnya itu yang penting.
“Oh, maaf Miss Davies. Saya Dave Wright ingin menemui Mr. Felton, apakah beliau ada?” ucapnya formal sambil menyambut uluran tanganku.
Aku mengerutkan alis, “Tidak ada, bukannya dia sedang bekerja?” Salaman kami sudah terlepas.
Pria yang memiliki rambut hitam itu tampak terkejut. “Dia?”
Oh, aku mengiranya kaget karena tidak menemukan Steve, tapi justru hanya karena dia menyebut Steve ‘beliau’ dan aku menyebut Steve ‘dia’. Dia kaget karena panggilan ku?
“Aku kerabatnya,” balasku akhirnya.
Dave Wright mengangguk tanda mengerti. “Saya diberi tahu kalau Mr. Felton sedang libur hari ini, karena itu saya ingin mendiskusikan beberapa hal pada beliau." ucapnya sambil menunjukkan berkas yang dipegangnya.
“Kalau begitu, mau menunggu di dalam? Anda pernah ke sini sebelumnya, kan?” tanyaku.
“Memang pernah. Tapi kira-kira kapan Mr. Felton kembali?” tanyanya terlihat ragu untuk masuk.
Benar juga, jika Steve tidak pulang hari ini tidak mungkin Dave Wright menunggunya, kan? Selanjutnya aku berubah muram saat memikirkan Steve tidak pulang, apa karena keberadaanku dia enggan pulang ke apartemennya sendiri? Tapi dimana dia akan bermalam jika dia tidak pulang?
“Ah, kenapa tidak menghubunginya saja?” tanyaku.
“Sudah, dan beliau tidak menjawab panggilan saya. Saya pikir beliau sakit atau sedang beristirahat, tapi hal ini,” Dave menggoyangkan berkasnya, “Cukup penting, jadi saya ke sini sekaligus memastikan keadaan Mr. Felton. Beliau juga tinggal sendiri sebelumnya, jadi saya khawatir terjadi sesuatu pada beliau karena tidak menjawab panggilan saya.” Dave Wright berkata panjang lebar.
Aku tidak tahu hubungan Dave Wright dengan Steve, yang pasti Dave adalah rekan kerja yang perhatian.
Kemudian aku merasa gugup saat dia menatapku aneh. Dave tahu Steve sebelumnya tinggal sendiri, lalu kenapa aku tiba-tiba berada di tempat tinggal Steve? Mungkin seperti itu yang ada dipikirannya. Aku sadar karena Dave menatapku tajam saat dia mengatakan Steve tinggal sendiri.
“Bagaimana jika anda menelepon Mr. Felton sekarang Miss? Mungkin saja beliau akan mengangkatnya,” ucap Dave lagi.
Aku mengerutkan kening, tadi belum sempat minta nomor ponsel Steve pada ibunya.
“Kenapa tidak anda saja?” aku mengembalikan kalimatnya. Dia tampak mengerutkan alis dan semakin menajamkan pandangannya padaku.
“Tadi saya sudah mengatakan Mr. Felton tidak menjawabnya,” balasnya.
“Kalau begitu tidak ada bedanya jika aku yang menghubunginya, kan?” balasku.
“Tapi jika Miss Davies mau menelepon Mr. Felton sekarang mungkin beliau akan menjawabnya,” kata Dave lagi, masih dengan tatapan anehnya.
Aku mengerutkan alis semakin dalam. Aku ingin sekali menanyakan maksud ekspresinya dari tadi, apa dia mencurigaiku macam-macam? Kenapa melihatku begitu?
“Anda saja yang meneleponnya.” Aku kembali membalasnya.
“Kenapa?” tanyanya, dia juga mengerutkan alis. Aku juga ingin menanyakan hal yang sama, ada apa dengan perkataan-perkatannya dan ekspresinya?
Aku menghela napas, “Aku belum menyimpan nomor ponselnya karena tidak sempat.”
Jawabanku tampaknya tidak membuat Dave puas.
“Sebenarnya anda siapa?” tanyanya benar-benar mengintimidasi.
