**
Perbincanganku dengan Paman Gimun terus berlanjut. Semakin panjang Paman Gimun bercerita semakin banyak pula rahasia yang terkuak.
“Ada banyak hal di dunia ini yang tidak sesuai dengan keinginan kita, Mojo. Boleh saja kita menyusun rencana, terstruktur sedemikian rapi hingga sampai pada detil yang paling kecil.”
“Akan tetapi, pada akhirnya, sering kali kita gagal dalam melaksanakan semua rencana kita itu. Dalam hal ini termasuk saya, dengan rencana-rencana yang sudah saya rancang terhadap kamu.”
Ah, aku makin antuusias saja.
“Rencana Paman terhadap saya, maksud Paman rencana apa?”
Dua jari Paman Gimun yang mengempit sebatang rokok menyala ia tudingkan ke arah wajahku.
“Kamu ingat, dulu kamu pernah ikut seleksi masuk ke akademi militer?”
Aku mengangkat wajah sedikit. Pandangan mataku semakin serius, menjurus pada ujung bara rokok Paman Gimun di depan wajahku.
Semen
**Perbincanganku dengan Paman Gimun terus berlanjut. Di sepanjang perbincangan itu aku selalu memancing Paman Gimun untuk menyebutkan nama aslinya.Usahaku tidak berhasil. Paman Gimun selalu tahu arah pembicaraanku yang ingin mengorek identitas aslinya. Termasuk, riwayat atau latar belakang pekerjaannya.Ya, aku memang aku sudah tahu di suatu badan atau lembaga apa Paman Gimun ini bekerja. Tapi tentu saja belum terkonfirmasi secara faktual jika Paman Gimun tidak mau mengakuinya.Hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah puas pula Paman Gimun berbincang denganku.Kami berdua pun pulang. Paman Gimun mengantar aku kembali. Tidak ke rumah. Aku tidak mau, Paman Gimun pun tidak mau.Ia akan menurunkan aku semula di sekitar jalan Daan Mogot.“Ingat, nomor hape yang saya kasih ke kamu, jangan kamu kasih lagi ke orang lain.” Pesan Paman Gimun dari balik kemudi.“Mengerti?” Ta
**Boni berusaha menyelamatkan aku. Ia menggigit anggota tubuh sang macan, apa pun yang bisa yang ia dapat. Ekornya, kakinya, kepalanya, sembari terus menyalak tak henti-henti.Guk..! Gukk..! Guukk..!Akhirnya sang macan melepaskan gigitannya di pundakku. Ia kini beralih pada Boni. Sekali terjang saja ia sudah menjungkalkan anjingku itu.Selanjutnya terjadi duel yang sangat tidak seimbang, antara aku dan Boni melawan si macan kumbang yang tubuhnya sebesar anak sapi itu.Aku sadar aku punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Karena Boni memang sengaja mengumpankan dirinya untuk aku si tuannya ini.Akan tetapi, aku tidak bisa melakukan itu. Sungguh, aku tak sanggup meninggalkannya.Boni adalah sahabatku sejak kecil. Dialah sosok yang tidak pernah mengabaikan aku di saat semua orang selalu membully aku.Senterku yang tergeletak di atas tanah tetap menyala, menyinari tubuh Boni yang dikoyak oleh sang macan. Darahku dan darah Boni
**Perbincanganku dengan Paman Gimun terus berlanjut. Semakin panjang Paman Gimun bercerita semakin banyak pula rahasia yang terkuak.“Ada banyak hal di dunia ini yang tidak sesuai dengan keinginan kita, Mojo. Boleh saja kita menyusun rencana, terstruktur sedemikian rapi hingga sampai pada detil yang paling kecil.”“Akan tetapi, pada akhirnya, sering kali kita gagal dalam melaksanakan semua rencana kita itu. Dalam hal ini termasuk saya, dengan rencana-rencana yang sudah saya rancang terhadap kamu.”Ah, aku makin antuusias saja. “Rencana Paman terhadap saya, maksud Paman rencana apa?”Dua jari Paman Gimun yang mengempit sebatang rokok menyala ia tudingkan ke arah wajahku.“Kamu ingat, dulu kamu pernah ikut seleksi masuk ke akademi militer?”Aku mengangkat wajah sedikit. Pandangan mataku semakin serius, menjurus pada ujung bara rokok Paman Gimun di depan wajahku.Semen
**Aku terperangah. Wajahku yang tadi maju kini mulai mengeras pula, seiring dengan mataku yang terbelalak. “Di.., di.., dibunvh..??”“Waktu kamu tadi menyebut nama Wisnu Wibisono, saya masih lupa-lupa ingat. Tapi setelah kamu menyebut Arung Bahari Corp, barulah saya ingat.”Paman Gimun mengangguk-anggukkan kepalanya.“Iya, iya, saya yakin sekali. Wisnu Wibisono ini kan, yang dulu Abah Anom pernah bekerja dengannya.”Aku mengangguk pula.“Betul, Paman. Tapi saya masih tidak mengerti. Karena setahu saya Pak Wisnu itu meninggal karena kecelakaan mobil. Lebih kurang setengah tahun yang lalu.”“Kamu tahu dari mana?”“Dari beberapa karyawan di kantor Arung Tower, waktu saya mengumpulkan informasi tentang Widya itu.”“Kapan kamu mengumpulkan informasi itu?”“
**“Isi surat itu, Paman juga tahu?”Paman Gimun menggelengkan kepala, lalu mengisap rokoknya lagi dengan tenang.“Saya hanya diberi tahu oleh Bagas, bahwa kamu disuruh mengantar surat ke Jakarta. Kepada siapa, dan isinya apa, saya tidak tahu.”Bagas, demikian Paman Gimun menyebutnya, dia adalah kakak seperguruanku. Dia berada di level Adijaya, tapi tingkatannya masih di atasku.Mas Bagas, demikian aku memanggilnya, termasuk salah satu murid kesayangan Abah Anom. Aku sangat menghormatinya. Sosok lelaki yang tegas dan berwibawa. Pada saat ini aku pun teringat, bahwa tidak banyak orang yang mengetahui tentang amanah yang aku dapat dari Abah Anom itu.“Emm, begini, Paman. Surat itu sudah saya antarkan. Akan tetapi, karena satu dan lain hal, surat itu tidak diterima oleh si penerima langsung.”“Kenapa begitu?”“Si penerima sudah meninggal dunia. Jadi, s
**Akhirnya, aku pun menuruti keinginan lelaki berjas panjang. Aku memasuki mobilnya dengan satu perasaan yang ganjil.Perasaan ini mirip ketika aku dulu akan dihukum oleh guru bepe gara-gara memukul siswa lain.Setelah aku masuk ke mobil lelaki berjas panjang pun mulai mengemudikan mobilnya ini dengan tenang.Aku terus melirik dan memperhatikannya, sembari tetap menjaga kewaspadaanku.Ya, ini adalah sikap standar yang selalu aku terapkan. Karena, walau bagaimana pun aku masih tidak mengenal dirinya.Ketika kami sampai pada sebuah persimpangan dengan lampu merah ia mengambil rute ke kanan. Berarti, ini mengarah ke selatan, semakin menjauh dari rumah tujuanku pulang. “Bapak belum menjawab pertanyaan saya tadi. Sebenarnya siapa Bapak ini?” Tanyaku sembari menoleh.Pertanyaanku itu tidak dijawab. Lelaki berjas panjang malah semakin berfokus pada rute jalan raya yang kami lalui.Dari gerak-geriknya ia sepe