Alisku menekuk, aku benar-benar merasa tidak senang sekarang.
“Dengar, ya. Aku tidak tahu kenapa kau bersikeras seperti ini, memangnya kau siapa? Dan kalau aku punya nomornya pun kau tidak bisa memaksaku jika aku tidak mau. Kau tidak punya hak untuk itu,” kataku dengan raut wajah berkerut. Aku berusaha untuk tidak membentaknya. Aku sudah tidak lagi berbicara formal padanya.
Tak disangka, dia mendengkus. Dia bahkan tersenyum meremehkan sekarang. Aku benar-benar tidak mengerti.
“Kau penasaran aku siapa?” tanyanya mendekatiku, spontan membuatku melangkah mundur. Aku terkejut dengan tindakannya. Oh, jangan lupakan dia juga tidak berbicara formal lagi. Seperti aku. Apa dia juga merasa kesal? Tapi siapa yang membuat orang kesal duluan?
Karena perbedaan tinggi antara aku dan dia, aku harus sedikit mendongak dengan jarak yang lumayan dekat ini. Tingginya sejajar dengan Steve.
“Aku adalah sepupu Steve. Aku adalah kerabatnya,” lanjutnya membuatku membeku.
Aku menahan napasku, rasanya seperti ketahuan berbohong. Dan kenyataannya memang itu yang terjadi sekarang. Aku bahkan mengaku kerabat Steve padanya, pada dia yang sebenarnya kerabat Steve yang sesungguhnya.
Aku ketahuan berbohong menjadi kerabat Steve di depan kerabat Steve sendiri. Tapi kenapa tidak dari tadi dia menyalahkanku? Kenapa baru sekarang dia memojokkan ku?
"Kau tahu aku berbohong? Lalu kenapa?" tanyaku.
Dave mengerti maksudku dan menjawab, "Aku hanya mengetesmu."
"Apa?!" Aku menatapnya kaget.
“Jadi, aku tidak tahu kau siapa yang mengaku sebagai kerabatnya. Kau tahu, aku dan Steve adalah sepupu, kami juga dekat seperti saudara. Jika ada kerabat kami yang sedang berada didekat Steve, aku pasti mengenalinya. Jadi, kau siapa? Katakan sekarang.” Dave melihatku dengan pandangan menusuk, semakin membuatku membeku dan entah kenapa tubuhku seperti tidak bisa bergerak.
Rasanya seolah jika tubuhku bergerak, pria di depanku ini akan membunuhku. Kedengarannya berlebihan memang.
Tapi aku masih bisa bersuara, “Kau tidak berbohong, kan?” tanyaku membalas pertanyaannya dengan pertanyaan juga.
“Hah? Kau kira aku sepertimu yang mengaku-ngaku hal yang konyol?” balas Dave.
Wajahku memucat, hal yang konyol, katanya? Mengaku sebagai kerabat adalah hal yang konyol. Bagaimana reaksinya jika aku memberi tahu dia bahwa aku adalah calon tunangan Steve? Meski aku benar calon tunangan Steve, itu akan terdengar lebih konyol lagi. Apa lagi Steve sudah menolakku dengan terang-terangan.
Otakku memproses banyak pikiran sekaligus. Padahal Dave adalah sepupu Steve dan mengaku dekat layaknya saudara, tapi dia bahkan belum tahu apa yang terjadi pada Steve? Belum tahu tentang rencana pertunangannya? Apa hal ini adalah hal yang memalukan hingga Steve bahkan tidak memberi tahu Dave tentang itu? Batinku gelisah.
“Kenapa diam saja?” tanya Steve, sekarang dia benar-benar membuatku terintimidasi.
Dia berhasil memojokkanku. Aku akhirnya menatap ke arah samping tubuhnya saat menjawab dan tidak melihat wajahnya, “Jika kau sangat ingin tahu, silakan tanyakan langsung pada Mrs. Felton.”
Lalu aku kembali menatap wajahnya, bisa kulihat kerutan di antara kedua alisnya.
“Tanyakan langsung pada bibi-mu,” lanjutku sembari meneliti ekspresinya saat aku menyebut ibu Steve.
“Mrs. Felton?” gumamnya pelan, nyaris membuatku tidak bisa mendengarnya. Tapi aku bisa menebak apa yang dia ucapkan meski samar dari gerakan bibirnya.
Aku bisa bernapas lebih lega saat ia melangkah mundur. Tapi aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya ketika aku melihat ekspresi linglungnya sebelum ia kembali menatapku tajam.
“Sebenarnya kau siapa?” tanyanya kesekian kalinya.
Aku menghembuskan napas, “Jika kau mau masuk, silakan. Jika tidak, ya sudah. Aku punya kegiatan yang harus kulakukan,” kataku tanpa menjawab pertanyannya yang sudah lelah kudengar.