Aku menahan napas. Lalu akhirnya keluarlah pertanyaan yang sedari tadi ingin kukeluarkan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Saya yang bertanya lebih dulu, apa hubungan anda dengan Mr. Felton?” Dave bersikeras.
“Bukannya aku sudah bilang tadi, aku kerabatnya.” Tidak biasanya aku juga bersikap keras seperti ini, ini semua karena aku tidak ingin mengaku sebagai mantan calon tunangan Steve, calon tunangan yang ditolak.
Dave menggeleng mendengar jawabanku. Dia ternyata masih tidak menerima.
“Kerabat yang tidak tahu nomor ponselnya?” tanyanya, sekarang terdengar menyindir ditelingaku.
Dan itulah kenapa nomor ponsel jadi begitu penting sekarang.
*****
Alisku menekuk, aku benar-benar merasa tidak senang sekarang.“Dengar, ya. Aku tidak tahu kenapa kau bersikeras seperti ini, memangnya kau siapa? Dan kalau aku punya nomornya pun kau tidak bisa memaksaku jika aku tidak mau. Kau tidak punya hak untuk itu,” kataku dengan raut wajah berkerut. Aku berusaha untuk tidak membentaknya. Aku sudah tidak lagi berbicara formal padanya.Tak disangka, dia mendengkus. Dia bahkan tersenyum meremehkan sekarang. Aku benar-benar tidak mengerti.“Kau penasaran aku siapa?” tanyanya mendekatiku, spontan membuatku melangkah mundur. Aku terkejut dengan tindakannya. Oh, jangan lupakan dia juga tidak berbicara formal lagi. Seperti aku. Apa dia juga merasa kesal? Tapi siapa yang membuat orang kesal duluan?Karena perbedaan
Aku tidak pernah berharap perasaanku untuk dibalas, tapi aku juga tidak berpikir untuk melupakan Steve. Dia adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dilupakan. Ini memang bodoh, tapi perasaan ini jugalah yang membuatku terjaga dari para lelaki yang mendekatiku, apa lagi yang hanya mencari kesenangan.Aku hanya berharap, siapa pun itu, selama dia pria yang benar-benar baik dan bukan pria sembarangan, aku akan memberinya kesempatan. Tapi, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya.Steve terkenal karena ketampanan dan kekayaan yang dia miliki. Tapi dia bahkan tidak pernah digosipkan pernah dekat dengan satu pun wanita, yang ternyata karena dia setia pada kekasihnya. Padahal jarak diantara mereka sangat jauh.Sampai-sampai aku berpikir, sebenarnya sehebat apa wanita ya
Aku tahu masalah semalam pasti akan diungkit, entah untuk membicarakan tentang rencana pembatalan pertunangan atau membicarakan hal yang lainnya. Aku hanya tidak menyangka jika Dave akan meminta maaf. “Tidak masalah,” jawabku bohong tanpa melihat ke arahnya. Tentu saja masalah, tapi Dave tidak perlu tahu. Tanganku kembali melanjutkan kegiatan untuk menata sarapan. “Aku mengerti," lanjutku. “Aku sadar semalam sudah menyinggungmu dan menyalahkanmu berlebihan. Hanya saja aku sangat geram dengan masalah Steve.” Aku berdeham lalu membalas tanpa melihatnya lagi, “Yeah. Aku tahu.” Akhirnya makanan untuk sarapan dan piring yang akan dipakai untuk makan sudah tertata semuanya di atas meja bar dapur. &n
Aku tidak ingin membayangkan bagaimana perasaan atau ekspresi Steve saat mendengar aku sempat menolak dari perkataan Dave, seolah aku sangat ingin bersama Steve atau memaksa bersama Steve. Padahal aku tidak menolak sama sekali. “Perasaan aku tidak pernah bilang kalau aku menolak,” balasku pada Dave. Memberikan tatapan lurus-lurus padanya. Dave mengerut, lagi. Mungkin dia sedang berpikir kenapa aku membalasnya karena merasa ucapannya tidak ada yang salah. “Kau menolak, itu pasti. Kau memang tidak mengatakannya tapi kau menggeleng saat pertama kali kusuruh. Dan saat kedua kalinya barulah kau menurut dan setuju,” ungkap Dave. Aku menggeleng, dan semakin berusaha mengabaikan Steve, apalagi saat aku akan menyebut ibunya lagi. “Aku menggeleng karena ber
