Tiba-tiba, ada yang menahanku.
“Heiii..! Mas..!”
“Mas..! Tungguu..!”
Secara perlahan aku hentikan langkah, lalu berbalik. Keningku segera mengernyit, menyadari ada seorang wanita yang berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arahku.
Antara terang dari lampu jalan dan gelap dari pohon-pohon peneduh membuat aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.
Setelah cukup dekat barulah aku menyadari. Ternyata dia wanita korban preman di dalam bus Transjakarta tadi.
“Ya? Ada apa, Mbak?” Tanyaku sopan.
Sang wanita berhenti di depanku. Ia mengatur nafasnya terlebih dulu sebelum kemudian menghadapku dengan canggung.
“Emm.., anu, eee.., saya cuma mau bilang terima kasih.” Katanya.
Aku tersenyum tipis.
“Terima kasih karena telah menyelamatkan saya.”
Aku mengangguk pelan.
“Terima kasih kembali,” sahutku.
Sekilas aku mencermati sang wanita, yang ternyata cukup cantik untuk ukuran orang kebanyakan. Aku baru menyadari akan hal ini.
Ia memakai blouse untuk atasan, dan celana jins ketat untuk bawahan. Posturnya proporsional, rambutnya lurus dan pendek, hanya sepundak.
Kulitnya putih bersih. Bukan putih seperti orang Cina, tapi putih seperti orang Sunda, Dayak, atau Manado.
“Kalau tidak ada Mas tadi, duh, entah apa yang terjadi tadi.”
Aku menyahut, “Mbak dari mana? Dan mau ke mana? Malam-malam begini jalan sendirian. Bahaya lho.”
“Saya emm.., saya tadi dari Ancol, habis ketemuan sama relasi di hotel. Sekarang saya mau pulang.”
“Oh, mau pulang. Rumahnya di mana, Mbak?”
“PIK,” jawab si wanita pendek.
“PIK?” Ulangku bertanya.
“Iya.”
“Maksud, Mbak, Pantai Indah Kapuk?”
“Iya.”
Wuiih..! Perempuan tajir nih! Batinku. Rumahnya saja di PIK. Itu lho, kawasan perumahan super elit yang konon dihuni oleh para ‘horang kayah’.
Secara refleks aku pun mencermati sang wanita. Pertama sekali, dari telinganya, karena di situ ada yang berkilau akibat terpantul cahaya lampu jalan.
“Oh, itu anting yang sempat diambil preman tadi, mewah, ada permatanya,” batinku.
Lalu kalungnya, yang tadi berusaha ia pertahankan dari jarahan dua preman. Bukan main, cantik dan mewahnya kelihatan.
Lalu cincinnya, cling, berkilau juga. Kemudian jam tangannya, walah, rantainya saja terbuat dari emas begitu.
Akan tetapi, pikirku kemudian, jika dia ‘horang kayah’, mengapa dia naik bus Transjakarta. Busway gitu lho!
Seakan tahu isi pikiranku si wanita lantas berujar. “Waktu mau pulang tadi, saya ada kendala. Sopir saya yang sebelumnya keluar mau ngisi bensin, malah terjebak macet. Macet total, sampai mobilnya tidak bisa jalan.”
“Saya-nya tidak sabar. Mau pesan taksi, juga macet. Ya sudah, saya pulang saja duluan naik busway. Oh ya, ngomong-ngomong, nama Mas siapa?”
“Nama saya, Mojo.”
“Mojo?” Ulangnya bertanya.
Di dalam hati aku aku langsung menggerutu. “Kenapa sih, setiap aku bertemu dengan orang baru, mereka pasti selalu salah dalam menyebut namaku??”
Dia mengucapkan nama Mojo dengan bunyi huruf O seperti pada kata ‘toko’ atau ‘komodo’.
“Bukan Mojo, Mbak.” Aku meralat dengan pengucapan yang benar.
“Tapi, Mojo. Cara mengucapkan O-nya seperti bilang Suharto, Susilo, atau Yudoyono.”
“Oh, maaf, Mojo ya?”
“Nah, itu, benar. Mojo.”
“Mas tinggal di mana?” Tanya sang wanita lagi.
“Tuh, di jalan Angke. Sudah dekat kok, sekitar tiga kilo lagi.”
