**
Aku berjalan tergesa-gesa di sepanjang lorong besar di lantai dua puluh lima ini. Aku melewati area kantor open space, di mana meja-meja para karyawan Arung Bahari Corp hanya dipisahkan oleh partisi.
Karena bingung, aku lantas berhenti di sembarang meja yang ada penghuninya.
“Permisi, Mbak,” sapaku pada sosok wanita di balik meja ini.
“Ya? Ada apa?” sahutnya dengan tanya.
“Meja kerja Pak Charles yang mana ya?”
“Itu, yang paling ujung.” Jawab si Mbak karyawati sambil menunjuk ke kanan.
“Terima kasih.”
Sampai pada meja yang kutuju, ternyata meja Pak Charles sedang kosong. Orang yang bersangkutan tidak ada di tempat.
“Dia sedang keluar, ada janji presentasi dengan klien.”
Demikian informasi yang aku dapat dari penghuni meja sebelah, yaitu rekan Pak Charles, lelaki berpostur sedang dengan rambut keriting nan klimis.
Nah, lho, sampai di s
**Sebelum tengah hari, Miss Widya keluar dari ruangannya. Ia berjalan sembari menenteng tas jinjing berbahan kulit, tidak membawa tas kerja yang biasanya berisi laptop. “Mau pergi ke mana dia?” Batinku.Seingatku, tidak ada agenda apa-apa di jam ini. Kecuali siang nanti, yaitu meeting dengan para staf dan bawahannnya.Miss Widya berjalan agak terburu-buru. Langkahnya gegas, diricuhi gerakan tangan kanannya yang membuka tas jinjing di tangan kiri, seperti memeriksa barangkali ada yang tertinggal.Aku yang kebetulan melihatnya pergi pun segera mengejar. Masih di bagian kantor, tepat sebelum mencapai lift aku pun sampai di belakang Miss Widya.“Mohon maaf, Miss mau ke mana?” Aku bertanya sembari menyejajarkan langkah kakiku dengan langkah Miss Widya.Karena tak mendapat jawaban aku bertanya lagi.“Apakah ada agenda mendadak?”Miss Wi
**Satu jam kemudian..,“Apa-apaan kamu berlagak macam bos begitu??”Itu adalah semprotan pertama dari mulut Miss Widya sesaat setelah kami kembali dari ruang tamu.Dua orang tamu tadi sudah pergi. Aku dan Miss Widya pun sudah kembali dari ruang tamu, tapi sekarang masih berada di depan pintu ruang CEO.“Maaf, Miss.., saya tidak bermaksud..,” kata-kataku terpotong.“Bosnya itu sayaaa..!!” Umpat Miss Widya sembari menepuk-nepuk dadanya sendiri. Pok! Pok!Ia kemudian menekan-nekan dadaku dengan ujung jari telunjuknya.“Bukan kamuuu..!!”Aku hanya bisa menunduk, sedikit memalingkan wajah ke arah kiri, supaya Ziza yang ada di meja resepsionis itu tidak bisa melihat wajahku.“Berani sekali kamu tadi mengoreksi kata-kata saya di depan para tamu!” Miss Widya terus merepet setengah histeris.“Saya jadi malu, tahuu..!”Apakah aku boleh me
**Aku berjalan tergesa-gesa di sepanjang lorong besar di lantai dua puluh lima ini. Aku melewati area kantor open space, di mana meja-meja para karyawan Arung Bahari Corp hanya dipisahkan oleh partisi.Karena bingung, aku lantas berhenti di sembarang meja yang ada penghuninya.“Permisi, Mbak,” sapaku pada sosok wanita di balik meja ini.“Ya? Ada apa?” sahutnya dengan tanya.“Meja kerja Pak Charles yang mana ya?”“Itu, yang paling ujung.” Jawab si Mbak karyawati sambil menunjuk ke kanan.“Terima kasih.”Sampai pada meja yang kutuju, ternyata meja Pak Charles sedang kosong. Orang yang bersangkutan tidak ada di tempat.“Dia sedang keluar, ada janji presentasi dengan klien.”Demikian informasi yang aku dapat dari penghuni meja sebelah, yaitu rekan Pak Charles, lelaki berpostur sedang dengan rambut keriting nan klimis.Nah, lho, sampai di s
**Beberapa hari kemudian..,Begitu sampai di kantor, aku langsung membuka pintu ruangan CEO dengan anak kunci yang sebelumnya diberikan Miss Widya padaku.Aku mendahului Miss Widya memasuki ruangannya. Seperti biasa aku menghidupkan pendingin ruangan. Lalu meletakkan tas kerja Miss Widya di atas mejanya.Setelah itu aku bergerak menuju ke kamar mandi untuk memeriksa.., eiitts..! Aku hampir lupa. Aku tidak boleh memasuki kamar mandi pribadi Miss Widya itu.Ya sudah, aku kemudian bergerak ke sisi kiri. Aku memeriksa jendela berikut semua penguncinya. Barangkali ada penyusup atau pencuri yang memasuki ruangan CEO ini dari luar.Bisa saja toh? Kemungkinan itu selalu ada.Karena apa? Karena ini.., nah, ini, yang kemudian aku periksa ini, yaitu sebuah brankas yang ukurannya hampir menyamai kulkas.Di dalam brankas baja tahan api ini ada banyak dokumen penting dan itu semua terkait dengan rahasia perusahaan.Termasuk juga, ten
**Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh dari sisi kanan. Cepat aku menoleh.“Ada apa itu??” Batinku penasaran.Ziza si resepsionis sampai bangkit dari kursinya, berdiri berjinjint-jinjit untuk ikut mencari pandang. Aku melangkah pelan menuju asal suara.Itu, di sana, tepatnya di ujung lorong yang terhubung langsung dengan lift, aku melihat ada dua orang yang sedang bertengkar hebat.Orang pertama adalah lelaki, lalu orang yang kedua adalah perempuan. Keduanya adalah karyawan di Arung Bahari Corp, hanya saja berbeda manajemen.Aku bisa mengidentifikasi itu dari warna name tag yang mereka kalungkan.Si perempuan memarahi si lelaki, membentak, sampai memekik-mekik histeris. Sementara si lelaki berusaha menenangkan si perempuan.Kata-kata kotor pun beterbangan, hingga nyaris terdengar di seantero kantor Arung Bahari di lantai dua puluh lima ini.“Bangsxaaatt..!! Bajxingaaaann kamuuu..!!”Disahut
**Oke, baiklah. Masalah gaji itu aku bekukan saja di sini. Aku tidak akan mempertanyakannya lagi, baik kepada Pak Hatoropan, Mbak Vera atau pun kepada Miss Widya.Jika nanti, suatu saat Miss Widya itu teringat dan kemudian ia meminta maaf, aku akan memaafkan dan aku tidak akan menagihnya. Nama Abah Anom aku junjung di sini, beserta semua amanahnya.Namun, jika memang ada anggaran untuk biaya gajiku, tapi Miss Widya sengaja tidak memberikannya, lihat saja, aku jegal nanti langkahnya di akhirat sana.Kendati pun demikian, aku masih bisa bersyukur kok. Karena ternyata aku mendapat uang saku harian. Besarannya lumayan, cukup untuk dua kali makan di warteg, dua kali nambah, plus jus jeruk dua gelas.Uang saku itu dibayarkan secara bulat untuk satu bulan sekaligus, dan ditransfer langsung ke rekeningku.“Kemudian, untuk uang operasional,” lanjut Mbak Vera lagi.Aku bengong sebentar.“Ada uang operasionalnya juga, M