"Nin, Nindya ... " Suara seseorang yang memecah keheningan. Nindya yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya seketika memalingkan wajah ke arah suara."Kamu kenapa? Kok buru-buru gitu?" tanya Nindya kepada teman perempuannya, Wina."Itu ... anu ... ka– ka–kamu, itu kamu ga nganterin Dio ke Bandara?""Ke Bandara? Kok ke Bandara? Dio cuma pindah ke luar kota saja kok, Win. Kamu jangan aneh-aneh deh." Nindya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia merasa Wina sedang berusaha membohongi dirinya."Lo, dia mau pergi ke luar negeri, Nindya. Kamu gimana sih?""Ya ampun, Wina ... please deh, kemarin aku bareng sama Dio. Dia bilang cuma mau pergi ke luar kota kok. Pindah ke luar kota. Pendengaranku masih baik-baik saja, aku tidak mungkin salah dengar." Nindya masih ngotot dengan keyakinannya."Nin, Nindya ...." Kali ini suara Bayu yang terdengar berteriak dari kejauhan memanggil Nindya, pria itu bergegas menghampirinya.Nindya sedikit mendongakkan kepalanya ke samping, pandangannya sedikit terhalang o
24 jam berlalu sejak Dio berangkat diam-diam tanpa memberi tahu Nindya. Tak sekali pun pria itu memberikan kabar kepada kekasihnya. Rindu yang dulu tak pernah ia rasakan, kini seakan-akan rasa itu telah mengguncang sebongkah daging berwarna merah maron di dalam tubuhnya.Butiran-butiran bening mulai memenuhi sudut mata Nindya. Diraihnya benda pipih yang sering ia gunakan untuk berkomunikasi dengan sang kekasih, berharap, pagi ini ada kabar baik yang mampu membuatnya tersenyum tenang. Sungguh sangat disayangkan, harapan itu tinggallah harapan. Tak ada satu pun notifikasi dari semua aplikasi yang Nindya gunakan."Kamu ke mana sih? Kamu kenapa sih? Dio, berikan aku kabarmu. Jangan diamkan aku seperti ini." Nindya bermonolog."Nin, sudah pagi. Bangun gih, kamu kuliah kan?" terdengar suara Kiara di depan pintu kamar Nindya."Iya, Ma." Dengan lesu, Nindya melepas selimut, beranjak dari tempat tidurnya lalu bergegas menuju kamar mandi.Semua sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersam
Cafe Lanila"Bukankah itu Dio? Iya kan? Itu Dio kan?" pekik Nindya, gadis itu bersorak girang melihat lelaki tampan yang tengah bernyanyi di atas panggung."Dio ... Dio ... aku datang, aku datang ...." teriak Nindya penuh histeris. Gadis itu melambaikan tangannya berkali-kali ke arah panggung. Memberi isyarat pada pria yang tengah menghibur pengunjung dengan suaranya.Wina, Bella dan Bayu terpaku. Mereka bertiga meragukan jika yang ada di atas itu adalah Dio. Wajahnya iya, itu wajah Dio, tapi tidak dengan suara itu. Itu bukan suara Dio."Nin, itu bukan Dio." Wina menepuk pundak Nindya."Kamu ngomong apa sih? Itu Dio, Win. Kamu ga bisa lihat wajahnya? Itu jelas Dio." Nindya sedikit ngotot dan ia tak suka dengan ucapan Wina.Bayu menggeleng ke arah Wina dan Bella, ia memberi kode untuk membiarkan Nindya dengan khayalannya sendiri.Beberapa menit kemudian, lelaki putih bersih itu menatap ke arah Nindya. Ia menuruni panggung setelah mengucapkan terima kasih kepada penonton. "Nindya?""Di
"Nindya ... siapa tuh yang cari kamu pagi-pagi di depan? Kayaknya Dio," ucapan Raya."Itu bukan Dio, itu Gio," jawab Nindya ketus."Siapa dia, Sayang?" tanya Rendy."Gio adik Dio, mereka saudara kembar. Sudah ya, aku berangkat kuliah," pamit Nindya selepas ia menggunakan sepatunya. Gadis itu kemudian mencium punggung tangan Rendy juga Kiara."Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Kiara kepada Nindya."Enggak, Ma ... nanti aja sarapan di kampus, kebetulan aku belum lapar. Ya udah aku berangkat dulu," ucap Nindya malas."Kamu kok gonta-ganti cowok si? Dio hilang sekarang malah saudaranya yang diembat. Eh gimana sih? Aku bingung, pokoknya jadi cewek itu jangan terlalu murah. Jual mahal dikit deh, biar lebih berharga," ucap Raya menyindir Nindya."Raya! Berapa kali Mama sudah bilang, jaga etika kamu." Kiara mulai emosi melihat tingkah laku anaknya.Nindya yang disindir tak peduli, ia masa bodoh dan memilih pergi begitu saja, bergegas menghampiri Gio yang sudah menunggunya sedari tadi."Besok-be
