Faryn bangun masih dalam keadaan dongkol karena serangan balik Hakam semalam. Bisa-bisanya pria itu mencuri kesempatan di saat ia tengah serius mengusir. Tapi, meski begitu, anehnya tidur malam kemarin terasa lebih nyenyak dan menenangkan setelah ciuman yang diberikan adik dari Lintang itu.Jari telunjuk dan jari tengah Faryn meraba bibir bawahnya yang semalam terasa menggelitik. Masih bisa ia ingat bagaimana rasanya saat bibir mereka berdua menempel. Dan selintas kejadian semalam kembali mampir di kepalanya. Kali ini ciuman itu lebih lembut dibanding yang pertama.Faryn langsung menggelengkan kepala. Ia tidak ingin mengingat itu. Dia harus segera mempersiapkan diri untuk bekerja dengan orang paling dibencinya. Suasana hati yang tadi sempat membaik, sekali lagi dipenuhi dengan emosi yang bercampur."Kamu udah mau berangkat?" tanya Hakam dengan suara parau khas orang bangun tidur.Faryn yang tengah mengambil segelas air putih hangat dengan pakain yang sudah rapi dan siap berangkat."Hm
Selama perjalanan pulang, Faryn tidak berhenti memikirkan cara supaya mendapatkan posisi yang lebih 'dekat' dengan target sekaligus atasannya. Jiak memang harus menyingkirkan sekertaris pria itu, ia pasti melakukannya.Tidak peduli jika dirinya akan menggunakan cara yang sama kotornya dengan yang dilakukan Bahari dulu saat akan menyingkirkannya. Baginya, dendam ini harus dibayar tuntas selama ia hidup."Tapi, bagaimana, ya?" gumamnya pelan.Setelah merasa tidak memiliki banyak pilihan lain, Faryn sampai pada keputusan bulatnya. Ia akan merebut posisi sekertaris itu apapun caranya.Saat membuka pintu rumah, wajahnya yang tadi kebingungan berubah melongo. Rumah yang biasanya rapi, bersih, dan tertata sebelum ia berangkat kerja, kini seperti habis terkena angin topan. Berantakan dan banyak sampah di atas meja."Oh, kamu udah pulang? Biasa pulang jam segini, ya?" tanya Hakam dengan handuk di kepalanya.Perlahan kepala Faryn mendongak. "Kamu habis melakukan apa?" tanyanya dengan suara tida
"Kalau begitu, Mas bisa mulai bekerja besok."Hakam begitu percaya diri ketika melakukan interview dengan pemilik restoran seafood ini. Teman Linggar yang akan menjadi atasannya, ternyata adalah seorang perempuan. Dan tentu saja, dengan memainkan sedikit pesonanya, ia dengan mudah diterima."Baik, Mbak," jawabnya ramah."Jangan panggil Mbak. Panggil saja Devina." Pipi Devina bersemu merah merona. Salah tingkah sendiri saat berhadapan dengan pria seperti Hakam.'Manis sih. Tapi masih lebih menarik Faryn,' batinnya dengan bibir tersenyum saat mengiyakan perkataan Devina.Saat akan kembali ke rumah Faryn, Hakam baru ingat. Lokasi restoran seafood ini ternyata berada tepat di depan kantor Bahari Jatayu, ayah Linggar."Lokasinya strategis sih memang. Mana belum ada saingannya lagi," gumam Hakam pada dirinya sendiri."Linggar yang menyarankan untuk membuka restoran seafood di sini. Karena ternyata belum ada di kompleks perkantoran," sahut Devina.Hakam mengangguk. "Dulu bangunan ini bekas k
Seminggu berlalu sejak terakhir mereka bertengkar. Dan terakhir kali pula saling berbicara. Hakam tidak merasa nyaman tinggal bersama seseorang yang mengacuhkannya kehadirannya. Tidak terbiasa. Meski ia sudah melakukan banyak cara agar Faryn mau kembali berbicara dan memaafkannya, termasuk membuat rumah berantakan, wanita itu tetap mengabaikannya.Bukan hanya itu, Faryn juga selalu pulang terlambat. Kesempatannya untuk kembali seperti sebumnya semakin sedikit. Di samping itu, Hakam swndiri juga mulai sibuk dengan pekerjaan barunya. Terkadang ada beberapa pekerjaan yang ia bawa ke rumah sambil menunggu si empunya pulang.Untuk masalah makan, ia tidak perlu khawatir. Hakam selalu makan di restoran tempatnya bekerja. Hanya saja, saat hari libur seperti sekarang, ia tidak tahu harus melakukan apa. Faryn sudah pergi sejak sejam yang lalu. Entah ke mana karena saat ia bertanya, wanita itu enggan menjawab.Ketika tengah duduk bersantai sambil memakan sisa pisang goreng yang dibuat Faryn tadi
