Share

Bab 4

Alisku menekuk, aku benar-benar merasa tidak senang sekarang.

“Dengar, ya. Aku tidak tahu kenapa kau bersikeras seperti ini, memangnya kau siapa? Dan kalau aku punya nomornya pun kau tidak bisa memaksaku jika aku tidak mau. Kau tidak punya hak untuk itu,” kataku dengan raut wajah berkerut. Aku berusaha untuk tidak membentaknya. Aku sudah tidak lagi berbicara formal padanya.

Tak disangka, dia mendengkus. Dia bahkan tersenyum meremehkan sekarang. Aku benar-benar tidak mengerti.

“Kau penasaran aku siapa?” tanyanya mendekatiku, spontan membuatku melangkah mundur. Aku terkejut dengan tindakannya. Oh, jangan lupakan dia juga tidak berbicara formal lagi. Seperti aku. Apa dia juga merasa kesal? Tapi siapa yang membuat orang kesal duluan? 

Karena perbedaan tinggi antara aku dan dia, aku harus sedikit mendongak dengan jarak yang lumayan dekat ini. Tingginya sejajar dengan Steve.

“Aku adalah sepupu Steve. Aku adalah kerabatnya,” lanjutnya membuatku membeku.

Aku menahan napasku, rasanya seperti ketahuan berbohong. Dan kenyataannya memang itu yang terjadi sekarang. Aku bahkan mengaku kerabat Steve padanya, pada dia yang sebenarnya kerabat Steve yang sesungguhnya.

Aku ketahuan berbohong menjadi kerabat Steve di depan kerabat Steve sendiri. Tapi kenapa tidak dari tadi dia menyalahkanku? Kenapa baru sekarang dia memojokkan ku? 

"Kau tahu aku berbohong? Lalu kenapa?" tanyaku.

Dave mengerti maksudku dan menjawab, "Aku hanya mengetesmu."

"Apa?!" Aku menatapnya kaget.

“Jadi, aku tidak tahu kau siapa yang mengaku sebagai kerabatnya. Kau tahu, aku dan Steve adalah sepupu, kami juga dekat seperti saudara. Jika ada kerabat kami yang sedang berada didekat Steve, aku pasti mengenalinya. Jadi, kau siapa? Katakan sekarang.” Dave melihatku dengan pandangan menusuk, semakin membuatku membeku dan entah kenapa tubuhku seperti tidak bisa bergerak.

Rasanya seolah jika tubuhku bergerak, pria di depanku ini akan membunuhku. Kedengarannya berlebihan memang.

Tapi aku masih bisa bersuara, “Kau tidak berbohong, kan?” tanyaku membalas pertanyaannya dengan pertanyaan juga.

“Hah? Kau kira aku sepertimu yang mengaku-ngaku hal yang konyol?” balas Dave.

Wajahku memucat, hal yang konyol, katanya? Mengaku sebagai kerabat adalah hal yang konyol. Bagaimana reaksinya jika aku memberi tahu dia bahwa aku adalah calon tunangan Steve? Meski aku benar calon tunangan Steve, itu akan terdengar lebih konyol lagi. Apa lagi Steve sudah menolakku dengan terang-terangan.

Otakku memproses banyak pikiran sekaligus. Padahal Dave adalah sepupu Steve dan mengaku dekat layaknya saudara, tapi dia bahkan belum tahu apa yang terjadi pada Steve? Belum tahu tentang rencana pertunangannya? Apa hal ini adalah hal yang memalukan hingga Steve bahkan tidak memberi tahu Dave tentang itu? Batinku gelisah.

“Kenapa diam saja?” tanya Steve, sekarang dia benar-benar membuatku terintimidasi.

Dia berhasil memojokkanku. Aku akhirnya menatap ke arah samping tubuhnya saat menjawab dan tidak melihat wajahnya, “Jika kau sangat ingin tahu, silakan tanyakan langsung pada Mrs. Felton.”

Lalu aku kembali menatap wajahnya, bisa kulihat kerutan di antara kedua alisnya.

“Tanyakan langsung pada bibi-mu,” lanjutku sembari meneliti ekspresinya saat aku menyebut ibu Steve.

“Mrs. Felton?” gumamnya pelan, nyaris membuatku tidak bisa mendengarnya. Tapi aku bisa menebak apa yang dia ucapkan meski samar dari gerakan bibirnya.

Aku bisa bernapas lebih lega saat ia melangkah mundur. Tapi aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya ketika aku melihat ekspresi linglungnya sebelum ia kembali menatapku tajam.

“Sebenarnya kau siapa?” tanyanya kesekian kalinya.

Aku menghembuskan napas, “Jika kau mau masuk, silakan. Jika tidak, ya sudah. Aku punya kegiatan yang harus kulakukan,” kataku tanpa menjawab pertanyannya yang sudah lelah kudengar.

Aku lalu berbalik dan melangkah masuk lebih ke dalam apartemen dan meninggalkannya, tapi kemudian tertunda sebentar karena teringat sesuatu, “Jika kau tidak mau masuk, jangan lupa tutup pintunya saat kau pergi.”

