Suasana di dalam bus Transjakarta ini sangat tegang, dan mencekam. Cahaya lampu dari luar sesekali menyorot wajah-wajah kami yang saling berhadapan.
Bola mataku menatap nanar pada dua pisau yang terhunus. Aku mengeraskan rahangku, berusaha tampak teguh. Namun sesungguhnya, aku menyembunyikan gestureku saat menelan ludah.
Aku gugup, sekaligus takut, pada segala kemungkinan. Juga pada pilihan yang akan aku lakukan berikutnya.
Sang wanita yang tadi menangis ketakutan sampai berhenti menangis. Dari bangkunya ia menatapku dengan melongo.
Kedua preman yang memeras juga ikut melongo. Sebentar mereka berdua saling lirik. Agaknya, mereka ragu untuk menjawab tantanganku tadi.
“Tusuk saya sebanyak lima kali. Tapi setelah itu ganti kalian yang saya tusuk. Satu kali saja.”
Artinya apa? Itu artinya, aku kebal. Begitu logikanya, dan begitulah pastinya pikir mereka. Akan tetapi, apakah benar aku mempunyai ilmu kebal??
Boro-boro! Tertusuk jarum pentul saja aku tembus. Terjepit resleting sewaktu pipis saja aku menangis!
Preman yang di kanan mungkin mulai termakan oleh bualanku. Ia mulai gentar. Pelan-pelaln ia mulai menurunkan hunusan pisau lipatnya.
Sementara preman yang di kiri masih bimbang. Aku mau menarik nafas lega, tapi tunggu dulu, belum saatnya.
“Kamu tadi bilang mau menyeret kami ke kantor polisi, memangnya kamu ini polisi ya??” Tanya preman di kiri itu. Mimik wajahnya memang masih sangar, tapi nada suaranya mulai menurun.
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Tatapan mataku aku pertahankan terus menyorot mereka berdua. Penuh waspada.
“Intel? Reserse? Iya? Kamu intel polisi??”
“Kalau iya, kenapa? Dan kalau bukan, kenapa?” Jawabku pula dengan pertanyaan yang mengambang. Biar semakin bingung mereka.
“Atau, kamu tentara? Anggota TNI? Sedang menyamar?”
“Kalau iya, kenapa? Dan kalau bukan, kenapa?”
Antara kesal dan gentar, preman di kiri itu menoleh pada rekannya di kanan. Yang ditoleh hanya bereaksi dengan mengangkat bahu.
Logika mereka terus bekerja. Terus menalari bahwa, jika aku kebal senjata maka aku bisa melakukan apa pun yang ingin kulakukan terhadap mereka. Menghajar mereka, misalnya.
Yes! Mereka berdua mulai ragu meneruskan aksi mereka. Sepertinya gertakanku tadi mulai mengena. Antara takut dan ngeri, entah mengapa aku merasa di atas angin.
“Seperti yang aku bilang tadi, aku ini hanya seorang badut.” Kataku.
“Akan tetapi, kalau kalian meminta, aku bisa memindahkan wajah kalian.., ke panxtat kalian.”
Jujur, ancamanku barusan tadi aku tiru dari seorang jawara Betawi yang pernah aku temui dulu di Jakarta Timur. Aku mengembangkan kedua tanganku lagi.
“Ayo, silahkan tusuk. Aku tak punya banyak waktu. Cepatlah, supaya kita bisa bergantian.”
“Mau di sini..,” aku menepuk-nepuk perutku.
“Atau di sini..,” aku menunjuk-nunjuk leherku.
“Atau di sini..,” aku pun menepuk-nepuk panxtatku.
Akhirnya, preman yang kedua tadi pun menyusul temannya kehilangan nyali, dan segera menurunkan todongan pisau lipatnya.
“Nah, sekarang, kalau kalian tidak mau aku seret ke kantor polisi, kembalikan semua barang-barang milik perempuan itu!”
Kedua preman itu masih berusaha mempertahankan harga dirinya. Akan tetapi, gagal total. Mereka mungkin telah mengambil kesimpulan bahwa aku ini seorang jagoan, mafia, atau preman yang levelnya berada di atas mereka.
Wajah tawarku, sorot mataku yang dingin, juga cara berdiriku yang tenang seakan telah membekukan nyali mereka berdua.
Akhirnya, sembari bersungut-sungut mereka pun mengembalikan semua barang yang dirampasnya tadi kepada sang wanita.
Menerima barang miliknya kembali sang wanita benar-benar speechless. Antara terpana dan kagum, ia kembali menatapku dengan raut yang melongo.
