Home / Lainnya / Jagoan Kampung Merantau Ke Kota / Bab 4: Balada Apel dan Melon

Share

Bab 4: Balada Apel dan Melon

Author: Ayusqie
last update Last Updated: 2025-05-15 22:53:11

“Kamu kan.., badut Hello kitty yang..,”

 “Yang, yang apa?” Kejarku pula.

“Badut yang dulu memecahkan apelku!” Ketus si wanita tiba-tiba.

Aku pun tersentak.

“Apel? Buah.., a-pel?” Tanyaku lagi bingung, sembari terus mengingat.  

Sang wanita menggeleng cepat. Wajahnya tampak geregetan. Sepertinya ia salah bicara.

“Apel, bukan buah! Tapi, hape!”

“Hape? Apel? Maksud kamu ini apa sih??”

“Maksudku hape aiphone! Gambar logonya kan apel, tahu!”

Aku makin terkejut saja. Seiring dengan ingatanku tentang gadis ini, satu setengah tahun yang lalu ketika kami bersinggungan, lalu bertabrakan.

“Ooooh, iya, iya, aku ingat sekarang! Kamu yang dulu memecahkan buah melon punyaku!” Balasku seketika dengan nada yang juga mulai  ketus.

Ya, dulu kami bertabrakan di satu jalan yang sempit. Di sana, di seputaran Jakarta Timur sana. Ponsel mewah miliknya terjatuh dan pecah. Buah melon milikku pun terjatuh, juga pecah hingga tak bisa lagi dimakan.

Dia kehilangan ponsel berikut beberapa data penting di dalamnya. Sementara aku kehilangan buah melon, yaitu pengganjal perutku, makan siang sekaligus makan malamku.

Ketika itu dia langsung ‘nyolot’, sementara aku yang letih dan lapar pun segera tersulut. Pertengkaran pun tercipta ketika itu.

Setelah sekian lama berlalu, sebenarnya sekarang ini kami bisa membincangkan hal itu dengan baik. Toh, kami tidak saling kenal. Toh, belum lama tadi aku telah menolongnya dan kami pun sudah berbicara dengan ramah.

Akan tetapi, mungkin memang tipikal wanita ini yang sombong egois bin angkuh, ia terus saja berkata-kata dengan ketus.

“Kamu memecahkan hapeku dan kamu tidak mau bertanggung jawab!”

Aku pun tak mau kalah. “Kamu yang memecahkan buah melonku dan kamu tidak mau bertanggung jawab!”

“Alaaah..! Cuma buah melon! Kecil pula! Berapa sih harganya?? Paling mahal juga ceban, sepuluh ribu perak!”

“Tapi itu pengganjal perutku, makanan untuk penyambung hidupku!”

“Nah terus, hapeku yang kamu jatuhkan itu, kamu tahu berapa harganya?? Kamu tahu seberapa penting isi data di dalamnya?? Itu juga terkait dengan seluruh hidup aku!”

“Hei, Mbak! Halo, nona! Ingat, aku tadi yang menolong kamu di bus lho!”

“Siapa juga yang minta ditolong?? Aku tidak minta tolong ke kamu!”

“Tapi, tapi..,”

“Mau jadi pahlawan kamu ya? Mau jadi superman?? Cih, tampang udik macam kamu ini cocoknya jadi jagoan kampung!”

“Keselamatan kamu tadi terancam lho! Dua preman tadi menodong kamu pakai pisau!”

“Biarin!”

Apakah tadi aku sudah bilang egois?

“Dasar kamu perempuan.., egois!” Umpatku.

“Dasar kamu laki-laki sok keren!”  Dia balas mengumpat.

“Mentang-mentang kamu orang kaya!”

“Dari pada kamu, kismin!”

Oh, aku sampai mengucap istighar di dalam hati. Aku menggelengkan kepalaku perlahan, seakan tak percaya dengan apa yang aku alami. Aku merasa amat tersinggung, terhina, dan terlecehkan.

Meski begitu aku tetap bersabar. Aku pun tak mau meladeni wanita angkuh ini lebih jauh. Cepat aku balikkan badan, melengos, lalu teruskan langkahku menuju pulang.

“Aku jadi menyesal karena tadi menolong kamu!” Ujarku ketus sambil berjalan menjauh.

“Aku juga menyesal, kenapa tadi aku memberi uang terima kasih ke kamu!” Balas sang wanita sembari berbalik pula ke arah yang berlawanan.

