**
Beberapa hari kemudian..,
Begitu sampai di kantor, aku langsung membuka pintu ruangan CEO dengan anak kunci yang sebelumnya diberikan Miss Widya padaku.
Aku mendahului Miss Widya memasuki ruangannya. Seperti biasa aku menghidupkan pendingin ruangan. Lalu meletakkan tas kerja Miss Widya di atas mejanya.
Setelah itu aku bergerak menuju ke kamar mandi untuk memeriksa.., eiitts..! Aku hampir lupa. Aku tidak boleh memasuki kamar mandi pribadi Miss Widya itu.
Ya sudah, aku kemudian bergerak ke sisi kiri. Aku memeriksa jendela berikut semua penguncinya. Barangkali ada penyusup atau pencuri yang memasuki ruangan CEO ini dari luar.
Bisa saja toh? Kemungkinan itu selalu ada.
Karena apa? Karena ini.., nah, ini, yang kemudian aku periksa ini, yaitu sebuah brankas yang ukurannya hampir menyamai kulkas.
Di dalam brankas baja tahan api ini ada banyak dokumen penting dan itu semua terkait dengan rahasia perusahaan.
Termasuk juga, ten
**Beberapa hari kemudian..,Begitu sampai di kantor, aku langsung membuka pintu ruangan CEO dengan anak kunci yang sebelumnya diberikan Miss Widya padaku.Aku mendahului Miss Widya memasuki ruangannya. Seperti biasa aku menghidupkan pendingin ruangan. Lalu meletakkan tas kerja Miss Widya di atas mejanya.Setelah itu aku bergerak menuju ke kamar mandi untuk memeriksa.., eiitts..! Aku hampir lupa. Aku tidak boleh memasuki kamar mandi pribadi Miss Widya itu.Ya sudah, aku kemudian bergerak ke sisi kiri. Aku memeriksa jendela berikut semua penguncinya. Barangkali ada penyusup atau pencuri yang memasuki ruangan CEO ini dari luar.Bisa saja toh? Kemungkinan itu selalu ada.Karena apa? Karena ini.., nah, ini, yang kemudian aku periksa ini, yaitu sebuah brankas yang ukurannya hampir menyamai kulkas.Di dalam brankas baja tahan api ini ada banyak dokumen penting dan itu semua terkait dengan rahasia perusahaan.Termasuk juga, ten
**Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh dari sisi kanan. Cepat aku menoleh.“Ada apa itu??” Batinku penasaran.Ziza si resepsionis sampai bangkit dari kursinya, berdiri berjinjint-jinjit untuk ikut mencari pandang. Aku melangkah pelan menuju asal suara.Itu, di sana, tepatnya di ujung lorong yang terhubung langsung dengan lift, aku melihat ada dua orang yang sedang bertengkar hebat.Orang pertama adalah lelaki, lalu orang yang kedua adalah perempuan. Keduanya adalah karyawan di Arung Bahari Corp, hanya saja berbeda manajemen.Aku bisa mengidentifikasi itu dari warna name tag yang mereka kalungkan.Si perempuan memarahi si lelaki, membentak, sampai memekik-mekik histeris. Sementara si lelaki berusaha menenangkan si perempuan.Kata-kata kotor pun beterbangan, hingga nyaris terdengar di seantero kantor Arung Bahari di lantai dua puluh lima ini.