Home / Lainnya / Jagoan Kampung Merantau Ke Kota / Bab 2: Tantangan dan Ancaman

Share

Bab 2: Tantangan dan Ancaman

Author: Ayusqie
last update Last Updated: 2025-05-13 23:00:02

Suasana di dalam bus Transjakarta ini sangat tegang, dan mencekam. Cahaya lampu dari luar sesekali menyorot wajah-wajah kami yang saling berhadapan.

Bola mataku menatap nanar pada dua pisau yang terhunus. Aku mengeraskan rahangku, berusaha tampak teguh. Namun sesungguhnya, aku menyembunyikan gestureku saat menelan ludah.

Aku gugup, sekaligus takut, pada segala kemungkinan. Juga pada pilihan yang akan aku lakukan berikutnya.

Sang wanita yang tadi menangis ketakutan sampai berhenti menangis. Dari bangkunya ia menatapku dengan melongo.

Kedua preman yang memeras juga ikut melongo. Sebentar mereka berdua saling lirik. Agaknya, mereka ragu untuk menjawab tantanganku tadi.

“Tusuk saya sebanyak lima kali. Tapi setelah itu ganti kalian yang saya tusuk. Satu kali saja.”

Artinya apa? Itu artinya, aku kebal. Begitu logikanya, dan begitulah pastinya pikir mereka. Akan tetapi, apakah benar aku mempunyai ilmu kebal??

Boro-boro! Tertusuk jarum pentul saja aku tembus. Terjepit resleting sewaktu pipis saja aku menangis!

Preman yang di kanan mungkin mulai termakan oleh bualanku. Ia mulai gentar. Pelan-pelaln ia mulai menurunkan hunusan pisau lipatnya.

Sementara preman yang di kiri masih bimbang. Aku mau menarik nafas lega, tapi tunggu dulu, belum saatnya.

“Kamu tadi bilang mau menyeret kami ke kantor polisi, memangnya kamu ini polisi ya??” Tanya preman di kiri itu. Mimik wajahnya memang masih sangar, tapi nada suaranya mulai menurun.

Aku menggelengkan kepalaku pelan. Tatapan mataku aku pertahankan terus menyorot mereka berdua. Penuh waspada.

“Intel? Reserse? Iya? Kamu intel polisi??”

“Kalau iya, kenapa? Dan kalau bukan, kenapa?” Jawabku pula dengan pertanyaan yang mengambang. Biar semakin bingung mereka.

“Atau, kamu tentara? Anggota TNI? Sedang menyamar?”

“Kalau iya, kenapa? Dan kalau bukan, kenapa?”

Antara kesal dan gentar, preman di kiri itu menoleh pada rekannya di kanan. Yang ditoleh hanya bereaksi dengan mengangkat bahu.

Logika mereka terus bekerja. Terus menalari bahwa, jika aku kebal senjata maka aku bisa melakukan apa pun yang ingin kulakukan terhadap mereka. Menghajar mereka, misalnya.

Yes! Mereka berdua mulai ragu meneruskan aksi mereka. Sepertinya gertakanku tadi mulai mengena. Antara takut dan ngeri, entah mengapa aku merasa di atas angin.

“Seperti yang aku bilang tadi, aku ini hanya seorang badut.” Kataku.

“Akan tetapi, kalau kalian meminta, aku bisa memindahkan wajah kalian.., ke panxtat kalian.”

Jujur, ancamanku barusan tadi aku tiru dari seorang jawara Betawi yang pernah aku temui dulu di Jakarta Timur. Aku mengembangkan kedua tanganku lagi.

“Ayo, silahkan tusuk. Aku tak punya banyak waktu. Cepatlah, supaya kita bisa bergantian.”

“Mau di sini..,” aku menepuk-nepuk perutku.

“Atau di sini..,” aku menunjuk-nunjuk leherku.

“Atau di sini..,” aku pun menepuk-nepuk panxtatku.  

Akhirnya, preman yang kedua tadi pun menyusul temannya kehilangan nyali, dan segera menurunkan todongan pisau lipatnya.

“Nah, sekarang, kalau kalian tidak mau aku seret ke kantor polisi, kembalikan semua barang-barang milik perempuan itu!”

Kedua preman itu masih berusaha mempertahankan harga dirinya. Akan tetapi, gagal total. Mereka mungkin telah mengambil kesimpulan bahwa aku ini seorang jagoan, mafia, atau preman yang levelnya berada di atas mereka.

Wajah tawarku, sorot mataku yang dingin, juga cara berdiriku yang tenang seakan telah membekukan nyali mereka berdua.

Akhirnya, sembari bersungut-sungut mereka pun mengembalikan semua barang yang dirampasnya tadi kepada sang wanita.

