**
Ibu Suri memberi isyarat dengan tangannya, supaya Devi, sang perawat melepaskan pegangan pada kursi roda.
Ibunda Widya ini lalu meneruskan putaran roda pada kursi dengan tangannya sendiri, pelan-pelan dan hati-hati.
Tak lama kemudian ia menghentikan kursi rodanya tepat di bagian tengah halaman belakang. Ia menatap Gending dengan kedua matanya yang seakan tak bermakna apa-apa, bergantian dengan memandangi Venus.
Gending yang kemudian menyadari kehadiran Ibu Suri itu sedikit terkejut. Ia merasa gugup, dan untuk beberapa saat ia tidak tahu harus berbuat apa. Tangannya mengendurkan tali kekang Venus.
Gending tidak mengerti mengapa Ibu Suri tiba-tiba keluar rumah dan menghampiri dirinya di halaman belakang ini.
Baginya, hal ini merupakan sesuatu yang aneh. Atau, atau mungkin ini sesuatu yang positif?
Sebab, seperti yang ia ketahui dari Pak Murad, Mbak Ratih dan semua asisten di rumah Arcopolis ini, bahwa Ibu Suri sama sekal
**“Aku jadi penasaran, seperti apa sih orangnya yang bernama Miss Widya itu.” Celetuk Iroh.“Tentang apanya yang kamu ingin tahu?” Tanyaku pula.“Tentang.., penampilannya saja dulu deh.”Aku tersenyum. Sebentar aku membagi perhatianku kepada Mikhail ketika ia bertanya tentang sesuatu. Aku menjawabnya dengan sabar, lalu kembali kepada konteks-ku bersama Iroh.“Kalau dari penampilan sih, biasa saja.” Kataku.“Tinggi badannya sama dengan kamu, Roh. Berat badannya pun mungkin sama. Tidak gemuk, tidak kurus, tidak tinggi juga tidak pendek.”Iroh menghampiriku dengan membawa segelas besar air putih dan beberapa penganan kecil. Ketika ia menghidangkan itu semua di depanku, aku berkata pelan.“Ukuran pantatnya pun mungkin sama dengan kamu.”“Eitts..!” Iroh tersentak. “Kok kamu tahu??”Iroh langsung duduk menggelosoh di d
**“Mikhail..,” Iroh memanggil anaknya yang sedang asyik menonton tivi.Dia yang dipanggil rupanya tidak merespon, tetap asyik dengan tayangan di televisi. Rupanya, di dalam film itu ada Doraemon yang sedang mengeluarkan suatu benda dari kantong ajaibnya.“Mikhail.., lihat nih, siapa yang datang.” Ulang Iroh memanggil sang putra.Barulah kemudian Mikhail menoleh ke belakang, mendapati ibunya yang sedang menggandeng seorang lelaki yang tak asing.Sontak saja Mikhail terkejut menyadari keberadaanku di sini. Cepat ia bangkit dari lantai, lalu berjalan cepat-cepat dengan kakinya yang goyah ke arahku.“Ayaaah..!” Serunya gembira.“Mikhail..,” sambutku.Entah mengapa tiba-tiba aku merasa terharu, mendengar panggilan ‘ayah’, menerima pelukan Mikhail seakan menerima pelukan anakku sendiri, darah dagingku sendiri.Entah mengapa aku merasa bahwa Mikhail ini adalah pengeja
**Akhirnya, setelah satu bulan menjalani pekerjaanku sebagai ajudan, aku mendapat jatah libur. “Terima kasih Mbak,” ujarku pada Mbak Vera. Karena atas usaha dia jugalah aku mendapatkan jatah libur ini.Mbak Vera yang menyampaikan uneg-uneg-ku kepada Miss Widya, dan bos judes itu langsung menyetujui tanpa banyak cincong. Tumben.“Kenapa kamu tidak ngomong langsung ke saya?” Tanya Miss Widya, ketika kami sedang dalam suatu perjalanan.“Saya segan, Miss.”“Baguslah, kalau kamu segan.”Waktu itu, aku juga memberi sebuah pesan.“Kecuali Miss dan Mbak Vera, jangan ada orang lain lagi yang tahu tentang liburnya saya ini. Kapan saya libur, berapa hari, hari apa saja, masuk kerja hari apa, jangan ada yang tahu.”“Kenapa begitu?”Aku menatap Miss Widya sebentar. Rupanya ia sedang penasaran.“Ini termasuk ke dalam prosedur standar da
**“Oh, jadi begitu,” gumamku pelan.Ternyata, Kelvin itu seorang deputi manajer pemasaran wilayah Asia. Ia sengaja memilih untuk ditugaskan oleh perusahaannya di Indonesia ini supaya bisa berdekatan dengan Miss Widya.Aku baru tahu akan hal itu dari Pak Murad yang sekarang sedang asyik menikmati rokoknya di sampingku. Kami berdua duduk di teras paviliun, berbincang-bincang sembari menunggu kantuk tiba.Sementara Kelvin, orang yang sedang kami perbincangkan sekarang sedang duduk bersama Miss Widya di sana, di beranda samping rumah utama. Biasa, mereka apel-apelan lagi.Seingatku, sudah dua kali Kelvin itu mengapeli Miss Widya. Kalau makan siang bareng, sudah tidak terhitung lagi.“So sweet sekali, Pak,” ujarku, mengomentari keterangan dari Pak Murad tadi.Aneh juga, Pak Murad sang sopir ini lebih mengetahui tentang Miss Widya dari pada aku yang ajudan ini.“Ya wajar toh,” cetus Pak Murad. &ld
**Eee.., kenapa begitu? Ternyata, mobil itu pergi. Iya, benar, tepat ketika aku akan menyeberangi jalan di jalur yang satu lagi, mobil itu bergerak maju.Mulanya perlahan, hingga beberapa saat kemudian pun melaju dan semakin kencang. Jauh, semakin jauh, lantas menghilang dari pandanganku.“Aaaakh..! Aku tak sempat!” Gerutuku dalam hati, kesal dan menyesal saat menyadari aku tak sempat melihat nomor pelat mobil itu.Padahal, itu bisa menjadi alat bukti yang barangkali aku membutuhkannya kelak. Ya sudahlah.“Ckk! Sayang sekali.”Aku masih berdiri di tengah median jalan, masih menoleh ke kanan, menatap kepergian mobil sedan yang mencurigakan itu dengan segenap rasa penasaranku. “Baiklah,” bati
**“Apa itu??” Pekikku dalam hati.Pada dinding kaca ini aku melihat bayangan sebuah mobil di kejauhan. Sekilas saja tadi, aku melihat sebuah titik cahaya berwarna merah yang melesat dari dalam mobil tersebut.Cepat aku menoleh ke kiri, lalu mencari keberadaan sebuah mobil sedan hitam yang bayangannya masih ada di dinding kaca sebelahku.“Nah, itu mobilnya,” batinku.Aku menyipitkan mata, berusaha menajamkan pandangan ke arah mobil sedan yang jaraknya sekitar empat puluh meter di tepi jalan sana.Entah mengapa, tanpa alasan yang jelas sekarang aku merasa was-was.Apakah tadi aku mengalami ilusi, semacam itu? Atau memang benar pandangan mataku yang menangkap seberkas titik cahaya berwarna merah dari arah mobil itu?Seberkas cahaya merah tadi bisa berasal dari sebuah pointer laser, atau berasal dari alat penginderaan infra merah yang hanya bisa dilihat melalui alat bantu semisal kaca.Be