"Kalau ketakutan-ketakutan itu terus membayangimu, kenapa kamu tidak menerima lamaran Andy? Menikahlah dengannya, maka kamu tidak akan khawatir lagi dengan hal yang selama ini menghantui pikiranmu!" ucap Rendy."Kenapa sih kalian maksa aku nikah? Aku enggak siap, Pa, Ma. Aku belum siap menikah!" Raya menekankan kata menikah pada akhir kalimat, berharap kedua orang tuanya paham jika dirinya memang benar-benar belum siap untuk menikah."Ya sudah kalau kamu memang tidak siap untuk menikah. Berhentilah curiga kepada Nindya, ia tidak salah sama sekali, yang salah itu hatimu, tanya sama hatimu sendiri, ada apa dengan hatimu? Kenapa hatimu bersikeras menunjukkan emosi kepada orang yang sama sekali tidak bersalah?" Kiara berusaha mencari tahu alasan apa yang sebenarnya membuat putrinya begitu membenci Nindya."Sekarang papa harap kamu minta maaf kepada Nindya, kamu sudah dewasa jadi belajarlah bersikap dewasa,""Aku? Minta maaf padanya? Aku salah apa? Aku merasa tidak ada salah apa pun padany
"Tidak, Om. Baru saja aku mau mengajaknya keluar untuk makan malam.""Kamu tidak hubungi dia?" "Tidak, aku pikir dia di rumah, apalagi, rumah dekat, jadi aku tidak menghubunginya." "Udah dulu ngobrolnya, kamu makan di sini saja ya, Andy," ucap Kiara. Kekasih putrinya itu pun duduk di sebalah Nindya. Kiara menyadari sesuatu, ia melirik ke arah putri tirinya lalu mengulum senyum. Naluri keibuannya muncul, ia tahu, Nindya gugup, itu artinya putri tirinya memang memiliki perasaan khusus terhadap Andy."Ada acara apa ini? Kok kalian makan malam bersama?" tanya Raya yang tiba-tiba muncul, ia mendelik ke arah Nindya."Kamu ke mana saja? Ini sudah waktunya makan malam, jelas dong kita makan malam bersama. Ayo duduk, kamu juga harus makan." Kiara menarik tangan putrinya, menggiringnya untuk turut duduk di salah satu kursi di sana. Namun, gadis itu menepis tangan Kiara, sang mama."Minggir, enak saja kamu duduk di sebelah pacar orang, jangan mencuri kesempatan di tengah kesempitan ya! Cuma a
Singapore"Aku ingin pulang ke Tanah Air, Pi, Mi. Aku percaya aku akan segera sehat. Kalian tahu bukan? Hanya gadis itu yang bisa membuatku semangat." "Kami tidak bisa melepasmu begitu saja, Dio. Bertahanlah sebentar lagi. Seseorang akan datang untuk membahagiakanmu, please jangan berhubungan dengan gadis itu lagi." "Tolong jangan mengorbankan perasaanku atau pun orang lain, Mi. Aku sama sekali tidak bisa melakukan itu. Ijinkan aku bahagia agar aku juga cepat sembuh.""Mami yakin, gadis ini bisa membuatmu bahagia.""Sudahlah, Mi. Aku tidak akan bahagia dengan gadis mana pun kecuali Nindya." Dio bersikeras dengan pilihannya.Tiba-tiba terdengar suara bell pintu rumah, semua beralih ke arah pintu depan rumah yang terbilang elite itu."Ada tamu yang datang, Tuan, Nyonya." Asisten rumah tangga menghampiri Dio dan kedua orang tuanya yang kebetulan duduk di ruang keluarga."Sebentar, papi yang ke depan, itu pasti Naura." Robert, papi Dio yang memang merupakan keturunan asli Negara Singapo
"Selamat pagi ... jadi gimana? Kalian sudah siap untuk berangkat ke rumah kakek dan nenek hari ini?" tanya Rendy kepada kedua anaknya.Kiara tersenyum memandang satu persatu wajah putrinya, ia masih sibuk menyiapkan piring di hadapan mereka juga sang suami."Aku sudah siap, Pa. Aku cuman masih bingung aja kenapa Papa sama Mama harus memaksa aku buat liburan di tempat nenek sama kakek, padahal jelas-jelas ini bukan liburan, aku sedang di skorsing. Rasanya aneh," jawab Nindya."Aku juga sudah siap, Pa, tapi tolong jangan satu minggu. Aku tidak bisa, aku ada tugas kuliah yang harus diselesaikan selama aku diskorsing." Giliran Raya yang memberikan jawaban."Jangan buat alasan, Raya," tegur Kiara yang kini sedang duduk di sebelah Rendy."Aku serius, Ma. Tolong sekali aja percaya padaku. Perasaan Mama itu adalah mama kandungku, tapi Mama lebih banyak tidak percaya padaku ketimbang anak tiri Mama yang satu ini," ucap Raya seraya mendelik menatap Nindya.Nindya tak peduli, gadis itu sibuk men