LOGIN“Kamu kan.., badut Hello kitty yang..,”
“Yang, yang apa?” Kejarku pula.
“Badut yang dulu memecahkan apelku!” Ketus si wanita tiba-tiba.
Aku pun tersentak.
“Apel? Buah.., a-pel?” Tanyaku lagi bingung, sembari terus mengingat.
Sang wanita menggeleng cepat. Wajahnya tampak geregetan. Sepertinya ia salah bicara.
“Apel, bukan buah! Tapi, hape!”
“Hape? Apel? Maksud kamu ini apa sih??”
“Maksudku hape aiphone! Gambar logonya kan apel, tahu!”
Aku makin terkejut saja. Seiring dengan ingatanku tentang gadis ini, satu setengah tahun yang lalu ketika kami bersinggungan, lalu bertabrakan.
“Ooooh, iya, iya, aku ingat sekarang! Kamu yang dulu memecahkan buah melon punyaku!” Balasku seketika dengan nada yang juga mulai ketus.
Ya, dulu kami bertabrakan di satu jalan yang sempit. Di sana, di seputaran Jakarta Timur sana. Ponsel mewah miliknya terjatuh dan pecah. Buah melon milikku pun terjatuh, juga pecah hingga tak bisa lagi dimakan.
Dia kehilangan ponsel berikut beberapa data penting di dalamnya. Sementara aku kehilangan buah melon, yaitu pengganjal perutku, makan siang sekaligus makan malamku.
Ketika itu dia langsung ‘nyolot’, sementara aku yang letih dan lapar pun segera tersulut. Pertengkaran pun tercipta ketika itu.
Setelah sekian lama berlalu, sebenarnya sekarang ini kami bisa membincangkan hal itu dengan baik. Toh, kami tidak saling kenal. Toh, belum lama tadi aku telah menolongnya dan kami pun sudah berbicara dengan ramah.
Akan tetapi, mungkin memang tipikal wanita ini yang sombong egois bin angkuh, ia terus saja berkata-kata dengan ketus.
“Kamu memecahkan hapeku dan kamu tidak mau bertanggung jawab!”
Aku pun tak mau kalah. “Kamu yang memecahkan buah melonku dan kamu tidak mau bertanggung jawab!”
“Alaaah..! Cuma buah melon! Kecil pula! Berapa sih harganya?? Paling mahal juga ceban, sepuluh ribu perak!”
“Tapi itu pengganjal perutku, makanan untuk penyambung hidupku!”
“Nah terus, hapeku yang kamu jatuhkan itu, kamu tahu berapa harganya?? Kamu tahu seberapa penting isi data di dalamnya?? Itu juga terkait dengan seluruh hidup aku!”
“Hei, Mbak! Halo, nona! Ingat, aku tadi yang menolong kamu di bus lho!”
“Siapa juga yang minta ditolong?? Aku tidak minta tolong ke kamu!”
“Tapi, tapi..,”
“Mau jadi pahlawan kamu ya? Mau jadi superman?? Cih, tampang udik macam kamu ini cocoknya jadi jagoan kampung!”
“Keselamatan kamu tadi terancam lho! Dua preman tadi menodong kamu pakai pisau!”
“Biarin!”
Apakah tadi aku sudah bilang egois?
“Dasar kamu perempuan.., egois!” Umpatku.
“Dasar kamu laki-laki sok keren!” Dia balas mengumpat.
“Mentang-mentang kamu orang kaya!”
“Dari pada kamu, kismin!”
Oh, aku sampai mengucap istighar di dalam hati. Aku menggelengkan kepalaku perlahan, seakan tak percaya dengan apa yang aku alami. Aku merasa amat tersinggung, terhina, dan terlecehkan.
Meski begitu aku tetap bersabar. Aku pun tak mau meladeni wanita angkuh ini lebih jauh. Cepat aku balikkan badan, melengos, lalu teruskan langkahku menuju pulang.
“Aku jadi menyesal karena tadi menolong kamu!” Ujarku ketus sambil berjalan menjauh.
“Aku juga menyesal, kenapa tadi aku memberi uang terima kasih ke kamu!” Balas sang wanita sembari berbalik pula ke arah yang berlawanan.
