Share

Bab 3: Horang Kayah

Author: Ayusqie
last update Last Updated: 2025-05-15 22:50:51

Tiba-tiba, ada yang menahanku.

“Heiii..! Mas..!”

“Mas..! Tungguu..!”

Secara perlahan aku hentikan langkah, lalu berbalik. Keningku segera mengernyit, menyadari ada seorang wanita yang berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arahku.

Antara terang dari lampu jalan dan gelap dari pohon-pohon peneduh membuat aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.

Setelah cukup dekat barulah aku menyadari. Ternyata dia wanita korban preman di dalam bus Transjakarta tadi. 

“Ya? Ada apa, Mbak?” Tanyaku sopan.

Sang wanita berhenti di depanku. Ia mengatur nafasnya terlebih dulu sebelum kemudian menghadapku dengan canggung.  

“Emm.., anu, eee.., saya cuma mau bilang terima kasih.” Katanya.

Aku tersenyum tipis.

“Terima kasih karena telah menyelamatkan saya.”

Aku mengangguk pelan.

“Terima kasih kembali,” sahutku.

Sekilas aku mencermati sang wanita, yang ternyata cukup cantik untuk ukuran orang kebanyakan. Aku baru menyadari akan hal ini.

Ia memakai blouse untuk atasan, dan celana jins ketat untuk bawahan. Posturnya proporsional, rambutnya lurus dan pendek, hanya sepundak.

Kulitnya putih bersih. Bukan putih seperti orang Cina, tapi putih seperti orang Sunda, Dayak, atau Manado.

“Kalau tidak ada Mas tadi, duh, entah apa yang terjadi tadi.”

Aku menyahut, “Mbak dari mana? Dan mau ke mana? Malam-malam begini jalan sendirian. Bahaya lho.”

“Saya emm.., saya tadi dari Ancol, habis ketemuan sama relasi di hotel. Sekarang saya mau pulang.”

“Oh, mau pulang. Rumahnya di mana, Mbak?”

“PIK,” jawab si wanita pendek.

“PIK?” Ulangku bertanya.

“Iya.”

“Maksud, Mbak, Pantai Indah Kapuk?”

“Iya.”

Wuiih..! Perempuan tajir nih! Batinku. Rumahnya saja di PIK. Itu lho, kawasan perumahan super elit yang konon dihuni oleh para ‘horang kayah’.

Secara refleks aku pun mencermati sang wanita. Pertama sekali, dari telinganya, karena di situ ada yang berkilau akibat terpantul cahaya lampu jalan.

“Oh, itu anting yang sempat diambil preman tadi, mewah, ada permatanya,” batinku.  

Lalu kalungnya, yang tadi berusaha ia pertahankan dari jarahan dua preman. Bukan main, cantik dan mewahnya kelihatan.

Lalu cincinnya, cling, berkilau juga. Kemudian jam tangannya, walah, rantainya saja terbuat dari emas begitu.  

Akan tetapi, pikirku kemudian, jika dia ‘horang kayah’, mengapa dia naik bus Transjakarta. Busway gitu lho!

Seakan tahu isi pikiranku si wanita lantas berujar. “Waktu mau pulang tadi, saya ada kendala. Sopir saya yang sebelumnya keluar mau ngisi bensin, malah terjebak macet. Macet total, sampai mobilnya tidak bisa jalan.”

“Saya-nya tidak sabar. Mau pesan taksi, juga macet. Ya sudah, saya pulang saja duluan naik busway. Oh ya, ngomong-ngomong, nama Mas siapa?”

“Nama saya, Mojo.”

“Mojo?” Ulangnya bertanya.

Di dalam hati aku aku langsung menggerutu. “Kenapa sih, setiap aku bertemu dengan orang baru, mereka pasti selalu salah dalam menyebut namaku??”

Dia mengucapkan nama Mojo dengan bunyi huruf O seperti pada kata ‘toko’ atau ‘komodo’.

“Bukan Mojo, Mbak.” Aku meralat dengan pengucapan yang benar.

“Tapi, Mojo. Cara mengucapkan O-nya seperti bilang Suharto, Susilo, atau Yudoyono.” 

