**
“Siapa namanya?” Kejar Widya dengan penasaran.
“Ya elaaaah..!” Gerutu sang ibu tiba-tiba.
“Sampai ke nama juga kamu tanyain! Manalah Mama tahu. Mana mungkin juga Mama kenal.”
“Hehehe..,” Widya tertawa pelan, merasa konyol sendiri.
“Toh, waktu itu Mama dan Papa tidak punya kepentingan apa-apa kecuali hanya bersilaturahmi dengan Abah Anom.” Sambung ibunya.
“Iya, iya,” sahut Widya menahan malu.
“Kenapa tiba-tiba kamu nanyain soal murid Abah Anom?”
“Tidak ada apa-apa.” Widya memalingkan wajahnya yang memerah.
“Aneh saja. Tak ada angin tak ada hujan, kamu tanya-tanya tentang itu.”
Widya mengangkat kedua bahunya. Ujarnya beralasan,
“Entah kenapa tiba-tiba aku teringat Abah Anom dan padepokannya di desa Gayatri sana. Dengan suasana desa yang tenang.., dengan persawahan yang diapit gunun
**“Tidak apa-apa, Bu,” sahutku enteng. “Usir saja saya sekarang.”Kontan saja Ibu Widya terperangah. Kedua matanya melotot seperti mau marah. Tapi hanya sebentar, karena mendadak redup lagi.Ancamannya terhadapku tidak berefek. Sikap santaiku benar-benar ‘nothing to loose’ di depannya kini. Tidak menjadi ajudannya toh aku juga tidak rugi.Ibu Widya masih memandangi aku dengan sorot matanya yang kalah itu. Kentara sekali wajahnya yang tampak menahan kesal.Ia melirik sekilas ke arah lelaki bule seakan butuh dukungan moriil. Kemudian, ia lanjut berujar padaku.“Hemm.., lumayan impresif juga kamu ya.” Senyumnya agak sinis.“Okelah, oke saya tidak akan mengusir kamu. Saya anggap saja kamu ngawur, yang ternyata kebetulan itu benar.”“Nah sekarang saya ingin tanya. Apa yang akan kamu lakukan dalam rangka menjamin keamanan dan keselamatan saya, di mana pun saya berada?
**“Bule?” Batinku heran.Aku segera teringat pada gosip sewaktu berada di dalam lift tadi. Aku terus mencari benang merah dari gosip itu dengan keberadaan lelaki bule itu.Dengan cara yang tersamar aku melirik ke kiri, berusaha menakar si bule. Menurutku, dia cukup menarik untuk orang kebanyakan.Sosoknya terbangun dari kombinasi postur dan tulang rahangnya yang khas Kaukasoid, dengan wajah dan mata khas Skandinavia yang dingin.Ganteng, lumayan. Badannya tinggi, dan ia tak perlu berdiri untuk bisa aku bandingkan dengan tinggi badanku sendiri.Kulitnya, apa yang bisa kusebutkan, putih pucat kemerah-merahan. Rambutnya agak pirang.Terakhir bola matanya, entahlah, terlalu jauh aku melihat dari posisiku ini.“Dasar kutukupret!” Gerutuku dalam hati.Sudah masuk ke ruangannya begini, sudah dipersilahkakn duduk, eee.., aku malah dicueki!Ibu Widya itu malah meneruskan perbincangannya denga
**Malam harinya aku menelepon Iroh. Aku ingin membicarakan isi pesan yang aku terima tadi siang dari sekretaris Ibu Widya itu.“Menurut kamu, aku mesti datang atau tidak, Roh?”“Kalau menurut aku sih, baiknya kamu datang saja.”“Tapi, aku malas, Roh.”“Kenapa?”“Eneg banget aku waktu dibully si Widya kuntilanak itu.”“Itu kan waktu pertama kali kamu ketemu. Dia jutek begitu mungkin karena gara-gara abis baca surat dari Abah Anom itu.”Di sini, aku memindahkan posisi ponsel dari telinga kanan ke telinga kiri. Di pojok rumah ada Galih yang juga sedang menelepon sambil berbisik-bisik.Aku sudah hafal dengan gelagatnya, berarti dia sedang bermesraan dengan pacarnya di Jawa sana.“Kira-kira apa ya isi surat itu?” Sahutku kemudian, seakan bertanya pada diri sendiri.“Lha, kamu yang bawa, kamu yang nyimpan. Gila aja sampai d
**Selama beberapa hari kemudian, aku menjalani kehidupanku seperti semula. Dalam ritme yang sama, seperti sebelum dan setelah keluar dari penjara.Yaitu, menjadi badut lampu merah.Dari beberapa jenis pekerjaan yang pernah aku lakoni di Jakarta ini, sepertinya badut menjadi pilihan yang paling aku suka.Alasannya simpel. Yaitu karena waktunya yang fleksibel. Dulu, aku selalu meminjam kostum milik Galih. Tapi sekarang aku sudah punya kostum milikku sendiri.Akan tetapi, sepertinya, hari ini aku akan mendapat apes.“Itu! Itu! Tangkap yang pakai kostum badut itu..!!”“Wooi..! Jangan lari kamu..!!”“Heii..! Badut sialaann..!”Suara teriakan para petugas itu bagaikan petir dari langit, melecut langkah kakiku untuk berlari lebih kencang lagi.Apesnya, kostum badut Hello kitty yang aku kenakan ini—bulat besar, berwarna putih mencolok, dengan garis senyum di bagian depan&md
**Akhirnya, aku dan Iroh jadian. Kami berpacaran, dan saling menguatkan janji di antara kami berdua.Romansa kami ini tragis sebenarnya. Cinta kami tumbuh dan berkembang dari penjara.Bagaimana lagi? Keadaanlah yang menempatkan kami pada posisi sulit ini. Paling tidak, aku mendapatkan dua hal dari hubungan ini.Pertama, aku bisa mengetahui bagaimana setia dan sabarnya Iroh menerima keadaanku.Kedua, dengan hadirnya Iroh aku mempunyai pelipur lara dari kekecewaan besar akibat ditinggal kawin oleh Ceu Lena.Oh ya, satu lagi. Yaitu, cita-cita, atau mimpi. Sepertinya lebih keren jika aku sebut dengan kata; visi. Semakin jelas saja visiku dalam menyongsong masa depan.“Tangan kamu kenapa, Mas?” Tanya Iroh suatu ketika, melihat pada tanganku, lalu memegangnya sambil memperhatikan sebuah luka yang ada di tanganku ini.“Tidak apa-apa,” jawabku. “Cuma luka sedikit.”“Kok bisa luka begini
**Ketika itu, aku sedang duduk meringkuk memeluk lutut di pojok ruang tahanan. Beberapa napi yang lain tampak sibuk dengan lamunan mereka masing-masing.“Hei, kamu, Mojo!” Panggil seorang sipir yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu berteralis besi. Aku yang terkejut sontak mengangkat wajah.“Ada apa, Pak?” Tanyaku sedikit cemas.“Ke sini kamu!”Aku bangkit dengan enggan, lalu melangkah ragu menuju pintu.“Ada apa, Pak?” ulangku lagi bertanya.“Keluar kamu. Ada yang membesuk.”Aku tercekat. Seakan tak yakin dengan pendengaranku sendiri. Keningku pun menyusul berkerut.“Ada yang membesuk saya? Ss.., ssiapa, Pak?”“Munawaroh,” jawab sang sipir pendek, sembari membuka gembok dan gerendel pintu. Satu orang sipir yang lain bersiaga dengan senjata api di tangan.“Mu.., Munawaroh?”Siapakah dia