“Aku cinta kamu, Mas,” ucap Alya lirih namun bisa terdengar jelas oleh rungu pria berwajah tampan di depannya ini.
Pria berkulit putih itu hanya terdiam sambil menatap tajam ke arah Alya dengan mata sipitnya. Alya yang ditatap sedemikian intens hanya tersenyum sambil menunjukkan dua lesung pipi di kanan kirinya.
“Kamu lagi mabok, Al?” cetus pria itu sambil menatap Alya datar.
Alya langsung mendelik mendengar celetukan yang baru keluar dari mulut pria itu.
“Kok mabok sih, Mas? Aku beneran ngomongnya. Aku cinta sama Mas Gavin. Suka, sayang,” kata Alya mempertegas.
Laki-laki berkulit putih dan bermata sipit yang tak lain bernama Gavin Mahendra itu sudah tersenyum sambil beranjak bangkit.
“Iya, aku juga sayang kamu kok, Al. Aku pikir kamu memanggilku ke ruanganmu tadi untuk membicarakan meeting kita pagi ini. Tenyata hanya ingin ngomong itu. Lucu juga kamu, Al,” ucap Gavin sambil mengacak rambut panjang Alya.
Alya tampak kesal dan langsung menarik tangan Gavin yang hendak beranjak pergi dari ruangan Alya.
“Mas, denger!! Aku ngomong serius dan perasaanku tadi beneran berasal dari hatiku. Aku cinta Mas Gavin. Bukan sebagai kakak dan saudara, tetapi sebagai seorang kekasih.”
Gavin terdiam tidak jadi beranjak pergi dan sedikit bingung menatap Alya.
“Apa Mas mau menjadi kekasihku? Kita pacaran!” tandas Alya.
Gavin sontak melotot, matanya yang sipit sedikit membesar akibat keterkejutannya tadi.
“Kamu gak apa-apa kan, Al? Apa karena jabatan CEO ini membuat kamu stress sehingga kamu bicara ngelindur begini?” ucap Gavin lagi.
Alya mendecak kesal dan sudah berjalan ke arah Gavin lalu menariknya duduk di sofa.
“Aku gak stress, Mas. Aku juga gak ngelindur. Aku memang cinta Mas Gavin. Aku sudah memendam rasa ini sejak lama. Sejak SMA dulu. Sayangnya saat aku SMA, Mas Gavin harus kuliah di luar kota, jadi kita jarang bertemu. Saat aku lulus SMA, giliran aku yang meninggalkan rumah dan kita semakin jarang bertemu. Aku rasa ini saat yang tepat untuk mengutarakan perasaanku ini. Aku cinta Mas Gavin,” jelas Alya.
Gavin terdiam dan tertegun menatap gadis manis di depannya ini. Adiknya ini memang memiliki wajah yang nyaris sempurna. Hidung bangir dengan mata bulat dan bulu mata lentik serta bibir sensual siap menggoda siapa saja yang melihat. Belum lagi bentuk tubuhnya yang ramping berisi layaknya gitar Spanyol dan kulit sawo matang yang menambah eksotis. Apalagi sejak kepulangannya dari sekolah di luar negeri Alya semakin pandai merawat diri dan memperhatikan penampilan.
“Mas, ... kok diem?” tegur Alya membuyarkan lamunan Gavin.
Sudah hampir seminggu Alya Prameswari menjabat sebagai CEO di perusahaan Pak Baskoro yang tak lain ayah Alya sendiri. Sepeninggal beliau dua bulan yang lalu, tampuk pimpinan berada di tangan Alya. Pagi ini usai meeting dan briefing pagi, Alya memanggil Gavin ke ruangannya. Ternyata Gavin mendapat kejutan yang tak terduga dari Alya, sebuah pernyataan cinta.
Gavin masih tertegun dan berulang menelan salivanya sambil menatap wajah manis adiknya. Mungkin kalau orang lain yang mendapat pernyataan cinta dari gadis semanis dia akan bersorak-sorak kegirangan dan bahkan melompat jumpalitan. Tapi tidak bagi Gavin.
“Al ... kita saudara mengapa kamu mengatakan seperti itu.” Akhirnya keluar juga sebuah kata dari mulut Gavin.