“Oh, maaf, Mojo ya?”

“Nah, itu, benar. Mojo.”

“Mas tinggal di mana?” Tanya sang wanita lagi.

“Tuh, di jalan Angke. Sudah dekat kok, sekitar tiga kilo lagi.”

“Tiga kilo? Anjrxit, jauh tuh!”

Aku tertawa pelan. “Saya sudah biasa, Mbak.”

“Jadi, selanjutnya, Mbak pulang ini bagaimana?” Lanjutku bertanya.

“Ckk, gampang itu. Saya bisa telepon taksi. Atau, sekalian yuk. Saya pesan taksi, kamu saya antar ke rumah kamu di Angke sana.”

“Tidak usah repot-repot, Mbak.”

“Tidak apa-apa.”

“Kalau Mbak mau pulang ke PIK, mengantar saya malah nanti taksinya muter-muter di sekitar Angke.”  

“Never mind. So what gitu loh? Mau sampai subuh muter-muter toh taksinya saya bayar.”

Aku tetap sungkan menerima penawarannya itu. Hingga beberapa saat kemudian ia terus membujuk, tapi aku terus menolaknya.

Aku sadar ia berusaha membayar utang budinya padaku. Namun aku meyakinkan dirinya bahwa ia tak perlu melakukan itu.

Ketika kemudian ia mengalah, itu juga tidak benar-benar mengalah. Terakhir, ia mengambil beberapa uang lembar dari tas jinjing mewahnya itu, lalu melungsurkannya kepadaku.

“Ini, Mas, ambil uang ini. Anggap saja sebagai..,”

“Eeee.., maaf, terima kasih sebelumnya, Mbak. Tapi, tidak usah, Mbak.”

“Ambillah, Mas, sebagai tanda terima kasih saya. Kalau tidak, saya jadi merasa berutang budi lho.”

“Mbak tidak perlu merasa begitu. Waktu menolong Mbak di bus tadi saya ikhlas kok Mbak. Saya tidak mengharapkan imbalan apa pun, sungguh.”

Si wanita terus memaksa aku dengan uangnya. Aku sampai mengangkat kedua tanganku dan merapatkannya di depan dada, menggeleng pelan, dan tersenyum.

“Di dunia ini tidak semuanya mesti kita hargai dengan uang Mbak.” Kataku bijak.   

Mendengar kata-kataku itu si wanita menghela nafas yang dalam.

“Memangnya di dunia ini apa yang tidak bisa dihargai dengan uang?” Tanya dia pula.

“Ketulusan, kasih sayang,” jawabku cepat.

Wanita itu terperangah sebentar.

“Juga.., cinta,” jawabku lagi.

Wanita itu mendadak diam seribu bahasa. Ada siluet ekpresi ketidak-sukaan yang sempat kutangkap pada wajahnya. Dengan kata-kataku tadi ia merasa digurui, begitu mungkin.

Ada suasana canggung yang tiba-tiba tercipta. Ditingkahi suara mobil-mobil yang berlalu di jalan raya, persis di samping kami.

Aku berusaha mencairkan suasana dengan satu ujaran. “Lain kali, kalau Embak jalan-jalan seorang diri, atau berada di sarana transportasi umum, jangan memakai perhiasan atau asesoris yang mencolok mata. Karena itu bisa mengundang..,” 

Kalimatku terpotong.

“Memangnya apa yang mencolok dari saya?” Sanggahnya tiba-tiba.

“Itu,” aku menunjuk telinganya. “Antingnya Mbak, kelihatan berkilau begitu.”

“Ah, ini cuma emas putih biasa.” Ia memegang ujung telinganya.

Dia bilang emas, biasa? Memang betul sih, tapi..,

“Itu, kalung yang Mbak pakai, berkilapan begitu.” Tanpa bermaksud kurang ajar aku pun menunjuk bagian atas dadanya.

“Ah, ini cuma platinum biasa, batu permatanya juga cuma ruby saja.” Ia pun menunduk, melihat pada kalungnya sendiri.

Platinum? Ruby? Pikirku lagi. Muahaal ajib-ajib begitu dan dia bilang, biasa. Hemm, untuk orang berduit, benar sih.