Lho, apa-apaan ini?? Sontak aku hentikan langkah, dan..,
“Woii..! Uang terima kasih, kamu bilang?? Aku tidak pernah menerima uang dari kamu ya!!”
“Salah sendiri, kenapa kamu tidak mau menerima!!”
Hadeeuuh! Langsung puyeng isi perutku. Aku menatap nanar pada si wanita. Menahan emosi, menanggungkan amarah yang rasanya hampir memecahkan kepalaku.
Aku kembali melangkah menuju padanya. Sembari berjalan aku menyiapkan kata-kata pedas dan meletus untuk dia.
Akan tetapi, kebetulan sekali ada sebuah taksi melintas. Spontan saja tangan si wanita itu melambai untuk menyetop taksi. Sesegera taksi itu berhenti, sesegera itu pula ia masuk dan mobil taksi pun melaju persis di sampingku.
“Kuntilanak!” Umpatku.
Eee.., tak kusangka. Kaca belakang taksi itu terbuka, kepala sang wanita nongol keluar. Seiring taksi yang menjauh aku pun mendengar kata-kata wanita itu yang juga mengumpati aku.
“Hello kitty noraakk!”
****
Pukul dua belas lewat tiga puluh. Sudah memasuki dini hari. Aku sampai di rumah dengan muka masam, peluh yang bercucuran, dan rasa dongkol yang masih bercokol.
“Tumben kamu pulang sampai larut begini,” kata Galih, sahabat satu kontrakan yang membukakan pintu.
“Iya, maaf kalau kamu menunggu. Tadi ada insiden di jalan,” sahutku, memasuki rumah dan segera melolosi kostum badutku. Aku menjatuhkan kepala Hello kitty sekenanya saja di lantai.
“Insiden apa?”
Dengan hanya berkaus dan bercelana pendek aku terus melangkah ke belakang. Mengambil cangkir plastik dan mengisinya dengan air putih. Langsung saja tandas air minum ini di kerongkonganku.
Aku pun menceritakan kejadian yang aku alami di bus Tranjakarta ketika menyelamatkan wanita tajir nan angkuh itu.
“Edan kamu, Jo!” Komentar Galih. “Berani amat kamu menggertak dua preman itu.”
“Aku nekat, Lih. Aku tak sampai hati melihat perempuan itu menangis ketakutan sewaktu dia ditodong.”
“Nah, kalau kamu ditusuk betulan sama preman itu, gimana?”
“Mau bagaimana lagi? Terpaksa aku lawanlah. Kalau aku ditusuk, aku tangkis pakai kepala badut kita itu.” Aku menunjuk kepala Hello kitty yang teronggok di lantai.
Aku pun melanjutkan ceritaku.
“Sebagai ucapan terima kasihnya, perempuan itu mau memberi aku uang. Lima ratus ribu. Tapi, aku tolak.”
“Geblek kamu!” Potong Galih cepat. “Kenapa kamu tolak uangnya itu?”
Aku merespon hanya dengan menghela nafas. Belum tahu saja dia, bagaimana kisah selanjutnya.
“Gopek-ceng! Lima ratus ribu! Itu bisa untuk beli beras kita selama dua bulan, Jo!”
Aku meneruskan kisahku lagi hingga berakhir dengan pertengkaran mulut antara aku dengan si wanita angkuh. Nah, maka bagaimana reaksi Galih, sahabat masa kecilku ini?
“Dasar perempuan tak tahu diuntung!” Sungutnya.
“Kalau tidak ada kamu di bus tadi, belum tentu selamat dia! Masih untung kalau cuma barang-barangnya yang dijarah preman itu. Lha, kalau dirinya juga dijarah, diperkxosa misalnya, iya kan?”
“Akh sudahlah, jangan dibahas lagi. Teringat perempuan itu malah bikin aku emosi lagi.”
Aku lantas berbalik, menuju kamar mandi. Aku ingin membasuh muka dan segera tidur. Sementara Galih kembali ke ruang depan, berbaring di lantai menghadap tivi yang menyala.
“Eh, Mojo, Mojo! Sebentar dulu.”
“Kenapa?” Aku menahan langkah persis di muka kamar mandi. Telapak tanganku menempel di pintu kamar mandi yang mau kudorong.
