Pukul sebelas malam. Bus Transjakarta yang aku tumpangi ini melaju dengan kecepatan yang konstan pada jalurnya.
Suasana cukup sepi. Hanya ada empat penumpang yang tersisa. Yaitu aku, dua penumpang lelaki di bagian tengah, dan seorang wanita di pojok belakang.
Aku melamun, tenggelam pada memoriku sendiri.
“Mojo.,”
Suara Abah Anom pun kembali mengiang di dalam kenanganku.
“Saya, Abah..,”
Ketika itu, Abah Anom mengeluarkan sebuah amplop coklat dari saku baju kokonya.
“Kamu serahkan surat ini kepada Bapak Wisnu Wibisono di Jakarta sana..,”
Aku menerima amplop coklat, lalu kembali menunduk. Aku mencermati amplop yang telah berada di tanganku.
Tidak ada tulisan alamat, nama jalan, nomor telepon, atau semacamnya. Yang ada hanyalah sebuah tulisan berupa;
~ Untuk: Wisnu Wibisono
~ Dari: Abah Anom
Aku kembali menengadah ketika Abah Anom melanjutkan kata-katanya.
“Itu yang pertama. Nah, kemudian, ini adalah amanah Abah yang terakhir kepadamu. Yaitu, kamu harus menjaga putri Bapak Wisnu itu, sampai..,”
Abah Anom terbatuk-batuk. Kata-katanya pun terputus, hingga membuatku terpaksa menunggu.
“Sampai?” Aku menyusul bertanya. “Sampai kapan, Abah?”
Abah Anom menarik nafas dalam-dalam, berjuang keras menahan batuk yang tampak begitu menyiksa.
“Sampai..,” lanjut Abah Anom kemudian, “Sampai dia menikah dengan calon suaminya..,”
Tiba-tiba..,
Gerrudagg..! Gerrudugg..! Terdengar suara bising dari bus Transjakarta yang aku tumpangi ini. Menyusul kemudian suara-suara klakson yang saling bersahutan di jalan raya.
Aku tersentak dari lamunanku, menarik nafas dalam-dalam. Fiuuh..!
Tidak terasa, sudah dua tahun keberadaanku di Jakarta ini. Namun, dua amanah yang diberikan Abah Anom itu belum berhasil aku laksanakan.
Ada rasa bersalah yang seketika merundung hatiku. Hingga membuat udara di dalam bus metro ini terasa gerah.
Aku menurunkan resleting kostum badut Hello Kitty yang kupakai sedikit lebih ke bawah. Sementara itu, bagian kepalanya yang sejak tadi di pangkuanku, aku letakkan pada bangku bus yang kosong di sebelahku.
Sesaat, aku merasakan sesuatu yang tidak wajar di dalam bus Transjakarta ini. Aku segera melirik, memperhatikan dua penumpang lelaki di bagian tengah tadi.
Mereka sekarang bangkit dari bangkunya, lantas berjalan ke arah belakang. Aku terus melirik.
Rupanya, dua lelaki berperawakan tegap itu menghampiri penumpang wanita yang duduk di bangku paling belakang itu.
Sang wanita sedang sendiri. Ia sibuk mengutak-atik ponselnya ketika dua lelaki tadi telah sampai di depannya dan berdiri melingkar, mengurung dirinya.
Firasatku mengatakan, akan ada kejadian buruk di sini.
“Eeee…!” Seruku dalam hati.
Benar saja. Karena kemudian, dua lelaki itu mengeluarkan pisau lipat dan langsung menghunuskannya ke arah sang wanita.
“Berikan hape kamu!” Seorang dari lelaki itu langsung merampas ponsel dari sang empunya.
“Hei!” Sang wanita memekik.
Ia bermaksud merebut kembali ponsel miliknya. Namun, sontak saja ia mati kutu saat menyadari dua bilah pisau yang terarah ke dirinya. Terbius aura maut dari runcing dan tajamnya pisau itu.
Sang wanita takut bukan kepalang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemetar. Aku yang menyaksikan itu pun tercekat, menelan ludah yang hambar.
Sopir dan kondektur bus metro ini tampak sedang bercakap-cakap nun di kabin depan sana. Tidak ada yang mengetahui aksi pemerasan ini kecuali aku!
Dua lelaki yang ternyata adalah preman itu pun leluasa menjalankan aksinya memeras.
“Serahkan tas kamu!” Todong preman itu lagi seraya mendekatkan ujung pisaunya ke tubuh sang korban.
