Share

Sepuluh

Agnia datang ke ruangan Jefri karena Aina memintanya untuk menemui Jefri. Namun, pria di hadapannya itu masih berkutat dengan ponselnya.

“Sial!”

Agnia terkesiap saat tiba-tiba saja Jefri mengumpat. Sang bos pun lupa jika Agnia sudah berada di depannya. Jefri langsung meminta maaf dan fokus pada Agnia. Sejak tadi ia mencoba menghubungi Bianca—kekasihnya, tapi tak ada jawaban. Sejak semalam Bianca tak mau menerima telepon darinya karena marah akibat ia lupa menjemputnya.

“Maaf, ada sesuatu yang membuat saya kesal. Bagaimana kondisi Leon?” tanya Jefri.

“Sudah lebih baik, demam sudah turun.” Agnia menjelaskan.

Agnia terdiam sesaat, Agra saja tidak peduli dengan Leon. Akan tetapi, Jefri terus saja bertanya dengan keadaan Leon. Apa itu yang di namakan ikatan batin pikir Agnia.

“Syukurlah kalau begitu. Di sana siapa yang menjaga?”

“Mamaku dan akan ada suster yang dulu merawat Leon.”

Jefri merasa lega, sepertinya benar kata Agnia. Ikatan batin di antara mereka sangat terlihat. Apalagi saat Leon menangis dan Jefri menenangkannya.

Agnia kembali ke ruangan karena Jefri sudah memintanya untuk bekerja. Ia kembali membuka file tentang Agra. Ia melihat baru kemarin pria itu menandatangani kontrak dengan perusahaannya.

Jefri kembali memanggil Aina ke ruangannya.

“Ada apa, Pak?” tanya Aina.

“Pak Agra ini, klien yang saya minta Heru temui?”

“Iya, Pak. Pa Agra dari PT Sumber Waras. Mereka sudah deal kontrak.”

Jefri melihat profil Agra, cukup menarik karena Agra sangat bagus dalam berbisnis. Jefri kembali ke laptop dan mencari situs online dari Agra.

“Pak, saya boleh ke ruangan saya?” tanya Aina.

“Boleh.”

Agra kembali memperhatikan I*******m Agra. Di sana benar ada foto dirinya bersama Leon dan Agnia. Mereka seperti keluarga bahagia, tapi Jefri bingung kenapa Agra tidak ada di saat Leon sedang sakit seperti kemarin.

Jefri menyandarkan tubuh di sofa. Ia menatap ruang kerjanya, kembali ia teringat Bianca—kekasihnya. Pertengkaran malam itu membuat mereka sedikit renggang. Apalagi Bianca seperti menjaga jarak darinya.

“Aki tidak bisa menikah denganmu untuk saat ini, Jef. Ada kontrak selama tiga tahun, jika aku menikah denganmu, bukankah ibumu meminta seorang cucu? Dan aku nggak bisa karena nanti bentuk tubuhku menjadi tidak ideal, kamu mengerti bukan?”

“Lalu, mau di bawa sampai kapan? Tiga tahun kontrak kamu, apa aku harus menunggu selama itu?”

Bianca membingkai wajah Jefri. Wanita cantik berambut pirang itu mencoba menenangkan kekasihnya.

“Hey, kita sudah 2 tahun sama-sama, masa untuk tiga tahun saja kamu tidak sanggup?” Bianca terus meyakinkan Jefri.

“Bi, kekayaanku tidak akan habis, untuk apa kamu masih mencari uang?”

“Sayang, menjadi model internasional adalah keinginanku. Lagi pula, aku akan membuktikan sama keluarga kamu, mereka nggak suka sama aku, apalagi Farha. Kamu tahu itu, kan?” Bianca menarik napas panjang.

Keluarga Jefri memang tidak menyukai Bianca karena dia adalah seorang aktris dan model. Mereka tidak mau ada skandal yang akan merusak nama baik keluarga. Sang ibu meminta Jefri untuk mencari wanita lain, agar tidak mudah terekspose media.

“Semua bisa aku atur, aku bukan anak kecil. Mereka tidak berhak atas hidupku.”

