Share

BUKAN SELERA MERTUA

last update Last Updated: 2023-06-05 23:58:30

“Tapi Bu, aku sudah menikah dengan Dinda! Tak mungkin Hasan tega menduakannya,” jelas Hasan.

“Siapa suruh kau memilih Dinda? Dia bukan selera Ibu!” bentak Bu Nafis.

“Bukankah Ibu dulu juga merestui? Bahkan Ibu yang menyuruh Hasan cepat menikahi Dinda,”

“Ya karena Ibu dulu salah sangka, rumah gedong itu Ibu pikir milik Dinda ternyata bukan, apalagi Ibu kira Dinda dulu tetap kerja nyatanya keluar, kesini hanya bawa mobil buntut!” jelas bu Nafis.

“Hasan Bu yang melarangnya bekerja,”

“Sudah-sudah, selera Ibu punya mantu PNS seperti ini, bagaimana mau kan?” bujuk bu Nafis.

“Istigfar Bu!” perintah Hasan sambil meninggalkan ibunya.

Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, jam di mana Dinda selalu bangun untuk sholat tahajud.

‘Tring...tring’ notif alarm HP Hasan berbunyi berkali kali.

Dinda menoleh, dia melihat Hasan masih tertidur lelap, pasti dia lelah setelah pulang bekerja harus membantu Dinda mengemasi madumongso jualan bu Nafis. Dinda sudah melarangnya tetapi Hasan ingin membantu agar pekerjaan itu cepat selesai.

“Oh rupanya hari ini Ibu berulang tahun, mungkin aku harus membelikan Ibu sepatu dan tas sesuai dengan permintaannya,” gumam Dinda sambil mematikan notif alarm di HP Hasan.

Setelah selesai tahajud dan tilawah Dinda membangunkan suaminya untuk bersiap sholat subuh.

“Mas hari ini Ibu ulang tahun ya?” tanya Dinda.

“Tanggal berapa Dek ini?”

“Tuh tanggal lima April,” sahut Dinda.

“Astagfirulloh Mas lupa, benar hari ini Dek! Untung kau mengingatkannya,” ujar Hasan.

“Hehehe, sebenarnya tadi alarm HP Mas berbunyi, terus notifikasinya tulisan ulang tahun Ibu, begitu,” jawab Dinda dengan senyum cengengesan.

“Dek, Mas transfer uang dua ratus ribu belikanlah kue dan kado untuk Ibu ya, apa cukup?” tanya Hasan.

“Insyaallah cukup Mas, toh uang belanja dari Mas juga masih! Mas kan selalu memberi Dinda uang satu juta setiap bulan, sedangkan untuk makan dan lain-lain Dinda tak pernah keluar uang,” jelas Dinda.

“Jangan Dek! Itu uang nafkah yang Mas berikan untukmu! Gunakanlah itu untuk mencukupi kebutuhanmu sendiri, maafkan Mas ya belum bisa memberi nafkah dengan jumlah lebih banyak,” ujar Hasan sambil mencium kepala Dinda.

“Amin, Dinda sangat bersyukur memiliki suami seperti Mas, jangan pernah berubah ya,” pinta Dinda mengeratkan pelukannya.

Mereka segera melakukan sholat subuh berjamaah. Setelah sholat Dinda langsung keluar kamar untuk memulai rutinitas pekerjaan rumahnya. Dulu saat belum menikah semua pekerjaan seperti ini di lakukan oleh pembantu rumah Dinda, sekarang setelah menikah dan ikut suami Dinda harus belajar mencuci, bersih-bersih, dan kegiatan rumah tangga lainnya. Jika tidak tentulah mertuanya akan memakinya sepanjang hari.

“Bu, Ifah belum bangun?” tanya Dinda.

“Baru tidur! Dia kan sekolah masuk sore! Pagi juga harus endors barang, jangan samakan adik iparmu dengan dirimu,” jawab sengit bu Nafis.

Dengan cekatan Dinda langsung menyapu dapur dan mencuci piring dari pada menanggapi perkataan ibunya.

“Bu hari ini Dinda mau keluar, apa Ibu mau diantar sekalian ke Rumah Sakit? Kita kan bisa naik mobil,” tawar Dinda.

“Tak usah, nanti bensin habis Ibu suruh belikan lagi, tak naik motor saja!” tolak bu Nafis.

“Astagfirulloh Bu, ketimbang bensin Dinda juga ada uang untuk membelinya,” sahut Dinda.

“Itu bukan uangmu, itu duit Hasan anakku!’ sanggah bu Nafis.

Dinda langsung pergi meninggalkan mertuanya, bisa gila lama-lama dia bertahan di sana. Dinda segera berganti baju, dia bercermin di lemari.

“Pantas saja Ibu sering mengatakan bajuku lusuh, wong selama dua bulan ini aku memakai baju itu-itu saja! Cuci kering pakai, apalagi ketika boyongan ke sini kemarin aku hanya membawa beberapa potong baju, sepertinya aku harus membeli baju juga,” gumam Dinda dalam hati.