Selang tak berapa lama kemudian bus Transjakarta ini pun berhenti di sebuah halte. Kedua preman itu sontak berbalik dan cepat turun dari bus.
“Baiklah..,” pikirku. Ini saatnya menarik nafas yang lega.
Fiuuuhh..! Legaaa..!
Setelah segalanya berlalu, aku membungkuk untuk memungut kepala badut yang kujatuhkan tadi. Lalu melangkah dan kembali duduk di bangkuku.
Bus pun kembali melaju. Aku tak memedulikan sang wanita yang terus memandangi aku dari posisinya duduk. Ia tampak masih tak percaya dengan kejadian yang belum lama berselang.
Aku terus duduk anteng di sepanjang rute menuju halte tujuanku. Di dalam hati aku tak henti mengucap syukur karena masih diberi keselamatan oleh Tuhan. Sekaligus juga, terus merasa lega karena tidak harus berkelahi melawan perampok bersenjata tajam tadi.
Akan hal pisaunya, ya, tentu saja aku takut. Tapi, itu cuma sedikit. Aku justru lebih takut pada diriku sendiri, andai gagal mengontrol diri sendiri sehingga melukai orang lain. Dalam hal ini, perampok tadi, ya dengan pisau mereka sendiri.
“Ah.., Abah Anom..,” bisikku dalam hati.
Aku merasa sangat berhutang budi kepada guru silat sekaligus orang tua asuhku itu.
“Abah.., dengan cara apa pun aku akan membalas hutang budiku itu..,”
“Meskipun dengan cara mencicil,”
“Aku akan menemukan Wisnu Wibisono, dan menjalankan amanah Abah.”
Cesss..! Terdengar suara rem angin dari bus yang kini berhenti lagi di sebuah halte. Yup, inilah titik pemberhentianku.
Pintu samping bus terbuka secara otomatis. Ada dua penumpang lain yang masuk. Bersamaan dengan itu aku segera beranjak dan melangkah keluar, tanpa lupa membawa kepala kostum badutku.
Aku turun di halte dan meneruskan perjalananku ke rumah kontrakan dengan berjalan kaki. Aku tidak mau memesan ojek, meski jaraknya tergolong cukup jauh. Yaitu sekitar setengah jam bergoyang dengkul. Tidak apa-apa, aku masih sehat, juga untuk menghemat.
Angin malam bertiup semilir dari arah teluk Jakarta sana. Memberi kesejukan pada tubuhku yang setengahnya masih terbungkus kostum badut ini.
Aku terus berjalan tenang di sepanjang trotoar, menyelisihi pohon-pohon peneduh jalan yang sebagian akar-akarnya tampak menyembul dari aspal.
Tiba-tiba, ada yang menahanku.
“Heiii..! Mas..!”
********
**Oh ya, apakah aku melupakan sesuatu?Aku menoleh dan menatap meja plastik sandingan dudukku tadi. Ya, itu dia. Aku mundur lagi dua langkah, untuk mengambil sebungkus wafer yang ada di atas meja itu.Ini adalah wafer rasa keju yang tadi aku kudap sembari melamun. Isinya tinggal setengah.“Untuk Venus saja,” pikirku.Dalam waktu yang bersamaan aku pun mendapat satu ide yang baru dengan wafer ini. Aku kemudian berjalan tenang menuju Venus di sudut halaman.Suara langkah kakiku yang semakin dekat ternyata langsung direspon oleh Venus. Ia mengangkat kepalanya, tapi masih enggan bangkit dari posisinya berbaring.“Hei, boy..,” sapaku pada Venus.Setelah sampai aku pun berjongkok di depan Venus. Anjing yang malang ini melirik ke arahku dengan sikap yang cuek. Persis seperti anak kecil yang sedang merajuk.Menurut keterangan Mbak Ratih tempo hari, Venus ini pernah dikursuskan oleh almarhum P
**Malam harinya, aku duduk sendiri di depan kamarku. Tepat di teras paviliun yang menghadap ke halaman belakang rumah utama yang luas ini.Aku ingin menelepon Iroh. Tapi sayang, ia belum bisa aku hubungi.“Aku lembur, Mas.” Katanya tadi di dalam pesan chat.“Jangan kemalaman, lho.” Balasku.“Iya, nih, sebentar lagi selesai kok.”Ketika setengah jam kemudian aku menge-chatnya, ia sedang dalam perjalanan pulang, naik busway.“Hati-hati nanti pulangnya.”“Iya, Mas. Jjangan khawatir. Aku pulangnya bareng temen-temen kok.”Tidak terasa sudah hampir dua minggu aku tidak bertemu dengan Iroh. Kangen!