“Mom yang menyetir?” tanyaku ragu jika harus membiarkan wanita paruh baya yang beberapa tahun lagi berumur setengah abad untuk mengendarai mobilku. Dia tidak menjawab dan hanya membalas, “Ayo.” Kami sudah berjalan keluar dari kediamannya, dimana aku ikut berjalan di belakang Mrs. Felton. Dia tidak membawa apa pun dan aku hanya membawa satu tas tangan. “Sebenarnya kita akan ke mana, Mom?” tanyaku saat sudah masuk ke dalam mobil. “Kalau kita pergi dengan sopir Mom atau bawa mobil Mom sendiri, kamu harus balik ke sini lagi untuk mengambil mobilmu, karena kamu perginya harus sama Mom.” Ibu Steve menyalakan mesin mobil. Jadi Mrs. Felton harus pergi bersamaku tanpa meninggalkan mobilku agar aku tidak kembali ke kediamannya untuk mengambil mobilku. Aku sadar ibu Steve tidak menjawab de
Aku semakin takut saat Mrs. Felton membuka pintu sebuah ruangan tanpa mengetuknya. Tapi kemudian aku bernapas lega saat pintu terbuka menampilkan sebuah ruangan yang aku tebak sebagai kantor tempat kerja Steve. Di sana tidak ada Steve. Ruangan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Yeah, aku lega meski aku tahu apa pun yang terjadi Mrs. Felton akan menemui Steve. Dan Steve juga akan berhadapan dengan ibunya. Lega ini hanya sementara, aku tahu itu. Yang bisa aku lakukan, akan aku lakukan. Seperti berusaha membuat Mrs. Felton tidak memarahi Steve. Aku ingin membuatnya merasa lebih tenang. Tapi ketika aku berniat melakukan itu, karena mengira Mrs. Felton akan menunggu Steve di ruangan ini, Mrs. Felton malah segera keluar dari ruangan. Aku yang tidak ingin ketinggalan segera mengikutinya. Aku juga tidak berani bertanya kenapa be
Jadi ceritanya adalah, Mrs. Felton hendak melayangkan tangannya pada Steve seperti hendak menamparnya. Lalu aku segera menghalangi itu dengan menggunakan tubuhku sebagai tameng. Karena tangan Mrs. Felton yang melayang pada Steve yang tubuhnya di belakangku, maka aku bukan terkena telapak Mrs. Felton tapi terkena pukulan lengan bawahnya di kepalaku. Jika aku jauh beberapa centi dari tempatku sekarang mungkin Steve sudah kena tampar karena aku terlambat. Kepalaku yang terpukul seperti mau di pisahkan dari lehernya. Karena itu leherku juga ikut sakit. Tapi aku yakin tangan Mrs. Felton juga sakit. "Hah." helaan napas berat terdengar jelas di telingaku karena Mrs. Felton yang menge
Aku suka sekali meminta ibu bermain piano untukku ketika ada di rumah sejak kecil. Tapi aku tidak pernah berani menyentuh pianonya jika ibu tidak ada.Entah sejak kapan aku tidak berani melakukan sesuatu kecuali yang diperintahkan padaku."Yang mana?" Ibu melihat buku tulisku."Aku harus mengerjakannya dalam waktu lima menit. Tapi aku hanya bisa melakukannya dalam waktu sepuluh menit." Kataku sambil menunjukkan stop watch kepada ibu.Ibu menatapku terkejut. Entah karena apa yang aku ucapkan atau karena apa yang aku tunjukkan atau juga mungkin karena apa yang tertulis di buku ku.Yang aku tahu, ibu tidak membantuku mengerjakan tugas tapi malah berdiri sambil membawa buku tugasku. Ibu berjalan menjauhiku."Mama?" Pang