Share

PILIHAN SULIT ANAK LELAKI

last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-05 22:46:40

“Nduk? Apa kau yakin tak sedang menangis?” tanya papa Dinda.

“Tidak Pah, mungkin speaker Dinda bermasalah, tumben Papa telpon pagi sekali?” tanya Dinda mengalihkan pembicaraan.

“Entah kenapa hati Papa tak tenang sejak semalam, teringat padamu! Apa sekarang kau baik-baik saja? Bagaimana perlakuan Hasan dan keluarganya?” tanya Papa Dinda.

“Dinda baik-baik saja kok Pa, jadi Papa tak perlu khawatir,” jawab Dinda.

“Baik, kabari Papa jika mereka memperlakukanmu dengan buruk! Ya walaupun Papa tak setuju kau menikah dengan Hasan tetapi kau harus ingat di sana ikut dengan mertua! Jaga sikap dan bicaramu, ingatlah kau bukan sedang di rumah sendiri, jangan menyamakan keadaan di sana seperti rumah sendiri, ujar papa Dinda.

“Dinda selalu ingat pesan Papa,” jawab Dinda.

“Jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ! Assalamualaikum,” kata papa Dinda.

‘Tut’ telpon terputus, Dinda mendekap erat Hpnya. Air mata yang sedari tadi di tahannya jatuh lagi, mengapa pernikahan yang di impikannya menjadi seperti ini. Jauh berbeda dengan apa yang di bayangkan Dinda. Kehidupannya yang nyaman saat masih tinggal bersama keluarganya kini berubah seratus delapan puluh derajat ketika dia di boyong suami.

“Siapa yang telpon Dek?” tanya Hasan yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar.

“Oh em itu Bos Dinda dulu Mas,” jawab Dinda sedikit gelagapan.

Dinda takut Hasan curiga. Karena selama ini Hasan belum mengetahui sejatinya siapa Dinda. Mereka menikah dengan ta’aruf atau perjodohan dari saudara jauh masing-masing. Pernikahan tertutup rapat hanya di hadiri keluarga inti dan di lakukan di masjid dekat perumahan Dinda.

Ini dikarenakan Papa menentang konsep taaruf yang di lakukan oleh Dinda dan Hasan. Bukan karena taarufnya yang salah tetapi Papa Dinda sudah menyebar informan untuk menyelidiki latar belakang keluarga Hasan sebelumnya. Memang Hasan lelaki baik, tapi tidak dengan ibunya yang gemar memosting semua di media sosial bersama oara gengnya.

Apalagi saat akad akan berlangsung, ibu Hasan berseloroh merendahkan keluarga mereka. Hal itu karena keluarga besar Dinda yang mengutamakan kesederhanaan. Sedangkan keluarga Hasan memandang semua dari harta.

Masih jelas di ingatan Dinda bagaimana bu Nafis mengatakan

"Halah dapat besan semua kok miskin! Ndak ada yang memakai perhiasan," seloroh ibu Nafis saat akad akan di mulai.

Hampir saja Papa Dinda membatalkan akad pagi itu. Tetapi Dinda merayu papanya agar tetap merestui pernikahan mereka. Karena Dinda telah jatuh hati pada pandangan pertama akan kesantunan dan kesopanan Hasan dalam bertutur kata. Dengan terpaksa Papa Dinda setuju dengan syarat Dinda tak menunjukkan identitas asli keluarganya.

“Bosmu? Lalu mengapa kau menangis Dek?” tanya Hasan heran.

“Dinda terharu Mas, walaupun Dinda sudah tak bekerja di sana tetapi masih memiliki Bos perhatian,” jawab Dinda.

“Ingat Dek jangan pernah berfikir bekerja lagi, tugas istri melayani suaminya, kamu itu tulang rusuk, bukan tulang punggung! Mengerti?” tanya Hasan.

Dinda mengangguk, dia tahu sebenarnya suaminya orang baik. Tetapi kadang kala dia di hadapkan pada kondisi dan pilihan sulit saat menghadapi Dinda dan Ibunya.

“Mas, maafkan Dinda,” ujar Dinda.

“Kenapa kau meminta maaf Dek? Harusnya Mas yang meminta maaf karena tadi meninggalkanmu sendiri untuk mengejar Ibu!” Hasan berjalan menuju Dinda dan memeluk istrinya.

“Maafkan jika bakti Mas pada Ibu terlalu berlebihan, maafkan Mas yang kadang masih lupa untuk memuliakanmu sebagai istri, terkadang Mas di posisi sulit berada diantara Istri dan Ibu! Maafkan Mas yang kadang masih berlaku dzolim padamu karena terlalu mementingkan Ibu,” sambung Hasan.