Aku lalu berbalik dan melangkah masuk lebih ke dalam apartemen dan meninggalkannya, tapi kemudian tertunda sebentar karena teringat sesuatu, “Jika kau tidak mau masuk, jangan lupa tutup pintunya saat kau pergi.”
Setelah itu aku kembali melangkah sambil menatap ponsel milikku. Sepertinya aku harus memesan makanan karena belum makan.
Ternyata Dave memilih untuk pergi. Dia melakukan pesanku untuk menutup pintu apartemen dari luar. Lalu ada hal yang baru kusadari, kemana perginya Steve jika bukan pergi untuk bekerja?
Dan Dave kembali lagi saat malam hari, saat waktu hampir tengah malam. Aku menegang saat menemukannya dalam keadaan tidak sendirian ketika membuka pintu. Berbagai pikiran negatif langsung bermunculan semakin banyak di benakku, aku langsung menebaknya dan hanya bisa berharap itu salah.
Memang sejak tadi, sebelum Dave datang, aku tidak bisa tidur karena menunggu Steve yang belum pulang. Karena tidak punya nomor teleponnya, aku tidak bisa menghubunginya.
Jika menelepon Mrs. Felton untuk meminta nomor teleponnya Steve, aku tidak berani karena berbagai alasan; seperti waktu yang terlalu larut untuk menelepon, atau karena tidak bisa membayangkan ekspresi ibu Steve jika aku mengatakan belum punya nomor telepon putranya padahal kami sudah tinggal seatap, atau juga jika dia tahu alasan kenapa aku meneleponnya, apa yang mungkin terjadi jika ibu Steve tahu putranya belum pulang sampai sekarang? Dan kenapa meminta nomor Steve padanya, bukan pada putranya langsung?
Atau bagaimana jika sebenarnya Steve memang seperti ini, dan aku belum Steve pulang larut adalah sesuatu yang wajar. Bagus kalau memang seperti itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya. Aku semakin gelisah ketika memikirkan kemungkinan alasan Steve belum pulang karena kehadiran diriku sendiri, bagaiman kalau aku membuatnya terganggu dan akhirnya dia menghindariku.
Cukup memakan waktu untuk pikiran-pikiran seperti itu. Tapi kemudian aku sudah bisa mengambil keputusan untuk menelepon ibu Steve, dengan sedikit gugup aku mulai mencari kontak Mrs. Felton, tinggal sekali menekan aku bisa langsung meneleponnya.
Tapi itu tidak terjadi karena kedatangan Dave.
Dia sedang memapah Steve yang kelihatan tidak sadarkan diri, membuat tinggi tubuhnya turun karena sedikit membungkuk. Napasku memberat melihat keadaan mereka berdua.
“Apa yang terjadi?” tanyaku spontan.
“Minggir,” kata Dave membuatku segera menyingkir memberinya jalan.
Aku mengkuti di belakang hingga ke depan pintu kamar Steve dengan diam tanpa bertanya lagi.
“Buka pintunya,” perintah Dave lagi.
Aku langsung ke sampingnya untuk melakukan itu. Lalu setelahnya Dave membawa Steve masuk ke kamar dan membaringkannya di kasur. Dave lalu membuka sepatu Steve dan meletakkannya di lantai. Aku hanya menonton di depan pintu dan tidak ikut masuk, karena takut ini bukan wilayah yang bisa aku masuki.
Aku melangkah mundur untuk menyediakan ruang saat Dave keluar.
“Ayo kita bicara,” kata Dave saat keluar dari kamar Steve.
Aku mengangguk kaku.
“Aku tidak tahu apa yang kau lakukan sampai Mrs. Felton menjodohkan kalian berdua. Kau tidak punya hal yang istimewa kecuali orang tua kalian yang dulu punya hubungan lumayan dekat.”
“Itu harusnya kau tanyakan langsung pada Mrs. Felton,” balasku berusaha tenang ketika Dave memojokkanku seolah aku sama seperti perempuan-perempuan lain yang mengejar Steve.
Aku mengakui bahwa aku menyukai Steve bahkan mencintainya sampai ketika mengingat tentang perasaanku itu, rasanya sesak. Seolah perasaanku ingin meluap tapi tetap kutahan, dan itu tulus.
Dulu, mungkin aku tertarik dan menyukai Steve karena apa yang dia miliki seperti fisiknya dan sifatnya meski dulu kami hanya sebatas tetangga yang tidak pernah bermain bersama karena Steve yang sibuk belajar. Tapi, sekarang aku mencintainya apa adanya. Sekali pun aku membayangkan hal terburuk pada Steve, aku merasa tetap bisa mencintainya seburuk apapun situasinya.
