Share

Acara Syukuran Kehamilan Itu Ternyata Diperuntukan Untuk Wisnu

Keesokan harinya, Wisnu dan Septi berkunjung ke rumah Jihan dan Brata. Tak lupa membawa Rahmi dan Bagas. Di sana, mereka disambut loleh keluarga Jihan.

Wisnu dan Septi menyalami keluarga Jihan satu persatu. Tampak sekali sambutan hangat keluarga Jihan. Bahkan tidak segan, Marni ibunda dari Jihan terang-terangan memuji keelokan paras Bagas dan Rahmi yang mirip dengan Wisnu.

“Wah, ganteng dan cantik ya, anaknya . Enggak beda jauh dengan ayahnya yang ganteng. Semoga anaknya Jihan juga cakep-cakep. Jangan sampai deh meniru yang lain. Udah dekil, jelek, penggangguran lagi.”

Awalnya Wisnu terkesiap mendengarkan perkataan Marni. Yang agak sedikit frontal dan berlebihan. Apalagi, tidak jauh dari sana terlihat Brata yang terpaksa tersenyum. Wajah sahabatnya dari SMA itu tampak penuh akan beban. Padahal seharusnya dia bahagia di acara tasyakuran ini.

Meskipun, Wisnu dan Brata satu angkatan, tapi nasib merreka beda jauh. Wisnu sukses dengan karirnya sebagai kontraktor sukses. Sedangkan, Brata hanya pegawai kecil. Itu pun baru saja di-PHK dari pekerjaannya karena pandemic. Makanya keluarga Jihan seperti kurang menghargai dia.

“Iya, dong, Mah. Itulah alasan kenapa aku mengundang keluarga Mas Wisnu sekeluarga. Supaya cakepnya nular juga.”

Lebih-lebih Jihan menimpali. Tanpa beban. Seolah-olah tidak menghargai perasaan Brata di sana. Dia menantu laki-laki, tapi seperti tidak dianggap.

Acara tasyakuran dimulai, Wisnu mulai menemukan keganjalan. Hanya keluraganya saja yang hadir di acara ini, selebihnya, hanya keluarga Jihan dan saudaranya. Wisnu tidak punya keluarga lain, karena sejak lulus SMA, dia sudah kehilangan orang tuanya karena kecelakaan tunggal. Semenjak itu, dia hidup sebatangkara.

“Silakan dinikmati suguhannya.”

Marni begitu ramah dengan anak-anak Wisnu, begitupun kepada Wisnu. Sedangkan Septi yang hamil pun dekat dengan Jihan yang hamil juga. Marni tampak tidak terlalu memperdulikan Septi. Bahkan, dia tidak menanyakan mengenai kondisi kehamilan Septi sama sekali. Wisnu merasa kalau Marni hanya mengistimewakan dirinya. Lebih sering mengajak ngobrol dirinya.

“Oh iya, Mas, katanya kontraktor sukses ya? Ajakin Mas Ranggi kerja dong.”

Kali ini, Dina yang berbicara. Kakak kandung Jihan. Meminta supaya mengajak suaminya bekerja. Gelagat keluarga ini cukup aneh. Bagaimana kedatangan Wisnu ke rumah ini. Seperti sudah dianggap bagian dari keluarga mereka.

“Iya, nanti saya beri info kalau ada yang kosong.”

“Makasih banget ya, Mas. Udah karirnya bagus. Baik lagi. Tidak seperti  itu tuh. Pengangguran. Bisanya numpang saja sama istri.”

Dina berkata sinis tatkala Brata mendekat sambil membawa nampan berisi minuman. Wisnu miris melihatnya. Seorang suami tidak sepantasnya menyuguhkan minuman buat tamu begini. Yang harus melakukannya adalah istri. Apalagi sampai disindir-sindir dengan kata-kata pedas, baik sama ipar maupun mertuanya. Wisnu bisa merasakan betapa terinjak-injaknya Brata sekarang.