“Mojo, aku sudah tahu di mana alamat Pak Wisnu itu!” Seru Galih.
“Apa?” Aku tersentak, dan cepat menoleh.
“Alamatnya Pak Wisnu Wibisono yang selama dua tahun ini kamu cari-cari, aku sudah tahu!”
“Di mana? Di mana rumahnya?” Tanyaku cepat, sambil melangkah menuju Galih yang kembali bangkit posisi terlentangnya.
“Kalau rumahnya sih, aku tidak tahu.”
“Nah, gimana sih? Tadi kamu bilang tahu rumahnya.”
“Siapa juga yang bilang rumah. Aku bilang tadi, alamat!”
Aku tercekat menahan jengkel.
“Alamat, dengan rumah? Apa bedanya??”
“Ya bedalah! Kalau rumah, itu tempat dia tinggal. Tapi alamat, lebih umum. Itu berarti bisa tempat dia bekerja, tempat usaha, tempaaat.. apa lagi?”
“Oke, oke, oke, di mana alamatnya?”
Galih pun menjelaskan alamat Pak Wisnu Wibisono itu. Dimulai dari area, nama jalan, warna dan juga nomor bangunan. Aku menyimaknya betul-betul.
“Dari mana kamu tahu?” Tanyaku kemudian.
“Dari tukang parkir, tadi siang, di dekat Priok. Aku baru keluar dari satu minimarket, habis beli air minum. Nah, tukang parkir ini lagi ngobrol dengan orang lain. Dalam obrolan itu aku mendengar nama Pak Wisnu disebut.”
“Nah, terus aku hampiri tukang parkir itu. Aku tanya basa-basi dulu. Lalu aku tanyakan tentang nama Pak Wisnu yang mereka obrolkan.”
“Sebenarnya, tadi sore sebelum kamu berangkat ngamen aku mau beri tahu kamu. Tapi, kamunya sih buru-buru pergi.”
Aku menghela nafas.
“Mojo.., ternyata, Wisnu Wibisono itu adalah..,”
********
**“Atau kamu punya seseorang lain yang mau kamu jodohkan ke aku?” Tanya Miss Widya sembari bangkit, lalu berjalan pelan ke arah Gending.Satu.., dua.., langkah kakinya anggun, menapak di lantai dengan ritme yang acak dan sesekali gugup.Sementara di sisi Gending, ia memisuh-misuh di dalam hati.“Diancxuuuk..!”Mengapa?Karena kimono tipis dan transparan yang dipakai Miss Widya itu, rupanya telah bersekongkol dengan cahaya lampu, membiaskan sosoknya, hingga semua lekak-lekuk tubuh putri Wibisono itu tampak jelas di mata Gending.Satu.., dua.., langkah Miss Widya semakin dekat pada Gending. Hingga akhirnya ia pun berhenti tepat di depan sang ajudan. Cuma satu jengkal jaraknya.Miss Widya menengadah, menatap Gending yang pandangan matanya ia pertahankan tetap lurus ke depan, meski yang ia lihat hanyalah dinding.“Ada? Laki-laki lain yang mau kamu jodohkan dengan aku?” Tanya M
**Miss Widya memang telah mempersiapkan ini semua. Citra dan perbawa seorang ratu telah ia bangun malam ini, dan ia tunjukkan khusus untuk seoraang Gending.Ya, semuanya.Baju kimono tipis yang ia kenakan, riasan di wajah dan rambut yang tertata, termasuk cara duduknya yang bertopang kaki di sofa ini.Perihal es krim, ia menyantapnya dengan dua tujuan. Pertama, untuk mengatasi gugup.Lalu yang kedua, untuk menampilkan citra sensual lewat bibirnya yang basah akibat es krim.“Masak sih, Gending si kuda lumping itu tidak ada rasa tertariknya ke aku? Sedikit pun?” Pikir Miss Widya terus penasaran. “Bagaimana dia menatap aku, bagaimana dia berbicara dengan aku, seolah-olah aku ini perempuan yang biasa-biasa saja, tidak cantik dan tidak menarik.”“Dia mengaku setia ke Iroh pacarnya itu, hemm.., bagaimana kalau aku memberi kamu sedikit godaan?&
**Klingg..!