“Ampun, Mas.., ampun, jangan ambil tas saya.” Sang korban pun memohon, menjauhkan tas jinjingnya yang mahal itu dari jangkauan sang preman.
“Mau mati kamu ya?? Cepat! Serahkan uang kamu!” Satu orang preman langsung saja merampas tas.
Aku bergidik ngeri, merasa takut sekaligus kecut. Aku sadar pada satu kemungkinan di sini.
Yaitu, setelah kedua preman itu selesai dengan korban wanita mereka pun akan memeras aku pula. Penghasilanku mengamen sebagai badut hari ini bisa saja digasak oleh mereka.
Beberapa saat kemudian aksi pemerasan itu terus berlangsung. Sang wanita kini sudah menyerahkan semua barang miliknya kepada sang preman.
Berupa jam tangan mewah, dua anting, dan dua cincin yang tadi melingkar di jarinya. Hingga kemudian barang terakhir, yaitu sebuah kalung di leher wanita itu.
“Saya mohon, Mas.., saya mohon, Bang.., jangan ambil kalung saya ini..,” sang wanita memegangi kalungnya dengan sangat erat. Ia sudah menangis, ketakutan setengah mati.
“Kalung ini kenang-kenangan.., ini pemberian dari nenek saya..,”
“Cepat, serahkan!”
Plak..! Sebuah tamparan yang cukup keras pun mendarat di kepala sang wanita, hingga sebagian rambutnya tersirap dan berantakan. Sementara dalam momen yang amat menegangkan ini aku pun bertanya pada diriku sendiri.
“Apakah aku harus menolongnya?”
“Untuk membuktikan kepada dunia, bahwa tidak sia-sia Abah Anom telah mendidikku dengan ilmu bela diri?”
“Akan tetapi..,”
Aku pun teringat, bahwa terakhir kali aku menolong orang di ibukota ini, malah kemudian aku yang mendapat sial, meringkuk di penjara, nyaris satu tahun lamanya!
Ah, aku tak ingin menjadi superhero di dalam bus Transjakarta malam ini. Aku hanya ingin bertemu dengan Bapak Wisnu Wibisono, dan menjalankan amanah Abah Anom.
Sudah, selesai, habis perkara, dan aku bisa pergi ke Riau untuk mengklaim tanah warisan ibuku di daerah transmigrasi sana.
Seiring aksi pemerasan itu, sebuah pergumulan pun terus terjadi di dalam benakku. Antara menolong sang wanita, atau membiarkannya saja dan berlagak macam orang buta.
Detik demi detik yang menegangkan pun berlalu. Hingga akhirnya, aku mengambil kepala kostum badut Hello kitty dari bangku dan mengempitnya di ketiakku. Kemudian aku bangkit, berjalan ragu menuju ke bagian belakang bus.
Aku memang bukan Superman, tapi paling tidak aku bisa menolong sang wanita itu dengan caraku sendiri. Tentunya, dengan tanpa kekerasan. Aku pun berhenti persis di dekat dua preman.
“Mas.., Abang..,” seruku pelan.
“Apaa..??” Sahut lelaki pertama galak.
Lelaki yang kedua pun ikut menoleh dan segera menombak aku dengan pandangan matanya yang tajam.
“Sudahlah, Mas.., sudahlah, Bang, lepaskan dia.,” kataku mulai membujuk.
“Jangan ikut campur kamu!”
“Kalian sudah dapat hapenya, sudah dapat dompetnya, semua uang, jam tangan, anting dan cincinnya. Sekarang tinggal satu kalung itu, barang kenang-kenangan dari neneknya pun mau kalian rampas juga. Kasihanilah dia..,”
“Kamu siapa??” Tanya seorang dari preman itu, seraya memperhatikan kostum badut Hello kitty yang membungkus tubuhku ini.
“Saya, emm..,” Aku pun menunduk, mengisyaratkan pandanganku pada kepala Hello kitty di ketiakku.
“Saya cuma badut perempatan lampu merah.”
“Cuma badut, berani amat kamu mencampuri urusan kami??”
“Sudahlah, Bang.., sudahlah, Mas.., pergilah, jangan ganggu wanita ini,” bujukku lagi.
“Kalau kami tidak mau, kenapa rupanya?? Mau apa kamu?? Membela dia?? Mau jadi jagoan??”
Entah kesambet setan dari mana aku ini. Aku malah menyahut dengan kalem.
“Kalau kalian tidak mau melepaskan wanita ini, maka, aku akan menyeret kalian berdua ke kantor polisi, malam ini juga!”