Faryn tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Sejak kejadian siang tadi di dalam kamar hotel, setelah Linggar melepaskan bibirnya, otaknya tidak berhenti memutar kembali semuanya. Degup jantungnya juga tidak berdetak normal seperti biasanya."Sial," gumam Faryn pelan.Wajah tertelungkup di atas meja belajar di kamarnya dengan bertumpu pada sebelah tangan. Bahkan saking terlalu fokus pada apa yang terjadi antara dirinya dan Linggar, ia mengabaikan panggilan Hakam."Kembalilah berdetak seperti biasanya, Bodoh," katanya kesal. Tangan lainnya memegang dada kiri. Ia tidak berpikir hal seperti ini akan ia alami. Dan, sialnya, yang dikatakan Linggar benar adanya.Ciuman itu membuat Faryn selalu mengingat pria itu.Suara ketukan di balik pintu menghentikan makiannya pada diri sendiri. Ditambah lagi dengan panggilan namanya dari suara yqng sudah sangat ia hapal betul."Faryn. Kamu ada waktu? Aku perlu bicara," panggil Hakam dengan lembut.Faryn diam, tidak memberikan jawaban apapun pada pangg
Hakam tersenyum mencemooh sekaligus miris mengingat diskusi mereka yang berakhir buruk. Tidak ada hasil yang memuaskan dari perbincangannya dengan Faryn malam itu. Yang ada hanya rasa kesal, marah, dan ... perasaan lain yang sulit dijelaskan."Masnya mau foto latar belakang apa?"Pertanyaan dari fotografer di tempat percetakan kilat ith mengalih pikiran Hakam. Kepalanya mendongak, lalu menjawab dengan tenang, "Biru, Mas."Fotografer itu segera menyiapkan kain latar berwarna biru. "Nggak sama calonnya, Mas, biar sekalian?" tanya lagi sambil mengatur cahaya lampu sorot supaya gambar yang dihasilkan memuaskan.Hakam menggeleng walaupun orang itu tidak melihatnya,"Nggak, Mas. Calon saya sudah foto lebih dulu di tempat lain."Lebih dulu dari mananya? Yang ada malah Faryn sama sekali tidak peduli dengan pernikahan mereka. Hanya Hakam sendirilah yang kelimpungan mengurus segalanya dari awal.Jika perempuan itu sengaja melakukannya agar Hakam menyerah, maka ia harus menelan pil pahit. Hakam t
Manik Mama Adelina melebar. Mulutnya terkatup rapat dan deru napasnya mulai cepat. Hakam dengan sugap mengangkat tangan Mama yang sedang memegangi gelas yang tadi diberikan oleh Hakam."Minun dulu, Ma," ujarnya. Sebelah tangannya mengelus punggung ibunya.Mama menurut. Beliau minum dengan cepat hingga isinya langsung habis tak bersisa."Kok ... kenapa menndadak begini?" tanya Mama cepat dengan nada panik begitu tetes terakhir dalam mulutnya sudah tertelan.Hakam menggaruk pipinya salah tingkah. Ia ragu untuk menjelaskan semuanya. Maka, ia ambil jalan tengah untuk memberitahukan ibu kandungnya."Ya, karena kan kami sudah tinggal bersama, Ma. Sementara di lingkungan rumah Faryn, memiliki peraturan di mana yang bisa tinggal bersama hanya yang sudah memiliki ikatan suami istri atau sanak keluarga. Dan Hakam nggak punya keduanya. Jadi," belum sempat Hakam menyelesaikan ucapannya, Mama mendahuluinya."Jadi, maksud kamu kalau ingin tinggal di sana, kamu harus membentuk ikatan suami istri den
"Pulang duluan, ya. Bye.""Mampir gym yok. Udah lama nggak ke sana.""Good night, Everybody!"Seruan itu menjadi kalimat terakhir yang Faryn dengar hari ini. Para staff karyawan HR sudah berkemas dan bergegas pulang ke rumah atau mampir ke tempat lain bersama teman-temannya.Faryn menunggu sampai karyawan terakhir di ruangan itu, selain dirinya, pergi. Setelah memastikan hanya tinggal dirinya seorang, ia membalas pesan dari Bahari yang masuk beberapa saat lalu.Sedikit terkejut saat mendapati Bahari mengetahui nomer pribadinya. Yah, namanya juga atasan. Dia bisa saja mendapatkan informasi apapun tentang karyawannya dengan mudah.Jemari Faryn sedikit bergetar saat mengetik setiap kata. Dirinya masih belum siap sepenuhnya bahwa sebentar lagi, tubuhnya akan dijamah oleh tangan kotor orang yang dibencinya.Namun, semua sudah terjadi. Keputusan sudah bulat. Tidak ada lagi jalan untuk mundur.Faryn menarik napas dalam dan mengembuskannya melalui mulut. Langkah kakinya membawanya pergi ke ka