“Tiga kilo? Anjrxit, jauh tuh!”
Aku tertawa pelan. “Saya sudah biasa, Mbak.”
“Jadi, selanjutnya, Mbak pulang ini bagaimana?” Lanjutku bertanya.
“Ckk, gampang itu. Saya bisa telepon taksi. Atau, sekalian yuk. Saya pesan taksi, kamu saya antar ke rumah kamu di Angke sana.”
“Tidak usah repot-repot, Mbak.”
“Tidak apa-apa.”
“Kalau Mbak mau pulang ke PIK, mengantar saya malah nanti taksinya muter-muter di sekitar Angke.”
“Never mind. So what gitu loh? Mau sampai subuh muter-muter toh taksinya saya bayar.”
Aku tetap sungkan menerima penawarannya itu. Hingga beberapa saat kemudian ia terus membujuk, tapi aku terus menolaknya.
Aku sadar ia berusaha membayar utang budinya padaku. Namun aku meyakinkan dirinya bahwa ia tak perlu melakukan itu.
Ketika kemudian ia mengalah, itu juga tidak benar-benar mengalah. Terakhir, ia mengambil beberapa uang lembar dari tas jinjing mewahnya itu, lalu melungsurkannya kepadaku.
“Ini, Mas, ambil uang ini. Anggap saja sebagai..,”
“Eeee.., maaf, terima kasih sebelumnya, Mbak. Tapi, tidak usah, Mbak.”
“Ambillah, Mas, sebagai tanda terima kasih saya. Kalau tidak, saya jadi merasa berutang budi lho.”
“Mbak tidak perlu merasa begitu. Waktu menolong Mbak di bus tadi saya ikhlas kok Mbak. Saya tidak mengharapkan imbalan apa pun, sungguh.”
Si wanita terus memaksa aku dengan uangnya. Aku sampai mengangkat kedua tanganku dan merapatkannya di depan dada, menggeleng pelan, dan tersenyum.
“Di dunia ini tidak semuanya mesti kita hargai dengan uang Mbak.” Kataku bijak.
Mendengar kata-kataku itu si wanita menghela nafas yang dalam.
“Memangnya di dunia ini apa yang tidak bisa dihargai dengan uang?” Tanya dia pula.
“Ketulusan, kasih sayang,” jawabku cepat.
Wanita itu terperangah sebentar.
“Juga.., cinta,” jawabku lagi.
Wanita itu mendadak diam seribu bahasa. Ada siluet ekpresi ketidak-sukaan yang sempat kutangkap pada wajahnya. Dengan kata-kataku tadi ia merasa digurui, begitu mungkin.
Ada suasana canggung yang tiba-tiba tercipta. Ditingkahi suara mobil-mobil yang berlalu di jalan raya, persis di samping kami.
Aku berusaha mencairkan suasana dengan satu ujaran. “Lain kali, kalau Embak jalan-jalan seorang diri, atau berada di sarana transportasi umum, jangan memakai perhiasan atau asesoris yang mencolok mata. Karena itu bisa mengundang..,”
Kalimatku terpotong.
“Memangnya apa yang mencolok dari saya?” Sanggahnya tiba-tiba.
“Itu,” aku menunjuk telinganya. “Antingnya Mbak, kelihatan berkilau begitu.”
“Ah, ini cuma emas putih biasa.” Ia memegang ujung telinganya.
Dia bilang emas, biasa? Memang betul sih, tapi..,
“Itu, kalung yang Mbak pakai, berkilapan begitu.” Tanpa bermaksud kurang ajar aku pun menunjuk bagian atas dadanya.
“Ah, ini cuma platinum biasa, batu permatanya juga cuma ruby saja.” Ia pun menunduk, melihat pada kalungnya sendiri.
Platinum? Ruby? Pikirku lagi. Muahaal ajib-ajib begitu dan dia bilang, biasa. Hemm, untuk orang berduit, benar sih.
“Nah, itu cincin Mbak..,”
“Ah, ini cuma berlian.” Sang wanita pun mengangkat jari tangannya.