Semua penjelasan Jefri percuma. Bianca tetap kekeh dengan mimpi dan impiannya. Sampai detik itu pun tidak ada kesepakatan antara mereka. Hubungan mereka terlihat mengambang karena Bianca yang tak siap menikah.

Ponsel Jefri berdering sejak tadi, pria itu tersadar dari lamunan.

“Iya, ada apa?” tanya Jefri pada si penelepon.

“Saya sudah mendapatkan beberapa rambut anak itu, Pak Jefri bisa kapan saja datang ke rumah sakit.” Suara perempuan di seberang telepon membuat Jefri semringah kembali.

Ia mengutus seseorang untuk mengupayakan untuk dirinya bisa tes DNA Leon dengan cara apa pun. Mereka melakukan dengan sangat jeli, tidak tahu bagaimana semua berjalan mulus.

“Kami akan mengusahakan dengan tes darah agar bisa hasil bisa ke luar dalam 24 jam,” ucap perempuan itu lagi.

“Kerja bagus, saya akan transfer sejumlah uang.” Setelah itu, Jefri menutup ponselnya.

Gegas pria itu beranjak dari kursi dan melakukan kegiatan pengelolaan perusahaan sebelum ia pergi ke rumah sakit. Jefri mendatangi ruangan Agnia, ia melihat wanita itu sangat serius mengerjakan pekerjaannya. Bagian marketing tidak ada jadwal ke luar perusahaan hati itu, mereka sibuk mengolah data dan meeting tentang strategi sasaran penasaran perusahaan.

Jefri kembali memeriksa divisi lain, sebisa mungkin sebelum ke rumah sakit bos besar itu menghandel perusahaan lebih dahulu. Selama ini hidupnya hanya untuk bekerja karena wanita yang ia cintai pun terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mimpinya.

***

Pukul 12.00 Agnia bergegas merapikan pekerjaannya kemudian pamit untuk pergi sebentar pada teman rekan kerjanya. Perutnya terasa lapar, tapi ia tak peduli karena harus cepat bertemu dengan Agra. Demi Leon juga nasib rumah tangganya.

Dari kejauhan Jefri melihat Agnia menaiki sebuah taxi online. Pria itu ingin tahu hendak ke mana Agnia pergi. Namun, ia juga dikejar waktu untuk tes DNA Leon. Jefri meminta sopir untuk melajukan mobil kembali.

Sementara, Agnia berharap bisa menemui Agra kali ini. Dengan bantuan temannya yang bekerja di kantor Agra, ia bisa tahu jika sang suami masih berada di kantor itu karena ada meeting dengan kliennya.

Jalanan ibu kota seperti merestui Agnia bertemu dengan Agra. Perjalanan sangat mulus hingga ia bisa sampai dengan cepat. Gegas ia membayar taxi dan langsung turun menuju ruangan sang suami.

Hana melihat kedatangan Agnia, wanita yang bekerja sebagai sekretaris Agra itu mencoba menghalangi kedatangan Agnia.

“Mau cari siapa?” tanya Hana.

“Hana, kamu lupa jika aku istri dari bos kamu?” Agnia memasang badan dengan tegas.

“Aku tidak lupa, tapi apa kamu yang lupa jika statusmu akan berubah?”

Agnia merasa kesal, ia berpikir jika Hana salah satu orang yang akan menghalanginya juga. Sejak lama ia curiga jika wanita yang berprofesi sebagai sekretariat sang suami, memiliki rasa pada Agra.

“Jangan banyak bicara kamu Hana, aku mau masuk.”

Agnia tidak peduli saat Hana menghadangnya. Ia mendorong wanita dengan blouse coklat itu hingga tersudut. Ia langsung menerobos ruang kerja Agra, sedangkan Hana mencoba mengejar Agnia yang sudah berhasil masuk ke ruangan bosnya.

“Pak, saya sudah bilang kalau—“

“Biarkan dia masuk. Silakan kamu keluar,” pinta Agra.

Wajah Hana masam saat Agra memintanya ke luar. Wanita itu segera mengambil ponsel dan melaporkannya pada Bu Sukma.

Di dalam ruangan kedua pasangan itu saling diam. Keheningan itu terjadi karena mereka tidak ada yang memulai bicara.