Alya mendengus kesal dan melengos, mengalihkan pandangan. Itu kebiasaannya kalau sedang ngambek. Sejak kecil memang Alya seperti itu dan Gavin sudah paham sekali.
“Setan apa yang sedang merasukimu hingga kamu bicara seperti ini kepada kakakmu sendiri. Aku mencintaimu hanya sebagai saudara tidak lebih. Tidak ada ajaran yang menyuruh mencintai saudara seperti kekasih apalagi menikahinya. Kamu kenapa?” ucap Gavin sambil menarik Alya dan menatapnya dengan khawatir.
Alya terdiam menunduk. Padahal beberapa saat yang lalu dia tampil sangat dewasa, mandiri dan bijaksana di ruang meeting. Namun, kini sifatnya tiba-tiba berubah menjadi kekanak-kanakan, sungguh jauh berbeda.
“Lagipula kau tahu aku sudah bertunangan dan satu bulan lagi akan menikah dengan Yeni. Kalaupun kau bukan adikku, aku juga tidak akan menerima pernyataanmu dan memutuskan Yeni secara sepihak,” lanjut Gavin.
Alya masih diam dan berusaha membendung air yang sudah terkumpul di sudut matanya.
“Mas, bener-bener cinta ke Yeni dan akan menikahinya?” perlahan Alya mengangkat kepalanya sambil bertanya.
Gavin tidak menjawab hanya anggukan serta sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
“Aku mencintai Yeni, Al. Aku hanya ingin hidup bersama dengannya. Kau juga sudah mengenal Yeni, kan? Kau bahkan ikut saat aku melamarnya kemarin. Lagipula menikah dengan Yeni adalah perjodohan dari ayah sebelum meninggal. Aku tidak mau menjadi anak durhaka,” tegas Gavin.
Alya mendesah sambil menengadahkan kepala ke atas menatap langit-langit ruang kerjanya. Tiba-tiba tanpa diminta airmatanya sudah ikut luruh. Gavin tertegun melihatnya kemudian mengambil tisu yang berada di atas meja.
“Kamu jangan menangis begini, dong. Kamu tetap adikku yang paling manis. Aku masih sayang sama kamu dan janji tidak akan melupakanmu begitu saja setelah aku menikah nanti,” ucap Gavin sambil menghapus airmata di pipi Alya dengan tisu yang baru diambilnya tadi.
Alya diam tidak menjawab dan membiarkan Gavin menghapus airmatanya.
“Aku juga janji akan sering main ke rumah. Kamu tenang saja, aku tidak akan melupakan kebiasaan kita setiap akhir pekan. Main karambol,” sambung Gavin sambil terkekeh.
Namun sepertinya candaan Gavin itu tidak membuat Alya tersenyum sedikit pun. Wajahnya masih menunduk kusut dan matanya juga sembab akibat luapan airmata yang tiada henti datangnya tadi.
“Aku tidak mau Mas Gavin hanya datang setiap akhir pekan. Aku juga tidak mau main karambol lagi. Aku hanya mau Mas Gavin menerima pernyataan cintaku ini. Aku sudah memendamnya lama, Mas dan ini saat aku menyatakannya. Mengapa Mas tega menghancurkan impianku?” dumel Alya sambil menatap Gavin marah.
Gavin terdiam lalu dibelainya rambut Alya yang panjang.
“Alya, kita saudara. Kita tidak mungkin saling mencinta seperti kekasih. Kamu juga tahu itu, 'kan? Memangnya aliran apa yang kau anut hingga kau sangat memaksa aku untuk menerima cintamu. Sudah, yang pasti aku tidak akan berubah meski sudah menikah nanti. Aku tahu kamu sengaja mengatakan ini karena takut kehilangan aku, 'kan?” ujar Gavin sambil tersenyum mencoba menebak maksud pembicaraan mereka kali ini.
Alya langsung menggeleng cepat seakan menyalahkan ucapan Gavin.
“Enggak. Aku mengatakannya dari hatiku dengan sungguh-sungguh. Aku memang mencintai Mas Gavin lebih dari kakakku. Apa Mas ingin bukti?” tantang Alya.