“Nah, itu cincin Mbak..,”

“Ah, ini cuma berlian.” Sang wanita pun mengangkat jari tangannya.

Jancxuk! Umpatku dalam hati. Perempuan ini mau pamer atau bagaimana sih? Dia ini sombong atau..,

“Tunggu, tunggu!” Kata si wanita tiba-tiba. Ia lantas melihat wajahku. Matanya sedikit menyipit seperti ada yang aneh.

“Kenapa? Ada apa?” Aku sontak penasaran.

“Perasaan saya, sepertinya.., kita pernah ketemu ya?”

Naaah..! Ini dia! Ini juga yang kurasakan sejak pertama melihatnya di dalam bus tadi. Aku merasa pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya. Kapan? Di mana?

“Kita pernah ketemu?” Aku balas tanya, sambil tetap mengingat-ingat.  

“Iya.”

“Di mana?”

“Eee.., entah, di mana ya?”

Tiba-tiba, sang wanita menatapku dengan wajah terperangah. Bola matanya membeliak seakan ada yang membuatnya begitu terkejut.

Sebentar ia memperhatikan kostum badut yang aku kenakan, di mana bagian atasnya terbuka dan terjurai ke bawah pinggangku.

Ia juga melihat pada kepala Hello kitty yang sekarang aku kempit di ketiakku. Jari telunjuk si wanita terangkat, menuding wajahku.

“Lho?? Kamu..,”

“Kenapa? Kenapa dengan saya?”

“Kamu kan.., badut Hello kitty yang..,”

********

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 56: Mengambil Hati Venus

    **Oh ya, apakah aku melupakan sesuatu?Aku menoleh dan menatap meja plastik sandingan dudukku tadi. Ya, itu dia. Aku mundur lagi dua langkah, untuk mengambil sebungkus wafer yang ada di atas meja itu.Ini adalah wafer rasa keju yang tadi aku kudap sembari melamun. Isinya tinggal setengah.“Untuk Venus saja,” pikirku.Dalam waktu yang bersamaan aku pun mendapat satu ide yang baru dengan wafer ini. Aku kemudian berjalan tenang menuju Venus di sudut halaman.Suara langkah kakiku yang semakin dekat ternyata langsung direspon oleh Venus. Ia mengangkat kepalanya, tapi masih enggan bangkit dari posisinya berbaring.“Hei, boy..,” sapaku pada Venus.Setelah sampai aku pun berjongkok di depan Venus. Anjing yang malang ini melirik ke arahku dengan sikap yang cuek. Persis seperti anak kecil yang sedang merajuk.Menurut keterangan Mbak Ratih tempo hari, Venus ini pernah dikursuskan oleh almarhum P

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 55: Kelvin Pedekate

    **Malam harinya, aku duduk sendiri di depan kamarku. Tepat di teras paviliun yang menghadap ke halaman belakang rumah utama yang luas ini.Aku ingin menelepon Iroh. Tapi sayang, ia belum bisa aku hubungi.“Aku lembur, Mas.” Katanya tadi di dalam pesan chat.“Jangan kemalaman, lho.” Balasku.“Iya, nih, sebentar lagi selesai kok.”Ketika setengah jam kemudian aku menge-chatnya, ia sedang dalam perjalanan pulang, naik busway.“Hati-hati nanti pulangnya.”“Iya, Mas. Jjangan khawatir. Aku pulangnya bareng temen-temen kok.”Tidak terasa sudah hampir dua minggu aku tidak bertemu dengan Iroh. Kangen!“Kamu ngapain, Gending?” Tiba-tiba Pak Murad muncul.Ia baru kembali dari arah garasi sana. Baru saja selesai mencuci mobil. Celana training panjang yang dikenakannya masih tergulung.“Saya lihat tadi dari jauh, kamu bengong saj

