Share

Bab 5

Aku tidak pernah berharap perasaanku untuk dibalas, tapi aku juga tidak berpikir untuk melupakan Steve. Dia adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dilupakan. Ini memang bodoh, tapi perasaan ini jugalah yang membuatku terjaga dari para lelaki yang mendekatiku, apa lagi yang hanya mencari kesenangan.

Aku hanya berharap, siapa pun itu, selama dia pria yang benar-benar baik dan bukan pria sembarangan, aku akan memberinya kesempatan. Tapi, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. 

Steve terkenal karena ketampanan dan kekayaan yang dia miliki. Tapi dia bahkan tidak pernah digosipkan pernah dekat dengan satu pun wanita, yang ternyata karena dia setia pada kekasihnya. Padahal jarak diantara mereka sangat jauh.

Sampai-sampai aku berpikir, sebenarnya sehebat apa wanita yang dicintai oleh Steve. Karena sudah pasti, banyak wanita cantik nan menawan yang mendekatinya tapi dia mengabaikannya. Mereka juga bukan wanita biasa dan punya berbagai keunikan dari penampilan hingga sikapnya.

Tapi, entah kenapa aku yakin. Kekasih Steve adalah perempuan yang baik, karena seperti yang biasa dikatakan. Laki-laki yang baik akan mendapatkan perempuan yang baik.

Berbeda dengan Steve, sepupunya yaitu Dave cenderung lebih apa, ya? Sebenarnya mereka sama-sama baik, dibuktikan dengan Dave yang berlaku sebagai kerabat yang perhatian. Hanya saja, aku merasa Dave membangun dinding di sekelilingnya sehingga sulit untuk didekati. Kalau Steve, dia lebih bijaksana dan ramah.

Sekarang aku bahkan berusaha mati-matian untuk tidak lari keluar apartemen dan tetap berusaha membalas tatapan Dave yang sangat-sangat menusuk. Yah, dia juga lebih dingin sikapnya dari pada Steve. Tapi itu mungkin terjadi karena dia sedang menahan amarah. Hal yang wajar, aku ingat sebelumnya dia orang yang cukup sopan saat pertama kali bertemu.

“Tetap saja, aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran Mrs. Felton. Tapi itu bukan berarti kau terpaksa juga, kan. Kau jelas setuju dengan ini, setuju ditunangkan dengan Steve. Saat aku tahu apa yang terjadi setelah menemui Mrs. Felton, aku langsung pergi mencarinya. Karena aku tahu inilah yang akan terjadi!” Dave menunjuk dengan sarat emosi ke arah Steve yang tidak sadarkan diri. Sebelah tangannya yang lain mengepal.

Tenggorokanku tersekat, wajahku sedikit kehilangan kontrol saat Dave mengatakan itu seolah itu salahku. Dan kemudian mataku sedikit perih, ketika sadar yang dikatakan Dave itu benar. Ini semua salahku. 

Aku dengan sekuat tenaga menahan air mata agar tidak menggenang di mataku. Aku tidak ingin memperlihatkan mataku yang berkaca-kaca pada Dave.

“Lalu bagaimana sekarang?” tanyaku lirih.

“Apa lagi? Tentu saja batalkan pertunangan kalian. Aku sangat mengenal Steve, dia pasti tidak bisa membantah ibunya. Meski Steve menolak dia tetap tidak berdaya jika berhadapan dengan ibunya karena dari kecil mereka tinggal bersama berdua saja sejak ayahnya meninggal.”

Aku akhirnya mengerti kenapa Steve tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, yang kadang lebih tegas pada keinginannya sendiri dari pada keinginan orang tua mereka jika menyangkut hidup mereka sendiri. Mrs. Felton sendiri juga lebih tegas pada anaknya, karena hanya Steve yang menjadi satu-satunya keluarga kandung.

Dulu aku tidak mengerti meski tahu dengan pasti ayah Steve sudah lama meninggal. Dan sekarang aku baru mengerti karena perkataan Dave menyadarkanku. Perkataannya berkali-kali berhasil membuat perasaanku campur aduk.

“Apa yang harus aku lakukan kalau begitu?” tanyaku lagi dengan perasaan sedih yang kentara. Aku hanya berharap Dave mengabaikan itu.

“Karena tidak mungkin Steve yang membatalkan rencana pertunangan kalian, maka kau yang harus melakukannya. Mrs. Felton pasti akan mendengarkanmu, iya kan? Kau pasti gampang mengubah keinginan Mrs. Felton.” Dave menjawab seperti yang aku duga. Aku harus bertindak.