“Leon sakit, sejak kemarin aku mencoba menghubungimu. Tolong jenguk dia, Leon selalu menyebut namamu,” ujar Agnia memecah kesunyian.

Agra tersenyum sini mendengar penuturan Agnia. Pria dengan lesung pipi itu beranjak dari kursinya. Ia berdiri menyender di ujung meja sembari menghadap Agnia.

“Lalu, apa hubungannya denganku?” tanya Agra dingin.

“Mas, kamu ayahnya, wajar dia bertanya tentang kamu dan rindu padamu,” ucap Agnia.

“Aku bukan ayahnya dan kamu tahu hal itu, bukan?”

“Mas, jangan ungkit masalah itu lagi. Bukannya kamu mengatakan jika Leon anak kamu? Kenapa kamu menjadi berubah?”

Agra menarik napas dalam, ia menatap penuh kebencian pada Agnia. Pikirannya penuh dengan dendam dan emosi. Sebuah kekecewaan yang ia rasakan pada Agnia.

“Aku berubah karena kamu, lagi pula bukannya ayah biologisnya Leon sudah kembali dan menggantikan aku di rumah sakit itu, untuk apa kamu mencariku lagi?”

Deg, suasana hati Agnia menjadi kacau mendengar penuturan Agra. Bagaimana ia tahu jika Jefri datang dan mengurus Leon kemarin? Agnia memejamkan mata, ia sudah mengerti pasti ada yang membuat Agra tersulut emosi. Atau jangan-jangan sang suami sudah datang dan melihat semuanya, pikir Agnia dalam hati.

“Mas, tolong percaya padaku. Masalah Gio pun, aku tidak ada apa-apa. Demi Allah, Mas. Aku hanya menganggap Gio adik iparku. Aku nggak pernah merayunya,” tutur Agnia penuh harap.

“Nggak ada maling yang mengaku. Aku sudah mengurus semuanya, jika surat perceraian kita datang, tolong tanda tangani,” ucap Agra.

“Mas, aku nggak mau cerai sama kamu. Leon masih butuh sama kamu,” pinta Agnia lagi.

“Leon tidak butuh aku, dia butuh ayah kandungnya.”

Tangis Agnia pecah, tapi ia tak mau terlihat lemah. Melihat sikap Agra yang menyudutkannya membuat ia tak berdaya. Seperti apa pun ia menjelaskan, semua tidak akan berpihak padanya. Entah bagaimana bisa Agra yang baik dan penyayang menjadi begitu kasar dan mudah terpengaruh.

“Terserah apa kata kamu, Mas. Tapi ingat, jangan menyesal jika suatu saat kamu tahu aku tidak bersalah. Terima kasih untuk semua pengorbanan kamu, aku permisi.”

Agnia mengusap bulir bening di pipi, ia melangkah dengan hati penuh luka dan hancur. Ia datang berharap bisa kembali membawa hati Agra yang bilang, tetapi malah hatinya ikut tersayat.

Agnia bertatapan dengan Hana, wanita itu seperti mentertawakan dirinya. Senyum bahagia saat melihat Agnia ke luar dengan wajah sembab.

“Sudah aku bilang kalau kamu akan menjadi mantan istri, masih berani datang ke sini.” Hana berucap sangat tajam.

“Aku tidak peduli, setidaknya aku bukan wanita berhati iblis seperti kamu!” Napas Agnia naik turun saat ia mulai emosi dengan wanita itu.

Agnia melihat jam dinding, waktu makan siangnya akan habis. Ia memilih meninggalkan kantor Agra dengan cepat. Ia hampir gila jika lama berada di sana. Keputusan Agra menceraikannya begitu menusuk jantung.

Ia wanita kuat, tidak akan mengemis saat dirinya terinjak-injak. Jika itu kemauan Agra, ia hanya bisa menuruti saja. Semua tidak bisa di kembalikan seperti semula begitu juga hati yang terlanjur tersakiti.

***

Bersambung

Komen (17)
goodnovel comment avatar
Marcos
mana kelanjutanya
goodnovel comment avatar
Marcos
lumayan seru, enak dibaca
goodnovel comment avatar
Dha Yulliet Fitria
keren....keren.....abis....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status