‘Mas, jangan lupa hadir di acara syukuran kehamilanku.’
Wisnu terkesiap membaca pesan dari Jihan. Bagaimana tidak? Sepertinya baru kemarin dia menginap di sini. Sekarang dia mengabarkan kalau dirinya hamil.
‘Kok bisa?’
Wisnu masih diliputi ketidakpercayaan. Dia membaca berkali-kali pesan itu. Berharap kalau pesan dari itu salah.
‘Kamu serius hamil?’
‘Iya, Mas. Sebentar, aku kirim gambar testpack-nya ya.’
Tidak berapa lama, dia mengirimkan sebuah gambar. Dua garis merah di alat itu. Menegaskan kalau Jihan benar-benar hamil.
Wisnu mengusap wajah dengan kasar. Kepanikan melandanya saat itu. Dia ingat betul. Brata, suami Jihan divonis kelainan hyprotoid. Yang menyebabkan kualitas dari sperma-nya rendah. Hal itulah yang menyebabkan Jihan sulit hamil, sehingga sering terjadi percekcokan di antara mereka. Puncaknya, setelah lebaran, di mana keluarganya berkumpul. Pasangan Brata dan Jihan menjadi pergunjingan di antara mereka. Jihan yang tidak kuat melarikan diri ke rumah Wisnu dan Septi. Septi memang sudah bersahabat lama dengannya meminta izin kepada Wisnu untuk menampung Jihan walau sebentar. Wisnu pun tidak keberatan.
Di tengah kemelut pikiranku, tiba-tiba, Wisnu melihat Septi, istrinya. Masuk ke dalam ruangan kerja. Senyum yang selalu tampak manis dia tunjukan. Wisnu melihat perutnya yang agak membesar. Mengandung anaknya yang ketiga.
Wisnu agak gugup meletakan ponsel di atas meja. Dia menata diri sejenak, baru kemudian Menyambut kedatangan istrinya dengan senyuman.
Septi sudah berdiri di sampingnya. Agak menundukkan badannya. Tangannya yang mulus itu merangkul leher beton Wisnu. Menggelantung di depan kedua bongkahan dadanya.
“Serius amat, Mas. Wajahnya sampai tegang begitu?”
Pertanyaan Septi sangat santai, tapi entah kenapa seperti menohok hati Wisnu.
“Enggak apa-apa, Sayang. Sebentar lagi selesai kok.”
Wisnu menjawab singkat. Memang pada saat itu, Wisnu sedang mengerjakan pekerjaan kantor tatkala Jihan kirim pesan begitu.
“Oh iya, Mas. Besok kita diundang ke acara syukuran kehamilan Jihan. Aku seneng banget akhirnya dia bisa hamil, Mas.”
Wisnu hanya nyengir mendengar perkataannya. Jihan yang hamil, tapi entah kenapa jiwanya yang bergolak. Apalagi kalau teringat akan kejadian panas beberapa saat yang lalu di rumah ini.
“Syukurlah.” Wisnu menanggapi sekedarnya. Menunjukan ekspresi wajah datar. Dia tidak ingin Septi menangkap kegelisahan di wajahnya.
Wisnu memegang tangan mulus istrinya yang menggantung di depan dadanya. Mendekatkan ke bibirnya dan menciumnya. Dua kecupan di punggung tangannya. Baru kemudian, beralih ke pipinya yang berada dekat di samping kiri Wisnu. Terlihat Septi memejamkan mata. Menikmati kecupan mesra dari sang suami tercinta. Sungguh Wisnu selalu menginginkan momen kemesraan terus seperti ini.
“Makan dulu, Yuk. Anak-anak sudah menunggu.”
“Sebentar ya, Sayang. Aku selesaikan ini dulu.”
“Kalau kerjaan enggak ada habisnya, Mas. Ayolah makan dulu.”
Septi merajuk. Wisnu terkekeh melihatnya. Wajah istrinya selalu menggemaskan. Sama seperti pertama kali kita bertemu sewaktu SMA. Namun, Wisnu jadi ragu apakah kedepannya dia bisa melihat wajah istrinya yang manja begitu? Aku membatin miris.
“Sebentar saja kok. Nanti, aku nyusul ke bawah.”
Mendengar perkataan Wisnu, Septi hanya mendengus pelan. Dia sangat tahu tabiat sang suami yang tidak suka setengah-setengah dalam pekerjaan.
Wanita itu bangkit. Berjalan meninggalkan Wisnu. Pria itu langsung mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Menyegarkan pikiran yang sedang kalut.
Wisnu menghisap rokok pelan saat istrinya berbalik arah. Sepertinya dia mendengar suara korek yang menyala. Terlihat wajah cantiknya itu memicing ke arah Wisnu.
