Share

Bab 2. Pernikahan Kontrak

“Ikut aku, kita akan menemui Mamaku lebih dulu.”

Dewangga seolah tuli karena menganggap keterkejutan Karina hanyalah angin lalu. Pria itu justru langsung keluar ruangan, dan membiarkan Aldo lagi-lagi menyeretnya menuju mobil dan pergi mengikuti mobil Dewangga yang berada di depan mereka.

“Mas Aldo!”

Dalam perjalanan, Karina masih terus berusaha membujuk Aldo. Bila tahu akan dinikahkan saja sudah sukses membuatnya kaget, maka ketika tahu dia akan menikah hari ini sanggup membuat jantung Karina seolah berhenti berdetak.

“Apa sih, bawel!”

“Mas nggak bisa gini, dong! Masa aku nikah, tapi Ibu nggak dibilangin?”

Karina akhirnya membawa serta nama ibunya. Dia berharap Aldo mau berpikir ulang. Bagaimanapun, dia memang sudah tidak memiliki ayah, jadi praktis wali nikahnya hanyalah Aldo. Namun, masih ada ibunya yang seharusnya memberikan restu pernikahan untuk putri semata wayangnya.

Aldo berdecak, “Ibu nggak perlu tau. Yang penting, pengobatan Ibu lancar. Kamu nggak mau kan, liat ibu berhenti berobat?” balas Aldo menatap tajam sang adik.

Napas Karina tiba-tiba memburu. Bayangan pernikahan dadakan, tanpa restu ibunya benar-benar membuatnya takut. Apalagi, ketika dia melihat Dewangga ternyata tak acuh.

Apa sebenarnya yang membuat Aldo dan Dewangga mengorbankannya untuk menikah? Hal itu masih jadi tanda tanya besar untuk Karina.

Setibanya di rumah sakit, Karina kembali ditarik mengikuti Dewa yang menuju satu ruang perawatan. Sebelum mendekati pintu rawat mamanya, pria itu memutar tubuh dan menatap Karina dengan tajam, “Kalau kamu ingin selamat, kamu hanya perlu menurut.”

Setelah itu, Karina didorong oleh Aldo untuk mengikuti Dewangga yang memasuki ruangan rawat.

“Assalamualaikum, Ma.”

Suara Dewangga yang lembut kala memasuki ruangan itu membuat Karina mengerjap. Hanya pria itu yang menghampiri mamanya yang langsung membuang muka, sementara Karina menunggu di ujung pintu ruangan yang sudah tertutup.

“Jangan pernah menemui Mama lagi kalau kamu hanya ingin memaksa Mama merestui hubunganmu dengan Sherly!”

Sambutan ketus itu menarik perhatian Karina. Dia terus memasang telinganya, sambil tetap tidak bersuara sebelum Dewangga menyuruhnya.

Dewangga terdengar menghela napas dalam sebelum berujar, “Nggak, Ma. Dewa kesini bawa calon istri yang sesuai kriteria Mama. Bukan Sherly.”

Mama Dewangga lantas memutar pandangan, menatap sang anak. “Kamu serius?” tanyanya terdengar tidak percaya.

Pria itu kemudian mengangguk, “Sebentar, Dewa kenalkan.” Lalu pria itu jalan menghampiri Karina yang masih diam mematung.

Kegugupan mulai mendera wanita itu. Melihat kondisi Mama Dewangga dari dekat, seketika membangkitkan ingatan Karina pada ibunya, membuat matanya lantas basah.

“Siapa nama kamu, Nak?” tanya Mama Dewangga, dengan tangan yang mencoba meraih wajah Karina.

Karina tersenyum, dengan menahan tangis. “K-karina, Bu.”

Sebuah senyum tulus terpancar kemudian dari mata Mama Dewangga. Karina yang semula sudah menyusun rencana penolakan hebat, tiba-tiba tidak berkutik karena tatapan dari wanita yang sedang terbaring lemah itu.

“Mama restui pernikahanmu dengan Karina, Dewa. Nikahi Karina sekarang, di hadapan Mama.”

***

Tanpa persiapan, pernikahan dadakan itu akhirnya terlaksana di dalam ruang perawatan Mama Dewangga. Tidak ada pesta mewah, juga tidak ada tamu banyak. Hanya dihadiri saksi dari kedua pihak, juga Aldo yang bertindak sebagai wali nikah Karina, wanita itu akhirnya resmi menyandang sebagai seorang istri.