Lho, apa-apaan ini?? Sontak aku hentikan langkah, dan..,

“Woii..! Uang terima kasih, kamu bilang?? Aku tidak pernah menerima uang dari kamu ya!!”

“Salah sendiri, kenapa kamu tidak mau menerima!!”

Hadeeuuh! Langsung puyeng isi perutku. Aku menatap nanar pada si wanita. Menahan emosi, menanggungkan amarah yang rasanya hampir memecahkan kepalaku.  

Aku kembali melangkah menuju padanya. Sembari berjalan aku menyiapkan kata-kata pedas dan meletus untuk dia.

Akan tetapi, kebetulan sekali ada sebuah taksi melintas. Spontan saja tangan si wanita itu melambai untuk menyetop taksi. Sesegera taksi itu berhenti, sesegera itu pula ia masuk dan mobil taksi pun melaju persis di sampingku.

“Kuntilanak!” Umpatku.

Eee.., tak kusangka. Kaca belakang taksi itu terbuka, kepala sang wanita nongol keluar. Seiring taksi yang menjauh aku pun mendengar kata-kata wanita itu yang juga mengumpati aku.

“Hello kitty noraakk!”

****

Pukul dua belas lewat tiga puluh. Sudah memasuki dini hari. Aku sampai di rumah dengan muka masam, peluh yang bercucuran, dan rasa dongkol yang masih bercokol. 

“Tumben kamu pulang sampai larut begini,” kata Galih, sahabat satu kontrakan yang membukakan pintu.

“Iya, maaf kalau kamu menunggu. Tadi ada insiden di jalan,” sahutku, memasuki rumah dan segera melolosi kostum badutku. Aku menjatuhkan kepala Hello kitty sekenanya saja di lantai.

“Insiden apa?”

Dengan hanya berkaus dan bercelana pendek aku terus melangkah ke belakang. Mengambil cangkir plastik dan mengisinya dengan air putih. Langsung saja tandas air minum ini di kerongkonganku.  

Aku pun menceritakan kejadian yang aku alami di bus Tranjakarta ketika menyelamatkan wanita tajir nan angkuh itu.

“Edan kamu, Jo!” Komentar Galih. “Berani amat kamu menggertak dua preman itu.”

“Aku nekat, Lih. Aku tak sampai hati melihat perempuan itu menangis ketakutan sewaktu dia ditodong.”

“Nah, kalau kamu ditusuk betulan sama preman itu, gimana?”

“Mau bagaimana lagi? Terpaksa aku lawanlah. Kalau aku ditusuk, aku tangkis pakai kepala badut kita itu.” Aku menunjuk kepala Hello kitty yang teronggok di lantai.

Aku pun melanjutkan ceritaku.

“Sebagai ucapan terima kasihnya, perempuan itu mau memberi aku uang. Lima ratus ribu. Tapi, aku tolak.”

“Geblek kamu!” Potong Galih cepat. “Kenapa kamu tolak uangnya itu?”

Aku merespon hanya dengan menghela nafas. Belum tahu saja dia, bagaimana kisah selanjutnya.

“Gopek-ceng! Lima ratus ribu! Itu bisa untuk beli beras kita selama dua bulan, Jo!”

Aku meneruskan kisahku lagi hingga berakhir dengan pertengkaran mulut antara aku dengan si wanita angkuh. Nah, maka bagaimana reaksi Galih, sahabat masa kecilku ini?

“Dasar perempuan tak tahu diuntung!” Sungutnya.

“Kalau tidak ada kamu di bus tadi, belum tentu selamat dia! Masih untung kalau cuma barang-barangnya yang dijarah preman itu. Lha, kalau dirinya juga dijarah, diperkxosa misalnya, iya kan?”

“Akh sudahlah, jangan dibahas lagi. Teringat perempuan itu malah bikin aku emosi lagi.”   

Aku lantas berbalik, menuju kamar mandi. Aku ingin membasuh muka dan segera tidur. Sementara Galih kembali ke ruang depan, berbaring di lantai menghadap tivi yang menyala.

“Eh, Mojo, Mojo! Sebentar dulu.”

“Kenapa?” Aku menahan langkah persis di muka kamar mandi. Telapak tanganku menempel di pintu kamar mandi yang mau kudorong.

“Mojo, aku sudah tahu di mana alamat Pak Wisnu  itu!” Seru Galih.

“Apa?” Aku tersentak, dan cepat menoleh. 

“Alamatnya Pak Wisnu Wibisono yang selama dua tahun ini kamu cari-cari, aku sudah tahu!”

“Di mana? Di mana rumahnya?” Tanyaku cepat, sambil melangkah menuju Galih yang kembali bangkit posisi terlentangnya. 