“Tuh, kan. Malah rokokan.”
Wisnu memang berjanji dengan istriku Septi untuk berhenti merokok. Memang permintaan dari sang jabang bayi. Calon anak ketiga mereka. Namun, apalah daya. Pria itu butuh rokok untuk menenangkan pikiran yang sedang kacau.
“Sebatang saja, Sayang.”
“Sama saja!”
Septi lenyap dari balik pintu. Wisnu yang masih menghisap rokok pun menyandarkan punggungku ke sandaran kursi putar. Bergerak sedikit ke kanan ke kiri. Pandangannya melihat ke awang-awang.
Tidak berapa lama kemudian.
“AYAH! ROKOKAN TERUS YA!”
Wisnu langsung menegakkan badan. Terlihat Rahmi, anak keduanya muncul di ambang pintu. Wajah imutnya cemberut memandang Wisnu. Ini pasti ulah Septi yang memintanya menyusul. Supaya bisa berkumpul di meja makan.
“Iya, Sayang. Ayah matikan.”
Rahmi adalah senjata pamungkas Septi. Dia tahu kalau Rahmi yang minta. Pasti Wisnu langsung mematikan rokoknya.
“Ayo makan, Yah. Rahmi sudah lapar.”
Wisnu menghela nafas. Tak kuasa menolak kalau anaknya sudah begitu. Langsung saja dia menyimpan data hasil kerjanya di komputer. Pekerjaan yang sebenernya sudah selesai. Tinggal mengecek saja. Tapi, enggak apalah. Dia akan periksa nanti saja.
Rahmi langsung menarik tangan ayahnya begitu ayahnya berdiri. Menuntun menuju ruang makan di mana sudah ada Septi dan Bagas, anak sulung, dan Bik Ratih. Asisten rumah tangga yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.
Wisnu termenung sesaat. Di salah satu kursi, biasanya ada Jihan yang duduk sambil memamerkan wajahnya yang sensual. Hatinya bergemuruh.
“Anak siapa yang dikandung Jihan sebenarnya?”
“Bayinya cantik sekali, Bu,” ucap Dokter sambil mendekatkan bayi yang bersih dan sudah terbalut dengan kain di dekat Septi. Septi yang sudah tidak sabar mengulurkan kedua tangannya, sehingga bayi itu beralih ke gendongannya. Dokter itu pun pergi meninggalkan mereka sementara.Septi tidak kuasa menahan haru melihat seorang putri mungil yang sedang menggeliat kecil. Gerakan kehidupan yang menambah kebahagiaan bagi keluarganya. Ekspektasi suaminya terkabul. Bayi yang sekarang ada dalam gendongannya adalah perempuan. Dan wajahnya cantik sekali mewarisi dirinya.“Pratiwi Nagara,” sebut Septi, sesuai dengan nama yang telah disiapkan Brata. Seakan merasakan batin sang ibu, bayi itu menangis. Septi segera menimangnya dan mencium pipi bayi kemerahan itu. Airmatanya tertumpah di sana.Sedangkan Alex memandangnya penuh keharuan. Sebuas apapun dirinya, kalau dihadapkan dengan pemandangan seperti ini pasti luluh juga. Dia yang tadi menyaksikan Septi yang berjuang bertaruh nyawa, hingga lahirlah ke
Brata kembali meringkuk di balik jeruji besi. Pakaian yang dia kenakan adalah tahanan. Dia tidak menyangka seorang predir yang begitu terhormat sekarang tidak ubahnya sampah masyarakat yang tidak berguna. Imbas dari sikapnya yang terlalu arogan.Dalam diamnya, dia menyesali atas semua yang terjadi. Kepalanya dipenuhi oleh pengandaian yang tidak mungkin terjadi. Perasaannya terlalu tertutup oleh bayang-bayang Delinda. Entah kenapa dia sulit untuk melepas bayang-bayang wanita itu.Kejadian di restoran itu kembali tergiang di benaknya. Wanita yang mengaku Merlinda itu sangat mirip dengan Delinda. Kalau dipikir secara logika, apa yang diucapkan Merlinda itu cukup masuk akal. Dia menikah dengan Warren setelah sekian lama sampai mempunyai seorang anak, Jelas sangat mustahil kalau dia adalah Delinda yang masih selamat dari kecelakaan dan kemudian amnesia. Dan dia sudah seringkali mengecek di sebuah situs penerbangan kalau tidak ada korban yang berhasil ditemukan lagi, bahkan jasadnya tidak.