Tapi itu tidak semudah yang dia katakan, karena itu aku menggeleng, mungkin sulit untuk membatalkan itu. Tapi mau bagaimana lagi jika akibatnya Steve menjadi seperti ini. Aku tidak berharap Steve menjadi seperti ini karena diriku sendiri.

Dave tiba-tiba mencengkeram kedua bahuku. “Kau bisa melakukan apa pun. Tapi yang satu ini, tolong lakukan demi Steve, demi dirimu juga.”

Aku meringis, “Aku akan berusaha,” balasku.

“Bagus.” Dave melepas cengkeramannya di bahuku.

Setelah itu aku diam dan tidak menatap Dave lagi. Kedua tanganku saling menggenggam. Aku berusaha menghilangkan gemetar di tanganku.

Gemetar yang terjadi selama percakapanku dengan Dave. Aku ingin ke kamar sekarang.

“Apa ada lagi?” tanyaku ragu-ragu pada Dave.

Dave menatapku membuat gugupku kembali datang.

“Aku akan bermalam di sini. Jangan berpikir untuk mengambil keuntungan dari keadaan Steve.” Dave menjawab, masih dengan nada tidak bersahabatnya yang membuatku menelan ludah.

Dan aku tidak terima dengan perkataannya yang seolah menuduhku macam-macam. Tapi aku tidak berani berdebat dengannya. Pembicaraan kami tadi sudah lebih dari cukup membuatku tertekan. Padahal kami tidak sedang berdebat, aku tidak membantahnya.

Aku bertanya, “Kalau begitu kau tidur di mana?” 

Saat aku berpikir Dave akan tidur di kamar Steve, Dave menjawab, “Aku akan tidur di sofa.”

“Oh, baiklah. Aku akan tidur juga sekarang,” pamitku pada Dave.

Dave tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu dan membiarkanku masuk ke kamar yang bersebelahan dengan kamar Steve.

Aku menutup pintu dengan perlahan lalu berbalik dan bersandar di pintu. Saat aku mengatur napas yang terasa berat, tanpa sengaja mataku melihat dengan kabur tumpukan paket yang sedikit lagi selesai diatur.

Aku berpikir dengan mata yang memburam karena air mata yang sudah menggenang, membuat semuanya tidak tampak jelas. Ah, sepertinya aku harus mengembalikan semuanya pada Mrs. Felton. Semua paket yang hampir selesai dikeluarkan dan diatur.

Tanganku mengepal.

Saat air mataku akhirnya menetes, aku segera membungkam mulutku dengan tangan yang tadi belum berhenti bergetar. Aku merasa suaraku tetap keluar meski kecil. Aku memutuskan langsung ke kasur dan meredamnya dengan bantal.

Dan malam itu aku habiskan untuk menangis menyalahkan diri sendiri lalu tanpa sadar tertidur setelahnya.

Ketika terbangun, aku bisa merasakan sedikit pusing dan mata yang juga sedikit sembap. Beruntung sembapnya menghilang ketika aku membasuh wajah dengan air dingin.

Lalu aku keluar kamar setelah memastikan penampilanku baik-baik saja dan terlihat seperti biasanya. Lalu di sanalah aku menemukan Dave yang sedang berbincang singkat dengan seseorang di depan pintu. Setelah orang itu pergi, Dave menutup pintu dan kami berpandangan selama beberapa detik ketika Dave berbalik.

Aku yang memutuskan pandangan dari matanya lebih dulu untuk melihat kantongan yang lumayan besar di tangannya. Itu terlihat berat.

“Apa itu?” tanyaku, memulai pembicaraan. Dave tidak langsung menjawab.

Dave menjawab setelah jeda sebentar, “Aku memesan sarapan untuk kita semua.”

Aku mengangguk, tahu persis keadaan dapur Steve yang tidak memiliki peralatan dan bahan untuk memasak. Dapur itu sudah pasti tidak terpakai untuk memasak, kecuali untuk menyimpan peralatan makan seperti piring dan lainnya, juga menyimpan minuman dan makanan kemasan. Ah, dapur pasti terpakai karena dapur tetap tempat untuk makan, itulah kegunaannya yang utama.

“Biar aku bantu,” ucapku mendekati Dave yang sudah meletakkan makanan itu di meja bar dapur.

Dave terdiam tapi tidak mencegahku untuk menata makanan di atas meja. Tidak ada percakapan sampai Dave ikut menata sarapan yang ternyata bayak jenisnya.

“Soal semalam, aku minta maaf jika menyakiti perasaanmu.” Dave membuat tanganku berhenti bergerak. Aku tidak terkejut jika diriku tidak siap membicarakan itu.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status