Bahkan ketika mengucapkan kalimat itu, wajahku tetap dingin dan nyaris tanpa ekspresi. Beuuh.., berlagak cool pula aku ini!
Mendengar jawabanku tadi dua preman saling bertukar pandang. Lalu saling bertukar senyum yang mencibir. Aku pun meneruskan kata-kataku dengan intonasi yang tetap datar.
“Ketika aku bilang ‘menyeret’.., itu artinya, aku pegang kaki kalian, lalu aku tarik, sementara badan, muka, dan hidung kalian tergesek-gesek di aspal sepanjang dari sini sampai ke Mabes Polri sana.”
“Hahaha..! Mau mati kamu yaa??” Bentak seorang preman sembari maju dua langkah ke arahku.
Bersamaan dengan itu ia menghunuskan pisau lipatnya ke arahku. Kling! Cahaya lampu memantul dari situ. Tajam! Juga runcing!
Sumpah mati aku jantungan! Akan tetapi..,
“Oooh..! Kalian mau menikam saya?” Tanyaku pula macam orang blo’on.
“Mau menusuk badan saya ini??”
Aku menjatuhkan kepala Hello kitty ke lantai bus yang terus melaju, lantas mengembangkan kedua tanganku, sambil bilang..,
“Silahkan..,” aku tersenyum sumringah, sambil mengangguk-angguk.
“Silahkan kalian tusuk badan saya, terserah di bagian mana saja. Kalian boleh tusuk saya dua puluh kali.”
“Tapi setelah itu, ganti kalian yang saya tusuk, satu kaliiiiiii… saja!”
Kedua preman sontak saling berpandangan lagi. Mereka mungkin sadar bahwa aku ini mempunyai ilmu kebal, atau jimat, semacam itu. Terlebih lagi, aku berkata-kata dengan penuh percaya diri.
“Ayo, silahkan tusuk, jangan sungkan!”
Sementara di dalam hati, aku menyumpah-nyumpah.
“Dasar aku ini, semprul! Kalau dia menusuk betulan, bagaimana??”
********
**“Heeee..! Apa-apaan ini??” Tanyaku dalam hati.“Kelilit tali pocong dari mana dia kok bersikap macam anak-anak begitu??”“Ibu Widya ini CEO, kan??” Batinku terus bertanya-tanya.“Lhaaa.., CEO kok gitu??”Aku menelan ludah. Bingung tak tahu harus bagaimana melihat Ibu Widya itu menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, sembari meremas-remas kepalan tangan, disusul kemudian dengan berjalan hilir mudik macam setrika laundry.Sungguh aku tak habis pikir. Apa yang membuatnya tiba-tiba berubah dengan sangat drastis begitu. Dari seorang pemimpin perusahaan yang anggun dan berwibawa menjadi.., konyol?Ya, konyol. Kocak juga, iya.Tuh, tuh, wajahnya cemberut macam jeruk purut. Seperti anak-anak mau menangis tapi tidak jadi, atau seperti orang yang.., bisulnya mau pecah.Aku terus memandangi Ibu Widya yang hilir mudik di seberang situ. Ia tampak blingsatan sendiri, panik, dan bingun
**Hati Widya begitu kisruh saat ini. Ada banyak perasaan yang bergejolak dan itu didominasi oleh rasa jengah, marah, salah tingkah, tidak nyaman, risih, keki, gugup.., whatever!Apa pun itu membuat Widya ingin memasuki kamar mandi pribadinya di kantor ini. Ia ingin meludah, muntah, atau bila perlu mandi besar sekalian. Ganjil, entah mengapa ia tiba-tiba merasa jijik.Cepat ia melipat surat dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Setelah itu ia putar badan. Tetapi, langkah kakinya tertahan di satu sudut persis di samping wastafel.Pada detik ini juga ia tak sudi, jika Mojo si lelaki badut itu mengetahui dirinya yang akan masuk ke kamar kecil.Privasi!Widya putar haluan lagi, ingin keluar, tepatnya menuju toilet umum yang berada di ujung lorong, tak jauh dari resepsionis dan ruang rapat. Widya membuka daun pintu kantornya dan berhenti sebentar untuk..,“Jangan sentuh apa pun di ruangan saya ini!” Pesannya ketus pada Mojo.