“Kamu ngapain, Gending?” Tiba-tiba Pak Murad muncul.Ia baru kembali dari arah garasi sana. Baru saja selesai mencuci mobil. Celana training panjang yang dikenakannya masih tergulung.“Saya lihat tadi dari jauh, kamu bengong saj
**Kalau aku mendapat satu firasat yang buruk, biasanya itu selalu jitu. Apakah itu?Setelah mendengar keterangan dari Pak Bisma itu Miss Widya seperti terpekur. Ia lantas melempar pandangannya ke sekeliling, kepada para bawahannya dan terakhir berhenti pada Pak Syailendra.“Bagaimana pandangan Bapak?” Tanya Miss Widya.Pak Syailendra langsung menjawab.“Kita yang punya bangunan, kita yang punya gudang, tapi kalau pembangunannya terhambat oleh situasi yang tidak kondusif di lapangan, sepertinya kita juga mesti urun tenaga untuk membantu.”“Jadi, anggaplah para preman itu sebagai force majeur, seperti halnya bencana alam, tentu kita juga yang rugi kalau dibiarkan terus begini. Yang pasti, kita rugi waktu.” “Oh ya, tim legal kita bagaimana?” Tanya Miss Widya lagi.Kali ini Pak Bisma yang menyahut.“Tim legal kita tetap bekerja, Bu. Mereka sudah berkoordinasi deng
**Sebelum tengah hari, Miss Widya keluar dari ruangannya. Ia berjalan sembari menenteng tas jinjing berbahan kulit, tidak membawa tas kerja yang biasanya berisi laptop. “Mau pergi ke mana dia?” Batinku.Seingatku, tidak ada agenda apa-apa di jam ini. Kecuali siang nanti, yaitu meeting dengan para staf dan bawahannnya.Miss Widya berjalan agak terburu-buru. Langkahnya gegas, diricuhi gerakan tangan kanannya yang membuka tas jinjing di tangan kiri, seperti memeriksa barangkali ada yang tertinggal.Aku yang kebetulan melihatnya pergi pun segera mengejar. Masih di bagian kantor, tepat sebelum mencapai lift aku pun sampai di belakang Miss Widya.“Mohon maaf, Miss mau ke mana?” Aku bertanya sembari menyejajarkan langkah kakiku dengan langkah Miss Widya.Karena tak mendapat jawaban aku bertanya lagi.“Apakah ada agenda mendadak?”Miss Wi
**Satu jam kemudian..,“Apa-apaan kamu berlagak macam bos begitu??”Itu adalah semprotan pertama dari mulut Miss Widya sesaat setelah kami kembali dari ruang tamu.Dua orang tamu tadi sudah pergi. Aku dan Miss Widya pun sudah kembali dari ruang tamu, tapi sekarang masih berada di depan pintu ruang CEO.“Maaf, Miss.., saya tidak bermaksud..,” kata-kataku terpotong.“Bosnya itu sayaaa..!!” Umpat Miss Widya sembari menepuk-nepuk dadanya sendiri. Pok! Pok!Ia kemudian menekan-nekan dadaku dengan ujung jari telunjuknya.“Bukan kamuuu..!!”Aku hanya bisa menunduk, sedikit memalingkan wajah ke arah kiri, supaya Ziza yang ada di meja resepsionis itu tidak bisa melihat wajahku.“Berani sekali kamu tadi mengoreksi kata-kata saya di depan para tamu!” Miss Widya terus merepet setengah histeris.“Saya jadi malu, tahuu..!”Apakah aku boleh me
**Aku berjalan tergesa-gesa di sepanjang lorong besar di lantai dua puluh lima ini. Aku melewati area kantor open space, di mana meja-meja para karyawan Arung Bahari Corp hanya dipisahkan oleh partisi.Karena bingung, aku lantas berhenti di sembarang meja yang ada penghuninya.“Permisi, Mbak,” sapaku pada sosok wanita di balik meja ini.“Ya? Ada apa?” sahutnya dengan tanya.“Meja kerja Pak Charles yang mana ya?”“Itu, yang paling ujung.” Jawab si Mbak karyawati sambil menunjuk ke kanan.“Terima kasih.”Sampai pada meja yang kutuju, ternyata meja Pak Charles sedang kosong. Orang yang bersangkutan tidak ada di tempat.“Dia sedang keluar, ada janji presentasi dengan klien.”Demikian informasi yang aku dapat dari penghuni meja sebelah, yaitu rekan Pak Charles, lelaki berpostur sedang dengan rambut keriting nan klimis.Nah, lho, sampai di s