Dengan perlahan Dinda melepaskan pelukan suaminya, dia mengelus tangan Hasan.

“Memang benar Mas, seorang anak harus berbakti kepada orang tua apalagi Ibu, tetapi jangan sampai bakti itu menjadikan lupa kewajiban seorang suami untuk memenuhi hak istrinya,” ucap Dinda.

“Ingat Mas, kebaktian yang di bangun di atas kedzoliman itu namanya tetap dzolim bukan bakti! Mungkin Mas pikir doa seorang Ibu lebih mustajab, memang itu benar! Tetapi Mas lupa bahwa doa orang yang di dzolimi lebih mustajab lagi, jadi hendaknya Mas lebih bijak,” ujar Dinda.

Hasan menganggukkan kepala sambil mencium tangan Dinda.

“Tegur Mas jika salah Dek, kita masih dalam proses mengenal satu sama lain, jadi Mas harap kau maklum dan mahfum terhadap keluargaku Dek,” pinta Hasan.

“Begitupun Dinda Mas, sebagai seorang istri tentu Dinda tak luput dari salah! Mungkin Dinda yang harus berusaha lebih lagi agar bisa mendapatkan hati Ibu,” kata Dinda.

“Dek, bisakah kali ini Mas memintamu untuk datang meminta maaf ke Ibu?" tanya Hasan.

“Bukankah jelas Ibu yang salah paham dan mengatakan aku mandul?” tanya Dinda.

“Ya aku tahu, tapi tak ada salahnya kan Dek sebagai anak kita inisiatif dahulu, toh meminta maaf bukan berarti kalah, Ayok! Sekali ini saja Dek, demi Mas,” ajak Hasan menggandeng tangan istrinya.

Dinda hanya mampu menurut semua perkataan dan ajakan suaminya. Sesampainya di kamar, ibu Nafis masih tidur dengan posisi membelakangi mereka.

“Bu, ini Dinda datang ingin meminta maaf,” ujar Hasan.

Ibu Nafis tak bergeming. Mereka berdua mendekatinya, Dinda mengelus tangan ibu mertuanya.

“Maafkan Dinda Bu, jika perkataan Dinda semalam menyinggung hati dan perasaan Ibu, maafkan...” bisik Dinda lirih.

“Bu, sudahlah! Dinda sudah datang dan meminta maaf untuk memperbaiki semuanya,” bujuk Hasan.

Bu Nafis bangun dari tempat tidur dan duduk. Dia menangis sesegukan sambil memeluk Dinda.

“Maafkan Ibu ya Din, maafkan Ibu jika banyak salah denganmu mengatakan kau mandul! Ibu lakukan ini semua demi kebaikanmu,” dengan terisak bu Nafis mengatakannya.

Mendengar hal itu Dinda trenyuh, dia membalas pelukan ibu mertuanya. Menurunkan sedikit ego demi bisa berbaikan dengan mertuanya bukanlah ide buruk. Hasan tersenyum melihat dua wanita yang di sayanginya saling berpelukan.

“Dek pagi ini Mas akan pergi bertemu orang IMS perusahaan kereta yang ingin mengadakan kerja sama dengan perusahaan terkait suplai Minyak dan batu bara, kau tak apa tinggal di rumah? Ibu masih mengantar makanan di rumah sakit,” kata Hasan.

“Pergilah Mas jangan khawatir,” jawab Dinda.

Tak masalah berada di rumah sendiri, justru Dinda menantikan saat itu tiba. Bisa mengatur keluarga kecil dengan suami dan anak mereka nanti. Membayangkan hal itu saja Dinda sudah bahagia.

“Dinda... Din! Bantu Ibu!” teriak bu Nafis dari luar.

Dinda segera keluar, dia melihat ibu mertuanya yang kerepotan. Kresek dan kardus belanjaan memenuhi stang motor sampai jok belakang.

“Ibu baru belanja? Mengapa tak mengajak Dinda naik mobil saja jika bawaannya sebanyak ini?” kata Dinda.

“Halah menyuruhmu akan tambah lama, kau kan lelet karena keberatan membawa badan,” celetuk bu Nafis.

‘Ces’ sakit hati Dinda mendengar perkataan mertuanya. Baru saja mereka berbaikan belum ada dua puluh empat jam tetapi mulut jahatnya berulah lagi.

“Eh Dinda mending kau diet deh, jangan-jangan kau tak bisa hamil karena terlalu gemuk sehingga lemakmu menutupi rahim,” seloroh bu Nafis.

Dinda diam dan memilih membawa masuk barang belanjaan dari pada menanggapinya.

“Bu, ini belanjaan taruh mana?” tanya Dinda sambil membawa barang belanjaan terakhir di tangan.