**Widya Wibisono, sang CEO yang cantik dan energik ini merasa amat tersinggung dengan pertanyaan dari lelaki bernama Mojo di depannya.Spontan ia mendelikkan mata dan menghunuskan tatapannya ke arah Mojo. Jengkelnya lagi, Mojo itu menunjukkan ekpresi wajah seperti salah tingkah. Bukannya merasa bersalah.Mengapa? Mengapa Widya harus tersinggung? Bukankah itu pertanyaan yang wajar dan itu normal?Sayangnya, saat ini, tidak!Mengapa?Karena di setiap lebaran atau di setiap momen apa pun, setiap bertemu dengan saudara, kerabat atau sahabatnya, ia kerap mendapat pertanyaan yang senada; ‘kapan nikah’, kapan kawin’, ‘cepetan kawin bentar lagi kiamat’, begitu lho!Ada makna yang tersembunyi di balik pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bahwa, dirinya ini jomblo-lah, tidak laku-lah.Sementara ia sendiri belum terpikir akan segera menikah. Lagi pula Kelvin Hammond, k
**Aku ingin segera menanyakan status Ibu Widya ini. Masih lajang-kah? Atau, sudah menikah-kah? Akan tetapi, menurut hematku itu tidak sopan.Aku butuh banyak perbincangan terlebih dulu. Butuh pendekatan yang persuasif untuk menanyakan sesuatu yang berada di ranah pribadi itu.Lagi pula, sekarang ini ia sedang gondok-gondoknya. Maksudku, sedang jengkel setengah mati. Ya karena aku, ya karena situasi, dan karena beberapa hal berikut yang selanjutnya ia pertanyakan padaku.“Kamu ingat waktu dulu kita bertabrakan di sudut jalan? Hape yang saya pegang terjatuh. Buah melon yang sedang kamu pegang juga terjatuh, ingat?”“Ingat, Bu,” jawabku pelan.“Jujur ya, waktu itu saya marah sekali karena keteledoran kamu sewaktu berjalan.”Kamu yang teledor! Sahutku dalam hati. Kamu yang berjalan tanpa melihat kanan-kiri, kamu yang berjalan sambil mengutak-atik ponsel!Ibu Widya meneruskan kata-katanya.
**Sang CEO, alias Ibu Widya itu, juga tak kepalang terkejutnya. Ia sampai membuka kacamata dan mengucek-ngucek matanya.Tanpa sadar ia bangkit berdiri. Aku yang sudah duduk pun ikut berdiri.“Kamu..,” jarinya menuding aku.“Kamu..,” aku pun menuding dia.Sontak saja ia meradang.“Lancang betul kamu berani menuding-nuding saya di kantor saya sendiri??” Ketusnya seketika.Deg! Jantungku seakan berhenti berdegup. Aku langsung terbungkam beberapa saat.“Maaf, maaf, maafkan saya, Bu.” Aku menurunkan tudingan tanganku, lalu pelan-pelan kembali duduk.Aku yang tak sanggup menerima tatapan tajam Ibu Widya cepat saja menundukkan kepala.Oh, betapa ajaibnya kehidupan ini!Dulu ketika aku kesulitan mencari alamat Wisnu Wibisono, aku merasa dunia ini teramat sangat luasnya. Namun sekarang ketika aku telah menemukannya, ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Tak lebih!Bagaimana mungkin, oh, bagaimana mungkin??Ibu Widya Wibisono sang CEO ini ternyata wanita yang tadi malam aku selamatkan di bu
Keesokan harinya..,Dengan menaiki bus lalu aku teruskan dengan naik ojek online, akhirnya siang ini aku sampai di Priok, tepat pada alamat yang aku tuju. Sesuai dengan petunjuk yang kudapat dari Galih tadi malam. Lalu sekarang, aku berdiri canggung di tepi jalan raya. Matahari terik kota Jakarta hampir mencapai titik kulminasinya, membuatku terpaksa menyipitkan mata.Kepalaku menengadah, menatap sebuah gedung tinggi nan megah dengan pucuknya yang tampak menusuk langit.Dua puluh lima lantai, kurang lebih, inilah dia, gedung yang bernama Arung Tower. Jendela-jendela kantornya yang persegi tampak tersusun simetris dari atas ke bawah, juga dari kanan ke kiri.Aku kemudian melangkah menuju gedung Arung Tower itu. Sembari berjalan aku membetulkan posisi tas selempangku, sembari meyakinkan diri bahwa sepucuk surat yang terbungkus amplop untuk Pak Wisnu Wibisono telah berada di dalamnya sejak aku pergi dari rumah tadi. “Permisi, selamat siang, Pak,” sapaku pada seorang petugas sekuriti,