“Kalau rumahnya sih, aku tidak tahu.”

“Nah, gimana sih? Tadi kamu bilang tahu rumahnya.” 

“Siapa juga yang bilang rumah. Aku bilang tadi, alamat!”

Aku tercekat menahan jengkel.  

“Alamat, dengan rumah? Apa bedanya??”

“Ya bedalah! Kalau rumah, itu tempat dia tinggal. Tapi alamat, lebih umum. Itu berarti bisa tempat dia bekerja, tempat usaha, tempaaat.. apa lagi?”

“Oke, oke, oke, di mana alamatnya?”

Galih pun menjelaskan alamat Pak Wisnu Wibisono itu. Dimulai dari area, nama jalan, warna dan juga nomor bangunan. Aku menyimaknya betul-betul.

“Dari mana kamu tahu?” Tanyaku kemudian.

“Dari tukang parkir, tadi siang, di dekat Priok. Aku baru keluar dari satu minimarket, habis beli air minum. Nah, tukang parkir ini lagi ngobrol dengan orang lain. Dalam obrolan itu aku mendengar  nama Pak Wisnu disebut.”

“Nah, terus aku hampiri tukang parkir itu. Aku tanya basa-basi dulu. Lalu aku tanyakan tentang nama Pak Wisnu yang mereka obrolkan.”

“Sebenarnya, tadi sore sebelum kamu berangkat ngamen aku mau beri tahu kamu. Tapi, kamunya sih buru-buru pergi.”

Aku menghela nafas.

“Mojo.., ternyata, Wisnu Wibisono itu adalah..,”

             

********

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 8: Isi Surat

    **Widya Wibisono, sang CEO yang cantik dan energik ini merasa amat tersinggung dengan pertanyaan dari lelaki bernama Mojo di depannya.Spontan ia mendelikkan mata dan menghunuskan tatapannya ke arah Mojo. Jengkelnya lagi, Mojo itu menunjukkan ekpresi wajah seperti salah tingkah. Bukannya merasa bersalah.Mengapa? Mengapa Widya harus tersinggung? Bukankah itu pertanyaan yang wajar dan itu normal?Sayangnya, saat ini, tidak!Mengapa?Karena di setiap lebaran atau di setiap momen apa pun, setiap bertemu dengan saudara, kerabat atau sahabatnya, ia kerap mendapat pertanyaan yang senada; ‘kapan nikah’, kapan kawin’, ‘cepetan kawin bentar lagi kiamat’, begitu lho!Ada makna yang tersembunyi di balik pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bahwa, dirinya ini jomblo-lah, tidak laku-lah.Sementara ia sendiri belum terpikir akan segera menikah. Lagi pula Kelvin Hammond, k

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 7: Kapan Nikah

    **Aku ingin segera menanyakan status Ibu Widya ini. Masih lajang-kah? Atau, sudah menikah-kah? Akan tetapi, menurut hematku itu tidak sopan.Aku butuh banyak perbincangan terlebih dulu. Butuh pendekatan yang persuasif untuk menanyakan sesuatu yang berada di ranah pribadi itu.Lagi pula, sekarang ini ia sedang gondok-gondoknya. Maksudku, sedang jengkel setengah mati. Ya karena aku, ya karena situasi, dan karena beberapa hal berikut yang selanjutnya ia pertanyakan padaku.“Kamu ingat waktu dulu kita bertabrakan di sudut jalan? Hape yang saya pegang terjatuh. Buah melon yang sedang kamu pegang juga terjatuh, ingat?”“Ingat, Bu,” jawabku pelan.“Jujur ya, waktu itu saya marah sekali karena keteledoran kamu sewaktu berjalan.”Kamu yang teledor! Sahutku dalam hati. Kamu yang berjalan tanpa melihat kanan-kiri, kamu yang berjalan sambil mengutak-atik ponsel!Ibu Widya meneruskan kata-katanya.