“Bro, duduk sini.”

Wisnu menepuk-nepuk karpet di sebelahnya. Mempersilakan Brata untuk duduk. Namun, langsung dicegah oleh Dina.

“Aduh, Mas. Ngapain sih ngajak dia duduk di sini. Bau badannya saja enggak enak. Pasti enggak sanggup beli parfum sama deodorant.”

Wajah Brata langsung merah padam dibuatnya. Terlihat rahangnya mengeras. Tangannya yang sedang memegang nampan itu mengepal. Namun, terlihat sekali kalau pria itu sedang menahan diri. Di permalukan di depan seluruh keluarga istrinya. Apalagi keluarga istrinya seperti menganggap hal itu biasa. Bahkan, tatapan mereka tampak meremehkan kepada Brata.

Hanya Wisnu dan Septi yang merasa kasihan melihat Brata, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih tepatnya bukan ranah mereka untuk ikut campur.

Setelah acara makan-makannya selesai, Wisnu pamit ke samping rumah untuk merokok. Tentu saja dia diam-diam. Karena kalau sampai ketahuan anak istrinya. Pasti langsung heboh.

Ketika Wisnu sedang menyalakan rokoknya. Dia dibuat terkejut dengan kemunculan Jihan. Wanita itu ternyata memperhatikan Wisnu sedari tadi. Mencari celah-celah kesempatan untuk bisa berdua. Dan sekarang, ketika Wisnu diam-diam keluar. Jihan pun menyusulnya.

“J-jihan.”

Wisnu tergagap. Kalau melihat wajah Jihan sekarang, Wisnu langsung teringat akan kejadian di rumahnya. Sebuah pengkhianatan yang dia lakukan tanpa sepengetahuan istrinya. Jihan memang memiliki daya tarik yang luar biasa yang bisa menggoda iman Wisnu.

Jihan sudah ada di dekatnya. Menarik tangan Wisnu. Mendekatkannya ke perut Jihan yang masih datar. Wanita itu tampak mengigit bibir. Memejamkan kata sambil berkata dengan nada mendayu.

“Sentuh anakmu, Mas. Seperti kamu menyentuhku di rumahmu.”

Wisnu langsung terkesiap. Pria itu langsung membuang tangan Jihan. Jihan sampai sedikit mundur.

“Kenapa Mas kasar sekali?”

“Apa maksudmu berkata begitu hah?”

Wajah Wisnu berubah pias. Iya, bagaimana tidak pias. Jihan mengatakan bahwa anak yang ada di dalam kandungannya itu anaknya. Padahal saat itu, Wisnu hanya melakukannya sekali. Itupun Wisnu sangat menyesal.

“Ini, anakmu, Mas. Kita sudah melakukannya hari itu. Jangan bilang kamu lupa ya!”

Wisnu terdiam. Lidahnya kelu untuk menjawab. Pada saat itu, Wisnu memang terpancing oleh Jihan yang tiba-tiba menggunakan pakaian seksi, ketika Septi sedang arisan di area kompleks. Memang semua adalah kecerobohannya. Harusnya dia bisa kuat iman. Kalau bisa membentak Jihan. Seperti yang sering dia lakukan kepada wanita-wanita genit yang selama ini ingin dekat dengannya. Bahkan, Wisnu tidak pernah menjawab pesan di sosial media sama sekali dari para wanita kesepian.

Namun, entah kenapa di hadapan Jihan yang cantik ini, Wisnu tidak berdaya. Terpaksa dia menggagahi Jihan dengan sangat brutal. Benih bertebaran di ladang kering Jihan.

“Kita baru melakukannya sekali. Masak langsung jadi.”

“Terus siapa kalau bukan Mas? Brata lelaki tidak berguna yang mandul itu?”

“Tapi, kita melakukannya karena sebuah kekhilafan, Jihan. Seharusnya tidak boleh jadi.”

“Enak saja kamu berkata begitu! Berani berbuat harus berani bertanggung jawab.”