Menerima barang miliknya kembali sang wanita benar-benar speechless. Antara terpana dan kagum, ia kembali menatapku dengan raut yang melongo.

Selang tak berapa lama kemudian bus Transjakarta ini pun berhenti di sebuah halte. Kedua preman itu sontak berbalik dan cepat turun dari bus.

“Baiklah..,” pikirku. Ini saatnya menarik nafas yang lega.

Fiuuuhh..! Legaaa..!   

Setelah segalanya berlalu, aku membungkuk untuk memungut kepala badut yang kujatuhkan tadi. Lalu melangkah dan kembali duduk di bangkuku.

Bus pun kembali melaju. Aku tak memedulikan sang wanita yang terus memandangi aku dari posisinya duduk. Ia tampak masih tak percaya dengan kejadian yang belum lama berselang.

Aku terus duduk anteng di sepanjang rute menuju halte tujuanku. Di dalam hati aku tak henti mengucap syukur karena masih diberi keselamatan oleh Tuhan. Sekaligus juga, terus merasa lega karena tidak harus berkelahi melawan perampok bersenjata tajam tadi.

Akan hal pisaunya, ya, tentu saja aku takut. Tapi, itu cuma sedikit. Aku justru lebih takut pada diriku sendiri, andai gagal mengontrol diri sendiri sehingga melukai orang lain. Dalam hal ini, perampok tadi, ya dengan pisau mereka sendiri.

“Ah.., Abah Anom..,” bisikku dalam hati.

Aku merasa sangat berhutang budi kepada guru silat sekaligus orang tua asuhku itu.

“Abah.., dengan cara apa pun aku akan membalas hutang budiku itu..,”

“Meskipun dengan cara mencicil,”

“Aku akan menemukan Wisnu Wibisono, dan menjalankan amanah Abah.”

Cesss..! Terdengar suara rem angin dari bus yang kini berhenti lagi di sebuah halte. Yup, inilah titik pemberhentianku.

Pintu samping bus terbuka secara otomatis. Ada dua penumpang lain yang masuk.  Bersamaan dengan itu aku segera beranjak dan melangkah keluar, tanpa lupa membawa kepala kostum badutku.

Aku turun di halte dan meneruskan perjalananku ke rumah kontrakan dengan berjalan kaki. Aku tidak mau memesan ojek, meski jaraknya tergolong cukup jauh. Yaitu sekitar setengah  jam bergoyang dengkul. Tidak apa-apa, aku masih sehat, juga untuk menghemat.

Angin malam bertiup semilir dari arah teluk Jakarta sana. Memberi kesejukan pada tubuhku yang setengahnya masih terbungkus kostum badut ini.

Aku terus berjalan tenang di sepanjang trotoar, menyelisihi pohon-pohon peneduh jalan yang sebagian akar-akarnya tampak menyembul dari aspal.

Tiba-tiba, ada yang menahanku.

“Heiii..! Mas..!”

********

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 177: Apresiasi Untuk Mikhail

    **Apakah akan berujung menjadi pasangan, itu lain soal. Yang pasti, sifat naluriah seorang wanita adalah, bahwa ia dengan pesona yang dimilikinya bisa membuat lawan jenis tertarik kepadanya.Seperti wanita kebanyakan, Miss Widya suka dengan tatapan kagum seorang lelaki.Misss Widya suka dengan pujian para pria. Ia ingin menjadi center of gravity bagi para kaum adam di dunia ini.Tapi ternyata, Gending tidak ada di dimensi itu!Ia berada di universe yang berbeda, dan bersamanya sekarang ini adalah Iroh yang ia cintai itu.Miss Widya menelan ludah, yang anehnya sekarang terasa pahit.Almarhum ayahnya bersama Abah Anom diam-diamm telah menjodohkan dirinya dengan Gending. Tapi Gending mencintai orang lain. Bagaimana tidak pahit?“Ah, seharusnya ini tidak pahit!” Sanggah Miss Widya dalam hati.“Karena aku mencintai Kelvin!”“Tapi Kelvin selingkuh dengan wanita lain di luar san

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 176: Cubitan dan Jeweran

    **Gending.., melirik Miss Widya!“Nih, saya melirik.”Yang dilirik pun merasa keki. Dengan gemasnya Miss Widya mencubit pangkal lengan Gending. Lalu nyaris tanpa sadar ia mengeluarkan ekpresi yang manja.“Iiiiihh..! Bukan melirik yang begitu maksud aku, Gendiiiing!”Kali ini Miss Widya menjewer ujung telinga Gending, tetap dengan ekpresinya yang gemas dan manja.“Kamu tuh kadang suka ngeselin ya?”Gending yang menerima cubitan dan jeweran lembut itu pun hanya bisa terdiam sembari menahan senyum yang grogi.Ia merasa aneh, menerima sikap manja Miss Widya, persis seperti yang biasa ia dapatkan dari Iroh. “Maksud aku, apakah kamu..,”“Iya, iya, Miss. Saya paham kok. Tapi, saya memang tidak pernah mencoba untuk mengkhianati Iroh.”“Kenapa?”“Jawabannya ada pada kata-kata saya sebelumnya.”&ldquo