Yah, tentu saja selain perilaku kejahatan. Jika Steve melakukan kriminal seperti itu maka aku akan langsung kecewa, dan mungkin bisa melupakannya. Tapi aku tahu, Steve tidak akan seperti itu. Steve adalah lelaki yang baik. Dan itu juga yang membuatku tetap setia padanya meski dia tidak pernah tahu dan meski perasaan ini sia-sia. Sangat sulit menemukan orang seperti Steve di zaman sekarang.
*****
Steve melihat jam di pergelangan tangan kanannya. Saat ini ia tengah berjalan di koridor menuju ruang makan. Saat tiba di sana, ia tidak melihat siapapun kecuali Robbie yang sedang memasak di dapur. Mungkin ia datang terlalu cepat.Steve lalu berbalik dan memutar langkahnya. Ia hendak mencari keberadaan Dave sekarang.Tapi ia tidak menemukan sepupunya itu di mana pun. Hingga akhirnya langkahnya berhenti di depan pintu studio yang terbuka.Steve melihat ke dalam ruangan dan menemukan Dave dan Helena di dalam studio. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu. Posisi mereka berdua berada di samping piano milik ayahnya.Steve melangkah masuk, namun langkahnya terhenti saat ia hampir mendekati Dave. Karena ia mendengar pertanyaan Dave."... Kau sadar jika Steve itu adalah orang yang setia pada pasangannya?"Steve terdiam."Ya, aku
"Lalu, untuk apa kau datang ke sini?" tanya Helena memandangi Dave yang tengah memandangi lukisannya."Aku tadi hanya jalan-jalan sebentar. Aku tertarik melihat bagaimana keadaan ruangan ini sekarang. Lalu berakhir masuk ke sini." Dave menjawab masih dengan memandangi lukisan Helena.Dave meneliti lukisan yang diselesaikan oleh Helena dengan nyaris sempurna.Lukisan wajah Steve yang tengah tersenyum. Dave bisa langsung tahu disaat ia melihatnya pertama kali. Mungkin semua orang yang mengenal Steve pasti bisa langsung menebaknya, karena lukisan Helena benar-benar tampak nyata.Dave tiba-tiba membicarakan hal yang tidak terduga."Helena. Mungkin pertanyaan ini terdengar sangat lancang. Tapi, aku akan tetap bertanya. Apa kau sadar, jika Steve itu, adalah orang yang setia pada pasangannya?"Helen
"Memangnya apa yang membuatnya marah?" Steve mengangkat alisnya. Merasa penasaran, di matanya, Helena adalah perempuan yang pendiam namun ramah. Pasti hal yang benar-benar besar hingga bisa membuatnya marah."Itu karena aku bertanya padanya, kenapa dia mau menyimpan barang yang kau beri itu, dari pada membuangnya." Dave menjawab dengan raut wajah dan nada bicara yang datar.Steve berkedip sembari memproses ucapan Dave. "Huh?" responsnya.Apa maksudnya? Steve benar-benar tidak mengerti."Dia tersinggung dan akhirnya marah," lanjut Dave.Steve menganga. "Tunggu dulu, Dave. Memangnya kenapa kalau Helen menyimpannya dan tidak membuangnya?"Bukannya pemberian seseorang itu memang harus disimpan, ya? Dan Steve juga memberikan gelas porselen itu bukan untuk dibuang.Dave mengangkat bahunya. "Aku hanya iseng bertanya seperti itu."
Dave menarik Helena ke kamarnya dari hadapan Steve. Ia lalu segera menutup pintu kamarnya dengan dirinya yang juga berada di dalam kamar. Meninggalkan Steve yang melongo sendirian di luar kamar Dave.Dave ingin mencegah Helena menjawab pertanyaan Steve. Meski sebenarnya Helena tidak akan bisa menjawab bahkan jika Helena ingin, karena ia terlalu gugup.Helena yang sudah berada di dalam kamar Dave merasa sangat terkejut dengan tindakan Dave. Ia melotot pada Dave yang sedang memunggungi pintu. Mereka berhadapan dengan Dave yang membelakangi pintu kamarnya."Jangan katakan yang sebenarnya pada Steve," ucap Dave lebih dahulu dan menatap tajam Helena dengan kepala sedikit menunduk karena Helena lebih pendek darinya.Helena menelan ludahnya gugup karena ditatap seperti itu oleh Dave. Ia tidak berani mendongak lebih lama untuk memandang wajah Dave."Aku juga tidak ingin melakukannya. Itu
Dave masih diam dan tidak menjawab pertanyaan Helena. Ia dan Helena saling menatap, tapi Helena menatapnya dengan pandangan kesal dan ia balas dengan pandangan datar.Mereka berdua masih saling memandang saat Steve masuk ke dapur dan melihat keduanya. Entah mereka berdua sadar atau tidak dengan keberadaan Steve, mereka masih saling melotot satu sama lain.Steve ingin bertanya apa yang terjadi tapi tindakan Dave membuatnya terkejut.Dave yang melihat aliran air dari keran yang terbuka, mendadak ia mengibaskan tangannya di aliran air itu hingga menyebabkan adanya percikan air yang mengenai wajah Helena.Steve saja terkejut, apa lagi Helena yang terkena cipratan air karena tindakan konyol Dave. Helena syok dengan reaksi Dave padanya.Padahal ia hanya meminta jawaban dari Dave tapi Dave malah memberinya percikan air keran ke wajahnya.