Jancxuk! Umpatku dalam hati. Perempuan ini mau pamer atau bagaimana sih? Dia ini sombong atau..,
“Tunggu, tunggu!” Kata si wanita tiba-tiba. Ia lantas melihat wajahku. Matanya sedikit menyipit seperti ada yang aneh.
“Kenapa? Ada apa?” Aku sontak penasaran.
“Perasaan saya, sepertinya.., kita pernah ketemu ya?”
Naaah..! Ini dia! Ini juga yang kurasakan sejak pertama melihatnya di dalam bus tadi. Aku merasa pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya. Kapan? Di mana?
“Kita pernah ketemu?” Aku balas tanya, sambil tetap mengingat-ingat.
“Iya.”
“Di mana?”
“Eee.., entah, di mana ya?”
Tiba-tiba, sang wanita menatapku dengan wajah terperangah. Bola matanya membeliak seakan ada yang membuatnya begitu terkejut.
Sebentar ia memperhatikan kostum badut yang aku kenakan, di mana bagian atasnya terbuka dan terjurai ke bawah pinggangku.
Ia juga melihat pada kepala Hello kitty yang sekarang aku kempit di ketiakku. Jari telunjuk si wanita terangkat, menuding wajahku.
“Lho?? Kamu..,”
“Kenapa? Kenapa dengan saya?”
“Kamu kan.., badut Hello kitty yang..,”
********
**Widya Wibisono, sang CEO yang cantik dan energik ini merasa amat tersinggung dengan pertanyaan dari lelaki bernama Mojo di depannya.Spontan ia mendelikkan mata dan menghunuskan tatapannya ke arah Mojo. Jengkelnya lagi, Mojo itu menunjukkan ekpresi wajah seperti salah tingkah. Bukannya merasa bersalah.Mengapa? Mengapa Widya harus tersinggung? Bukankah itu pertanyaan yang wajar dan itu normal?Sayangnya, saat ini, tidak!Mengapa?Karena di setiap lebaran atau di setiap momen apa pun, setiap bertemu dengan saudara, kerabat atau sahabatnya, ia kerap mendapat pertanyaan yang senada; ‘kapan nikah’, kapan kawin’, ‘cepetan kawin bentar lagi kiamat’, begitu lho!Ada makna yang tersembunyi di balik pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bahwa, dirinya ini jomblo-lah, tidak laku-lah.Sementara ia sendiri belum terpikir akan segera menikah. Lagi pula Kelvin Hammond, k
**Aku ingin segera menanyakan status Ibu Widya ini. Masih lajang-kah? Atau, sudah menikah-kah? Akan tetapi, menurut hematku itu tidak sopan.Aku butuh banyak perbincangan terlebih dulu. Butuh pendekatan yang persuasif untuk menanyakan sesuatu yang berada di ranah pribadi itu.Lagi pula, sekarang ini ia sedang gondok-gondoknya. Maksudku, sedang jengkel setengah mati. Ya karena aku, ya karena situasi, dan karena beberapa hal berikut yang selanjutnya ia pertanyakan padaku.“Kamu ingat waktu dulu kita bertabrakan di sudut jalan? Hape yang saya pegang terjatuh. Buah melon yang sedang kamu pegang juga terjatuh, ingat?”“Ingat, Bu,” jawabku pelan.“Jujur ya, waktu itu saya marah sekali karena keteledoran kamu sewaktu berjalan.”Kamu yang teledor! Sahutku dalam hati. Kamu yang berjalan tanpa melihat kanan-kiri, kamu yang berjalan sambil mengutak-atik ponsel!Ibu Widya meneruskan kata-katanya.