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 175: Melirik Wanita Lain

    **“Ngomong-gomong, itu apa, Miss?” Gending menunjuk segulung kertas di tangan Miss Widya.Putri Wibisono ini tiba-tiba menjadi gugup. Ia menunduk, menatap gulungan kanvas lukis di tangannya.Pada momen ini Gending tentu saja tidak mengetahui bahwa itu adalah hasil karya Mikhail.“Ah, bukan apa-apa, cuma brosur mobil.” Sahut Miss Widya menutupi kegugupannya dengan mengalihkan pandangan ke arah burung elang lagi.“Brosur mobil?”“Iya, tadi, waktu berjalan ke sini, saya dicegat seorang sales mobil dari sebuah dealer. Mereka membuka sebuah stand di Taman Mini ini.”Gending mengangguk-angguk. Sementara di sisi Miss Widya, hatinya menjadi berdebar tak keruan.Lukisan di tangannya benar-benar menjadi sebuah proyeksi dari mimpi sekelebat yang pernah ia alami.Subyek di dalam mimpinya jelas: Gending!Subyek di dalam lukisan; tidak jelas siapa!Lalu subyek wanita di ke

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 174: Tentang Setia

    **“Miss,” sapa Gending setelah sampai.Miss Widya menoleh sebentar, hanya untuk memastikan bahwa yang menghampirinya adalah Gending, bukan orang lain.Ia kemudian mengalihkan pandangannya lagi pada seekor elang di dalam kandang besar di depannya.“Maaf saya tadi tidak memperhatikan Miss. Saya sampai tidak sadar kalau Miss sudah pergi.”Miss Widya tidak menyahut. Ia terus memandangi burung elang sebesar ayam dewasa di dalam kandang itu.Gending jadi tak enak hati karena dicueki. Ia menoleh ke arah sisi yang jauh di kanan sana.Ia melihat masih ada belasan kandang lagi dengan ukuran yang sama. Namun, penghuninya elang dari spesies yang berbeda.Di antaranya adalah elang laut, elang brontok, elang hitam, elang gunng, dan beberapa lainnnya.“Coba kamu lihat burung elang itu, Gending.” Miss Widya menunjuk burung elang pada sangkar besar di depan mereka.Ia menunjuk bukan menggunakan

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 173: Masuk ke Kubah

    **Widya kemudian mendengar suara kasak-kusuk di antara sesama panitia yang sedang bekerja itu.“Kalian sudah menyortir lukisan nomor 217?” Tanya ketua panitia yang tadi, pada salah satu juri wanita di depannya.“Nomor 217?” Sahut sang juri pula bertanya.“Iya.”“Tidak ada tuh.”“Ini, aku cari di meja sini tidak ada.”“Oh, nomor 217 ya?”“Iya.”“Ada di kotak sampah.”“Yakin?”“Iya, aku yakin banget. Itu tuh lukisan yang paling jelek, paling tidak nyambung, dan menyalahi tema.”Ketua panitia itu pun bergeser ke satu sisi, lalu mengobok-obok isi kotak sampah di mana isinya adalah semua karya yang tidak lolos sortir dan akan dibuang.“Hmm..,” Betul dugaan Widya pertama tadi, bahwa karya yang gagal akan dimusnahkan.Widya tetap sabar menunggu. Hingga akhirnya,

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 172: Lukisan Nomor 217

    **“Permisi,” kata Widya, melangkah pelan memasuki tenda yang berukuran cukup besar ini.Beberapa juri yang sedang menyortir lukisan dan panitia lain yang tengah sibuk sontak mengalihkan perhatian mereka pada sosok Widya.“Ada apa, Mbak?” Sambut seorang lelaki berseragam kaus biru dan bertopi pet.“Eee.., begini.” Widya menoleh sekeliling sebentar, menaruh perhatiannya pada interior tenda yang cukup semarak dengan aneka dekorasi.Pantasa saja orang-orang di sini tidak merasa gerah atau kepanasan. Ternyata, ada dua buah kipas embun yang cukup besar.“Saya Widya. Saya pengunjung Taman Mini yang kebetulan mampir di acara lomba ini.”“Hem-hem? Ada yang bisa dibantu, Mbak?”“Eee.., anu, oh ya Mas, apakah benar bahwa semua karya anak-anak peserta lomba menjadi milik sponsor?”“Iya, betul. Lalu?”“Jadi begini. Kebetulan tadi saya me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status