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 6: Kuntilanak di Balik Meja

    **Sang CEO, alias Ibu Widya itu, juga tak kepalang terkejutnya. Ia sampai membuka kacamata dan mengucek-ngucek matanya.Tanpa sadar ia bangkit berdiri. Aku yang sudah duduk pun ikut berdiri.“Kamu..,” jarinya menuding aku.“Kamu..,” aku pun menuding dia.Sontak saja ia meradang.“Lancang betul kamu berani menuding-nuding saya di kantor saya sendiri??” Ketusnya seketika.Deg! Jantungku seakan berhenti berdegup. Aku langsung terbungkam beberapa saat.“Maaf, maaf, maafkan saya, Bu.” Aku menurunkan tudingan tanganku, lalu pelan-pelan kembali duduk.Aku yang tak sanggup menerima tatapan tajam Ibu Widya cepat saja menundukkan kepala.Oh, betapa ajaibnya kehidupan ini!Dulu ketika aku kesulitan mencari alamat Wisnu Wibisono, aku merasa dunia ini teramat sangat luasnya. Namun sekarang ketika aku telah menemukannya, ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Tak lebih!Bagaimana mungkin, oh, bagaimana mungkin??Ibu Widya Wibisono sang CEO ini ternyata wanita yang tadi malam aku selamatkan di bu

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 5: Arung Tower

    Keesokan harinya..,Dengan menaiki bus lalu aku teruskan dengan naik ojek online, akhirnya siang ini aku sampai di Priok, tepat pada alamat yang aku tuju. Sesuai dengan petunjuk yang kudapat dari Galih tadi malam. Lalu sekarang, aku berdiri canggung di tepi jalan raya. Matahari terik kota Jakarta hampir mencapai titik kulminasinya, membuatku terpaksa menyipitkan mata.Kepalaku menengadah, menatap sebuah gedung tinggi nan megah dengan pucuknya yang tampak menusuk langit.Dua puluh lima lantai, kurang lebih, inilah dia, gedung yang bernama Arung Tower. Jendela-jendela kantornya yang persegi tampak tersusun simetris dari atas ke bawah, juga dari kanan ke kiri.Aku kemudian melangkah menuju gedung Arung Tower itu. Sembari berjalan aku membetulkan posisi tas selempangku, sembari meyakinkan diri bahwa sepucuk surat yang terbungkus amplop untuk Pak Wisnu Wibisono telah berada di dalamnya sejak aku pergi dari rumah tadi. “Permisi, selamat siang, Pak,” sapaku pada seorang petugas sekuriti,

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 4: Balada Apel dan Melon

    “Kamu kan.., badut Hello kitty yang..,” “Yang, yang apa?” Kejarku pula.“Badut yang dulu memecahkan apelku!” Ketus si wanita tiba-tiba.Aku pun tersentak.“Apel? Buah.., a-pel?” Tanyaku lagi bingung, sembari terus mengingat. Sang wanita menggeleng cepat. Wajahnya tampak geregetan. Sepertinya ia salah bicara.“Apel, bukan buah! Tapi, hape!”“Hape? Apel? Maksud kamu ini apa sih??”“Maksudku hape aiphone! Gambar logonya kan apel, tahu!”Aku makin terkejut saja. Seiring dengan ingatanku tentang gadis ini, satu setengah tahun yang lalu ketika kami bersinggungan, lalu bertabrakan.“Ooooh, iya, iya, aku ingat sekarang! Kamu yang dulu memecahkan buah melon punyaku!” Balasku seketika dengan nada yang juga mulai ketus.Ya, dulu kami bertabrakan di satu jalan yang sempit. Di sana, di seputaran Jakarta Timur sana. Ponsel mewah miliknya terjatuh dan pecah. Buah melon milikku pun terjatuh, juga pecah hingga tak bisa lagi dimakan.Dia kehilangan ponsel berikut beberapa data penting di dalamnya.

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 3: Horang Kayah

    Tiba-tiba, ada yang menahanku.“Heiii..! Mas..!”“Mas..! Tungguu..!”Secara perlahan aku hentikan langkah, lalu berbalik. Keningku segera mengernyit, menyadari ada seorang wanita yang berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arahku.Antara terang dari lampu jalan dan gelap dari pohon-pohon peneduh membuat aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.Setelah cukup dekat barulah aku menyadari. Ternyata dia wanita korban preman di dalam bus Transjakarta tadi. “Ya? Ada apa, Mbak?” Tanyaku sopan.Sang wanita berhenti di depanku. Ia mengatur nafasnya terlebih dulu sebelum kemudian menghadapku dengan canggung. “Emm.., anu, eee.., saya cuma mau bilang terima kasih.” Katanya.Aku tersenyum tipis.“Terima kasih karena telah menyelamatkan saya.”Aku mengangguk pelan.“Terima kasih kembali,” sahutku.Sekilas aku mencermati sang wanita, yang ternyata cukup cantik untuk ukuran orang kebanyakan. Aku baru menyadari akan hal ini.Ia memakai blouse untuk atasan, dan celana jins ketat untuk bawahan. Posturny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status