**Sang CEO, alias Ibu Widya itu, juga tak kepalang terkejutnya. Ia sampai membuka kacamata dan mengucek-ngucek matanya.Tanpa sadar ia bangkit berdiri. Aku yang sudah duduk pun ikut berdiri.“Kamu..,” jarinya menuding aku.“Kamu..,” aku pun menuding dia.Sontak saja ia meradang.“Lancang betul kamu berani menuding-nuding saya di kantor saya sendiri??” Ketusnya seketika.Deg! Jantungku seakan berhenti berdegup. Aku langsung terbungkam beberapa saat.“Maaf, maaf, maafkan saya, Bu.” Aku menurunkan tudingan tanganku, lalu pelan-pelan kembali duduk.Aku yang tak sanggup menerima tatapan tajam Ibu Widya cepat saja menundukkan kepala.Oh, betapa ajaibnya kehidupan ini!Dulu ketika aku kesulitan mencari alamat Wisnu Wibisono, aku merasa dunia ini teramat sangat luasnya. Namun sekarang ketika aku telah menemukannya, ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Tak lebih!Bagaimana mungkin, oh, bagaimana mungkin??Ibu Widya Wibisono sang CEO ini ternyata wanita yang tadi malam aku selamatkan di bu
Keesokan harinya..,Dengan menaiki bus lalu aku teruskan dengan naik ojek online, akhirnya siang ini aku sampai di Priok, tepat pada alamat yang aku tuju. Sesuai dengan petunjuk yang kudapat dari Galih tadi malam. Lalu sekarang, aku berdiri canggung di tepi jalan raya. Matahari terik kota Jakarta hampir mencapai titik kulminasinya, membuatku terpaksa menyipitkan mata.Kepalaku menengadah, menatap sebuah gedung tinggi nan megah dengan pucuknya yang tampak menusuk langit.Dua puluh lima lantai, kurang lebih, inilah dia, gedung yang bernama Arung Tower. Jendela-jendela kantornya yang persegi tampak tersusun simetris dari atas ke bawah, juga dari kanan ke kiri.Aku kemudian melangkah menuju gedung Arung Tower itu. Sembari berjalan aku membetulkan posisi tas selempangku, sembari meyakinkan diri bahwa sepucuk surat yang terbungkus amplop untuk Pak Wisnu Wibisono telah berada di dalamnya sejak aku pergi dari rumah tadi. “Permisi, selamat siang, Pak,” sapaku pada seorang petugas sekuriti,
“Kamu kan.., badut Hello kitty yang..,” “Yang, yang apa?” Kejarku pula.“Badut yang dulu memecahkan apelku!” Ketus si wanita tiba-tiba.Aku pun tersentak.“Apel? Buah.., a-pel?” Tanyaku lagi bingung, sembari terus mengingat. Sang wanita menggeleng cepat. Wajahnya tampak geregetan. Sepertinya ia salah bicara.“Apel, bukan buah! Tapi, hape!”“Hape? Apel? Maksud kamu ini apa sih??”“Maksudku hape aiphone! Gambar logonya kan apel, tahu!”Aku makin terkejut saja. Seiring dengan ingatanku tentang gadis ini, satu setengah tahun yang lalu ketika kami bersinggungan, lalu bertabrakan.“Ooooh, iya, iya, aku ingat sekarang! Kamu yang dulu memecahkan buah melon punyaku!” Balasku seketika dengan nada yang juga mulai ketus.Ya, dulu kami bertabrakan di satu jalan yang sempit. Di sana, di seputaran Jakarta Timur sana. Ponsel mewah miliknya terjatuh dan pecah. Buah melon milikku pun terjatuh, juga pecah hingga tak bisa lagi dimakan.Dia kehilangan ponsel berikut beberapa data penting di dalamnya.
Tiba-tiba, ada yang menahanku.“Heiii..! Mas..!”“Mas..! Tungguu..!”Secara perlahan aku hentikan langkah, lalu berbalik. Keningku segera mengernyit, menyadari ada seorang wanita yang berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arahku.Antara terang dari lampu jalan dan gelap dari pohon-pohon peneduh membuat aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.Setelah cukup dekat barulah aku menyadari. Ternyata dia wanita korban preman di dalam bus Transjakarta tadi. “Ya? Ada apa, Mbak?” Tanyaku sopan.Sang wanita berhenti di depanku. Ia mengatur nafasnya terlebih dulu sebelum kemudian menghadapku dengan canggung. “Emm.., anu, eee.., saya cuma mau bilang terima kasih.” Katanya.Aku tersenyum tipis.“Terima kasih karena telah menyelamatkan saya.”Aku mengangguk pelan.“Terima kasih kembali,” sahutku.Sekilas aku mencermati sang wanita, yang ternyata cukup cantik untuk ukuran orang kebanyakan. Aku baru menyadari akan hal ini.Ia memakai blouse untuk atasan, dan celana jins ketat untuk bawahan. Posturny