“Bangsxaaatt..!! Bajxingaaaann kamuuu..!!”Disahut
**Oke, baiklah. Masalah gaji itu aku bekukan saja di sini. Aku tidak akan mempertanyakannya lagi, baik kepada Pak Hatoropan, Mbak Vera atau pun kepada Miss Widya.Jika nanti, suatu saat Miss Widya itu teringat dan kemudian ia meminta maaf, aku akan memaafkan dan aku tidak akan menagihnya. Nama Abah Anom aku junjung di sini, beserta semua amanahnya.Namun, jika memang ada anggaran untuk biaya gajiku, tapi Miss Widya sengaja tidak memberikannya, lihat saja, aku jegal nanti langkahnya di akhirat sana.Kendati pun demikian, aku masih bisa bersyukur kok. Karena ternyata aku mendapat uang saku harian. Besarannya lumayan, cukup untuk dua kali makan di warteg, dua kali nambah, plus jus jeruk dua gelas.Uang saku itu dibayarkan secara bulat untuk satu bulan sekaligus, dan ditransfer langsung ke rekeningku.“Kemudian, untuk uang operasional,” lanjut Mbak Vera lagi.Aku bengong sebentar.“Ada uang operasionalnya juga, M
**“Anjing? Patah hati?”“Iya, Miss.”“Anjing bisa patah hati..??”“Tentu saja bisa, Miss.”“Ngawur kamu ah!”“Miss boleh percaya boleh tidak,” sahutku enteng. “Tapi begitulah kenyataannya.”Nah, ada satu rahasia di sini yang perlu aku jelaskan. Jadi begini, tadi pagi setelah menemui anjing di halaman belakang itu, aku menemui Mbak Ratih.Sembari bersarapan dengan sepotong roti aku pun menanyakan perihal anjing itu. Ternyata, Venus—demikian nama anjing itu, adalah anjing milik Pak Wisnu Wibisono.Di keluarga itu hanya Pak Wisnu seorang yang menyukai anjing. Ada pun Ibu Suri mau pun Miss Widya, perasaan mereka netral saja terhadap anjing. Tidak suka, namun juga tidak benci.Setelah Pak Wisnu meninggal dunia, maka tidak ada orang yang mengasuh Venus dan memberi perhatian yang wajar seperti sedia kala.Mbak Ratih-lah yang
**Tiba-tiba, anjing itu menerjangku!Ia berlari dan langsung saja menyerang. Aku yang tadi berjongkok pun secara refleks berdiri, lalu beringsut mundur beberapa langkah ke belakang.Untungnya, tali kekang yang terikat di leher sang anjing menahan serangan itu.Gerrrghh..! Gukk..!“Oh, tidak, tidak,” batinku.Anjing ini terlalu agresif. Aku segera memaklumi reaksinya yang alamiah itu. Ia mungkin marah dengan kehadiranku, namun bisa juga ia merasa takut.Apa pun makhluknya, jika takut ia bisa saja melakukan hal-hal yang tidak terduga sebagai pertahanan diri.Guk..! Ggukk..! Ggukk..!!Aku terus mengamati sang anjing, sekujur tubuhnya, keempat kakinya, kedua telinganya, hingga bola matanya.Ya, aku bisa membaca, bola mata sang anjing itu menyiratkan kesedihan yang amat dalam. Ia seperti kehilangan harapan, semangat dan cintanya.Ia seperti anggota sebuah keluarga yang terbuang dan tersisihkan. Ia s
**Lalu, baru saja aku akan berbelok, tiba-tiba saja, muncul satu penampakan yang amat menyeramkan di depanku!Wajahnya putih..,Pakaiannya putih..,Saking terkejutnya aku sampai mengucap “Astagfirullah!”Sosok menyeramkan di depanku ini langsung saja menyentak.“Nama kamu siapa..??” Tanya dia ketus.Masih diliputi perasaan kaget aku pun spontan menjawab.“Mojo.”“Bukan! Nama kamu Gending!”“Iya, nama saya Gending.” Sahutku mengalah.“Saya ulangi. Nama kamu siapa??”“Gending.” Jawabku.“Bagus! Kamu asalnya dari mana??”“Dari Gayatri.”“Bukan! Kamu asalnya dari Lombok!”“Iya, saya dari Lombok.”“Bagus!”Dasar kuntilanak! Aku merutuk dalam hati.Ada-ada saja Miss Widya ini. Ia pasti baru selesai mandi, atau baru