Setelah itu aku kembali melangkah sambil menatap ponsel milikku. Sepertinya aku harus memesan makanan karena belum makan.

Ternyata Dave memilih untuk pergi. Dia melakukan pesanku untuk menutup pintu apartemen dari luar. Lalu ada hal yang baru kusadari, kemana perginya Steve jika bukan pergi untuk bekerja?

Dan Dave kembali lagi saat malam hari, saat waktu hampir tengah malam. Aku menegang saat menemukannya dalam keadaan tidak sendirian ketika membuka pintu. Berbagai pikiran negatif langsung bermunculan semakin banyak di benakku, aku langsung menebaknya dan hanya bisa berharap itu salah.

Memang sejak tadi, sebelum Dave datang, aku tidak bisa tidur karena menunggu Steve yang belum pulang. Karena tidak punya nomor teleponnya, aku tidak bisa menghubunginya. 

Jika menelepon Mrs. Felton untuk meminta nomor teleponnya Steve, aku tidak berani karena berbagai alasan; seperti waktu yang terlalu larut untuk menelepon, atau karena tidak bisa membayangkan ekspresi ibu Steve jika aku mengatakan belum punya nomor telepon putranya padahal kami sudah tinggal seatap, atau juga jika dia tahu alasan kenapa aku meneleponnya, apa yang mungkin terjadi jika ibu Steve tahu putranya belum pulang sampai sekarang? Dan kenapa meminta nomor Steve padanya, bukan pada putranya langsung?

Atau bagaimana jika sebenarnya Steve memang seperti ini, dan aku belum Steve pulang larut adalah sesuatu yang wajar. Bagus kalau memang seperti itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya. Aku semakin gelisah ketika memikirkan kemungkinan alasan Steve belum pulang karena kehadiran diriku sendiri, bagaiman kalau aku membuatnya terganggu dan akhirnya dia menghindariku. 

Cukup memakan waktu untuk pikiran-pikiran seperti itu. Tapi kemudian aku sudah bisa mengambil keputusan untuk menelepon ibu Steve, dengan sedikit gugup aku mulai mencari kontak Mrs. Felton, tinggal sekali menekan aku bisa langsung meneleponnya.

Tapi itu tidak terjadi karena kedatangan Dave.

Dia sedang memapah Steve yang kelihatan tidak sadarkan diri, membuat tinggi tubuhnya turun karena sedikit membungkuk. Napasku memberat melihat keadaan mereka berdua.

“Apa yang terjadi?” tanyaku spontan.

“Minggir,” kata Dave membuatku segera menyingkir memberinya jalan.

Aku mengkuti di belakang hingga ke depan pintu kamar Steve dengan diam tanpa bertanya lagi. 

“Buka pintunya,” perintah Dave lagi.

Aku langsung ke sampingnya untuk melakukan itu. Lalu setelahnya Dave membawa Steve masuk ke kamar dan membaringkannya di kasur. Dave lalu membuka sepatu Steve dan meletakkannya di lantai. Aku hanya menonton di depan pintu dan tidak ikut masuk, karena takut ini bukan wilayah yang bisa aku masuki.

Aku melangkah mundur untuk menyediakan ruang saat Dave keluar.

“Ayo kita bicara,” kata Dave saat keluar dari kamar Steve.

Aku mengangguk kaku.

“Aku tidak tahu apa yang kau lakukan sampai Mrs. Felton menjodohkan kalian berdua. Kau tidak punya hal yang istimewa kecuali orang tua kalian yang dulu punya hubungan lumayan dekat.”

“Itu harusnya kau tanyakan langsung pada Mrs. Felton,” balasku berusaha tenang ketika Dave memojokkanku seolah aku sama seperti perempuan-perempuan lain yang mengejar Steve.

Aku mengakui bahwa aku menyukai Steve bahkan mencintainya sampai ketika mengingat tentang perasaanku itu, rasanya sesak. Seolah perasaanku ingin meluap tapi tetap kutahan, dan itu tulus.

Dulu, mungkin aku tertarik dan menyukai Steve karena apa yang dia miliki seperti fisiknya dan sifatnya meski dulu kami hanya sebatas tetangga yang tidak pernah bermain bersama karena Steve yang sibuk belajar. Tapi, sekarang aku mencintainya apa adanya. Sekali pun aku membayangkan hal terburuk pada Steve, aku merasa tetap bisa mencintainya seburuk apapun situasinya.

Yah, tentu saja selain perilaku kejahatan. Jika Steve melakukan kriminal seperti itu maka aku akan langsung kecewa, dan mungkin bisa melupakannya. Tapi aku tahu, Steve tidak akan seperti itu. Steve adalah lelaki yang baik. Dan itu juga yang membuatku tetap setia padanya meski dia tidak pernah tahu dan meski perasaan ini sia-sia. Sangat sulit menemukan orang seperti Steve di zaman sekarang.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status