Gavin terkejut, sedikit memundurkan tubuhnya hingga akhirnya bersandar di sofa. Ia memang tahu kalau adiknya ini sedikit keras kepala dan arogan. Namun, ia tidak menyangka kalau dia akan berkata seperti itu.
“Sudah, Al. Aku gak akan membahas kata-katamu hari ini. Aku masih banyak kerjaan yang belum aku selesaikan.”
Gavin sudah beranjak bangkit hendak meninggalkan ruangan Alya. Namun, Alya mencegahnya dan menarik Gavin hingga duduk kembali. Gavin heran dan menatap Alya penuh tanda tanya.
'Aku tahu kita bukan saudara kandung, Mas. Kenapa kamu terus menutupinya? Kamu hanya kakak angkatku. Apa salah jika aku mencintaimu?' kata Alya dalam hati.
"Selain itu, aku bilang akan membuktikan perkataanku tadi,” lirih Alya bertutur.
Gavin masih diam dan bergeming di tempatnya. Sementara itu Alya sudah mendekatkan tubuhnya ke arah Gavin hingga wajah mereka tak berjarak. Gavin memang sangat akrab dengan Alya namun, kalau harus berdekatan tanpa jarak seperti ini, ia sedikit canggung juga.
“Al ... kamu mau apa?” desis Gavin dengan cemas.
Alya tersenyum tidak menjawab, kemudian perlahan ia sudah menempelkan bibir sensualnya ke bibir tipis Gavin membuat Gavin berhenti bernapas seketika.
Gavin bergegas turun dari mobil usai memarkirnya. Entah mengapa Bu Aminah tiba-tiba menelepon sore tadi dan memintanya datang ke rumah. Gavin menghentikan langkahnya saat melihat mobil Alya yang baru saja datang. Alya segera turun dari mobil dan berjalan menghampiri Gavin. Mereka berdua terlihat canggung, mungkin karena sudah lama tidak bertemu dan jarangnya komunikasi. Kemudian Gavin yang lebih dulu jalan mendekat dan langsung merengkuh Alya dalam pelukannya. Ia memeluk Alya dengan sangat erat seakan takut kehilangan. Alya hanya terdiam dalam pelukan suami sekaligus kakak angkatnya. “Maafkan aku, Babe. Aku janji akan memperbaiki semuanya,” cicit Gavin lirih sambil mengecup kening Alya sekilas. Alya mengangguk sambil tersenyum. Mereka kemudian sudah berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Gavin dan Alya sedikit terkejut saat melihat sudah banyak orang di dalam ruang tamu. Ada Yeni beserta bibi dan pamannya, ada Bu Tari, ibu pemilik panti asuhan tempat Gavin diadopsi dulu, ada bude
Alya baru saja memarkir mobilnya dan berjalan lesu menuju lift, dia tidak melihat mobil Gavin di sana. Alya bisa memastikan kalau suami sekaligus kakak angkatnya itu tidak masuk kerja lagi kali ini. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibir seksi Alya. Ia sudah menekan tombol di lift dan bergegas masuk saat pintunya terbuka.Sepi dan hening pagi ini, tidak seperti hari biasanya kali ini suasana sedikit sunyi. Padahal telinga Alya akhir-akhir ini sering mendengar lebah yang berdengung. Lebah-lebah itu selalu sibuk menjelekkan namanya dan juga nama Gavin. Alya sudah biasa mendengarnya jadi sedikit aneh jika kali ini, dia tidak mendnegar suara berdengung itu.Perlahan Alya masuk ke ruangannya. Rini belum datang dan Alya bisa melihat mejanya yang masih rapi, kosong belum terisi. Alya segera mengeluarkan isi di dalam paper bag yang dibawanya dari rumah. Bu Aminah sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Alya juga sebuah susu ibu hamil sebagai pelengkapnya.Alya tersen