“Ke sini.., aku punya sesuatu yang spesial untuk kamu..,”Membaca pesan dari Miss Widya ini mata Gending sampai terbelalak. Sedetik kemudian ia merasa tidak yakin dengan penglihatannya sendiri.Ia lalu mendekatkan ponselnya ke depan wajah, hingga nyaris menempel ke batang hidungnya sendiri. Ia pun membaca isi pesan lagi dengan pelan-pelan. “Spesial untuk kamu..” katanya dalam hati.“Apaan nih? Apa yang spesial?”Gending bangkit lagi dari posisi berbaringnya di kasur. Ia mengedarkan pandangannya ke seantero kamar, dengan pikiran yang ikut berputar liar.Nuansa malam pukul sebelas yang sunyi dan hening seakan menyungkupi dirinya dengan sebuah tabir tipis nan gelap.Saru! Pikirannya mulai kotor. Kemudian, ‘ke sini’, kata Miss Widya dalam pesannya barusan, maksudnya ke mana?Daripada terus berprasangka, Gending memutusk
**“Dia seorang perempuan, cantik, berkacamata.”“Namanya?” Tanya Gending sontak penasaran.“Nah, itulah yang bikin aku geregetan. Ternyata gurunya Mikhail lupa menanyakan nama perempuan itu.”“Hemm, sayang sekali.” Komentar Gending seketika lemas.“Iya, sayang sekali ya Mas. Padahal, aku juga kepengin kenal lho. Kalau ada nomor teleponnya aku pengin menghubungi dan mengucapkan terima kasih langsung ke dia.”“Yo wis, mau bagaimana lagi. Aku cuma bisa bilanng, apa pun motifnya dia menyimpan lukisan Mikhail itu, mudah-mudahan itu bisa membawa kebaikan untuk dia.”“Imbal baliknya untuk kebaikan Mikhail juga.”“Iya. Nah, kemudian, uangnya gimana?”“Nih, ada di aku.”“Kamu tabung ya. Untuk keperluan Mikhail nanti.”“Iya, Mas.”Obrolan Gending dan Iroh seputar lomba luki
**Apakah akan berujung menjadi pasangan, itu lain soal. Yang pasti, sifat naluriah seorang wanita adalah, bahwa ia dengan pesona yang dimilikinya bisa membuat lawan jenis tertarik kepadanya.Seperti wanita kebanyakan, Miss Widya suka dengan tatapan kagum seorang lelaki.Misss Widya suka dengan pujian para pria. Ia ingin menjadi center of gravity bagi para kaum adam di dunia ini.Tapi ternyata, Gending tidak ada di dimensi itu!Ia berada di universe yang berbeda, dan bersamanya sekarang ini adalah Iroh yang ia cintai itu.Miss Widya menelan ludah, yang anehnya sekarang terasa pahit.Almarhum ayahnya bersama Abah Anom diam-diamm telah menjodohkan dirinya dengan Gending. Tapi Gending mencintai orang lain. Bagaimana tidak pahit?“Ah, seharusnya ini tidak pahit!” Sanggah Miss Widya dalam hati.“Karena aku mencintai Kelvin!”“Tapi Kelvin selingkuh dengan wanita lain di luar san
**Gending.., melirik Miss Widya!“Nih, saya melirik.”Yang dilirik pun merasa keki. Dengan gemasnya Miss Widya mencubit pangkal lengan Gending. Lalu nyaris tanpa sadar ia mengeluarkan ekpresi yang manja.“Iiiiihh..! Bukan melirik yang begitu maksud aku, Gendiiiing!”Kali ini Miss Widya menjewer ujung telinga Gending, tetap dengan ekpresinya yang gemas dan manja.“Kamu tuh kadang suka ngeselin ya?”Gending yang menerima cubitan dan jeweran lembut itu pun hanya bisa terdiam sembari menahan senyum yang grogi.Ia merasa aneh, menerima sikap manja Miss Widya, persis seperti yang biasa ia dapatkan dari Iroh. “Maksud aku, apakah kamu..,”“Iya, iya, Miss. Saya paham kok. Tapi, saya memang tidak pernah mencoba untuk mengkhianati Iroh.”“Kenapa?”“Jawabannya ada pada kata-kata saya sebelumnya.”&ldquo