Mama Dewangga begitu bahagia menyambut pernikahan mereka. Senyum di bibir yang sudah mulai keriput itu tidak berhenti terbit sedari tadi.

“Dewa, Karina pasti lelah. Bawa istrimu pulang.” Mama Dewangga berujar lembut, tidak lama usai acara ijab qabul terlaksana.

Dewa menurut. Pria itu kemudian menoleh ke arah Karina dan meminta wanita itu turut pamit dengan tatapan matanya.

“Karina pamit ya, Ma.” Karina menurut. Dia ikut menyalami mama mertuanya, seperti Dewa.

Mama Dewangga mengangguk. “Kalau Dewa macam-macam, jangan takut buat lapor ke Mama ya, Nak,” pesan wanita itu, membuat Karina bingung merespons. Kemudian, wanita tua itu menoleh ke arah Dewa. “Jaga istrimu baik-baik, Dewa.”

“Baik, Ma.”

Mereka berdua lantas pulang ke rumah Dewangga. Tidak ada percakapan yang terjadi selama dalam perjalanan. Dewangga serius dengan kemudinya, sementara Karina takut untuk memulai pembicaraan.

30 menit berlalu, mobil tersebut akhirnya sampai di sebuah rumah mewah. Dewangga memarkirkan mobilnya di carport, “Ikuti aku. Ada yang harus kita sepakati.” Kemudian, dia turun dan membiarkan Karina menyusulnya di belakang.

Mengikuti Dewa, Karina memasuki sebuah ruangan yang terlihat seperti ruangan kerja. Banyak buku-buku ataupun file yang tersusun di sana, juga ada meja dengan sebuah layar monitor besar di atasnya.

Karina duduk, sedang Dewa mengambil sesuatu dari dalam laci meja kerjanya.

“Baca ini!” ucapnya sambil memberikan selembar kertas ke arah Karina dengan kasar.

Dengan dahi mengerut, Karina menanggapi kertas itu.

Ada sebuah kalimat yang dicetak tebal dan membuat Karina langsung fokus pada kalimat tersebut. Dia pun lantas bertanya, “Apa ini, Mas?”

“Kontrak pernikahan kita.” Dewangga menjawab tegas dan singkat.

Karina terkejut bukan main, “A-apa? Kontrak pernikahan? Maksudnya??”

Satu sisi bibir Dewangga naik, membentuk senyum sinis. “Pernikahan kita hanya di atas kertas, Karina. Saya tidak benar-benar ingin menikahi kamu.”

Saat itu, hati Karina bagai diserang gemuruh besar. “J-jadi … maksud Mas Dewa—”

“Kamu hanya perlu bertahan satu tahun, setelah itu saya akan menceraikanmu.”

Mata Karina terasa mengembun. Dia tidak menduga, begitu banyak kejutan yang menimpanya di hari pertama dia menginjakkan kaki di Ibu Kota.

“T-tapi, kenapa Mas?” Wanita itu tidak mengerti, kenapa Dewangga memintanya menikah kontrak.

Sebagai seorang wanita, Karina tentu menginginkan sekali menikah untuk selamanya. Sebelum ini, dia pikir, dia bisa memulai lembaran baru dalam pernikahannya. Membuat Dewangga jatuh cinta, dan membuat dirinya sendiri terbiasa dan mencintai suaminya.

Sayang, agaknya angan Karina terlalu tinggi. Dia bukan Cinderella, jadi tidak mungkin ada seorang pangeran yang tiba-tiba melamarnya untuk mengajak dia hidup di istana dengan bahagia.

“Ketahuilah, Karina. Aku menikahimu karena kakakmu menjadikan kamu jaminan atas hutangnya.”

Meski masih terkejut dengan fakta yang disampaikan Dewangga, Karina tidak punya pilihan lain. Dia sudah terlanjur terperangkap dalam jebakan yang dibuat sendiri oleh kakaknya.

Dan lagi, keselamatan ibunya pun dipertaruhkan di sini. Untuk itu, meski dengan air mata berlinang … Karina akhirnya menandatangani surat perjanjian itu.

Setelahnya, Dewangga memanggil beberapa pelayan untuk mengantarnya menuju kamar. Karena pernikahan ini hanyalah sebuah pengaturan, tentu Karina tidak akan tinggal sekamar dengan Dewangga.

Saat sudah berada di kamarnya, tubuh Karina langsung meluruh, dan tangisnya pun pecah.

“Ya Allah, kuatkanlah hati ini….”

a

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status