"Aku membuat ini, sebenarnya untukmu Steve," ucap Helena membuat Dave berhenti mengunyah potongan pie di dalam mulutnya. "Eh, untukku?" tanya Steve pada Helena dengan wajah terkejut. Helena mengangguk. Dave memandang lurus Helena, merasa perkataan Helena mengandung arti bahwa selain Steve, tidak boleh ada yang memakan pie apel buatan Helena. Dave mengerutkan alisnya. "Tapi kata bibi Emily tadi...." Dave masih ingat ucapan Emily. 'Saya ingin membawakan camilan untuk anda dan tuan muda Steve.' Jadi jangan salahkan Dave jika ia ikut makan pie apel buatan Helena. Dave merasa ia tidak melakukan kesalahan. Lagi pula jika ia bersalah, ia tidak sengaja melakukannya. "Sebenarnya ini adalah bentuk terimakasih dariku, sebagai balasan dari gelas porselen yang kau berikan itu, Steve." Helena menjelaskan ala
Steve memandang ponselnya selama beberapa detik. Seolah ia ingin memastikan nama penelepon yang ia baca itu tidak salah. Perlahan raut wajahnya berubah cerah. Senyum juga perlahan mengembang di wajahnya. Helena tertegun memandang Steve. Baru pertama kali ia melihat Steve tersenyum seperti itu. Bukan seperti senyum Steve yang biasanya. Steve tampak sangat bahagia hanya karena sebuah panggilan telepon. "Halo, Violet?" Steve mengangkat telepon itu. Violet? Helena bertanya dalam hati. Steve mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat pamit sebentar pada Helena. Paham dengan isyarat itu, Helena menganggukkan kepalanya. Steve berjalan menjauh dan Helena hanya menatap punggungnya. Sampai akhirnya Dave mengambil perhatian Helena. "Violet itu kekasih Steve." Dave berkata sembari menatap gelas porselen di tangan Helena. "Apa?" tanya Helena spontan. "Violet itu keka
"Steve?!" seru Nyonya Felton terkejut mendapati anaknya datang bersama Dave. Helena yang ikut menyambut kedatangan Dave juga sama terkejutnya. Ia bisa melihat Steve sedang membawa koper sama seperti Dave. Bukannya hanya Dave saja yang tinggal di sini? Lalu apakah Steve berubah pikiran? Helena membatin dengan sedikit berharap. Ia tiba-tiba gugup membayangkan akan bertemu Steve setiap hari. "Setelah ku pikir-pikir, aku juga ingin tinggal di kediaman dengan Mom." Steve mengelus lehernya dengan perasaan malu. Ibu Steve langsung saja memeluk dan mencium pipi anaknya. Sepertinya pemilik kediaman itu senang sekali karena akhirnya Steve bisa tinggal lagi di kediaman. Sebelumnya Steve hanya datang ke kediaman seminggu sekali. "Mom senang sekali!" "Mom!" Steve berusaha melepaskan tangan ibunya yang kini bergerak mencubit pipinya. Dave yang melihat tingkah anak dan ibu itu hanya tersenyum. Ia sudah terbiasa
"Badan Helen terlalu kurus. Jadi harus banyak makan." Ibu Steve menolak setuju dengan perkataan Dave yang mengatakan jika Helena akan gemuk dengan porsi makan seperti ini. Helena tertawa canggung. "Benar, aku juga tidak akan langsung gemuk hanya karena satu kali makan." Dave menarik satu sudut bibirnya. Tersenyum miring. "Kau yakin ini tidak akan terulang? Kau akan mulai tinggal di sini kan untuk seterusnya?" Pertanyaan Dave membuat Helena berpikir, jika satu kali ia memang tidak akan langsung gemuk. Helena menatap porsi makannya di atas piringnya. Tapi Nyonya Steve kemungkinan besar akan memperlakukannya seperti ini terus bukan? Dan saat itu mungkin tubuhnya akan melebar. Jangan salah jika mengira Helena takut gemuk karena peduli penampilan. Tapi sebenarnya ia sadar jika gemuk atau obesitas itu buruk untuk kesehatan di masa tua dan membawa banyak penyakit. "Mom, lain kali tidak perlu mengambilkan makanan untuk Helen. Siapa tah