“Pak Brata, Halo. Halo,” ucap Rangga saat panggilannya berhenti secara sepihak. Dia mendecak kesal pandangannya tertuju ke arah ruang bersalin di mana di dalamnya sudah ada Alex yang ikut masuk ke dalam ruangan tersebut.Beberapa saat yang lalu, suster keluar dan bertanya siapa suami dari Septi, Alex yang tidak tahu diri langsung menerobos masuk. Bahkan, sebelum dia bisa mencegah. Alhasil, sekarang Septi berjuang ditemani dengan cecunguk bedebah itu.Rangga tahu kalau tidak mungkin Brata datang hari itu juga karena sedang berada di dalam penjara. Maka perlindungan terhadap Septi jatuh kepadanya sebagai orang kepercayaannya. Persoalan rumah tangga memang rumit dan Rangga justru sering berkecimpung dalam urusan rumah tangga majikannya.“Pak Rangga,” ucap Dinda yang mengejutkannya, dia muncul sembari merangkul Bagas di sampingnya yang terlihat mengantuk.Rangga memaksakan untuk tersenyum. Dia menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Bagas,”Kamu mengantuk ya? Om minta anak buah om untuk
“Ya Ampun, Brata kamu kenapa?” tanya Jesica khawatir saat melihat Brata duduk di hadapannya. Dia baru bisa bertemu dengan Brata setelah menunggunya sadar dari pingsan, sampai sebuah insiden yang membuat Brata babak belur seperti ini.“Ini gara-gara para bedebah yang ada di dalam penjara itu, Ma. Awas saja kalau aku sudah keluar dari penjara. Akan kulenyapkan mereka dalam sekejap,” gerutunya dengan gusar. Jesica menghela nafas. Lagi-lagi Brata berbuat ulah seakan merasa dialah yang terbaik. Arogansi yang cenderung merugikan dirinya sendiri.“Brata, Stop it! Itu mungkin karena kamu yang membuat ulah duluan, makanya kamu bisa babak belur seperti ini.”Brata menatap Mamanya tidak percaya,”Kok Mama belain mereka. Aku Ini Presdir. Seharusnya pada begundal itu hormat kepada saya, bukannya berbuat kurang ajar!”Jesica menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengurut dada melihat anaknya yang masih keras kepala atas kesalahannya. Tidak mau kalah dan mengalah.“Sekarang, Lebih baik Mama bilang kepada
Brata terbangun dari tidurnya. Begitu merasa berada di tempat yang asing, dia terhenyak. Dia memegang kepalanya yang masih terasa pusing.“Jeruji besi?” gumamnya. Dia mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Astaga apa mungkin karena kesuruhan itu, dia dijebloskan penjara.“Woi! Get me out from this fucking place!” teriak Brata sambil memegang dua tabung besi. Menghardik petugas yang kebetulan lewat.“Shut up!” pekik tahanan yang lain. Brata menengok ke belakang. Terlihat lima tahanan tengah berdiri dengan raut wajah yang sangat. Demi apapun, tidak pernah terlintas di benaknya berada satu sel dengan para berandal. Dia adalah pria yang sangat terhormat. Sangat tidak selevel berada di tengah-tengah mereka.“Apa? Berani kalian dengan Saya!” hardik Brata dengan arogan. Merasa tersinggung dengan kelakukan penghuni baru itu, mereka saling pandang. Baru kemudian, mereka langsung sikap untuk menghajar Brata.“Heh! Apa-apaan ini!” ujar Brata panik saat kedua tangannya dicekal oleh dua pria bertu
Selepas makan malam, Septi termenung di atas ranjang. Sesekali, dia menengok ke samping di mana suaminya biasanya terbaring. Sudah beberapa malam ini, dia melaluinya tanpa terlelap. Tidurnya tidak tenang bahkan sering terbangun. Kalau sudah begitu dia teringat dengan Brata dan menangis sepanjang malam.Septi adalah wanita yang kuat. Tapi, sekuat apapun wanita pasti akan lemah karena kehilangan sosok pria yang biasa menaunginya. Seperti malam ini, dia sangat rindu mengoceh di depan Brata, sedangkan Brata mendengarkannya dengan tatapan seksama. Juga di kala dia mengantuk, maka Brata dengan sigap memberikan tangannya sebagai bantal dan Septi bisa memeluknya dengan leluasa, mencium aroma suaminya yang menenangkan sampai dirinya terlelap.Matanya menghangat. Namun, dia mencoba sekuat tenaga untuk menghalau tangisnya lagi. Ingin rasanya salah faham ini cepat selesai supaya hubungannya dengan Brata kembali seperti yang dulu. Tetapi, bagaimana mungkin bisa? Sementara Brata berada nun jauh di