Sudah hampir sepekan sejak peristiwa heboh pertengkaran Alya dan Yeni di kantor, sejak hari itu juga gosip dan rumor aneh-aneh semakin berkembang cepat dari mulut ke mulut. Ujung-ujungnya selalu menyalahkan pihak ketiga alias sang pelakor yang notabene dalam hal ini adalah Alya. Setiap kesempatan di kantor, Alya selalu dikucilkan. Para karyawan dari bawahan hingga setaraf manager sibuk menggunjingkan dirinya. Bahkan Alya sekarang tidak pernah melakukan meeting pagi.Dia memang masih berangkat ngantor namun hanya diam di dalam ruangannya sibuk mengerjakan tugasnya. Datang lebih awal dan pulang paling terakhir. Alya tidak tahan dengan gunjingan dan rumor yang terus menjelekkan namanya, jadi dia lebih memilih berdiam di ruangan saja. Hal yang sama lebih parah menimpa Gavin, dia malah tidak masuk kerja hingga beberapa hari.Gavin benar-benar depresi, belum habis dukanya akan kehilangan Putri dan penyesalan mendalam ditambah kini keadaan kantor yang semakin tidak nyaman. Se
Sudah hampir dua hari berselang dan Gavin selalu melalui hari yang sama, berangkat kerja, parkir di tempat biasa lalu naik lift harus bersamaan dengan para karyawan yang terus sibuk membicarakannya. Seperti pagi ini, padahal Gavin sudah berniat berangkat pagi agar tidak satu lift dengan para karyawan tukang ghibah itu. Namun, ternyata dia salah. Gavin kembali bertemu dengan karyawan tukang ghibah tadi.“Selamat pagi, Pak!” sapa salah satu dari karyawan yang suka ghibah itu. Gavin hanya mengangguk sambil tersenyum. Sekali lagi di hari yang beda dia bertemu dengan orang yang menyebalkan.Hanya lima orang karyawan yang pangkatnya supervisor dan asisten manager sudah berada bersama Gavin di dalam lift tersebut. Kembali lima orang itu sudah kasak kusuk sambil sesekali melirik Gavin.“Pak ... kok sekarang jarang bareng sama Bu Alya. Emang sudah gak sama Bu Alya lagi?” tanya salah satu dari mereka. Gavin hanya diam menghela napas panjang.
“CABUT UCAPANMU ITU, YENI!!!” sentak Gavin penuh amarah. Yeni hanya diam dan berdiri menantang Gavin seakan siap kalau Gavin hendak memukulnya.“Jangan pernah sekalipun menyumpahi anak yang sedang dikandung Alya. Aku memang lebih mencintai Alya daripada kamu. Tapi asal kamu tahu, kamu yang membuatku seperti itu. Kamu sendiri yang menjauh saat aku ingin dekat. Kamu yang membuka lebar pintu untuk aku menikah lagi. Aku harap kamu bisa belajar menelaah kini,” pungkas Gavin.Dia sudah membalikkan badan dan bergegas pergi meninggalkan Yeni. Sontak Yeni panik, dia ikut membalikkan badan dan mengejar Gavin.“Mas!! Kamu mau ke mana? Apa kamu mau ke Alya dan minta jatah pelayanannya lagi? MAS!!!” teriak Yeni penuh amarah. Gavin tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil kemudian sudah pergi meninggalkan rumahnya.Yeni semakin kacau, ia menyesal melepas tawaran Irwan saat itu. Hanya karena ingin memperbaiki rumah tangganya,
Gavin terdiam sambil menatap jasad yang sudah ditutupi kain berwarna putih. Usai menerima telepon dari Bu Aminah tadi, Gavin sangat shock. Dengan bergegas dia melarikan mobilnya ke rumah sakit dan kini dia sudah berdiri mematung di hadapan jasad buah hati kesayangannya.Gavin menyesal tidak berada di sampingnya saat Putri merenggang nyawa, Gavin menyesal tidak melihat Putri untuk terakhir kali. Dia sudah egois, mementingkan kebutuhan biologisnya dan melupakan tanggung jawabnya sebagai ayah.Hanya terdiam mematung tanpa bicara dan tanpa tangisan airmata yang dilakukan Gavin kini. Dia tidak bisa protes kepada siapa pun tentang hal ini. Dia juga tidak bisa bertanya bagaimana kondisi terakhir putrinya itu sesaat sebelum meninggal. Ini adalah penyesalan Gavin terbesar dan untuk pertama kali dia merasa gagal. Ia gagal sebagai ayah, gagal sebagai suami dan juga gagal sebagai lelaki. Tiga predikat itu telah melekat di namanya kini.Yeni berjalan menghampiri Gavin yang m