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 54: Ada Yang Nyempil

    **Kalau aku mendapat satu firasat yang buruk, biasanya itu selalu jitu. Apakah itu?Setelah mendengar keterangan dari Pak Bisma itu Miss Widya seperti terpekur. Ia lantas melempar pandangannya ke sekeliling, kepada para bawahannya dan terakhir berhenti pada Pak Syailendra.“Bagaimana pandangan Bapak?” Tanya Miss Widya.Pak Syailendra langsung menjawab.“Kita yang punya bangunan, kita yang punya gudang, tapi kalau pembangunannya terhambat oleh situasi yang tidak kondusif di lapangan, sepertinya kita juga mesti urun tenaga untuk membantu.”“Jadi, anggaplah para preman itu sebagai force majeur, seperti halnya bencana alam, tentu kita juga yang rugi kalau dibiarkan terus begini. Yang pasti, kita rugi waktu.” “Oh ya, tim legal kita bagaimana?” Tanya Miss Widya lagi.Kali ini Pak Bisma yang menyahut.“Tim legal kita tetap bekerja, Bu. Mereka sudah berkoordinasi deng

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 53: Firasat Buruk Ketika Meeting

    **Sebelum tengah hari, Miss Widya keluar dari ruangannya. Ia berjalan sembari menenteng tas jinjing berbahan kulit, tidak membawa tas kerja yang biasanya berisi laptop. “Mau pergi ke mana dia?” Batinku.Seingatku, tidak ada agenda apa-apa di jam ini. Kecuali siang nanti, yaitu meeting dengan para staf dan bawahannnya.Miss Widya berjalan agak terburu-buru. Langkahnya gegas, diricuhi gerakan tangan kanannya yang membuka tas jinjing di tangan kiri, seperti memeriksa barangkali ada yang tertinggal.Aku yang kebetulan melihatnya pergi pun segera mengejar. Masih di bagian kantor, tepat sebelum mencapai lift aku pun sampai di belakang Miss Widya.“Mohon maaf, Miss mau ke mana?” Aku bertanya sembari menyejajarkan langkah kakiku dengan langkah Miss Widya.Karena tak mendapat jawaban aku bertanya lagi.“Apakah ada agenda mendadak?”Miss Wi

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 52: Pedas

    **Satu jam kemudian..,“Apa-apaan kamu berlagak macam bos begitu??”Itu adalah semprotan pertama dari mulut Miss Widya sesaat setelah kami kembali dari ruang tamu.Dua orang tamu tadi sudah pergi. Aku dan Miss Widya pun sudah kembali dari ruang tamu, tapi sekarang masih berada di depan pintu ruang CEO.“Maaf, Miss.., saya tidak bermaksud..,” kata-kataku terpotong.“Bosnya itu sayaaa..!!” Umpat Miss Widya sembari menepuk-nepuk dadanya sendiri. Pok! Pok!Ia kemudian menekan-nekan dadaku dengan ujung jari telunjuknya.“Bukan kamuuu..!!”Aku hanya bisa menunduk, sedikit memalingkan wajah ke arah kiri, supaya Ziza yang ada di meja resepsionis itu tidak bisa melihat wajahku.“Berani sekali kamu tadi mengoreksi kata-kata saya di depan para tamu!” Miss Widya terus merepet setengah histeris.“Saya jadi malu, tahuu..!”Apakah aku boleh me

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 51: She Is My Boss

    **Aku berjalan tergesa-gesa di sepanjang lorong besar di lantai dua puluh lima ini. Aku melewati area kantor open space, di mana meja-meja para karyawan Arung Bahari Corp hanya dipisahkan oleh partisi.Karena bingung, aku lantas berhenti di sembarang meja yang ada penghuninya.“Permisi, Mbak,” sapaku pada sosok wanita di balik meja ini.“Ya? Ada apa?” sahutnya dengan tanya.“Meja kerja Pak Charles yang mana ya?”“Itu, yang paling ujung.” Jawab si Mbak karyawati sambil menunjuk ke kanan.“Terima kasih.”Sampai pada meja yang kutuju, ternyata meja Pak Charles sedang kosong. Orang yang bersangkutan tidak ada di tempat.“Dia sedang keluar, ada janji presentasi dengan klien.”Demikian informasi yang aku dapat dari penghuni meja sebelah, yaitu rekan Pak Charles, lelaki berpostur sedang dengan rambut keriting nan klimis.Nah, lho, sampai di s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status