“Taruh sana saja, nanti Ibu tata sendiri!” perintah Ibu mertuanya.

Dinda kembali ke kamar, menyelesaikan pekerjaannya mulai menyetrika sampai mengecek data laporan keuangan perusahaan papanya sampai malam tiba.

“Assalamualaikum,” suara Hasan dari luar rumah tanda dia baru pulang bekerja.

Secepat kilat dinda langsung mematikan laptop agar Hasan tak mengetahui semua rahasianya.

“Kau sedang apa Dek kok di kamar? Tak membantu Ibu di dapur?” tanya Hasan.

“Hah? Em... Itu Mas, sedang menyetrika baju, baru saja selesai, memang Ibu sibuk Mas?”

“Tuh lagi bungkus madumongso produk UMKM andalan PKK, katanya tadi sudah meminta bantuanmu tapi kau tak mau membantu,” ujar Hasan.

“Astagfirulloh Mas, dari tadi Dinda berada di kamar sekalipun Ibu tak pernah memanggil Dinda untuk meminta tolong,” jelas Dinda yang tak terima tuduhan Hasan.

“Sudahlah Dek, bantu Ibu sana!” perintah Hasan.

Dinda berjalan ke dapur, bu Nafis terlihat sedang membungkus madumongso di kertas warna- warni.

“Buk, sini Dinda bantu,” tawar Dinda.

Bu Nafis tak menjawab. Dia hanya diam sambil terus memasukkan madumongso buatannya. Dinda duduk di samping bu Nafis.

“Mengapa Ibu sepertinya kesal begitu?” tanya Dinda pelan.

“Tuh Bu Damar tadi ke warung Ibu, pas Ibu di sana, dia pamer anak perempuannya sekarang jadi PNS baru diangkat dapat SK dari pemerintah kota,” kata Bu Nafis.

“Lalu apa yang salah Bu?” tanya Dinda.

“Ya secara tak langsung dia itu ngenyek (menghina) Ibu, dapet mantu pengangguran, padahal dulu anaknya Damar suka sama Hasan tetapi di tolak eh sekarang dia jadi PNS terus Si Hasan dapetnya kamu pengangguran,” sambung bu Nafis.

Dinda menghela nafasnya panjang mengatur semua emosinya agar stabil dan tak terpancing dengan ucapan mertua.

“Memang kalau menantu PNS ibu bangga?” tanya Dinda.

“Yo bangga! Jadi pas kumpul acara apapun bisa cerita oh itu mantu saya PNS, mantu saya kerja di sini, lah ini kamu nganggur apa yang bisa ibu banggakan? Bayangkan enaknya punya anak mantu gajian bilang ini di tas dan sepatu buat Ibu,” jelas bu Nafis.

“Kalau hanya untuk membeli sepatu dan tas Dinda juga bisa kok Bu, memang Ibu pengen sepatu yang kayak gimana to?” tanya Dinda.

“Halah wong kamu duit juga dapet dari Hasan sok-sok an mau belikan! Ibu pengennya beli di Matahari sana yang ber- merk! Bukan di online ndak jelas,” jawab bu Nafis.

“Iya, nanti Dinda belikan ya Bu,” ujar Dinda.

“Heleh- heleh wong bajumu saja gimblik (jelek seperti itu) dari pada kamu membelikan Ibu mending beli sendiri agar Ibu tak malu jika jalan denganmu! Lanjutkan Ibu mau panggil Hasan!” bu Nafis berdiri meninggalkan Dinda yang terdiam.

“Hasan...San!” teriak bu Nafis.

“Ada apa to Bu?” tanya Hasan.

“Sttttt! Diam jangan berisik, Sini!” perintah bu Nafis sambil menengok ke kanan dan kiri memastikan bahwa Dinda tak melihat mereka.

“Lihat ini kau masih ingat siapa dia?” tanya bu Nafis menyodorkan layar Hpnya.

“Memang siapa dia Bu?”

“Ah rupanya kau lupa, memang seragam PNS ini membuat orang tambah cantik! Ini anaknya Bu Damar temen PKK ibu, kau ingat kan? Bagaimana kalau kau menikahi dia, dia sudah bekerja jadi PNS! Kau tahu sampai detik ini dia masih mencintaimu,” bisik bu Nafis.

“Astagfirulloh Ibu,”

“Kau lupa? Surga seorang lelaki meskipun sudah menikah tetap berada di bawah telapak kaki Ibunya Hasan!” bentak bu Nafis.

“Tapi Bu....”

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   ENDING YANG BAHAGIA!

    ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   Hamil?

    HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   AWAL BARU KEBAHAGIAAN

    AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   HADIAH DARI SUAMI BARU

    HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA

    ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS

    MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status