“Kebiasaan sering bicara sendiri!” tegur Hasan.

“Eh Mas Hasan, ini nih Mas baju Dinda sudah lusuh, pantas Ibu menyuruh membeli baju, apakah Dinda boleh membeli baju Mas?” izin Dinda.

“Belilah Dek, dengan uang bulananmu, apa kurang? Tadi Mas sudah transfer untuk beli roti dan hadiah untuk Ibu nanti,” jelas Hasan.

“Tidak Mas, lebih dari cukup! Yuk sarapan, Mas kan segera harus ke kantor, Ibu masak pecel Madiun endull sekali!” ajak Dinda.

Ya saat ini Dinda sadar penghasilan Hasan tidaklah banyak. Gaji Hasan hanya sekitar empat juta sampai enam juta perbulan. Dinda mendapatkan jatah satu juta, bu Nafis dua juta, satu juta untuk tabungan bersama, sisanya untuk keperluan Hasan. Pendapatan itu tentu kurang untuk mencukupi biaya hidup satu keluarga apalagi gaya hedon bu Nafis dengan geng-gengnya.

“Mas berangkat ya Dek, kau juga berangkat?” tanya Hasan.

Dinda mengangguk lalu mencium takzim tangan suaminya.

“Semangat ya Mas kerjanya, semoga berkah dan lancar rezekinya,” ujar Dinda tulus mendoakan.

Hasan masuk mobil dan melaju ke kantornya.

“Bu? Yakin tak mau bareng dengan Dinda?” tawar Dinda sekali lagi.

“Pergilah, Ibu nanti saja!”

Dinda segera pergi ke salah satu bakery terkenal di kota ini. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, Dinda pergi ke departemen store tersbesar di kotanya. Membeli beberapa baju untuk dirinya sendiri, sebuah tas dan sepatu senam untuk ibu mertuanya.

“Semua totalnya empat juta tujuh ratus ribu rupiah, Bu,” ujar kasir.

Tak perlu waktu lama Dinda membayar semua belanjaannya, jika di pikir lucu bukan? Uang nafkah yang di berikan Hasan selama dua bulan di tambah uang transferan tadi hanya bisa menutup separo tagihan belanja Dinda.

“Tak apalah, memang Mas Hasan saat ini sedang merintis semua wajar jika pendapatanku jauh lebih besar dari dia, yang penting dia selalu berada di pihakku! Walaupun terkadang terpaksa memilih Ibunya” kata Dinda dalam hati.

Saat pulang, Dinda mendapati rumah sudah ramai. Jantungnya berdetak keras takut ada apa-apa dengan mertuanya.

“Assalamualaikum! Ibuk!” teriak Dinda begitu turun dari mobil.

Dia langsung berlari menuju rumah yang terbuka pintunya, betapa terkejutnya Dinda melihat keadaan ruang tamu yang mendadak menjadi tempat pesta. Mereka mengadakan liwetan di ruang tamu.

“Kenapa sih Dinda kau berteriak?” tanya bu Nafis.

“Astagfirulloh Ibu, Dinda panik kenapa rumah ramai orang, Dinda pikir ibu kenapa-kenapa,” ujar Dinda.

“Itu ya Jeng mantunya?” tanya seorang ibu-ibu memakai baju motif macan dengan jilbab corak zebra.

“Eh..Oh iya Jeng,” jawab bu Nafis tergagap.

“Duh seleranya Hasan, masak menolak Nanda yang PNS demi wanita ini Bu? Mending kalau cantik wong ya sama saja secara fisik sama Nanda, malah menang Nanda ya Jeng karena dia PNS!” kata Ibu itu.

“Nanda?” tanya Dinda bingung.

Siapa Nanda? Mengapa orang-orang membandingkannya.

“Itukan selera Hasan Bu, bukan selera saya! Taulah mungkin di pelet mau sama dia!” sanggah bu Nafis.

“Pelet? Apa maksudnya Bu? Siapa Nanda itu?” tanya Dinda benar-benar bingung.

“Ih amit-amit ya Jeng sudahlah tak cantik fisik, hatinya juga busuk! Jeng Nafis ini sabar sekali lo ya jadi mertua, kalau saya punya menantu seperti itu sudah saya suruh cerai anaknya!” kata seorang ibu-ibu di pojokkan.

“Bener Jeng, apalagi sampai menyiksa ibu mertuanya! Eh Mbak sampean mbok sadar diri, sudahlah numpang kelakuan masih begitu! Inget Mbak bagaimanapun juga Bu Nafis itu mertuamu! Dia orang tua yang harus di hargai!”

“IBU! APA YANG IBU KATAKAN PADA MEREKA!” teriak Dinda yang sudah habis kesabarannya.

BERSAMBUNG.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Rohmah
sabar ya dinda
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   ENDING YANG BAHAGIA!

    ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   Hamil?

    HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   AWAL BARU KEBAHAGIAAN

    AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   HADIAH DARI SUAMI BARU

    HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA

    ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS

    MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status