Tiba-tiba, Marni muncul dari dalam rumah. Rupanya sedari tadi wanita tua itu menguping pembicaraan mereka.

“Tapi, kita melakukannya atas dasar ketidak sengajaan, Bu.”

“Atas ketidak sengajaan, tapi kamu sudah buat anak saya mengandung benih dari kamu!”

Wisnu mengusap wajahnya dengan kasar. Rokok yang dijepit di tangannya entah kemana jatuhnya. Dia tidak memikirkannya lagi. Sekarang bagaimana akalnya untuk menyelesaikan permasalahan ini.

“Baik, Bu, Jihan. Saya akan bertanggung jawab. Setiap bulan saya akan kirim uang demi kebutuhan bayi itu.”

“Kamu pikir anak saya hanya babu yang kamu minta mengurus anak kamu.”

“Terus mau ibu bagaimana?”

“Nikahi Jihan.”

Wisnu menelan ludah. Hal yang tidak pernah terbersit di benaknya adalah menikahi Jihan. Sahabat istrinya. Juga,  Istri dari sahabatnya juga.  

Apa akal sekarang? Tidak mungkin dia akan menduakan Septi. Baginya bersama Septi dan kedua anaknya sudah lebih dari cukup dan sangat bahagia. Tidak perlu ada wanita lain. Tapi, bagaimana kalau wanita lain itu hamil anaknya?

“Mohon maaf sekali, Bu. Saya benar-benar tidak bisa menikahi Jihan. Ibu tahu sendiri kan kalau Septi sedang hamil. Saya juga tidak mau mengecewakan kedua anak saya yang masih kecil. Saya takut kalau mereka membenci bapaknya karena ayahnya yang menikah lagi.”

“Saya tidak peduli! Pokoknya saya minta kamu menikahi Jihan! Kalau tidak saya akan beberkan rahasia ini kepada Septi dan seluruh keluarganya. Biar sekalian saja, kamu bercerai  sekalian sama Jihan.”

“Ok, baik. Saya akan menikahi Jihan. Tapi tolong jangan kasih tahu Septi dan keluarganya.”

“Maksudnya, Mas mau menikahi saya diam-diam alias siri gitu? Aku enggak mau Mas. Aku maunya resmi!”

Jihan histeris. Membuat Wisnu panik. Pria itu langsung memberikan kode kepada Jihan supaya tenang. Namun, karena pada dasarnya Jihan berwatak keras. Tidak tidak memperdulikan apapun. Bahkan, kalau bisa biar semua orang mendengarnya.

Benar saja, teriakan Jihan mengundang perhatian orang-orang di dalam rumah. Mereka langsung berhamburan di samping rumah. Seluruh keluarga Jihan. Begitupun juga dengan Septi dan kedua anak Wisnu.

Tiba-tiba, Jihan berhamburan ke kaki Septi. Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Lebih tepatnya berpura-pura menangis.

“Septi, maafkan aku, Septi.”

“Maaf untuk apa ya, Jihan?”

Septi masih belum menangkap apa yang sebenernya terjadi. Persitegang apa di antara Marni, Septi, dan Wisnu sampai-sampai Jihan teriak histeris dan menyembah di bawah kakinya.

“Berdiri Jihan, jangan begini.”

“Enggak, Septi. Aku merasa bersalah. Aku sudah mengkhianatimu.”

Wisnu langsung gelagapan Jihan berkata begitu. Wajahnya pias. Jantungnya berdegup kencang. Was-was kalau Jihan membuka semuanya.

Semuanya tampak terkesima melihatnya. Bagaimana Jihan jatuh di kaki Septi sambil menangis buaya.

“Enggak apa-apa, Jihan. Ayo berdiri. Kita bicarakan baik-baik.”

“Enggak ada yang perlu dibicarakan baik-baik, Septi. Suamimu ini sudah menghamili anak saya.” Marni langsung menyambar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
ternyata jihan dan kluarga nya jahat semua ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status